Semua ulama fiqih sepakat bahwa ketika diceraikan, perempuan itu harus suci dari haid dan nifas. Dalam hal ini tidak ada per bedaan pendapat. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dalam hal kesucian itu, apakah ia merupakan syarat sahnya talak atau syarat kesempurnaannya. Dengan kata lain, apakah ia merupakan hukum taklifi yang dikenakan kepada laki-laki yang menceraikan, yaitu ia harus melepaskan ikatan ketika perempuan itu suci dari haid dan nifas, sehingga Kalau menyimpang ia berdosa tetapi talaknya sah; atau ia merupakan hukum wadh’i yang mengikat keabsahan talak, sehingga jika tidak begitu talak itu batAl? Syi’ah Imamiyah dan sejumlah kecil pengikut mazhab-mazhab fiqih yang lain memilih yang kedua. Sedangkan kebanyakan mazhab yang lain memilih yang pertama. Berikut ini pembahasan pendapat mereka.
Syekh ath-Thusi dalam Al-Khilaf berkata, “Talak yang haram adalah menceraikan istri yang telah dicampuri ketika ia dalam masa haid atau suci setelah dicampuri. Lalu, apa hukumnya, karena bagi kami talak itu tidak sah. Akad itu tetap berlaku seperti semula. Pendapat ini dikemukakan lbn ‘Aliyyah. Tetapi semua ulama fiqih berpendapat bahwa talak itu sah wAlaupun dilarang.
Pendapat ini juga dianut oleh Abu Hanifah dan kawan-kawannya, MAlik, Al-Awza.i, ats-Tsawri, dan asy-Syafi’i - dalil kami-sebagai ijmak firqah. Prinsipnya adalah tetap berlakunya akad. Sedangkan sahnya talak tersebut memerlukan dalil syar’i. Juga firman Allah swt: fathalliquhunna li’iddatihinna (maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat [menghadapi] iddahnya (yang wajar).Telah diriwayatkan bahwa yang dimaksud adalah liqabla ‘iddtlihinna (sebelum masa iddah mereka) .Tidak ada perbedaan pendapat, bahwa maksud ayat itu demikian wAlaupun tidak boleh dibaca seperti itu. Jika diterima, hal itu menunjukkan apabila talak itu dilakukan selain pada masa suci, talak tersebut haram dan dilarang. Larangan itu menunjukkan buruknya apa yang dilarang.
Akan dijelaskan kepada Anda bahwa ayat tersebut menunjukkan disyaratkannya kesucian dari haid dan nifas ( dalam talak) .
Ibn Rusyd tentang hukum orang yang melakukan talak pada masa haid, mengatakan, "Para ulama berbeda pendapat dalam bebarapa hal berkenaan dengan hal itu. Mayoritas ulama berpendapat bahwa talaknya sah. Sedangkan ulama yang lain mengatakan bahwa talak itu tidak boleh dilakukan dan tidak sah. Mereka yang berpendapat bahwa talak itu boleh dilakukan mengatakan bahwa ia diperintahkan untuk rujuk. Mereka terbagi ke dalam dua kelompok. Satu kelompok mengatakan bahwa hal itu wajib. la harus dipaksa melakukan itu. Pendapat ini dikemukakan oleh MAlik dan kawan-kawannya. Sedangka.n kelompok lain mengatakan bahwa ia dianjurkan untuk melakukan itu, tidak dapat dipaksa. Pendapat ini dikemukakan oleh asy-syafi'i, Abu Hanifah, ats-Tsawri, danAhmad.
Al Jaziri memberikan uraian terperinci dan menjelaskan pendapat-pendapat para fukaha dalam kitabnya.
Inilah pendapat-pendapat itu. Namun, pembahasan tersendiri menuntut dikesampingkannya taklid dan melewati jAlan yang disusun kAlangan ulama sAlaf. Mereka berbicara terang-terangan dan tidak takut pada celaan orang-orang yang menyimpang. Mereka tidak takut kecuali kepada Allah. Kalau kita menemukan dalil yang menolak pendapat-pendapat mereka dAlarn Al-Qur'an dan sunah, kedua sumber itulah yang lebih patut diikuti.
Argumentasi dengan Al-Qur'an
Allah swt berfirman, "Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu."
( QS. ath- Thalaq [ 65] : 1 )
Penjelasan kedalilan ayat tersebut bergantung pada penjelasan makna iddah dalam ayat tersebut. Apakah maksudnya tiga kali suci atau tiga kali haid? Perbedaan ini menyebabkan perbedaan yang lain, yaitu dalam menafsirkan kata quru' dengan kesucian atau haid.
Penjelasannya, para fukaha berbeda pendapat dalam mengartikan firman Allah, "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru"' (QS. Al-Baqarah [2]: 228). Syi'ah Imamiyah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan quru' adalah tiga kali suci. Dalam hal itu mereka berpegang pada hadis yang diriwayatkan dari ' Ali as: Zurarah meriwayatkan dari Abu Ja 'far as: Aku berkata, "Semoga Allah memberikan kebaikan kepada Anda. Bolehkan saya mengatakan bahwa quru' yang disebutkan dalam AI-Qur'an itu berarti suci di antara dua haid, bukan haid itu sendiri?" Imam as menjawab. "Benar”. la juga pernah berkata; "Quru ' itu berarti suci: Pada masa itu darah terkumpul. Kemudian, ketika tiba masa haid, darah itu dikeluarkan”
Sedangkan mazhab-mazhab yang lain - kecuali sedikit sekali di antara mereka, seperti Rabi'ah-berpendapat bahwa yang dimaksud dengan quru' adalah haid. Di sini bukan tempatnya untuk membahas masalah tersebut. Melainkan kami ingin menjelaskan bahwa-berdasarkan kedua mazhab-ayat tersebut menunjukkan disyaratkannya kesucian ketika dilakukan talak. Setelah menge tahui bahwa orang yang membolehkan talak pada masa haid mengatakan bahwa haid tersebut tidak dipandang sebagai bagian dari quru', kami katakan sebagai berikut.
Jika kita katakan bahwa yang dimaksud dengan iddah dalam firman Allah Swt: li’iddatihinna adalah tiga kali suci maka huruf lam di situ berarti menunjukkan tujuan (ghayah) dan sebab (ta’lil). Maka arti ayat tersebut menjadi: "Maka ceraikanlah mereka agar mereka menunggu masa iddah". Asalnya, tujuan itu disebutkan tepat di akhir kalimat itu tanpa pemisah-selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan sebaliknya. Misalnya, firman Allah swt, "Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (QS. an-Nahl [16]: 44); "Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Alkitab (Al-Qur'an) ini melainkan agarkamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu" (QS. an-Nahl [16]: 64). Kemungkinan, huruf tam itu menunjukkan akibat (lil 'aqibah) yang kadang- kadang di situ memisahkan antara tujuan (ghayah) dan bagian akhirnya, seperti firman Allah SWT, "Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka" (QS. Al-Qashash [28]: 8) tidaklah benar. Sebab, penggunaannya dalam sesuatu yang jika hasilnya dipahami pada bagian akhirnya merupakan akibat yang dipaksakan, bukan akibat yang muncul dengan sendirinya seperti yang tertera dalam ayat itu, seperti ucapan mereka, Ladu lil mawt wabnu lil khardb ( tumbuhkanllah yang mati dan bangunlah yang rusak) .
Jika kami katakan bahwa iddah dalam ayat tersebut berarti tiga kali haid, padahal masa haid saat dilakukannya talak tidak dipandang sebagai iddah menurut kesepakatan mereka yang berpendapat bolehnya talak pada masa haid, maka perintahnya di situ berarti permainan belaka dan menyegerakan sesuatu tanpa tujuan. Pada saat seperti itu, para mufasir tidak menemukan solusi kecuali dengan menganggap adanya kalimat yang tersembunyi, seperti mustaqbilatin li 'iddatihinna (mereka dapat menghadapi masa iddah mereka). Misalnya,-dalam ucapan mereka: Laqaytuhu li tsalats minasy syahr (Saya menemuinya tiga bulan lagi)." Maksudnya tiga bulan mendatang. Berarti hal itu menunjukkan jatuhnya talak pada masa suci. Hal itu karena apabila iddah itu berarti haid maka sebclumnya berarti lawannya, yaitu kesucian.
Dari situ kami menyimpulkan bahwa secara lahiriah ayat tersebut berkenaan dengan disyaratkannya kesucian dari haid dalam sahnya talak.
Kemudian, sebagian peneliti menyebutkan hikmah dalam larangan talak pada masa haid. Yaitu, hal tersebut memperpanjang masa iddah bagi perempuan. Sebab, jika ia sedang haid, haidnya tidak dihitung sebagai bagian dari masa iddah. Maka ia harus menunggu hingga suci dari haidnya dan menyempumakan masa sucinya. Kemudian ia memulai menghitung masa iddah dari haid berikutnya.
Ini berdasarkan mazhab-mazhab Ahlusunah dalam menafsirkan kata quru' dan pada gilirannya menafsirkan iddah dengan masa haid. Adapun menurut mazhab Imamiyah, quru ' ditafsirkan sebagai masa suci. Maka harus dikatakan, “Jika peempuan itu sedang haid, haidnya itu tidak dihitung sebagai bagian dari masa iddah. Maka ia harus menunggu hingga suci dari haidnya, dan iddah dimulai pada hari ia suci dari haid tersebut."
Bagaimanapun, mereka sepakat bahwa masa haid saat dijatuhkannya talak tidak dihitung sebagai bagian dari masa iddah baik dengan disyaratkannya kesucian maupun tidak dihitungnya iddah dari haid tersebut. Sehingga masa iddah bagi perempuan itu menjadi panjang baik permulaannya adalah masa suci maupun masa haid berikutnya.
Argumentasi dengan Sunah
Banyak hadis diriwayatkan dari para imam ahlulbait yang mensyaratkan kesucian. Al-Kulaini meriwayatkan hadis dengan sanad sahih dari Abu Ja’far Al-Baqir as: “Setiap talak tanpa iddah (sunah) bukanlah talak. Yaitu, perempuan ditalak dalam masa haid, masa nifas, atau setelah digauli sebelum mengalami haid. Karenanya talaknya tidak sah."
Ini menurut faham Syi’ah. Adapun menurut faham Ahlul Sunah, yang penting bagi mereka dalam mensahihkan talak pada masa haid adalah riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Umar yang menceraikan istrinya ketika sedang mengalami haid: Hadis itu telah dikutip dengan berbagai redaksi, di antaranya sebagai berikut.
Pertama, hadis yang menunjukkan tidak dipandang sah talak tersebut. Berikut ini penjelasannya.
I. Abu az-Zubair ditanya tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya dalam masa haid. la menjawab, :Abdu1lah bin ‘Umar ra menceraikan istrinya dalam masa haid pada zaman Rasulullah saw” Umar ra memberitahukan kepada Rasulullah saw, “Abdullah bin ‘Umar menceraikan istrinya dalam masa haid” Nabi saw menjawab, “Hendaklah ia kembali kepada istrinya” la mengembalikannya kepadaku dan berkata, 'Jika ia telah suci, maka ceraikanlah ia atau tahanlah” Ibn ‘Umar berkata, Nabi saw membaca ayat, "Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)" (QS. ath- Thalaq [65]: I). Yakni, sebelum berakhir masa iddahnya.
2. Abu az-Zubair meriwayatkan: Aku bertanya kepada Jabir tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya ketika sedang haid. la menjawab, "Abdullah bin 'Umar menceraikan istrinya dalam masa haid. Kemudian 'Umar menemui Rasulullah saw dan memberitahukan hal itu. Rasulullah saw menjawab, 'Hendaklahnya ia kemblli kepadanya karena ia masih merupakan istrinya."'
3. Nafi’, budak Ibn 'Umar, meriwayatkan hadis dari Ibn 'Umar bahwa ia berkata tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya dalam masa haid. Ibn 'Umar berkata, "Talaknya tidak sah."
Kedua, hadis yang berisi penjelasan bahwa talak tersebut dipandang sebagai talak yang sah walaupun diharuskan mengulangi talaknya. Berikut ini kutipannya.
1. Yunus bin Jubair berkata: Aku bertanya kepada Ibn 'Umar, "Seorang laki-laki menceraikan istrinya dalam masa haid." la menjawab, "Engkau tahu 'Abdullah bin 'Umar?" Saya jawab, "Ya." la berkata, "'Abdullah bin 'Umar pernah menceraikan istrinya dalam masa haid. Kemudian 'Umar ra menemui Nabi saw dan menanyakan hal itu kepadanya. Kemudian beliau memerintahkan Ibri 'Umar agar kembali kepada istrinya dan menceraikannya dalam masa 'iddahnya." Aku bertanya, "Apakah talak tersebut dipandang sah?" Ia menjawab, "Ya." la berkata, " Apakah kamu menganggap dia itu sudah pikun dan bodoh?"
2. Yunus bin Jubair berkata: Aku berkata kepada Ibn 'Umar bahwa seorang laki-laki menceraikan istrinya dalam masa haid. la menjawab, "Tahukah engkau Ibn 'Umar? la menceraikan istrinya dalam masa haid. Kemudian 'Umar bertanya kepada Nabi saw Maka beliau memerintahkan agar Ibn 'Umar kembali kepada istrinya." Aku bertanya, "Apakah talak tersebut dipandang sah?" la menjawab, "Mengapa tidak? Apakah engkau menganggap bahwa ia sudah pikun dan bodoh?"
3. Yunus bin Jubair berkata: Aku mendengar Ibn 'Umar berkata, " Aku pemah menceraikan istriku ketika ia sedang haid. Kemudian 'Umar bin Al-Khaththab ra menemui Nabi saw dan memberitahukan hal itu. Nabi saw bersabda, "Hendaklah ia kembali kepada istrinya. Apabila ia telah suci, silakan ia menceraikannya." Yunus berkata: Kemudian aku bertanya kepada Ibn ‘Umar, "Apakah engkau menganggapnya sah?" la menjawab, " Apa yang mencegahnya? Apakah engkau mengira bahwa ia telah pikun dan bodoh?"
4. Anas bin Sirin berkata: Aku pernah mendengar Ibn 'Umar berkata, " Aku menceraikan istriku dalam masa haidnya. Kemudian 'Umar memberitahukan hal itu kepada Nabi saw. Maka beliau bersabda, "Hendaklah ia kembali kepada istrinya. Apabila ia telah suci dari hadinya, silakan ia menceraikannya." Anas berkata: Aku bertanya kepadanya-yakni kepada Ibn 'Umar ra- , " Apakah engkau menganggapnya sah?" la menjawab, "Mengapa tidak?"
5. Anas bin Sirin berkata: la menyebutkan hadis di atas. Tetapi dalam hadis itu, beliau bersabda, "Hendaklah ia menceraikannya jika ia mau." Ibn 'Umar berkata: 'Umar ra berkata, "Wahai Rasulullah, apakah Anda memandang sah perceraian itu?" Beliau menjawab, "Ya."
6. Anas bin Sirin berkata: Aku pernah bertanya kepada Ibn 'Umar tentang perceraiannya dengan istrinya. la menjawab, " Aku menceraikannya dalam masa haidnya. Hal itu diberitahukan kepada 'Umar yang kemudian memberitahukannya kepada Nabi saw. Maka beliau bersabda, 'Perintahkanlah ia agar merujuknya kembali. Apabila istrinya telah suci dari haidnya, silakan ia menceraikannya. ' Aku merujuknya, lalu menceraikannya setelah ia suci dari haidnya." Anas bin Sirin bertanya, " Apakah Anda menganggap sah perceraian dengan istrimu ketika ia sedang haid?" la mehjawab, "Mengapa aku tidak menganggapnya sah walaupun aku telah tua dan pikun."
7. ' Amir berkata: Ibn 'Umar menceraikan istrinya yang sedang haid dengan talak satu. Kemudian 'Umar pergi menemui Rasulullah saw dan memberitahukan hal itu. Beliau memerintahkan kepada 'Umar, "Jika perempuan itu telah suci dari haidnya, hendaklah Ibn 'Umar merujuknya. Kemudian ia mengulangi talaknya ketika istrinya sedang dalam masa iddah. Engkau boleh memandang sah talaknya yang pertama."
8. Nafi' meriwayatkan hadis dari Ibn 'Umar ra bahwa ia menceraikan istrinya yang sedang haid. Kemudian ‘Umar ra menemui Rasulullah saw dan memberitahukan hal itu. Nabi saw memandang talak itu sebagai talak satu.
9. Sa'id bin Jubair meriwayatkan hadis dari Ibn ‘Umar ra : "Dipandang sah talak yang kulakukan itu."
Ketiga, riwayat-riwayat yang tidak menjelaskan apakah talak itu sah atau tidak.
I. Ibn Thawus dari bapaknya: la mendengar Ibn ‘Umar pemah ditanya tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya yang sedang haid. la menjawab, "Tahukah engkau ‘Abdullah bin ‘Umar?" la menjawab, "Ya." Kemudian Thawus berkata, "la pernah menceraikan istrinya yang sedang haid. Kemudian ‘Umar ra pergi menemui Nabi saw dan memberitahukan hal itu. Beliau memerintahkan agar Ibn ‘Umar kembali kepada istrinya." Thawus berkata, "Saya mendengar tidak lebih dari itu."
2. Manshur bin Abi wa'il: Ibn ‘Umar menceraikan istrinya yang sedang haid. Kemudian Nabi saw memerintahkan kepadanya agar merujuknya kembali hingga ia suci dari haidnya. Apabila istrinya telah suci, ia boleh menceraikannya.
3. Maimun bin Mihran dari Ibn ‘Umar bahwa ia menceraikan istrinya yang sedang haid. Maimun bin Mihran berkata, "Kemudian Rasulullah saw memerintahkannya agar ia kembali kepada istrinya hingga ia suci dari haidnya. Apabila istrinya telah suci, ia boleh menceraikannya atau menahannya jika mau sebelum mencampurinya."
Terdapat satu riwayat lagi yang memiliki pengertian khusus yang berbeda dengan riwayat-riwayat lainnya, yaitu riwayat dari Nafi: ‘Abdullah bin ‘Umar menceraikan istrinya yang sedang haid pada zaman Rasulullah saw. Kemudian ‘Umar bin Al-Khaththab menanyakan hal itu kepada Nabi saw. Beliau saw menjawab, "Hendaklah ia kembali kepada istnnya. Hendaklah ia menahannya hingga istrinya suci dari haidnya, kemudian mengalami haid, kemudian suci lagi. Jika mau, ia boleh menahannya setelah itu atau menceraikannya sebelum digauli. Itulah iddah yang diperintahkan Allah agar perempuan diceraikan pada waktu itu.
Setelah menyebutkan riwayat-riwayat di atas, kami akan bahas kelompok riwayat yang lebih kuat ( rajih) setelah mengetahui sanggahan-sanggahan yang ditujukan pada masing-masing riwayat dan jawabannya.
Menyelesaikan Kontradiksi
Tidak diragukan, riwayat-riwayat itu berkisar tentang satu kisah tetapi dalam bentuk yang berlainan. Maka hujahnya berkisar antara bentuk-bentuk tersebut. Yang lebih kuat adalah yang pertama karena sesuai dengan Al-Qur'an. Itulah hujah yang qath'i. Sedangkan yang bertentangan dengan Al-Qur’an tidak dapat dijadikan hujah. Maka yang dapat diamalkan adalah yang pertama.
Bentuk ketiga dapat dirujukkan pada bentuk pertama karena tidak menyebutkan masa 'iddah dan sah. Benar, di situ disebutkan rujuk yang kadang-kadang dipahami sebagai rujuk setelah talak yang menunjukkan bahwa talak itu sah. Padahal, talak itu tidak berarti apa-apa.
Yang dimaksud dengan rujuk di situ adalah dalam pengertian bahasa, bukan rujuk kepada perempuan yang telah ditalak raj’i. Hal itu ditegaskan Al-Qur'an yang menggunakan kata radd dan imsak. Allah swt berfirman, "Dan suami-suaminya berhak merujukinya (bi raddihinna) " (QS. Al-Baqarah [2]: 228)
Talak itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi (fa imsak) dengan cara yang ma'ruf (QS. Al-Baqarah [2]: 229)
Maka rujukilah mereka (faamsikuhunna) dengan cara yang ma'ruf (QS. Al-Baqarah [2]: 231)
Dan janganlah kamu merujuki mereka (la tamsikuhunna ) untuk memberi kemudharatan (QS. Al-Baqarah [2]: 231)
Benar, penggunaan kata raj'ah (rujuk) dalam talak tiga adalah jika ia menikah lagi dengan laki-laki lain lalu bercerai. Allah swt berfirman, "Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu mencerai- kannya maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali.(QS. Al-Baqarah [2]: 230)
Kini, akan dibahas nas-nas yang menunjukkan bahwa talak itu dipandang sah, dari bentuk kedua. Untuk itu, perhatikan catatan-catatan berikut:
1. Penyimpangannya dari Al-Qur’an dan menunjukkan tidak adanya anggapan bahwa talak itu sah.
2. Sebagian besar riwayat yang menyebutkan bahwa talak itu sah tidak dinisbatkan kepada Nabi saw, melainkan hanya dinisbatkan kepada pendapat Ibn 'Umar. Kalau Nabi saw memerintahkan untuk memandang talak itu sah, tentu Ibn 'Umar besandar pada perintah itu ketika memberikan jawaban kepada penanya. Tidak bersandamya Ibn 'Umar pada ketentuan Nabi saw menunjukkan bahwa hal itu tidak menunjukkan adanya anggapan talak itu dari Nabi saw sendiri. Karenanya, nas-nas ini sejalan dengan nas-nas yang tidak mengemukakan adanya anggapan bahwa talak itu sah. Sebab, semua riwayat itu menunjukkan tidak adanya ketentuan Nabi saw tentang sahnya talak tersebut. Kesimpulannya, sebagian riwayat tersebut meliputi penisbatan anggapan sahnya talak tersebut kepada Ibn 'Umar sendiri. Itu bukanlah hujah untuk menegaskan hukum syar'i. Benar, dua riwayat dari Nafi' dengan dua redaksi yang berbeda menisbatkan adanya anggapan sahnya talak tersebut dalam sAlah satu redaksinya kepada Nabi saw sendiri (riwayat keenam pada bagian kedua). Padahal, yang kedua diriwayatkan dengan redaksi yang lain yang berisi penisbatan kepada Ibn 'Umar dengan tidak adanya anggapan sahnya talak tersebut (riwayat ketiga dalam bagian pertama) .
Adapun riwayat dari Anas diriwayatkan dengan dua redaksi yang menunjukkan bahwa adanya anggapan sahnya talak tersebut merupakan pernyataan Ibn 'Umar sendiri, bukan sabda Rasulullah saw (riwayat kempat dan keenam dalam bagian kedua). Dengan redaksi, riwayat itu menisbatkan adanya anggapan sahnya talak tersebut kepada Nabi saw (riwayat kelima dalam bagian kedua) .Karena adanya kerancuan ini. riwayat tersebut tidak dapat menegaskan penisbatan adanya anggapan sahnya talak tersebut kepada Nabi saw.
3. Asumsi tentang sahnya talak tersebut tidak sejalan dengan perintah Rasulullah saw yang menyuruh merujuknya dan menceraikannya pada masa suci. Sebab, mereka yang berpendapat sahnya talak tersebut yang dilakukan dalam masa haid tidak membenarkan dilakukannya talak kedua dalam masa suci sesudahnya. Melainkan mereka mensyaratkan diselinginya kedua masa suci itu dengan saat haid dan dilakukan talak pada masa suci kedua. Karenanya, perintah Nabi saw untuk merujuk dan menceraikannya pada masa suci kedua menafikan adanya anggapan sahnya talak tersebut (yang pertama) adalah benar.
4. Yang masyhur di dalam buku-buku sejarah adalah 'Umar mencela putranya sebagai tidak mampu melakukan talak. Tampaknya hal itu menunjukkan bahwa apa yang dilakukannya bukanlah talak syar'i.
Setelah memperhatikan semua uraian di atas, jelaslah bahwa tidak benar menisbatkan anggapan sahnya talak tersebut kepada Nabi saw. Yang tampak adalah bahwa nas itu-dengan asurnsi bahwa nas itu ada-tidak mengandung pengertian adanya anggapan sahnya talak tersebut dari Nabi saw. Melainkan hal itu merupakan tambahan-tambahan dan dugaan-dugaan disebabkan kepuasan Ibn Umar atau sebagian perawi hadis itu. Oleh karena itu, redaksi hadis itu menjadi rancu.
Adapun riwayat dari Nafi' di atas, perhatikanlah. Riwayat itu tidak menunjukkan sahnya talak yang pertama kecuali karena munculnya kata "rujuk" dalam sahnya talak .Anda telah menge- tahui hal itu. Adapun perintah Nabi saw agar talak itu dilakukan pada masa suci kedua setelah diselingi satu kali haid, dalam sabdanya, "Hendaklah ia kembali kepada istrinya. Hendaklah ia menahannya hingga ia suci dari haid kemudian haid lagi dan kemudian suci lagi. Jika kamu mau, tahanlah ia atau ceraikanlah ia sebelum dicampuri. Itu adalah iddah yang diperintahkan agar perempuan diceraikan pada masa tersebut." Barangkali beliau memerintahkannya setelah berlalu satu kali suci dan satu ha:id. Untuk menghukum laki-laki (suami) yang tergesa-gesa melakukan talak dan menempatkannya tidak pada tempatnya maka ia dipaksa untuk bersabar menunggu satu kali suci dan satu kali haid. Apabila ia menghadapi masa suci kedua, hendaklah ia menceraikan atau menahannya.
Setelah memahami semua itu, kita dapat mentarjih hukum tentang batalnya talak dalam masa haid kaena kerancuan penukilan hadis-hadis dari Ibn 'Umar, terutama setelah memperhatikan ayat Al-Qur'an yang menunjukkan keharusan dilakukannya talak, itu dalam masa iddah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...