Oleh: Ummu Reza
Menjelang akhir Ramadhan ini saya merasa tertarik menuliskan satu fenomena klasik yang terjadi di masyarakat yang selalu berulang tiap tahunnya. Pemberian sesuatu sebagai ucapan terimakasih atau yang lebih dikenal dengan hadiah, khususnya hadiah yang diberikan kepada pegawai umum (karyawan). Seandainya pemberian itu bertujuan untuk menumbuhkan rasa cinta, kenapa harus ditunda dulu untuk diberikan menjelang Iedul Fitri, kenapa tidak diberikan saat pekerjaan atau masalah itu selesai. Adapula yang memberikan sesuatu karena lolosnya dia menjadi pemenang tender suatu pekerjaan, sedang pekerjaannya itu sendiri belum dimulai, tapi karena terbentur waktu mendekati iedul fitri, pemberian hadiah dalam bentuk barang ataupun uang pun dilaksanakan juga. Tulisan ini hanya sekedar mengingatkan kembali agar kita lebih selektif dalam menerima sesuatu dan tidak terjerumus ke dalam urusan yang diharamkan Allah, terjebak kepada suap atau harta haram.
Hadiah memang selalu memberi kesan perdamaian, rasa cinta dan penghargaan dari si pemberi kepada yang diberi. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan agar memberi dan menerima hadiah. Beliau menjelaskan pengaruh hadiah di dalam meraih kecintaan dan kasih sayang di antara sesama manusia.
"Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai." (HR. al-Bukhari, al-Adab al-Mufrid)
Sebagian ulama mendefinisikan hadiah adalah pemberian yang diberikan tanpa permintaan bantuan yang menjadi kompensasi pada sesuatu. Sedangkan suap adalah sesuatu yang diberikan dengan adanya permintaan bantuan yang menjadi kompensasi pada suatu urusan tertentu. Sebagian ulama lain menganggap hadiah sebagai suatu kebaikan yang serupa maknanya dengan hibah dan shadaqah suka rela.
Imam An-Nawawi rahimahulloh berkata "Hibah, hadiah atau shadaqah suka rela adalah kata-kata yang saling berdekatan yang semuanya menunjukkan makna yaitu menjadikan orang lain memiliki sesuatu tanpa adanya ganti harga (kompensasi). Jika anda bertujuan hanya mendekatkan diri kepada Alloh subhanahu wata'ala dengan memberikan sesuatu kepada seseorang yang membutuhkan, maka namanya adalah shadaqah. Jika anda memberikan sesuatu kepada seseorang karena ingin memberikan penghormatan kepadanya dan menumbuhkan kecintaan, maka namanya adalah hadiah. Dan jika tidak demikian, maka namanya adalah hibah".
Berdasarkan bahasan pengertian-pengertian hadiah di atas, dapat disimpulkan bahwa hadiah yang disyari'atkan adalah memberikan suatu benda kepada seseorang untuk menumbuhkan kasih sayang dan memperoleh pahala, tanpa adanya permintaan kompensasi atau syarat tertentu.
Para ulama berselisih tentang seseorang yang diberi suatu harta, apakah ia wajib menerima atau disunnahkan? yang shahih dan masyhur yang sesuai dengan pendapat jumhur (mayoritas ulama), bahwa menerima hadiah dan pemberian, hukumnya adalah mustahab (sunnah). Tetapi jika harta lebih dominan yang haram maka hadiahnya adalah haram dan tidak boleh diterima. Jika harta yang haram tidak dominan padanya dan jika penerima hadiah itu tidak memiliki halangan untuk menngambilnya maka hukum menerimanya adalah mubah.
Hadiah juga disebutkan di dalam Al-Qur'an pada kisah Nabi Sulaiman 'alaihissalam dan Bilqis pada firman Alloh:
"Dan Sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu. Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata: "Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? Maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu". (QS. An-Naml: 35-36)
Ibnu Abbas radhyallahu anhu berkata "Bilqis mengirimkan kepadanya sebongkah bata dari emas"
Mujahid berkata: "Dia mengirimkan kepadanya dua ratus budak laki-laki dan dua ratus budak perempuan"
Hukum syar'i yang kita ambil dari ayat ini, maksud dari hadiah itu adalah untuk berpura-pura dan melunakkan hati Sulaiman 'alaihissalam, agar dia dapat mengalihkan dakwah Sulaiman "alaihissalam kepada dirinya dan kaumnya untuk meninggalkan bersujud kepada matahari dan hanya beribadah kepada Allah subhanahu wata'ala semata. Karena hadiah itu biasanya menyebabkan lunaknya hati penerimanya.
Tetapi jiwa-jiwa pemilik keimanan yang kuat seperti nabi Sulaiman 'alaihissalam tidak dapat ditundukkan oleh harta, tashannu' (berpura-pura) dan tidak pula oleh hadiah-hadiah yang tidak diberikan dengan ikhlas karena Allah subhanahu wata'ala. Hadiah tidak dapat mengubah sedikitpun prinsip-pripsip dasar dan akhlak-akhlak mereka, karena prinsip-prinsip itu jauh lebih utama di sisi Allah daripada harta-harta dunia dan perkakas-perkakasnya yang akan rusak. Sebab agama lebih kuat daripada dunia. Dan hadiah pada kondisi ini semacam ini tak lain kecuali suap belaka.
Hadiah untuk memanfaatkan kedudukan dan mengambil kesempatan dari kekuasaan untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya atau untuk membahayakan orang lain, inilah yang dinamakan suap. Setiap hadiah yang disebabkan oleh jabatan, yang mana jika seorang pejabat tidak menduduki jabatan itu maka dia tidak akan diberikan hadiah tersebut maka itu adalah suap. Sehingga tidak boleh diterima, walaupun hadiah itu berupa undangan jamuan makan.
Diriwayatkan dari Abu Hummaid As-sa'idi bahwa dia berkata "Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam mengangkat seorang sebagai 'amil untuik mengambil zakat Bani Sulaim, yang bernama Ibnu Al-Lutbiyyah. Ketika dia datang rasulullah mengeceknya. Ibnu Al-Lutbiyyah berkata: "Ini harta kalian dan ini hadiah untukun". Maka Rasulullah bersabda "Mengapa kamu tidak duduk di rumah bapakmu atau rumah ibumu, sampai hadiahmu itu datang kepadamu, jika kamu memang jujur"
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam berkhutbah di hadapan kami. Dia memuji Alloh subahnahu wata'ala dan bersyukur kepadaNya, lalu bersabda: 'Amma ba'du. Sesungguhnya aku telah mengangkat laki-laki diantara kalian untuk melaksanakan suatu tugas yang telah diberikan Allah kepadaku. Kemudian laki-laki itu datang kepadaku dan berkata: "Ini hartamu dan ini hadiah yang diberikan kepadaku. Mengapa dia tidak duduk di rumah bapak atau ibunya, sampai hadiahnya itu datang kepadanya.
Demi Allah! Tidaklah seseorang diantara kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, kecuali dia akan menghadap kepada Allah dengan membawanya pada hari kiamat nanti. Sungguh, aku pasti akan mengetahui seseorang diantara kalian menghadap Allah dengan membawa unta yang menderum (bersuara) atau sapi yang menguak (bersuara) atau kambing yang mengembik.
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam mengangkat tangannya sampai terlihat putih ketiaknya sambil berkata: "Ya Allah, apakah aku telah menyampaikan? Mataku menyaksikan dan telingaku mendengarkan" (Shahih Al-Bukhari bi Syarhi Fathul Bari, XII/348 Hadits no. 6979, Umdatul Qari XIII/155; dan Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam Al-Lu'lu' wal Marjan, II/244, Hadits no.1202)
Hadits ini juga sebagai dalil bahwa seorang 'amil (pegawai), jika ia diberi suatu hadiah maka seharusnya dia tidak menerimanya. Jika dia menerimanya, hadiah itu tidak dikhususkan untuk dirinya sendiri, tetapi hadiah itu diberikan kepada baitul mal.
Semoga Allah subhanahu wata'ala menjadikan amal kita ini sebagai usaha yang ikhlas untuk mendapatkan Wajah-Nya yang mulia.
Wallohu ta'ala a'lam
Sumber: Sebuah Tinjauan Hukum Menurut Syariat Islam, Kapan Hadiah Sama Dengan Suap, Syaikh Muhammad Abdullah ath-Thawil
Menjelang akhir Ramadhan ini saya merasa tertarik menuliskan satu fenomena klasik yang terjadi di masyarakat yang selalu berulang tiap tahunnya. Pemberian sesuatu sebagai ucapan terimakasih atau yang lebih dikenal dengan hadiah, khususnya hadiah yang diberikan kepada pegawai umum (karyawan). Seandainya pemberian itu bertujuan untuk menumbuhkan rasa cinta, kenapa harus ditunda dulu untuk diberikan menjelang Iedul Fitri, kenapa tidak diberikan saat pekerjaan atau masalah itu selesai. Adapula yang memberikan sesuatu karena lolosnya dia menjadi pemenang tender suatu pekerjaan, sedang pekerjaannya itu sendiri belum dimulai, tapi karena terbentur waktu mendekati iedul fitri, pemberian hadiah dalam bentuk barang ataupun uang pun dilaksanakan juga. Tulisan ini hanya sekedar mengingatkan kembali agar kita lebih selektif dalam menerima sesuatu dan tidak terjerumus ke dalam urusan yang diharamkan Allah, terjebak kepada suap atau harta haram.
Hadiah memang selalu memberi kesan perdamaian, rasa cinta dan penghargaan dari si pemberi kepada yang diberi. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan agar memberi dan menerima hadiah. Beliau menjelaskan pengaruh hadiah di dalam meraih kecintaan dan kasih sayang di antara sesama manusia.
"Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai." (HR. al-Bukhari, al-Adab al-Mufrid)
Sebagian ulama mendefinisikan hadiah adalah pemberian yang diberikan tanpa permintaan bantuan yang menjadi kompensasi pada sesuatu. Sedangkan suap adalah sesuatu yang diberikan dengan adanya permintaan bantuan yang menjadi kompensasi pada suatu urusan tertentu. Sebagian ulama lain menganggap hadiah sebagai suatu kebaikan yang serupa maknanya dengan hibah dan shadaqah suka rela.
Imam An-Nawawi rahimahulloh berkata "Hibah, hadiah atau shadaqah suka rela adalah kata-kata yang saling berdekatan yang semuanya menunjukkan makna yaitu menjadikan orang lain memiliki sesuatu tanpa adanya ganti harga (kompensasi). Jika anda bertujuan hanya mendekatkan diri kepada Alloh subhanahu wata'ala dengan memberikan sesuatu kepada seseorang yang membutuhkan, maka namanya adalah shadaqah. Jika anda memberikan sesuatu kepada seseorang karena ingin memberikan penghormatan kepadanya dan menumbuhkan kecintaan, maka namanya adalah hadiah. Dan jika tidak demikian, maka namanya adalah hibah".
Berdasarkan bahasan pengertian-pengertian hadiah di atas, dapat disimpulkan bahwa hadiah yang disyari'atkan adalah memberikan suatu benda kepada seseorang untuk menumbuhkan kasih sayang dan memperoleh pahala, tanpa adanya permintaan kompensasi atau syarat tertentu.
Para ulama berselisih tentang seseorang yang diberi suatu harta, apakah ia wajib menerima atau disunnahkan? yang shahih dan masyhur yang sesuai dengan pendapat jumhur (mayoritas ulama), bahwa menerima hadiah dan pemberian, hukumnya adalah mustahab (sunnah). Tetapi jika harta lebih dominan yang haram maka hadiahnya adalah haram dan tidak boleh diterima. Jika harta yang haram tidak dominan padanya dan jika penerima hadiah itu tidak memiliki halangan untuk menngambilnya maka hukum menerimanya adalah mubah.
Hadiah juga disebutkan di dalam Al-Qur'an pada kisah Nabi Sulaiman 'alaihissalam dan Bilqis pada firman Alloh:
"Dan Sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu. Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata: "Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? Maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu". (QS. An-Naml: 35-36)
Ibnu Abbas radhyallahu anhu berkata "Bilqis mengirimkan kepadanya sebongkah bata dari emas"
Mujahid berkata: "Dia mengirimkan kepadanya dua ratus budak laki-laki dan dua ratus budak perempuan"
Hukum syar'i yang kita ambil dari ayat ini, maksud dari hadiah itu adalah untuk berpura-pura dan melunakkan hati Sulaiman 'alaihissalam, agar dia dapat mengalihkan dakwah Sulaiman "alaihissalam kepada dirinya dan kaumnya untuk meninggalkan bersujud kepada matahari dan hanya beribadah kepada Allah subhanahu wata'ala semata. Karena hadiah itu biasanya menyebabkan lunaknya hati penerimanya.
Tetapi jiwa-jiwa pemilik keimanan yang kuat seperti nabi Sulaiman 'alaihissalam tidak dapat ditundukkan oleh harta, tashannu' (berpura-pura) dan tidak pula oleh hadiah-hadiah yang tidak diberikan dengan ikhlas karena Allah subhanahu wata'ala. Hadiah tidak dapat mengubah sedikitpun prinsip-pripsip dasar dan akhlak-akhlak mereka, karena prinsip-prinsip itu jauh lebih utama di sisi Allah daripada harta-harta dunia dan perkakas-perkakasnya yang akan rusak. Sebab agama lebih kuat daripada dunia. Dan hadiah pada kondisi ini semacam ini tak lain kecuali suap belaka.
Hadiah untuk memanfaatkan kedudukan dan mengambil kesempatan dari kekuasaan untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya atau untuk membahayakan orang lain, inilah yang dinamakan suap. Setiap hadiah yang disebabkan oleh jabatan, yang mana jika seorang pejabat tidak menduduki jabatan itu maka dia tidak akan diberikan hadiah tersebut maka itu adalah suap. Sehingga tidak boleh diterima, walaupun hadiah itu berupa undangan jamuan makan.
Diriwayatkan dari Abu Hummaid As-sa'idi bahwa dia berkata "Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam mengangkat seorang sebagai 'amil untuik mengambil zakat Bani Sulaim, yang bernama Ibnu Al-Lutbiyyah. Ketika dia datang rasulullah mengeceknya. Ibnu Al-Lutbiyyah berkata: "Ini harta kalian dan ini hadiah untukun". Maka Rasulullah bersabda "Mengapa kamu tidak duduk di rumah bapakmu atau rumah ibumu, sampai hadiahmu itu datang kepadamu, jika kamu memang jujur"
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam berkhutbah di hadapan kami. Dia memuji Alloh subahnahu wata'ala dan bersyukur kepadaNya, lalu bersabda: 'Amma ba'du. Sesungguhnya aku telah mengangkat laki-laki diantara kalian untuk melaksanakan suatu tugas yang telah diberikan Allah kepadaku. Kemudian laki-laki itu datang kepadaku dan berkata: "Ini hartamu dan ini hadiah yang diberikan kepadaku. Mengapa dia tidak duduk di rumah bapak atau ibunya, sampai hadiahnya itu datang kepadanya.
Demi Allah! Tidaklah seseorang diantara kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, kecuali dia akan menghadap kepada Allah dengan membawanya pada hari kiamat nanti. Sungguh, aku pasti akan mengetahui seseorang diantara kalian menghadap Allah dengan membawa unta yang menderum (bersuara) atau sapi yang menguak (bersuara) atau kambing yang mengembik.
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam mengangkat tangannya sampai terlihat putih ketiaknya sambil berkata: "Ya Allah, apakah aku telah menyampaikan? Mataku menyaksikan dan telingaku mendengarkan" (Shahih Al-Bukhari bi Syarhi Fathul Bari, XII/348 Hadits no. 6979, Umdatul Qari XIII/155; dan Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam Al-Lu'lu' wal Marjan, II/244, Hadits no.1202)
Hadits ini juga sebagai dalil bahwa seorang 'amil (pegawai), jika ia diberi suatu hadiah maka seharusnya dia tidak menerimanya. Jika dia menerimanya, hadiah itu tidak dikhususkan untuk dirinya sendiri, tetapi hadiah itu diberikan kepada baitul mal.
Semoga Allah subhanahu wata'ala menjadikan amal kita ini sebagai usaha yang ikhlas untuk mendapatkan Wajah-Nya yang mulia.
Wallohu ta'ala a'lam
Sumber: Sebuah Tinjauan Hukum Menurut Syariat Islam, Kapan Hadiah Sama Dengan Suap, Syaikh Muhammad Abdullah ath-Thawil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...