Bisnis yang
Boleh dan yang Terlarang
Dalam qaidah
fiqih terdapat suatu rumusan ”Al ashlu fi al asyya’ al ibahah hatta yadulla ad
dalilu ala at tahriimi” yaitu dalam hal muamalah hukum asal sesuatu adalah
dibolehkan hingga ada dalil yang mengaharamkan. Untuk itu kaum muslimin cukup
bertanya tentang apa yang dilarang. Kalau tidak ada larangan maka berarti hal
tersebut dibolehkan. Akan tetapi untuk mengetahui sesuatu itu dilarang atau
tidak dibolehkan maka kita harus berusaha untuk mengetahui atau mempelajari
apakah ada larangan dalam syariat Islam.
Jangan di salah
artikan, ”belum tahu hukum” tidak sama dengan ”tidak ada larangan”. dalam
qaidah fiqih dinyatakan ”al yaqiinu la yuzaalu bisysyaki” ambil yang yakin
tinggalkan yang ragu. Kalau setelah di selidiki hukum sesuatu ternyata memang
tidak dilarang oleh Al Quran atau Hadis Nabi maka baru kita boleh mengatakan
hukumnya mubah (boleh).
Potensi Konflik
Ada beberapa
peluang terjadinya konflik dalam bisnis syariah; pertama belum terwujudnya
sistem pengawasan ekonomi syariah yang betul-betul berdasarkan syariah.
Contohnya pengawasan perbankan syariah dilakukan oleh Gubernur Bank Indonesia
yang notabenenya adalah menganut sitem konvensional.
Kedua ; belum
ditemukannnya sistem mudharabah yang betul-betul berdasarkan syariah. Sistim
bagi hasil yang kerap dilakukan adalah pembagian hasil dari produk mudharabah
suatu lembaga keuangan syariah diawal kerjasama, padahal seharusnya dibagi
diakhir kerjasama atau apabila telah ada keuntungan. Dan juga kerugian
kerjasama mudharabah hanya ditanggung oleh nasabah, karena keuntungan telah
dipatok oleh pihak bank dan telah dibayar diawal. Sehingga pihak bank tetap
mendapat keuntungan walaupun pihak nasabah rugi.
Peraturan
Perundang-undangan dan Asas-asas
Peraturan
Perundang-undangan pada prinsipnya adalah untuk untuk melindungi semua pihak
atau untuk melindungi kepentingan umum. Dalam hal pereknomian syariah yang yang
perlu dilindungi adalah tersedianya pelayan ekonomi yang berbasis syariah. Karena
Indonesia mayoritas muslim dan mereka butuh tersedia pelayanan ekonomi yang
sesuai syariah.
Di samping itu
juga perlu dilindungi kepentingan masyarakat umum, dan kepentingan negara yang
mengurusi seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai latar belakang suku, adat,
ras dan agama. Tidak di benarkan membentuk peraturan yang ditujukan untuk
menindas dan menyakiti pihak lain. Namun yang perlu diperhatikan adalah segala
peraturan dan perundang-undangan yang dibuat harus ditempuh dengan cara-cara
elengan dan demokratis.
Di Indonesia
sudah ada beberapa undang-undang, peraturan dan lain sebagainya yang mengatur
tentang ekonomi syariah, baik yang yang pengatur perbankan syariah, asuransi
syariah, dan lain sebagainya, namun perlu disempurnakan terus menerus. Peraturan
perundang-undangan itu harus dapat menegakkan asas-asas perbankan syariah, yang
tentunya berbeda dengan perbankan konvensional.
Rambu-rambu
Kesehatan Bank
Pada masa-masa
dekade terakhir rezim Orde Baru, bank-bank di Indonesia sering mendapat pujian
dari luar negeri dan bahkan ketika itu Indonesia diberi julukan Macan Asia
karena angka pertumbuhan ekonomi Indonesia paling tinggi di kawasan Asia
Tenggara. Pada hal angka pertumbuhan yang menjadi patoksan waktu itu hanya
sektor moneter. Setelah itu apa yang terjadi ? tahun 1997-1998 Indonesia
mengalami krisis moneter yang mengakibatkan segala pujian asing tersebut tidak
dapat diterima.
Oleh sebab itu
perlu adanya kejujuran untuk memberikan penilaian terhadap sebuah bank apakah
sehat atau tidak sehat. Tidak cukup menilainya dari aspek moneter saja, akan
tetapi aspek pembiayaan, pelayanan dengan prinsip Know Your Costumers (Kyc),
dll.
Aspek Hukum
Pasar Modal Syariah
Salah satu
kelemahan Pasar modal konvensional adalah menyalahgunakan uang dari alat bayar menjadi
barang dagangan. Uang dibuat tujuan aslinya adalah sebagai alat tukar bukan
sebagai barang dagangan. Pasar modal dibuat juga demikian tujuannya adalah
untuk menghimpun modal dari investor guna disalurkan untuk progrtam pembiayaan.
Namun sekarang pasar modal telah berubah menjadi perdagangan uang.
Disinilah
perlunya kehadiran pasar modal syariah yang dapat menjamin aspek kenyamanan
kustumer terutama dibidangan agama. Ada beberapa transaksi yang dilarang dalam
Islam yaitu :
1. Pelaksanaan
transaksi harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak
diperbolehkan melakukan spekulasi dan manipulasi yang didalamnya mengandung
unsur dharar, gahar, riba, maisyir, riswah, maksiat dan kezaliman.
2. Transaksi
yang mengandung dharar, gharar, riba, maisyir, riswah, maksiat, dan kezaliman
meliputi :
a. Najsy yaitu
melakukan penawaran palsu.
b. Ba’i
al-ma’dum yaitu melakukan penjualan atas barang (Efek yang belum dimiliki
(short selling)
c. Insider
trading yaitu memakai informasi orang dalam untuk memperoleh keuntungan atas
transaksi yang dilarang.
d. Menimbulkan
informasi yang menyesatkan.
e. Margin
Trading, yaitu melakukan transaksi atas Efek dengan Fasilitas pinjaman berbunga
atas kewajiban penyelesaian pembelian efek Efek tersebut.
f. Ihtikar
(penimbunan) yaitu melakukan pembelian atau pengumpulan suatu Efek untuk
menyebabkan perubahan harga Efek dengan tujuan mempengaruhi pihak lain.
g. dan
transaksi-transaksi lain yang mengandung unsur di atas.
Aspek hukum
Pegadaian Syariah
Secara etimologi
dalam bahasa Arab, kata ar-rahn, berarti “tetap” dan “lestari”. Kata ar-rahn
juga berarti Al-Habsu artinya “penahanan” seperti dikatakan Ni’matun Rahinah,
artinya “karunia yang tetap dan lestari”, sebagaimana firman Allah : “Tiap-tiap
pribadi terikat/tertahan (rahinah) atas apa yang telah diperbuat”. (QS.
Al-Mudatsir (74) : 38).
Sedangkan secara
terminologi Rahn didefinisikan oleh beberapa ulama fiqh sebagai berikut :
Ulama Malikiyah
berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan rahn adalah : “harta yang dijadikan
pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat”. Ulama Hanafiyah
merumuskan rahn sebagai : “menjadikan sesuatu (barang) jaminan terhadap hak
(piutang) yang mungkin sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya
maupun sebagainya”. Sementara itu, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah memberikan
definisi rahn : “menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat
dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar
utangnya itu. [12]
Majelis Ulama
Indonesia telah mengeluarkan fatwa ”Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang
sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai
berikut :
1. Mutahin (
penerima barang ) mempunyai hak untuk menahan Marhun ( barang ) sampai semua
utang Rahin ( yang menyerahkan barang ) dilunasi.
2. Marhun dan
manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak boleh
dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai
marhun dan pemanfaatanya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya
3. Pemeliharaan
dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin namum dapat juga
oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaaan penyimpanan tetap menjadi
kewajiban Rahin.
4. Besar biaya
pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah
pinjaman.
5. Penjualan
Marhun
• apabila jatuh
tempo, Murtahin harus memperingati Rahin untuk segera melunasi hutangnya.
• Apa bila Rahin
tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual paksa/dieksekusi melalui
lelang sesuai syariah.
• Hasil
penjualan Marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan
penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
• Kelebihan
hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.
jika salah satu
pihak tidak menunaikan kewajiban atau jika terjadi perselisihan diantara dua
belah pihak, maka penyelesaian dilakukan melalui badan Arbitrase syariah
setelah tidak terjadi kesepakatan melalui musyawarah.[13]
Aspek hukum BMT
BMT adalah
sebuah organisasi informal dalam bentuk Kelompok Simpan Pinjam (KSP) atau
Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Secara prinsip BMT memiliki sistem operasi
BPR syariah. Namun ruang lingkup dan produk yang dihasilkan berbeda.[14]
Penggunaan badan
hukum KSM dan koperasi untuk BMT itu disebabkan karena BMT tidak termasuk
kepada lembaga keuangan formal yang dijelaskan UU Nomor 7 Tahun 1992 dan UU
Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan, yang dapat dioperasikan untuk menghimpun
dan menyalurkan dana masyarakat. Menurut undang –undang , pihak yang menghimpun
dan menyalurkan dana masyarakat adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat,
baik dioperasikan dengan cara konvensional maupun dengan cara bagi hasil. Namun
demikian, kalau BMT dengan badan hukum KSM atau koperasi itu telah berkembang
dan telah memenuhi syarat-syarat BPR, maka pihak manajemen dapat mengusulkan
diri kepada pemerintah agar BMT itu dijadikan sebagai BPRS dengan badan hukum
koperasi atau perseroan terbatas.[15]
Peran umum BMT
yang dilakukan adalah melakukan pembinaan dan pendanaan yang berdasrkan sistem
syariah. Peran ini menegaskan arti penting prinsip-prinsip syariah dalam
kehidupan ekonomi masyarakat. SEbagai lembaga keuangan syariah yang bersentuhan
langsung dengan kehidupan masyarakat kecil yang seba cukup (ilmu pengetahuan ataupun
materi), maka BMT mempunyai tugas penting dalam segala aspek kehidupan
masyarakat.[16]
Pengertian Asas
Hukum Bisnis Islam
Perkataan asas berasal dari bahasa
arab asasun, yang artinya dasar, basis, pondasi. Kalau dihubungkan dengan sistem
berfikir, yang dimaksud dengan asas adalah landasar berfikir yang sangat
mendasar. Oleh karena itu, Di dalam bahasa Indonesia, asas mem[unyai arti (1)
dasar, alas, pondamen (Poerwadarminta, 1976:60).(2) Kebenaran yang menjadi
tumpuan berfikir atau pendapat.(3) cita-cita yang menjadi dasar organisasi atau
Negara[1].
Jika asas dihubungkan dengan hokum,
yang dimaksud dengan asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan
berfikir dan alas an pendapat, terutama, dalam penegakan dan pelaksanaan
hokum.[2]
Sedangkan Bisnis memiliki pengetian
kerjasama dalam melakukan pekerjaan tertentu, yang terjadi antara pihak pertama
dan pihak kedua dalam arti dua orang yang bersekutu.Dari pernyataan diatas
dapat kita simpulkan bahwa pengertian asas hokum bisnis islam adalah tata cara
atau dasar-dasar yang mengatur tentang kerjasama dalam prinsip syariat islam.
Akad atau
kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau simpulan baik ikatan
Nampak (hissy) maupun tidak Nampak (Ma’nawy)[3].Sedangkan akad menurut istilah
adalah suatu kesepakatan atau komitment bersama baik lisan, Isyarat, maupun
tulisan antara dua pihak atau lebih yang memiliki implikasi hokum nyang
mengikat untuk melaksanakannya.[4]Dalam hokum islam istilah kontrak tidak dibedakan
dengan perjanjian, keduanya identik dan disebut akad. Sehingga dalam hal ini
akad didefinisikan sebagai pertemuan ijab yang dinyatakan oleh salah satu pihak
dengan Kabul dari pihak lain secara sah menurut syarak yang tampak akibat
hukumnya pada obyeknya.[5]
Hukum kontrak
merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract of law, sedangkan
dalam bahasa Belanda disebut dengan overeenscomstrecht.[6]Michael D. Bayles
mengartikan contract of law atau hokum kontrak adalah “Might than be taken to
be the law pertaining to enporcement of promise or agreement”.[7]Yaitu sebagai
aturan hokum yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau persetujuan.
Dari definisi
hokum kontrak diatas dapat dikemukakan unsure-unsur yang tercantum dalam hokum
kontrak yaitu :
a. Adanya kaidah hokum
b. Adanya subyek hokum
c. Adanya prestasi
d. Adanya kata sepakat
e. adanya akibat hukum[8]
Adapun yang
dimaksud dengan istilah hokum ontrak syari’ah disini adalah keseluruhan dari
kaidah-kaidah hokum yang mengatur hubungan hokum di bidang mu’amalah khususnya
perilaku dalam menjalankan hubungan ekonomi antara dua pihak atau lebih
bedasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hokum secara tertulis
berdasarkan hokum islam.[9]Kaidah-kaidah hokum yang berhubungan langsung dengan
konsep hokum kontrak syari’ah di sini, adlaah yang bersumber dari Al-Quran dan
Al-Hadist maupun hasil interpretasi terhadap keduanya, serta kaidah-kaidah
fiqih.[10]
Tahap pracontractual dalam hokum kontrak
syari’ah adalah perbuatan sebelum terjadi kontrak yaitu tahap bertemunya ijab
dan Kabul, sedangkan tahap postcobtractual adalah pelaksanaan perjanjian
termasuk timbulnya akibat hokum dari kontrak tersebut.
2.Asas-asas
Hokum Bisnis Islam
Dalam hokum
kontrak syari’ah terdapat asas-asas perjanjian yang melandasi penegakan dan
pelaksanaannya. Asas-asas perjanjian tesebut di klasifikasi menjadi asas-asas
perjanjian yang tidak berakibat hokum dan sifatnya umum dan asas-asas
perjanjian yang berakibat hokum dan sifatnya khusus, adapun asas-asas
perjanjian yang tidak berakibat hokum yang bersifat umum adalah:
a.Asas Ilahiah
atau Asas Tauhid
Setiap tingkah
laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari ketentuan Allah SWT. Seperti
yang disebutkan dalam Q.S.al-Hadid ayat 4 yang artinya “DIa bersama kamu dimana
saja kamu berada, Dan Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan”.Kegiatan
muamalah termasuk perbuatan perjanjian, tidak pernah akan lepas dari
nilai-nilai ketauhidan. Dengan demikian manusia memiliki tanggung jawab akan
hal itu. Tanggung jawab kepada masyarakat, Tanggung jawab pada pihak kedua,
tanggung jawab terhadap diri sendiri dan tanggung jawab kepada ALLAH SWT.
Akibat dari penerapan asas ini, manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya
karena segala perbuatannya akan mendapat balasan dari ALLAH SWT.[11]
b.Asas Kebolehan
(Mabda al-Ibahah)
Terdapat kaidah fiqhiyah yang
artinya,”Pada dasarnya segala sesuatu itu dibolehkan sampai terdapat dalil yang
melarang”.[12]Kaidah fiqih tersebut bersumber pada dua hadist berikut ini :
Hadist riwayat al Bazar dan
at-Thabrni yang artinya:
“Apa-apa yang
dihalalkan ALLAH adalah halal, dan apa-apa yang di haramkan ALLAH adalah haram,
dan apa-apa yang didiamkan adalah dimaafkan. Maka terimalahdari ALLAH
pemaaf-Nya. SUngguh ALLAH itu tidak melupakan sesuatu.”[13]
Hadist riwayat
Daruquthni, dihasankan oleh an-Nawawi yang artinya:
“Sesungguhnya
ALLAH telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka janganlah kamu sia-siakan dia
dan ALLAH telah memberikan beberapa batas, maka janganlah kamu langgar dia, dan
ALLAH telah mengharamkan sesuatu makajanganlah kamu pertengkarkan dia, dan
ALLAH telah mendiamkan beberapa hal, maka janganlah kamu perbincangkan dia.[14]
Kedua hadist diatas menunjukkan
bahwa segala sesuatu adalah boleh atau mubah dilakukan. Kebolehan ini dibatasi
sampai ada dasar hokum yang melarangnya. Hal ini berarti bahwa islam member
kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam
transaksi baru sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
c.Asas keadilan
( Al’Adalah )
Dalam Q.S Al-Hadid ayat 25
disebutkan bahwa Allah berfirman yang artinya”Sesungguhnya kami telah mengutus
rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan
bersama mereka al-kitab dan Neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksakan
keadilan”. Dalam asas ini para pihak yang melakukan kontrak dituntut untuk
berlaku benar dalam mengungkapkan kehendak dan keadilan, memenuhi perjanjian
yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya.[15]
d.Asas persamaan
atau Kesetaraan
Hubungan muamalah dilakukan untuk
memenuhi kebutuhana hidup manusia.sering kali terjadi bahwa seseorang memiliki
kelebihan dari yang lainnya.Oleh karena itu sesame manusia masing-masing
memilki kelebihan dan kekurangan.Dalam melakukan kontrak para pihak menentukan
hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas persamaan dan
kesetaraan.[16]
e.Asas Kejujuran
dan Kebenaran (Ash Shidiq)
Jika kejjuran ini tidak diterapkan
dalam kontrak, maka akan merusak legalitas kontrak dan menimbulkan perselisihan
diantara para pihak.[17]Suatu perjanjian dikatakan benar apabila memiliki
manfaatbagi para pihak yang melakukan perjanjian dan bagi masyarakat dan
lingkungannya. Sedangkan perjanjian yang mendatangkan madharat dilarang.
f.Asas Tertulis
(Al Kitabah)
SUatu perjanjian hendaknya
dilakukan secara tertulis agar dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila di
kemudian hari terdapat persengketaan.[18]
g.Asas Iktikad Baik
(Asas Kepercayaan)
Asas ini dapat disimpulkan dari
pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi, “Perjanjian harus dilaksanakan
dengan iktikad baik”.
h.Asas
Kemanfaatan dan Kemaslahatan
Asas ini mengandung pengertian
bahwa semua bentuk perjanjian yang dilakukan harus mendatangkan kemanfaatan dan
kemaslahatan baik para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian maupun bagi
masyarakat sekitar meskipun tidak terdapat ketentuan dalam AL-Quran dan
Al-Hadist.[19]
i.Asas
Keseimbangan Prestasi
Yang dimaksud dengan asas ini
adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan
perjanjian.[20]Dalam hal ini dapat diberikan ilustrasi, kreditur mempunyai
kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan
prestasi melalui harta debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk
melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik.
j.Asas
Kepribadian (personalitas)
Asas kepribadian merupakan asas
yang menentukan bahwa sesorang yang akan
melakukan dan atau membuat
kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan.Hal ini dapat dipahami dari
bunyi pasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi:
“Pada umumnya sesorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain
untuk dirinya sendiri.”Dengan demikian asas kepribadian dalam perjanjian
dikecualikan apabila perjanjian tersebut dilakukan seseorang untuk orang lain
yang memberikan kuasa bertindak hokum untuk dirinya atau orang tersebut
berwenang atas nya.