Cik Hasan Bisri
BAB I
PENDAHULUAN
Tugas pokok
perguruan tinggi adalah menyelenggarakan pendidikan yang meliputi pendidikan
dan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, yang dikenal dengan
nama ‘’Tri Dharma Perguruan Tinggi’’. Dalam salah satu fungsinya yaitu
menyelenggarakan penelitian dalam rangka pengembangan kebudayaan, khususnya
ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan dan seni.
Penelitian
merupakan tugas kedua dari Perguruan Tinggi yakni menyelenggarakan pendidikan
dan pengajaran. Dan kedudukan penelitian sangat penting karena dalam penelitian
tersebut dilakukan berdasarkan langkah-langkah berpikir ilmiah dalam suatu
kegiatan objektif untuk menemukan dan mengembangkan serta menguji ilmu
pengetahuan berdasarkan prinsip dan teori yang disusun secara sistematis.
Dalam melakukan
penelitian mahasiswa harus memiliki keterampilan khusus yang berbeda dengan
kebanyakan keterampilan yang dihasilkan di bangku kuliah. Oleh karena itu
makalah ini bermaksud membantu mahasiswa dalam menyelesaikan kuliah ketika
mengusulkan penelitian maupun menyusun skripsi. Apabila kurang memahami metode
penelitian, akan banyak mengalami kesulitan dalam memulai menyusun usulan
penelitian. Untuk hal tersebut makalah ini mencoba menguraikan berbagai penelitian
hukum dan berbagai petunjuk dan prosedur yang benar dan tepat dalam mengusulkan
penelitian.
BAB II
PEMBAHASAN
Metode
Penelitian Fiqih
A. Pengertian Desain Penelitian Hukum Islam
Desain
penelitian disebut juga rencana penelitian. Rencana merupakan suatu kehendak
atau keputusan yang dilakukan oleh seseorang. Rencana bisa juga berarti sebuah
usulan (proposal) yang rinci untuk melakukan atau mencapai sesuatu. Adapun
penelitian adalah pengamatan secara sistematis dan kajian atas bahan dan sumber
sesuatu untuk membangun fakta dan kesimpulan. Jadi yang dimaksud dengan rencana
penelitian adalah sebuah keputusan untuk mengamati atau mengkaji suatu bahan
atau sumber secara sistematis.
Pendapat
Mohammad Ali Mengenai arti dari hukum islam adalah hukum yang bersumber dari
dan menjadi bagian agama islam. Hukum islam mencakup berbagai dimensi. Dimensi
abstrak, dalam wujud segala perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya, dan
dimensi konkret dalam wujud perilaku mempola yang bersifat ajeg dikalangan
orang islam sebagai upaya konkret lagi dalam wujud perilaku manusia (amaliyah),
baik individual maupun kolektif. Hukum islam juga mencakup substansi yang yang
terinternalisasi kedalam berbagai pranata sosial.
Terdapat dua istilah untuk menunjukkan
dan memahami hukum islam yakni syariat islam dan fiqh islam :[1]
1. hukum islam dalam dimensi syariat islam
merupakan fungsi kelembagaan yang diperintahkan Allah untuk dipatuhi
sepenuhnya. Hukum islam dalam dimensi ini merupakan dimensi illahiyah karena
diyakini sebagai ajaran yang bersumber dari Allah. Dalam hal ini hukum islam
dipahami sebagai syariat yang cakupannya sangat luas yang mencakup bidang
keyakinan, amaliyah, dan akhlaq.
2. hukum islam dalam dimensi fiqh islam yang
merupakan produk daya pikir manusia yang mencoba menafsirkan penerapan
prinsip-prinsip syariah secara sistematis. Dimensi ini merupakan dimensi
insaniyah dalam dimensi ini hukum islam merupakan upaya manusia secara
sungguh-sungguh untuk memahami syariat.
Berdasarkan batasan tersebut di atas
sebenarnya dapat dibedakan antara syari’ah dan Hukum Islam atau Fiqih.
Perbedaan tersebut terlihat pada dasar atau dalil yang digunakannya. Jika
syari’at didasarkan pada nash al-Qur’an atau as-Sunnah secara langsung, tanpa
memerlukan penalaran; sedangkan Hukum Islam didasarkan pada dalil-dalil yang
dibangun oleh para ulama melalui penalaran atau ijtihad dengan tetap berpegang
pada semangat yang terdapat dalam syari’at. Dengan demikian, maka jika syari’at
bersifat permanen, kekal dan abadi, maka fiqih atau hukum Islam bersifat
temporer dan dapat berubah.
B. Pendekatan dalam Penelitian Hukum Islam
Dalam penelitian
hukum islam variasi pendekatan dilatar belakangi oleh dilatarbelakangi sejarah
yang cukup panjang antara kondisi pewahyuan dengan kondisi riil sekarang.
Kenyataan seperti ini mau tidak mau menuntut seorang peneliti untuk memilih
pendekatan yang esuai dengan obyek penelitian beberapa pendekatan pada
penelitian hukum islam diantaranya adalah :
1. Pendekatan historis (Historical approach)
Pendekatan ini
digunakan untuk menelusuri konteks konteks yang melatar belakangi proses
pewahyuan muncul teori asbab annuzul, asbab al-wurud, Prinsip Nasikh dan
Mansukh.
2. Pendekatan kasus (Case Approach)
Dalam hukum
islam pendekatan kasus dilakukan dengan mempersamakan kasus huku baru dengan
kasus hukum lama yang terdapat ketentuan reasoning-nya dalam teks suci. Upaya
mempersamakan ini dilakukan lantaran terdapat persamaan resoning antarakasus
yang satu dengan kasus yang lain. Kasus seperti ini dalam hukum islam disebut
dengan analogi atau qiyas.
3. Pendekatan analisis ( Analitical Aproach)
Maksud utama
pendekatan ini adalah mengetahui makna yang terkandung oleh istilah-istilah
dalam al quran dan hadis, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik.
4. Pendekatan Filsafat ( Phylosophycal
Approach)
Dalam perspektif
islam filsafat sangat diapresiasi sehingga salah satu tema bahasan yang populer
dalam kajian hukum adalah hikmah al-tasyri’ wa falsafatuhu ( hikamh dan
filsafat pembentukan hukum ). Selain itu terdapat sejumlah kaidah yang bermuara
pada aspek filosofis dibentukknya hukum islam.
5. Pendekatan perbandingan (Comparative
Approach)
Pendekatan
perbandingandilakukan secara dialektis untuk menguki validasi argumen yang di
ketengahkan masing-masing ketentuan hukum yang berbeda. Hal itu disebabkan
karena tidak sebangun visi mereka dalam meresapketentuan ketentuan teks wahyu
yang global dan multi tafsir.
6. Pendekatan Perundang-undangan( Statute Approach)
Dalam hukum
islam, kerja penelitian mempunyai tujuan untuk menemukan preskripsi (istinbath)
dan sekaligus menerapkan nya di tengah masyarakat. Tujuan menerapkan hukum
ditengah masyarakat sangat memerlukan perangkat legislasi sehingga produk hukum
yang ditemukan tidak sekedar berupa angan-angan di atas awan. Dengan tujuan
seperti ini, pendekatan undang-undang mutlak diperlukan dalam kerja penelitian
hukum.
C. Wilayah Penelitian Hukum Islam
Fiqih adalah
hasil kajian atau pemahaman para fiqih (fuqaha’) tentang hal-hal yang terkait
dengan perbuatan orang-orang mukallaf , diambil dari dalil-dalil syar’I
(Al-Qur’an dan al-Sunnah) yang rinci. Dimensi hukum islam yang paling dikenal
dalam masyarakat, baik umat islam maupun komunitas ilmiah, adalah fiqh. Adapun
ciri-ciri fiqh:
1. Didasarkan kepada ayat Al-Qur’an (kitab)
dan hadits (sunnah) yang dicantumkan secara eksplisit dan otentik.
2. Tersusun secara sistematis, yang
dilakukan oleh para pakar yang memiliki kompetensi. Didalamnya mencakup unsure
hokum taklifi (wajib, mubah, makruh, dan haram) dan hukum wadh’i (sabab, syarat
dan mani’)
3. Terdokumentasi dalam berbagai kitab
fiqih, yang tersebar menurut berbagai aliran pemikiran (madzab) sehingga mudah
dipelajari dan diajarkan.
4. Mencakup berbagai bidang kehidupan
manusia, yang disertai kaifiah masing-masing. Dalam berbagai hal pararel dengan
pertumbuhan dan perkembangan pranata social.
5. Bersifat praktis (‘amaliyah) sehingga
mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Fiqih dijadikan rujukan dalam
menghadapi masalah hukum yang memerlukan pemecahan segera.
6. Diajarkan dalam berbagai lingkungan, baik
melalui pendidikan jalur sekolah (termasuk pesantren) dan institusi masyarakat
lainnya.
7. Di transformasikan ke dalam produk badan
penyelenggaraan Negara, baik melalui badan legislatif dan eksekutif maupun
produk dalam pelaksanaan kekuasaan yudikatif (judicial power).
Berdasarkan ciri
diatas dapat disusun wilayah penelitian fiqh sebagai berikut :
1. Model penelitian dalil fiqih;
2. Model penelitian kaidah fiqih;
3. Model penelitian ulama fiqih;
4. Model penelitian ulama fuqaha;
5. Model penelitian mazhab fiqih;
6. Model penelitian kitab fiqih;
7. Model penelitian substansi Fiqih;
8. Model penelitian pengajaran fiqih;
9. Model penelitian institusional fiqih;
10. Model penelitian fiqih dan pola prilaku;
11. Model penelitian masalah fiqih;
12. Model penelitian transformasi fiqih;
13. Model penelitian KHI;
14. Model penelitian perkembangan fiqih;
15. Model penelitian rujukan prilaku.
Penelitian Dalil
Fiqih
Definisi dalil
menurut para ulama’: Secara etimology bermakna menunjukkan ataupun memberi tahu
jalan. Sedangkan dalil secara terminology:
Sesuatu yang memungkinkan untuk sampai (pada maksud) melalui pandangan
yang benar dalam menetapkan hukum Islam.[2]
Maksudnya adalah
sesuatu yang memungkinkan untuk sampai pada masuknya dalil yang belum
diperhatikan oleh mujtahid dalam menemukan hukum baru. Hal ini merupakan dalil
meskipun belum ditunjukkan secara nyata, hal ini masih berbentuk
kemungkinan-kemungkinan. Karena dalil adalah sesuatu yang berhasil
menghantarkan kepada maksud secara nyata. Yang dimaksud pandangan yang benar
adalah pandangan yang tidak rusak apalagi salah sehingga bisa menghasilkan
hukum yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan.
1. Pembagian Dalil Berdasarkan Sumbernya.
Dalam semua
pembahasan berkaitan dengan dalil maka para ulama telah sepakat bahwa dalil
yang disepakati oleh para ulama terdiri dari empat dalil: Al-Qur’an, As-Sunnah,
ijma’ dan qiyas. Hal itu ditegaskan oleh Imam syafi’i yang menyatakan:
”Kedudukan ilmu harus berdasarkan kepada: Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan
qiyas. Dan ada kesepakatan ulama mengenai sumber asal empat dalil diatas harus bersumber
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dikarenakan hal ini berhubungan langsung dengan
tegaknya agama Islam.
Dengan demikian
dalil-dalil baik yang disepakati maupun masih diperselisihkan yang ada dalam
syariah harus bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, apabila menetapkan hukum
tanpa terlebih dahulu menyandarkan pada kedua dalil tersebut maka harus ditolak
dan dibatalkan demi hukum. Karena kedua dalil tersebut berdasarkan atas wahyu,
dan wahyu dari Allah selalu benar dan tidak pernah bertentangan satu sama
lainnya. Dan sumber dari segala dalil adalah Al-Qur’an.
Imam Ibn
Taimiyah menyatakan: “Sumber hukum syariah adalah Rasulullah SAW, karena
Al-Qur’an disampaikan kepada Rasulullah SAW, dan As-Sunnah muncul sebagai
penjelas dari Al-Qur’an, kedudukan ijma’ dan qiyas harus disandarkan pada
Al-Qur’an dan As-Sunnah”.
Penjelasan
diatas memungkinkan kita untuk menyatakan bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah
merupakan sumber segala dalil yang disepakati keberadaannya, karena keduanya
dapat disebut sebagai dalil naqli, wahyu, syara’, nash, khabar dan semuanya itu
kebalikan dari dalil ‘aqli, pendapat, ijtihad, istinbath hukum.
Dibawah ini
dapat dilihat, bahwa kedua sumber tersebut mempunyai karakteristik yang kuat
dalam syariah :
a. Semuanya berdasar atas wahyu Allah kepada
Rasulullah;
b. Sumber awal dari Al-Qur’an diperoleh dari
Rasulullah SAW, karena kita tidak mendapatkan wahyu langsung dari Allah, tidak
juga melalui Malaikat Jibril as, karena hanya Rasulullah yang mendapatkan
wahyu, dan beliaulah yang berkewajiban menyampaikannya kepada kita;
c. Allah SWT menjamin keaslian dan
kemurnian Al-Qur’an sebagai sumber hukum selamanya.
d. Allah SWT menurunkan Al-Qur’an sebagai
sumber hukum untuk hamba-hambanya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
e. Kewajiban bagi umat Islam untuk
mengikuti dan berpedoman pada kedua sumber hukum tersebut selama-lamanya, dan
tidak diperbolehkan untuk meninggalkannya apalagi mengingkarinya.
2. Pembagian Dalil Berdasarkan Qath’i Dan
Dzanni
a. Pengertian qath’i dan dzanni
Pertama: Secara
etimology qath’i dari kata qatha’a yang bermakna memisahkan bagian tubuh dengan
cara menghilangkannya atau memotongnya. Tetapi dalam pembahasan ini kata qath’i
bermakna keyakinan, kepastian, sesuatu yang bersifat tetap. Sedangkan secara
terminology bermakna ”Sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan
melalui penelitian dengan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”.
Secara etimology
dzanni bermakna dugaan, persangkaan, sesuatu yang masih membingungkan.
Sedangkan secara terminology bermakna ”Sesuatu yang tidak menentu (meragukan)
antara sesuatu yang saling berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.
b. Dalil qath’i dan dzanni
Dalil qath’i
adalah sesuatu yang menunjukkan pada hukum yang bersifat pasti dan tetap tanpa
ada kemungkinan-kemungkinan yang bisa merubahnya. Atau bisa juga diartikan:
sesuatu yang pasti baik dilihat dari segi sanad, dalalah dan sifatnya yang
tetap. Ada yang menambahkan: qath’i adalah sesuatu yang pasti dilihat dari segi
matan dan dalalahnya.
Menurut imam
Syafi’i: “Apabila ada nash Al-Qur’an yang sudah jelas dan terang hukumnya, atau
apabila ada As-Sunnah yang disepakati keberadaannya, maka keberadaan keduanya
bersifat qath’i, dan tidak diperbolehkan meragukannya, sehingga jika ada orang yang
menolak untuk menerima nash tersebut dihukumi sebagai orang yang cacat
akalnya”. Maksudnya adalah apabila ada yang menolak keberadaan nash yang qath’i
maka harus dapat memilah apakah sebagian dari nash tersebut sanadnya bersifat
qath’i atau tidak? Apakah nash tersebut dalalahnya bersifat qath’i atau tidak?.
Hal ini memberikan pemahaman bahwa penelitian dalil nash merupakan penelitian
yang harus tepat dan benar, tidak boleh mengikutkan hawa nafsunya sehingga nash
tersebut dapat dinilai qath’i atau tidak yang nantinya dapat dijadikan dalil
dalam menetapkan hukum.
Dalil dzanni
adalah sesuatu yang menunjukkan pada hukum tetapi masih mengandung
kemungkinan-kemungkinan yang bisa merubahnya tanpa dapat dimenangkan salah
satunya”. Makna lainnya adalah: ”dalalah yang ada merupakan dzahirnya nash yang
tidak qath’i”.
Imam Syafi’i
menyatakan: “Apabila dalam nash As-Sunnah terdapat perbedaan dalam segi
maknanya, maka hal ini dimungkinkan untuk di ta’wil. Atau apabila ada hadits
ahad, maka masih dapat dijadikan hujjah sehingga hadits ini tidak tertolak,
terbuang begitu saja dan tidak dimanfaatkan oleh umat Islam”.
3. Pembagian Dalil Berdasarkan Cara
Pengambilannya
Dalil dalam
hukum Islam dapat dibagi menjadi dua; dalil syar’i dan bukan syar’i: Dalil
syar’i adalah dalil yang diperintahkan, ditunjukkan atau direkomendasikan oleh
syara’.
Dalil bukan
syar’i adalah anonym dari dalil syar’i. Dalil ini dapat berupa dalil yang
unggul maupun diunggulkan, dalil shahih maupun rusak, ‘aqli maupun sam’i. dalil
yang bukan syar’i ini bisa datang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti:
berbuat, berkata dan memutuskan hukum tanpa pengetahuan. Dalil syar’i dibagi
menjadi tiga:
a. Dalil yang ditetapkan oleh syara’ yang
hadir melalui pendengaran (audio) dan kutipan (migrasi), dalil ini disebut
dengan dalil sima’i (dalil yang diperoleh melalui pendengaran) dan dalil ini
tidak dapat diperoleh melalui penelitian dan logika. Contohnya adalah berita
yang datang dari malaikat dan penghuni ’Arsy, permasalahan akidah, perintah dan
larangan. Semuanya itu dapat kita ketahui melalui hadits Rasulullah SAW saja;
b. Dalil yang keberadaannya ditunjukkan dan
yang diperingatkan oleh syara’. Dalil ini disebut dengan dalil ’aqli. Contohnya
dalam masalah perumpamaan, penetapan keNabian dan penetapan hari kebangkitan.
c. Dalil yang diperbolehkan dan
direkomendasikan oleh syara’. Dalil yang dimaksud disini adalah segala yang
tertuang dalam hadits Rasulullah SAW dalam bentuk ilmu kedokteran, kimia,
matematika, tehnologi dan sebagainya.
Dalil syar’i ini
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Dalil ini benar keberadaannya;
b. Dalil syar’i diutamakan daripada dalil
yang bukan syar’i;
c. Dalil syar’i berupa dalil sam’i dan
’aqli;
d. Dalil syar’i berbeda dengan dalil yang
bukan syar’i.
Penelitian
Kaidah Fiqih
1. Pengertian Fiqh dan Kaidah Ushuliyah
Fiqh menurut
bahasa berarti tahu atau paham Menurut istilah berarti syari’at. Dalam kaitan
ini dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa hukum Islam atau fiqh adalah sekelompok
dengan syari’at yaitu ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang
diambil dari nash Alquran atau Al-sunnah. Sedangkan kaidah ushuliyah adalah
Hukum kulli (umum) yang dibentuk menjadi perantara dalam pengambilan kesimpulan
fiqh dari dalil-dalil, dan cara penggunaan dalil serta kondisi pengguna dalil.
2. Sumber Pengambilan Kaidah Usuliyah
Secara global,
kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber dari naql (Alquran dan Sunnah), ‘Akal
(prinsip-prinsip dan nilai-nilai), bahasa (Ushul at tahlil al lughawi), yang
secara terperinci dijelaskan dibawah ini :[3]
a. Alquran.
Alquran
merupakan firman Allah SAW yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw., untuk
membebaskan manusia dari kegelapan. Kitab ini adalah kitab undang-undang yang
mengatur seluruh kehidupan manusia, firman Allah yang Maha mengetahui apa yang
bermanfaat bagi manusia dan apa yang berbahaya, dan merupakan obat bagi ummat
dari segala penyakitnya.
b. As Sunnah
Allah memberikan
kemuliaan kepada nabi Muhammad saw. dengan mengutusnya sebagai nabi dan rasul
terakhir untuk umat manusia dengan tujuan menyampaikan pesan-pesan ilahi kepada
umat. Maka nilai kemuliaan Rasulullah bukan dari dirinya sendiri tetapi dari
Sang Pengutus yaitu Allah swt., karena siapapun yang menjadi utusan pasti lebih
rendah tingkatannya dari yang mengutus. Allah Berfirman yang artinya:” Muhammad
tidak lain hanyalah seorang rasul”. (QS. Ali Imran: 144). Jika seluruh perintah
Allah telah disampaian oleh Rasulullah kepada umat, selesailah tugasnya dan
wajib bagi umat untuk memperhatikan risalah yang di sampaikan oleh rasulullah.
Banyak sekali
ayat Alquran yang menjelaskan bahwa sunnah Rasulullah adalah merupakan salah
satu sumber agama Islam, diantaranya firman Allah dalam surat Ali Imran ayat:
53,132,144, 172 juga didalam surat An
Nisa ayat: 42, 59, 61, 64, 65, dan masih banyak lagi.
c. Ijma’
Di antara
kaidah-kaidah ushul yang di ambil dari ijma adalah:
a) Ijma’ Sahabat bahwa hukum yang di
hasilkan dari hadis ahad dapat di terima;
b) Ijma’ Sahabat bahwa hukum terbagi menjadi
5 macam;
c) Ijma’ Sahabat bahwa syariat nabi Muhammad
menghapus seluruh syariat yang sebelumnya.
d. Akal
Akal memiki
kedudukan yang tinggi didalam syariat islam, karena tidak akan paham Islam
tanpa akal. Sebagai contoh, Apa dalil yang menunjukkan bahwa Allah itu ada?
Jika dijawab Alquran, Apa dalil yang menunjukkan bahwa Alquran benar-benar dari
Allah? Jika dijawab I’jaz, apa dalil yang menunjukkan bahwa I’jazul quran
sebagai dalil bahwa alqur’an bersumber dari Allah swt.? Dan seterusnya. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa Islam tidak akan dipahami tanpa akal, oleh karena
itulah akal merupakan syarat taklif dalam Islam.
Meskipun
demikian, ada satu hal yang harus di perhatikan dengan seksama, bahwa akal
tidak bisa berkerja sendiri tanpa syar’i. Akal hanyalah sarana untuk mengetahui
hukum-hukum Allah melalui dalil-dalil al quran dan hadis. Allah lah yang
menjadi hakim, dan akal merupakan sarana untuk memahami hukum-hukum Allah
tersebut.
e. Perkataan Sahabat
Diantara
kaidah-kaidah ushul yang diambil dari perkataan-perkataan sahabat Rasulullah
adalah:
1) Hadis-hadis Ahad zonniyah
2) Qiyas adalah hujjah
3) Hukum yang terakhir menghapus hukum yang
terdahulu (naskh)
4) Orang awam boleh taqlid
5) Nash lebih di utamakan dari qiyas maupun
ijma’
3. Model Penelitian
a. Model
Harun Nasution
Sebagai guru
besar dalam bidang teologi dan filsafat, Harun Nasution juga mempunyai
perhatian terhadap fiqih. Penelitiannya dalam bidang fiqih ini dituangkan dalam
bukunya yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Melalui
penelitiannya secara ringkas namun mendalam terhadap hukum Islam dengan
menggunakan pendekatan Sejarah. Selanjutnya melalui pendekatan sejarah Harun
Nasution membagi perkembangan fiqih dalam empat periode yaitu periode nabi,
periode sahabat, periode ijtihad dan periode taklid. Model penelitian yang
digunakan Harun Nasution adalah penelitian eksploratif, deskriptif dengan
menggunakan pendekatan sejarah.
b. Model Noel J.Coulson
Noel J. Coulson
menyajikan hasil penelitiannya dibidang fiqih dalam karyanya yang berjudul
Hukum Ulama dalam Perspektif Sejarah. Penelitiannya bersifat deskriptif
analitis ini menggunakan pendekatan sejarah. Penelitiannya itu dituangkan ke
dalam tiga bagian. Pada bagian pendahuluan ia mengatakan bahwa problema yang
mendasar pada saat ini ialah adanya pertentangan antara ketentuan-ketentuan
hukum tradisional yang dinyantakan secara kaku di satu pihak, dan
ketentuan-ketentuan masyarakat modern di pihak lain.
c. Model Mohammad Atho Mudzhar
Tujuan dari
penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui materi fatwa yang dikemukakan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta latar belakang sosial politik yang melatar
belakangi timbulnya fatwa tersebut. Hasil penelitiannya di tuangkan ke dalam
empat bab
Penelitian Ulama
Fuqaha
Terdapat
beberapa kesulitan untuk mengidentifikasi seseorang sebagai ulama. Apalagi
sebagai faqīh (jamak: fuqahā’), diantaranya ialah :[4]
1. Ulama merupakan gelar atau panggilan
kehormatan yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang yang memiliki
tingkat ilmu dan kesalihan tertentu. Panggilan ulama, diberikan sebagai
pengakuan (legitimasi) atas prestasi seseorang dalam komunitas heterogen, tanpa
tatacara dan upacara tertentu.
2. Panggilan ulama di dalam masyarakat
Indonesia merupakan hal yang tidak lazim. Biasanya orang yang memiliki
kualifikasi ilmu dan kesalihan itu diberi gelar dan dipanggil kyai (Jawa,
bahkan nasional), ajĕngan (Sunda, belakangan ada yang dipanggil: Aa), buya
(Minangkabau), teungku (Aceh), dan tuan guru imam (Bima).
3. Panggilan kehormatan tersebut diberikan
secara informal dan bertahap, terutama oleh orang-orang yang mengenal secara
pribadi terhadap orang yang diberi gelar kehormatan itu.
4. Biasanya orang yang diberi panggilan
kehormatan bukan semata-mata karena ilmu dan kesalihannya saja. Tetapi, juga,
karena kepemimpinanya di dalam masyarakat telah teruji. Di satu pihak, ia
memiliki keahlian dan kesalihan sebagai kekuatan dalam mengembangkan inti
kebudayaan yang dijadikan rujukannya. Namun di lain pihak, ia menempati
kelompok elite dalam struktur masyarakat. Ia merupakan salah satu unsur
pemimpin dalam masyarakat yang heterogen.
5. Ulama merupakan pewaris para nabi (al-‘ulamā’
waratsāt al-anbiyā’). Ia mengemban misi untuk mengaktualisasikan apa yang
dikehendaki Allah dan Rasul-Nya dalam realitas kehidupan manusia.
6. Khusus tentang identifikasi ulama fiqh
merupakan kesulitan tersendiri, karena lebih spesifik. Apalagi bila dibedakan
dengan ulama ushul.
Terlepas dari
beberapa kesulitan di atas, menurut Quraish Shihab (1985: 3), dengan merujuk
pada Q. S. Fathir: 28 dan as-Syu‘ara: 197, yang dinamai ulama adalah
orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Allah yang bersifat
kauniyah maupun qur’aniyah. Sementara itu, ayat Qur’an yang membicarakan ilmu,
dengan berbagai bentuk kata dan yang sejalan dengan arti kata itu, berjumlah
854 ayat.
Apa yang
dikemukakan oleh Quraish Shihab menunjukkan bahwa ulama merupakan suatu istilah
umum, yang dalam konteks kehidupan manusia melekat pada ilmuwan atau sebutan
lain, sebagaimana diuraikan di atas, yang disertai sikap istislam dan
khasy-yah. Dengan kata lain, sasaran ilmu adalah ayat-ayat Allah, sedangkan
yang memiliki pengetahuan mendalam tentang ayat-ayat itu adalah ulama. Hal itu
dapat melekat pada diri faqīh, atau sosiolog, atau fisikawan, sebagai ulama
spesialis yang memiliki sikap istislam dan khasy-yah.
Dengan kelebihan
ilmu yang ditekuninya itu, fuqaha (ulama pada umumnya) berinteraksi dengan
sesamanya dan unsur lainnya, terutama murid dan pengikut mereka, sehingga
memiliki kedudukan, peranan, dan posisi khusus dalam sistem sosial. Berkenaan
dengan hal itu, terdapat ciri-ciri fuqaha dalam konteks sistem sosial tertentu,
yaitu :
1. Fuqaha merupakan kelompok sosial yang
menekuni dan mengembangkan ilmu yang menjadi keahliannya, yakni fiqh
2. Dengan kelebihan dan keunggulan ilmu yang
dikuasai dan disebarluaskan untuk memenuhi sebagian kebutuhan hidup masyarakat,
fuqaha menempati kedudukan sebagai bagian dari kelompok pemimpin dalam struktur
sosial.
3. Berkenaan dengan butir pertama dan kedua
fuqaha merupakan tokoh masyarakat. Sedangkan secara kolektif mereka merupakan
komunitas tersendiri.
Ciri-ciri umum
yang melekat pada komunitas fuqaha, dan lebih ditekankan pada aspek kultural.
Ciri-ciri tersebut ialah sebagai berikut:
1. Fuqaha termasuk dalam kualifikasi sebagai
ulama yang istislam dan khasy-yah sebagaimana dikemukakan secara sepintas oleh
Quraish Shihab. Keimanan, kepatuhan, dan kesalihan merupakan unsur dinamika
internal di kalangan fuqah ketika merumuskan dan menerapkan titah Allah dan
Rasul-Nya dalam entitas kehidupan manusia. Apa pun yang mereka lakukan
senantiasa berpegang teguh kepada Qur’an dan Sunnah.
2. Fuqaha mempunyai kerendahan hati dan
kehati-hatian yang sangat tinggi. Mereka menerima pendapat dari sahabat yang
dipandang benar, sebagaimana tercermin dalam dalil ijma‘.
3. Fuqaha memiliki keterampilan berpikir
kreatif, yakni keterampilan menggunakan proses berpikir untuk menghasilkan
gagasan baru dan konstruktif, baik berdasarkan konsep dan prinsip yang rasional
maupun persepsi dan intuisi, terutama di kalangan imam mujtahidin.
4. Fuqaha juga memiliki keterampilan
berpikir kritis, yakni kemampuan menggunakan proses berpikir untuk menganalisis
argumen dan memberi interpretasi berdasarkan persepsi yang sahih dan
interpretasi logis.
5. Berkenaan dengan ciri keempat, fuqaha
mengembangkan tradisi dialog melalui halaqah, terutama dengan para murid dan
pengikut mereka.
6. Fuqaha memiliki tradisi pengembaraan
intelektual, dengan mobilitas spasial dalam kawasan yang sangat luas.
7. Fuqaha memiliki kemampuan untuk
memformulasikan pandangannya dalam bentuk tulisan.
A. Tokoh Fuqaha
Tokoh dan
komunitas fuqaha pada dasarnya merupakan satu kesatuan. Tokoh merupakan unsur
elite dalam sistem sosial. Ketika tokoh sejenis menjadi salah satu gugus dalam
sistem sosial karena adanya ikatan yang spesifik, maka terbentuk suatu
masyarakat tersendiri, yang dapat disebut sebagai komunitas khusus. Fuqaha,
secara individual merupakan tokoh dalam sistem sosial. Ketika fuqaha itu
terhimpun berdasarkan ikatan kultural, maka menjadi bagian dari struktur dalam
sistem sosial itu. Ia menjadi komunitas (atau bagian dari society), yang
terdiri atas sejumlah fuqaha, yang memiliki ciri-ciri tertentu sebagaimana
dikemukakan di atas. Berkenaan dengan hal itu, untuk keperluan penelitian dapat
dilakukan pemilahan:
1. secara individual fuqaha diidentifikasi
sebagai tokoh;
2. secara kolektif fuqaha diidentifikasi
sebagai komunitas.
Seorang fuqaha
(dalam kosa kata bahasa Arab: faqīh) adalah anggota komunitas fuqaha. Sedangkan
komunitas fuqaha terdiri atas sejumlah fuqaha. Dalam komunitas itu terdapat
tokoh fuqaha yang tersusun secaca gradual. Tokoh utama dalam komunitas itu
adalah imam madzhab dalam suatu kesatuan komunitas madzhab; atau para imam
madzhab dalam keseluruhan komunitas fuqaha dan madzhab fiqh.
A. Komunitas Fuqaha
Proses ke arah
pembentukan komunitas dilakukan melalui pola hubungan di antara anggota dan
antar generasi, sejak masa imam mujtahidin hingga kini. Proses itu lebih
berkembang melalui pengembangan madzhab fiqh. Dalam komunitas madzhab itu
terjadi pola komunikasi antara imam madzhab (sebagai tokoh utama) dengan para
murid dan pengikut mereka.
Proses itu yang
dilakukan secara terus menerus, antar generasi, sehingga terjadi jaringan
fuqaha dan matarantai intelektual yang dihubungkan oleh kitab fiqh. Dengan
demikian, jaringan fuqaha hampir identik dengan jaringan dan matarantai kitab
fiqh.
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian
ulama fiqh terdiri atas tokoh fuqaha dan komunitas fuqaha. Tokoh fuqaha
merupakan bagian dari komunitas fuqaha, sedangkan komunitas fuqaha terdiri atas
sejumlah fuqaha. Dalam masyarakat Islam fuqaha (dan ulama umumnya) menempati
posisi penting karena memiliki kelebihan ilmu yang dapat dijadikan panduan
normatif dalam kehidupan kolektif. Kedua pilahan fokus penelitian itu dapat
dilihat dalam perspektif masa lalu dan perspektif masa kini. Disusun secara
dikotomis atau kontinum. Tokoh fuqaha dapat digambarkan melalui biografi yang
bersangkutan. Sedangkan komunitas fuqaha dapat digambarkan melalui jaringan
sosial dan matarantai intelektual. Kedua fokus itu berpangkal dari wilayah
penelitian yang sangat luas, karena fuqaha merupakan komunitas yang sangat
besar yang mengalami pergantian antar generasi.[5]
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian
terhadap ulama fiqh ditujukan untuk memahami tokoh dan komunitas fuqaha.
Berkenan dengan hal itu, tujuan umum penelitian tentang fuqaha untuk memahami,
mendeskripsikan, dan menjelaskan fuqaha dalam konteks sistem sosial. Dengan
demikian, dapat ditemukan karakteristik dan kontribusi fuqaha dalam
pengembangan fiqh, dan pengembangan peradaban Islam pada umumnya.
Tujuan
penelitian tokoh fuqaha diarahkan untuk memahami dan mendeskripsikan tentang
keunikan tokoh sebagai sosok pribadi dalam konteks komunitas fuqaha dan sistem
sosial. Merujuk pada Model Tokoh Fuqaha, dapat dirumuskan tujuan penelitian
secara rinci, yakni untuk memahami dan mendeskripsikan:
1. Karakteristik individual fuqaha,
berkenaan dengan aspek psikologis, latar belakang keluarga, dan lingkungan
sosial;
2. Pengembaraan intelektual, berkenaan
dengan masa belajar dan perhatiannya terhadap fiqh dan wacana intelektual
lainnya;
3. Afiliasi komunitas, berkenaan dengan
“keanggotaan” dalam komunitas madzhab dan sistem sosial;
4. Wacana intelektual berkenaan dengan
pemikirannya di bidang fiqh yang dituturkan secara lisan atau tulisan (kitab
fiqh).
Berdasarkan
rincian itu, akan dapat diketahui tentang kedudukan dan posisi tokoh fuqaha
dalam komunitas madzhab dan sistem sosial, secara lebih jelas dan empiris. Hal
itu akan mempermudah untuk menyusun kualifikasi fuqaha, yang selama ini menjadi
bagian dari wacana ushul fiqh, yakni peringkat mujtahid: mujtahid mutlak,
mujtahid mustaqil, mujtahid muntasib, mujtahid madzhab, dan seterusnya.
Sementara itu,
penelitian komunitas fuqaha diarahkan untuk memahami dan mendeskripsikan
karakteristik dan keunikan komunitas fuqaha sebagai salah satu kesatuan dalam
komunitas muslim dan sistem sosial. Dengan merujuk pada Model Komunitas Fuqaha,
dapat dirumuskan tujuan penelitian secara rinci, yakni untuk memahami dan
mendeskripsikan:
1. Basis komunitas fuqaha, berkenaan dengan
daya ikat komunitas tersebut, baik internal madzhab maupun lintas madzhab;
2. Jaringan komunikasi dalam komunitas
madzhab berkenaan dengan pola hubungan guru-murid dan hubungan kesejawatan
dalam komunitas;
3. Tradisi intelektual dalam komunitas,
berkenaan dengan tradisi transmisi dan sosialisasi pandangan (para) imam
madzhab dalam komunitas atau lintas komunitas;
4. Matarantai intelektual, berkenaan dengan
jaringan fuqaha dan jaringan kitab fiqh dalam komunitas atau lintas komunitas
madzhab.
D. Kegunaan Penelitian
Pada dasarnya
penelitian fuqaha memiliki kegunaan ganda. Pertama, hasil penelitian dapat
digunakan untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah tentang fuqaha dalam konteks
sosial, baik masa lalu maupun masa kini. Hal itu mencakup:[6]
1. Untuk dapat dijadikan bahan dalam
merumuskan informasi abstrak berkenaan dengan mobilitas horizontal dan mobiltas
vertikal fuqaha, sehingga wacana fiqh dan ushul fiqh semakin kaya;
2. Untuk menata pengkajian dan penelitian
fuqaha sebagai subyek khusus dengan pendekatan holistik. Dengan perkataan lain,
ilmu fiqh akan diperkaya dengan rijāl al-fiqh sebagai subyek baru;
3. Untuk mengembangkan pengetahuan tentang
rijāl al-fiqh dapat dialihkan ke dalam kegiatan pembelajaran sehingga para
pencari pengetahuan ilmiah akan mendapat informasi mutakhir berkenaan dengan
tokoh dan komunitas fuqaha;
4. Untuk dijadikan titik tolak bagi
penelitian fuqaha lebih lanjut, baik oleh peneliti yang bersangkutan maupun
oleh peneliti lain.
Kedua, hasil
penelitian berguna bagi pemenuhan hajat hidup manusia, khususnya berkenaan
dengan aspek penataan kehidupan kolektif. Hal itu menyakup:
1. Untuk mengembangkan apresiasi terhadap
tokoh dan komiunitas fuqaha, yang telah memberikan kontribusi terhadap wacana
fiqh dan penataan kehidupan manusia, khususnya bagi masyarakat Muslim;
2. Untuk meningkatkan apresiasi terhadap
tokoh fuqaha, yang meneladani pengembangan keterampilan berpikir kreatif dan
berpikir kritis, sehingga kegiatan ijtihad tetap berlangsung;
3. Untuk meningkatkan apresiasi terhadap
tokoh fuqaha, yang meneladani pengembangan wacana intelektual sebagaimana
tampak dalam berbagai kitab fiqh;
4. Untuk meningkatkan apresiasi terhadap
komunitas fuqaha, yang meneladani pengembangan jaringan komunikasi dan
matarantai intelektual, meskipun memerlukan modifikasi dalam konteks masa kini
dan masa yang akan datang.
E. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Berpikir
1. Tinjauan Pustaka
Tokoh dan
komunitas dapat ditarik pada cakupan yang lebih umum, yakni individu dan
masyarakat. Individu merupakan suatu sosok yang utuh. Tidak dapat dipilah dan
dipecah (indivisible). Individu merupakan unsur utama dari masyarakat.
Sedangkan masyarakat merupakan kumpulan individu yang berinteraksi secara terus
menerus berdasarkan ikatan tertentu. Ikatan itu dapat berupa kesamaan tempat
tinggal, atau kesamaan kepentingan, atau kesamaan minat dan keahlian, atau
kesamaan nilai-nilai budaya yang dipegang teguh. Atas perihal tersebut,
terdapat beragam satuan masyarakat manusia karena keragaman pengikat dalam
pergaulan hidup mereka.
Penulisan
biografi tokoh dari berbagai komunitas telah banyak dilakukan, baik yang
ditulis secara khusus maupun yang disusun dalam suatu himpunan. Sedangkan
penelitian tentang pribadi fuqaha sebagai tokoh, relatif terbatas ketimbang
penelitian tentang pemikirannya. Bahkan, penelitian tentang pemikiran fuqaha
biasanya sarat dengan biografi yang bersangkutan, sehingga kurang mencerminkan
model penelitian yang dapat diadaptasi oleh peneliti pemula. Demikian pula,
penelitian tentang komunitas fuqaha atau komunitas madzhab sangat langka.
Kelangkaan semacam itu, memberi peluang kepada peneliti untuk merintis
penelitian tentang tokoh atau komunitas fuqaha itu.
Hasil penelitian
tentang komunitas fuqaha secara khusus masih sulit ditemukan. Bahkan boleh
dikatakan tidak ditemukan. Namun demikian penelitian yang lebih umum, yakni
tentang ulama dan kyai, dapat ditemukan dalam beberapa laporan penelitian,
dengan variasi pendekatan: historis, antropologis, dan sosiologis.
2. Kerangka Berpikir
Untuk
mempermudah penelitian kedua fokus penelitian itu, dapat disusun kerangka
berpikir. Selanjutnya, kerangka berpikir ini dijadikan kerangka analitis
terhadap data yang ditemukan di lapangan. Dalam kerangka berpikir penelitian
fuqaha terdiri atas lima komponen inti, yakni :[7]
1. Keluarga orientasi;
2. Keluarga prokreasi;
3. Sistem sosial;
4. Komunitas;
5. Tokoh.
Di samping itu,
terdapat empat komponen lainnya, yakni :
1. Matarantai genealogis;
2. Jaringan interaksi;
3. Produk intelektual;
4. Matarantai intelektual.
F. Langkah-langkah Penelitian
1. Metode Penelitian
Secara umum
fokus penelitian fuqaha berwujud konteks, meskipun sebagian dapat diketahui
melalui teks. Tokoh fuqaha barada dalam konteks komunitas dan sistem sosial.
Sedangkan komunitas fuqaha berada dalam konteks sistem sosial. Sementara itu,
sistem sosial dapat diidefinisikan sebagai masyarakat Islam, atau masyarakat
bangsa, atau satuan masyarakat lainnya. Selanjutnya, fokus penelitian itu dapat
ditempatkan dalam konteks sistem sosial masa lalu atau konteks masa kini.
Dengan perkataan lain, kedua fokus penelitian tersebut dapat dipandang sebagai
bagian gejala historis atau gejala sosiologis. Karena itu, terhadap fokus
tersebut dapat digunakan pendekatan historis atau pendekatan sosiologis. Hal itu
memberi arah bagi penggunaan metode penelitian yang dipandang paling tepat.
Ketika tokoh dan
komunitas fuqaha itu diidentifikasi sebagai gejala historis, maka menggunakan
metode penelitian historis. Ketika tokoh dan komunitas fuqaha itu
diidentifikasi sebagai gejala sosiologis, dapat digunakan metode penelitian
studi kasus, salah satu metode penelitian kualitatif yang biasa digunakan dalam
penelitian sosial (Lihat: Yin, 1987). Terdapat beberapa ciri yang melekat pada
metode penelitian ini. Pertama, satuan analisis dipandang sebagai suatu
kesatuan yang utuh dan terintegrasi. Ia terdiri atas beberapa unsur yang saling
berhubungan. Berkenaan dengan hal itu, fokus penelitian didekati secara
kualitatif dan bersifat holistik. Selain itu, satuan analisis memiliki hubungan
dengan unsur lain di luar dirinya dalam konteks yang lebih luas, dalam hal ini
sistem sosial. Kedua, studi kasus diarahkan untuk menemukan spesifikasi atau
keunikan satuan analisis, dalam hal ini keunikan tokoh (biografi) atau
komunitas fuqaha. Oleh karena itu, memerlukan data yang rinci dan mendalam.
Ketiga, data yang diperlukan itu, dikumpulkan dengan cara wawancara mendalam
atau pengamatan terlibat.
Khusus mengenai
penelitian komunitas fuqaha, dapat digunakan metode penelitian survai, suatu
metode yang lazim digunakan dalam penelitian sosiologis. Misalnya, tentang
hubungan antara tokoh dengan komunitas, atau hubungan antara matarantai
intelaktual dengan produk intelektual, atau hubungan antara komunitas fuqaha
dengan komunitas lainnya dalam satuan sistem sosial. Terdapat beberapa ciri
yang melekat pada metode penelitian ini. Pertama, digunakan bagi penelitian
yang dilakukan dengan paradigma kuantitatif, dalam arti menggunakan uji
statistik, sekurang-kurangnya menggunakan statistik deskriptif (Lihat: Young,
1982; Singarimbun dan Sofian Effendi, 1982). Kedua, data yang dikumpulkan
bersifat aspektual dan relatif besar (sedikit peubah dari satuan analisis yang
banyak). Maksudnya, hanya tentang ciri tertentu dari suatu populasi yang
dihubungkan dengan ciri lainnya. Ciri-ciri itu kemudian didefinisikan sebagai
peubah (variable) penelitian. Ketiga, sumber data, pada umumnya, dipandang
sebagai informan atau responden, yakni orang yang diminta pengetahuan,
pengalaman, atau pendapatnya tentang sesuatu yang dipilih sebagai peubah
penelitian. Keempat, penentuan sumber data dilakukan dengan teknik sampling,
yakni pemilihan sampel yang dipandang sebagai representasi populasi. Berkenaan
dengan hal itu, maka sampel berfungsi sebagai penduga terhadap populasi, sehingga
kesimpulan terhadap sampel berarti sebagai kesimpulan bagi populasi. Penelitian
komunitas fuqaha dengan menggunakan metode ini diarahkan untuk penarikan
kesimpulan umum aspek-aspek komunitas melalui sampel terpilih. Kelima,
berkenaan dengan jumlah sampel yang banyak, pengumpulan data dilakukan dengan
pengajuan daftar pertanyaan kepada informan atau responden. Dalam penyusunan
daftar pertanyaan itu, dilakukan pemilihan dan penggunaan butir-butir
pertanyaan yang disusun secara terstruktur dan rinci.
2. Sumber Data
Secara garis
besar, data tentang tokoh dan komunitas fuqaha dapat digali dari dua sumber.
Pertama, dari bahan pustaka atau sumber lain yang berisi tentang tokoh dan
komunitas fuqaha. Ia terdiri atas riwayat hidup tokoh dan entitas komunitas dalam
konteks sejarah Islam atau konteks sistem sosial. Kedua, dari informan atau
responden yang dipandang memiliki pengetahuan yang cukup tentang tokoh dan
komunitas fuqaha. Hal yang patut diperhatikan dalam pemilihan dan penentuan
sumber data ialah kesahihan dan ketasdikan sumber. Kesahihan sumber berkenaan
dengan prosedur pemilihan sumber yang digunakan, termasuk teknik pengambilan
contoh dalam paradigma penelitian kuantitatif. Ketasdikan sumber itu berkenaan
dengan keteladalan dan ketepatannya sebagai sumber data.
Prosedur
pemilihan sumber data dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama, dilakukan
secara acak dalam arti seluruh calon sumber memiliki peluang yang sama untuk
dipilih menjadi sumber data. Dalam penelitian yang diarahkan untuk penarikan
kesimpulan yang bersifat umum, yakni komunitas fuqaha, secara operasional dapat
memilih salah satu dari ragam probability sampling. Misalnya, untuk melakukan
penarikan simpulan tentang tradisi dan matarantai intelektual dalam komunitas
madzhab tertentu dilakukan pemilihan sejumlah fuqaha yang mencerminkan
representasi dari anggota komunitas tersebut. Cara ini hanya dilakukan bagi
penelitian yang berskala besar, dengan menggunakan metode penelitian survai.
Kedua, dilakukan
secara purposif atau nonprobability sampling, yang merujuk pada tujuan
penelitian. Pemilihan sumber data secara purposif ini, digunakan dalam metode
penelitian sejarah dan metode studi kasus sebagaimana dikemukakan di atas.
Sumber data dipilih dan ditentukan secara terbatas dan digunakan untuk penelitian
berskala kecil. Pemilihan sumber pertama, terutama tentang tokoh fuqaha,
relatif mudah, karena bahan pustaka relatif tersedia. Sedangkan pemilihan
sumber kedua akan mengalami kesulitan, terutama berkenaan dengan penentuan:
siapa yang patut dikualifikasikan sebagai fuqaha yang dapat dipilih menjadi
informan atau responden dalam entitas kehidupan Muslim dewasa ini. Untuk
menentukan sumber data tersebut dapat dipilih salah satu dari tiga cara, yakni:
informant’s rating, atau snow-balling, atau sociometric.
3. Pengumpulan Data
Sebagaimana
telah dikemukakan, bahwa data dalam penelitian fuqaha terdiri atas teks
(ungkapan tulisan) dan konteks (entitas kehidupan). Sedangkan sumber data
adalah bahan pustaka dan bahan sejenis yang tersimpan dalam perpustakaan; dan
informan atau responden yang tersebar dalam entitas kehidupan Muslim. Berkenaan
dengan hal itu, muncul pertanyaan: bagaimana cara menggali data dari kedua
jenis sumber tersebut? Jawaban atas pertanyaan itu berkenaan dengan cara
pengumpulan data, yang dikenal sebagai metode pengumpulan data. Atas perihal
tersebut, kegiatan penelitian yang mengandalkan data dari bahan pustaka disebut
penelitian kepustakaan. Sedangkan penelitian yang mengandalkan data dari
responden disebut penelitian lapangan. Cara pengumpulan data dari kedua jenis
sumber data itu memiliki ciri dan tahapan kerja masing-masing.
Berkenaan dengan
hal itu, dapat dipilih cara pengumpulan data yang dipandang cocok dengan
cakupan fokus penelitian dan sumber data yang dipilih. Dalam penelitian tpkoh
fuqaha, misalnya, dapat dipilih studi kepustakaan bagi tokoh fuqaha masa lalu.
Atau wawancara bagi tokoh fuqaha masa kini, dalam hal ini informan atau
responden. Dalam penelitian komunitas fuqaha dapat dipilih studi kepustakaan
bagi komunitas fuqaha masa lalu. Sedangkan bagi komunitas masa kini terdapat
beberapa cara pengumpulan data yang dapat dipilih, baik alternatif (tunggal)
maupun kumulatif (gabungan). Apabila dilakukan penggabungan, maka ditentukan
salah satu cara yang diutamakan sedangkan yang lainnya berkedudukan sebagai
penunjang.
a. Pengumpulan Data Kepustakaan
Apa yang
dikemukakan di atas menunjukkan bahwa pengumpulan data dalam penelitian tokoh
fuqaha digali dari sumber kepustakaan, demikian pula dalam penelitian komunitas
fuqaha sebagian data digali dari jenis sumber yang sama. Dalam sumber tersebut
tersimpan informasi tentang tokoh dan komunitas fuqaha. Berkenaan dengan hal
itu, pengumpulan data dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut:[8]
1. Mengumpulkan bahan pustaka yang akan
dipilih sebagai sumber data, yang berhubungan dengan fokus penelitian. Isi
bahan pustaka itu, sekurang-kurangnya mengandung dua unsur yang mengitari tokoh
atau komunitas fuqaha.
2. Memilih bahan pustaka tertentu untuk
dijadikan sumber data primer, yang memuat informasi tentang fokus penelitian.
Di samping itu, dilengkapi sumber data sekunder yang menunjang sumber data
primer. Pemilahan sumber data primer atau sumber data sekunder ditentukan oleh
peneliti, dengan merujuk pada fokus dan tujuan penelitian.
3. Membaca bahan pustaka yang telah dipilih
tentang tokoh atau komunitas fuqaha. Penelaahan isi salah bahan pustaka dicek
oleh isi bahan pustaka lainnya. Apabila perlu, dilakukan berulang-ulang.
4. Mencatat isi bahan pustaka yang berhubungan
dengan pertanyaan penelitian, baik berupa tokoh maupun komunitas fuqaha.
Pencatatan dilakukan sebagaimana yang tertulis dalam bahan pustaka, dan
menghindarkan pencatatan berdasarkan simpulan peneliti. Catatan hasil bacaan
itu ditulis secara jelas dalam lembaran khusus.
5. Apabila bahan pustaka itu berbahasa
asing, maka dilakukan penerjemahan isi catatan ke dalam bahasa Indonesia, yakni
bahasa yang digunakan dalam karya tulis di Indonesia. Sementara itu, istilah
teknis akademis dalam wacana fiqh ditulis sebagaimana adanya, dengan penyalinan
huruf (Arab-Latin) dilakukan secara konsisten. Namun demikian, pencarian
padanannya dalam bahasa Indonesia diperlukan. Aspek kebahasaan yang patut
diperhatikan berkenaan dengan kota kata, tata kalimat, dan konteks penulisan.
6. Menyarikan isi catatan yang telah
diterjemahkan menurut kosa kata dan gaya bahasa yang digunakan oleh peneliti.
Dalam proses ini diperlukan kehati-hatian karena bahasa yang digunakan memiliki
konteks situasi dan konteks kebudayaan. Selain itu, peneliti dituntut untuk
memiliki empati terhadap teks yang disarikan.
7. Mengklasifikasikan sari tulisan, yang
secara garis besar terdiri atas dua pilahan, yakni tokoh dan komunitas fuqaha.
Proses itu dilakukan melalui seleksi terhadap sari tulisan yang sudah disusun,
mana yang akan digunakan dan mana yang tidak akan digunakan. Kemudian, mana
yang dipandang pokok, dan mana yang dipandang penting dan penunjang.
8. Berdasarkan hasil klasifikasi data itu,
dilakukan klasifikasi yang lebih spesifik, yakni subkelas data. Dalam
penelitian tokoh fuqaha, berdasarkan unsur yang tercakup, yakni karakteristik
individual, perjalanan intelektual, afiliasi komunitas, dan wacana intelektual.
Sedangkan dalam penelitian komunitas fuqaha, juga, dipilah menjadi empat
subkelas, yakni basis komunitas, jaringan komunikasi, tradisi intelektual, dan
matarantai intelektual. Dalam proses ini, dapat dilakukan pengodean dan
tabulasi data apabila data yang diperoleh cukup banyak dan bervariasi.
Berdasarkan hasil kerja tahap ini, dilanjutkan langkah penelitian berikutnya,
yakni analisis data meskipun kegiatan analisis data dapat dilakukan sejak awal
secara simultan.
b. Pengumpulan Data Lapangan
Pengumpulan data
dalam penelitian fuqaha dalam konteks sistem sosial masa kini digali dari
sumber data lapangan, yakni dari informan atau responden, yang ditunjang oleh
bahan pustaka. Penggalian data dalam penelitian tokoh fuqaha dilakukan dengan
cara wawancara mendalam. Sementara itu, dalam penelitian komunitas fuqaha dapat
dipilih salah satu: wawancara mendalam, atau kuisioner, atau pengamatan
terlibat. Atau gabungan wawancara dengan pengamatan terlibat. Secara umum,
prosedur pengumpulan data dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut:
1. Menyusun alat pengumpul data atau instrumen
pengumpul data, yang berisi beberapa butir pertanyaan yang bersifat umum.
Daftar pertanyaan itu tersusun dalam sebuah panduan wawancara yang menjadi
pegangan peneliti untuk dikembangkan dalam pelaksanaan wawancara. Atau daftar
pertanyaan yang disusun secara terstruktur, khususnya dalam penelitian
komunitas fuqaha, apabila dilakukan dengan menggunakan metode survai. Sementara
itu, untuk pengamatan, peneliti sendiri menjadi instrumen penelitian.
2. Menghubungi informan atau responden untuk
menentukan kesediaan wawancara, terutama berkenaan dengan subsatansi wawancara,
tempat dan waktu wawancara. Hal ini menjadi penting karena keberhasilan
wawancara sangat tergantung kepada kesediaan informan atau responden untuk
menyampaikan informasi atau pendapatnya secara rinci dan terbuka.
3. Mengumpulkan data dengan cara wawancara,
atau kuisioner, atau pengamatan terlibat. Sedangkan dalam kuisioner diusahakan
agar isi pertanyaan mudah dipahami oleh responden. Sementara itu, dalam
pengamatan diperlukan kejelian peneliti terhadap apa yang dilihat dan didengar
dalam komunitas fuqaha yang dijadikan fokus penelitian.
4. Mencatat isi wawancara atau kuisioner atau
pengamatan. Pencatatan isi wawancara cukup dibatasi pada hal-hal yang dipandang
penting, sedangkan isi wawancara secara lengkap direkam dengan menggunakan alat
perekam. Sedangkan pengisian kuisioner relatif mudah dilakukan, apabila dalam
daftar pertanyaan itu telah disusun secara jelas dan rinci. Sementara itu,
pencatatan hasil pengamatan dilakukan secara terus menerus dari apa yang dapat
dilihat dan didengar.
5. Melakukan pengecekan terhadap hasil
wawancara, yang dapat ditempuh melalui dua cara. Pertama, wawancara ulang
apabila hasil wawancara belum memadai dan ditemukan hal-hal yang belum jelas.
Kedua, dilakukan melalui responden berikutnya apabila kesamaan pandangan antar
responden tampak dengan nyata. Sedangkan pengecekan hasil pengamatan dapat
dilakukan dengan cara yang sama dengan pengecekan hasil wawancara. Sementara
itu, pengecekan kuisioner dilakukan pemeriksaan hasil pengisian oleh responden,
untuk selanjutnya dilakukan seleksi dari kesalahan pengisian kuisioner.
6. Menyalin hasil wawancara atau penamatan
dari ragam bahasa lisan menjadi bahasa tulisan, sesuai dengan ungkapan responden,
atau hasil pengamatan. Hasil salinan itu dicatat secara lengkap, kemudian
dialihkan ke dalam lembaran khusus. Dalam lembaran itu diberi keterangan
tentang: nama informan atau responden, waktu wawancara, dan tempat wawancara;
serta pengodean berdasarkan unsur yang tercakup dalam fokus penelitian. Hal
serupa dilakukan atas hasil pengamatan dan kuisioner.
7. Menyarikan isi catatan yang telah disalin
ke dalam bahasa tulisan menurut kosa kata dan gaya bahasa yang digunakan oleh
peneliti. Dalam proses ini diperlukan kehati-hatian, terutama hasil wawancara
atau pengamatan yang dapat disarikan. Di samping itu, hal yang juga penting,
menghidarkan diri untuk memberi komentar, apalagi, penilaian terhadap hasil wawancara atau pengamatan.
8. Melakukan konfirmasi dengan informan atau
responden terutama tentang sari hasil wawancara atau pengamatan. Konfirmasi ini
dilakukan untuk memeroleh persetujuan informan atau responden. Selain itu,
untuk menghidarkan kemencengan berdasarkan persepsi atau subyektivitas peneliti.
9. Mengklasifikasikan data sesuai dengan unsur
dan pertanyaan penelitian yang diajukan. Kemudian, mana yang dipandang pokok,
dan mana yang dipandang penting dan penunjang.
Di samping itu,
tahapan pengumpulan data sebagaimana dikemukakan di atas dalam berbagai hal
kemungkinan mengalami perubahan, terutama wawancara dan pengamatan, karena hal
itu sangat tergantung pada situasi di lapangan. Boleh jadi wawancara dengan
informan atau responden dilakukan lebih dari satu kali apabila data yang
diperoleh belum dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian secara
rinci. Selain itu, dalam penelitian yang menggunakan paradigma kualitatif
pengumpulan data dan analisis data dapat dilakukan secara simultan dan terus
menerus.
c. Analisis Data
Tahapan pengumpulan
data sebagaimana diuraikan di atas, sebagian telah memasuki bagian awal dari
analisis data, yakni ketika dilakukan klasifikasi data. Berkenaan dengan hal
itu, pada tahap analisis data dilakukan dengan melibatkan tahapan penelitian
yang telah dilaksanakan. Secara umum analisis data dilakukan dengan cara
menghubungkan dari apa yang diperoleh dari suatu proses kerja sejak awal. Ia
ditujukan untuk memahami data yang terkumpul dari sumber, untuk menjawab
pertanyaan penelitian dengan menggunakan kerangka berpikir tertentu. Atas
perihal tersebut dapat disusun tahapan analisis data secara terus menerus.
Dalam penelitian
kualitatif, analisis data dilakukan sejak pengumpulan data, dengan tahapan
sebagaimana berikut ini. Pertama, data yang telah terkumpul (Data 1) diedit dan
diseleksi sesuai dengan ragam pengumpulan data (kajian bahan pustaka dan
wawancara), ragam sumber (bahan pustaka dan responden), dan pendekatan yang
digunakan (kerangka berpikir), untuk menjawab pertanyaan penelitian yang
terkandung dalam fokus penelitian. Oleh karena itu, terjadi reduksi data
sehingga diperoleh data halus (Data 2). Dalam proses itu, dilakukan konfirmasi
dengan sumber data (Konfirmasi 1: bahan pustaka; Konfirmasi 2: responden).
Kedua,
berdasarkah hasil kerja pada tahapan pertama, dilakukan klasifikasi data: kelas
data dan subkelas data. Hal itu dilakukan dengan merujuk pada pertanyaan
penelitian dan unsur-unsur yang terkandung dalam fokus penelitian.
Ketiga, data
yang telah diklasifikasikan diberi kode. Kemudian antar kelas data itu disusun
dan dihubungkan dalam konteks model penelitian. Hubungan antar kelas data
tersebut divisualisasikan dalam tabel silang (matriks), atau diagram. Dengan
cara demikian berbagai hubungan antar data dapat dideskripsikan secara verbal,
sehingga diperoleh kesatuan data yang menggambarkan tentang tokoh atau
komunitas fuqaha.
Keempat,
selanjutnya dilakukan penafsiran data berdasarkan salah satu, atau lebih,
pendekatan yang digunakan, yakni: pendekatan historis, atau pendekatan
sosiologis. Ketepatan pendekatan yang digunakan merujuk pada kerangka berpikir
yang dijadikan kerangka analitis.
Kelima,
berdasarkan hasil kerja pada tahapan keempat dapat diperoleh jawaban atas
pertanyaan penelitian. Berdasarkan hal itu, dapat ditarik simpulan internal,
yang di dalamnya terkandung data baru atau temuan penelitian (Data 3). Dalam
proses itu dilakukan konfirmasi dengan sumber data dan sumber lainnya
(Konfirmasi 3: kepustakaan; dan Konfirmasi 4: responden).
Keenam,
menghubungkan apa yang ditemukan dalam penelitian ini dengan hasil penelitian
tentang fokus serupa, yang pernah dilakukan dalam konteks yang sama atau
berbeda sebagaimana dapat ditemukan dalam tinjauan pustaka. Berdasarkan hal
itu, dapat ditarik simpulan makro dari penelitian tersebut. Dengan cara demikian,
akan tampak makna dan posisi penelitian dalam gugus penelitian yang tercakup
dalam model penelitian fuqaha.
Sementara itu,
analisis data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan uji statistik sesuai
dengan tingkat akurasi yang diharapkan. Dalam analisis data kuantitatif
diperlukan pemilahan data: nominal, ordinal, dan interval; hubungan antar
pilahan data tersebut. Untuk menuju ke arah itu, apa yang disusun oleh
Singarimbun dan Sofian Effendi (1982: 238), tabel “Ukuran Pengujian Data dalam
Penelitian Sosial”, dapat dijadikan rujukan.
Penelitian
Mazhab Fiqih
Menurut Luis
Ma’luf yang dikutip oleh Romli SA, (1999) secara etimologi muqaranah berasal dari kata kerja qarana, yang artinya
membandingkan dan kata muqaranah sendiri, kata yang menunjukan keadaan atau hal
yang berarti membandingkan atau perbandingan. Membandingkan disini adalah
membandingkan dua perkara atau lebih. Adapun mazhab yang berarti aliran atau
paham yang dianut. Yang dimaksud disini adalah mazhab-mazhab hukum dalam islam.
Sedangkan menurut istilah, madzhab bermakna:[9]
a. Jalan pikiran atau metode yang ditempuh
oleh seorang imam Mujtahid dalam menetapkan suatu peristiwa berdasarkan kepada
Al-Qur’an dan Hadits.
b. Fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid
tentang hukum atau peristiwa yang diambil dari AL-Qur’an dan AL-Hadits.
Menurut ulama
fikih Islam, perbandingan madzhab atau muqoronatul-madzahib adalah,
Mengumpulkan pendapat para imam mujtahidin dengan dalil-dalilnya tentang
sesuatu masalah yang diperselisihkann padanya, kemudian membandingkan
dalil-dalil itu satu sama lainnya, agar nampak setelah dimunaqosahkan pendapat
mana yang terkut dalilnya.
A. Perbandingan Mazhab Sebagai Ilmu dan Metode
Istilah
perbandingan madzhab merupakan terjemahan dari kata muqaranah almadzahib. Dalam
perkembangan keilmuan, dikenal juga istilah fiqih muqaran. Para ahli telah
berupaya untuk mendefinisikan istilah tersebut.
Perbandingan
madzhab dianggap sebagai suatu ilmu yang mandiri yang memiliki ontology,
epistemology dan aksiologi tersendiri. Lebih jauh tentang hal ini, Muslim
Ibrahim menjelaskan bahwa perbandingan madzhab adalah salah satu cabang dari
fiqih muqaran. Fiqh muqaran sendiri menurutnya, memiliki empat buah cabang,
yaitu muqaranah al-madzahab fi al-fiqh (dalam bahasa Indonesia dapat
diterjemahkan “perbandingan madzhab”), muqaranah al-madzahbi fi ushul al-fiqh
(ushul fiqih perbandingan), muqaranah asy-syara’i (perbandingan syariah) dan
muqaranah fi al-qawanin al-wadh’iyyah (perbandingan hukum”).
Secara etimologi
muqaranah berarti membandingkan. Membandingkan dua hal atau dua perkara atau
lebih. Menurut bahasa madzhab berarti jalan atau tempat yang dilalui. Muqaranah
madzhab yaitu bidang yang mengkaji dan membahas tentang hukum yang terdapat
dalam berbagai madzhab dengan membandingkan satu sama lain agar dapat melihat
tingkat kehujjahan yang dimiliki oleh masing-masing madzhab tersebut, serta
mencari segi-segi persamaan dan perbedaannya.
Di samping suatu
ilmu yang mandiri, perbandingan madzhab juga adalah suatu metode. Metode perbandingan
madzhab adalah suatu metode yang para fuqaha berusaha mencari masalah yang
diperselisihkan. Langkah dari metode perbandingan madzhab adalah sebagai
berikut:
a. Mengutip pendapat-pendapat para fuqaha
dari berbagai madzhab yang diambil dari kitab-kitab madzhab, terutama pendapat
yang dianggap paling kuat;
b. Mengutip dalil-dalil yang digunakan para
fuqaha, baik dari al-Quran, as-Sunnah, qiyas dengan syarat dalil-dali tersebut
yang paling kuat;
c. Mengidentifikasi faktor yang menjadi pemicu
dari perbedaan pendapat tersebut;
d. Mengkritisi kuat atau lemahnya pendapat
dan dalil yang dikemukakan masingmasing fuqaha;
e. Menarik kesimpulan dan memilih pendapat
yang terkuat dalilnya serta cocok untuk diterapkan.
B. Objek dan Ruang Lingkup
Obyek bahasan
ilmu perbandingan madzhab adalah membandingkan, baik permasalahannya, maupun
dalil-dalilnya. Sedangkan yang menjadi ruang lingkup atau sasaran permasalahan
ilmu perbandingan madzhab ialah:
a. Hukum-hukum amaliah, baik yang disepakati,
maupun yang masih diperselisihkan antara para mujtahid, dengan membahas cara
beritihad mereka dan sumber-sumbeer hukum yang dijadikan dasar oleh mereka
dalam menetapkan hukum;
b. Dalil-dalil yang dijadiakan dasar oleh
para mujtahid, baik dari Al-Qur’an
maupun As-Sunnah, atau dalil-dalil lain
yang diakui oleh syara’;
c. Hukum-hukum yang berlaku di negara
tempat muqorin (pelaku muqoronah) hidup, baik hukum nasional/positif, maupun
hukum international.
Madzhab fiqh
dapat dikelompokkan menjadi tiga madzhab utama yaitu: Sunni, Syi’ah, dan
Khawariji. Dari tiga madzhab itu berkembang madzhab yang lebih kecil, misalnya
madzhab Sunni sampai sekarang berkembang menjadi empat madzhab: Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan Hanbali (al-Madzahib al-Arba’ah); madzhab Syi’ah berkembang
menjadi Madzhab Ja’fari (Imami), Zaidi, dan Isma’ili; terakhir madzhab Khawarij
menyisakan satu madzhab; madzhab Ibadi.
Ketiga madzhab
tersebut mempunyai karakteristik masing-masing dalam menggali hukum Islam dan
menyebarkan pemahamannya kepada masyarakat. Begitu pula, dalam proses
pembentukan dan penulisan kitab fiqhnya, masing-masing memiliki sistematika
yang berbeda. Lebih tegas lagi, Schacht mengatakan bahwa yurisprudensi hukum
Islam lahir dari satu pusat, yakni madzhab Irak sebagaimana pendapat Goldziher.
Madzhab Irak ini lebih berkembang dan sistematis dibanding madzhab Madinah.
Dampak nyata dalam bentuk penulisan kitab fiqh dapat dilihat dari karya-karya
para imam atau murid imam madzhab fiqh. Misalnya, Kitab-kitab fiqh disusun
berdasarkan permintaan penguasa dan pemerintah pun mulai menganut salah satu
madzhab fiqh resmi negara, seperti dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah yang
menjadikan fiqh Madzhab Hanafi sebagai pegangan para hakim di pengadilan.
Di samping
sempurnanya penyusunan kitab-kitab fiqh dalam berbagai madzhab, juga disusun
kitab-kitab usul fiqh, seperti kitab Ar-Risalah yang disusun oleh Imam Asy
Syafi’i. sebagaimana pada periode ketiga, pada periode ini, fiqh iftiradi
semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan dalam fiqh tidak lagi
pendekatan aktual di kala itu, tetapi mulai bergeser pada pendekatan teoretis.
Selain itu, penulisan sunnah dikenal dengan “kutub al-sittah”” (Bukhari,
Nuslim, Nasai, Ibn Majjah, Dawud, dan Tirmidzi) yang jumlahnya berpuluh jilid
serta penulisan tafsir telah dilakukan seperti tafsir ibn juraih, Saddi dan
Muhammad bin Ishaq yang dikembangkan oleh Ibn Jarir Ath-Thabari (ulama tafsir
terkenal).
Dalam analisis
Qordri Azizy, penulisan kitab-kitab fiqh tidak lepas dari madzhab besar atau
imam sebelumnya. Peralihan dari tradisi ijtihad kepada tradisi taklid pun
terjadi sebagai dampak madzhab besar terhadap para pengikut atau muridnya.
Sebagai contoh, uraian yang terdapat dalam Al-Majmu karya An-Nawawi,
Al-Mustasfha, dan Ihya Ulum Ad-Din karya Al-Ghazali, dan masih banyak lagi.
Mereka juga giat meneliti dan mengklarifikasikan permasalahan fiqh dan
memperdebatkannya dalam forum-forum ilmiah sehingga dapat diketahui mana
pendapat yang disepakati dan mana pendapat yang diperselisihkan.
Kemudian, mereka
bukukan dalam bentuk kitab seperti Al-Inshaf karya Al-Bathliyusi, Bidaya
Al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd (w. 595 H), Al-I’tisham karya Asy-Syatibi dan
lain-lainnya yang merupakan embrio bagi kelahiran ilmu fiqh al-muqaram pada
periode selanjutnya.
Fuqaha juga
sangat berkreasi dalam bidang usul fiqh. Mereka mempelajari metode-metode yang
dirumuskan oleh fuqaha sebelumnya, menyempurnakan, dan menganalisis hasil
penerapan masing-masing metode kepada masalah-masalah fiqhiyyah sehingga fase
ini telah dapat menelurkan puluhan kitab dalam bidang qawaid fiqhiyyah.
Sementara itu,
madzhab Zaidiyah, meskipun sedikit, madzhab ini mamiliki format penulisan fiqh,
yakni Al-Majmu [fatwa-fatwa Zaid ibn Ali], baik bidang hadis maupun fiqh, yang
dikumpulkan oleh Abu Khalid ‘Amar bin Khalid Al-Wasithi (w. 150 H) dan
al-Raudhu An-Nadhir Syarh Majmu’ al-Fiqh al-Kabir karya Syafrudin Husein Ibn
Ahmad Al-Haimi Al-Yamini al-Son’ani (1221 H). Adapun kitab resmi Fiqh madzhab
Ismaili, Da’aim al-Islam, karya Numan Ibn Muhammad At-Tamimi (w. 974 H).
Adapun madzhab
Khawarij, format penulisan kitab yang dijadikan rujukan oleh madzhab Ibadiyah
adalah Musnad Ar-Rab’I karya Rabi’ bin Habib al-Farahidi al Umani al-Bashri dan
kitab Ashdag Al-Manahij fi Tamyiz Al-Ibadiyah Min Al-Khawarij karya ulama
mutqkhir Ibadi, Salim bin Hamud.
Penelitian
Institusional Fiqih
A. Fiqh dan Institusional
Ada semacam
kesan bahwa fiqh atau hukum (syari‘at) Islam pada umumnya, identik dengan
hukuman qisas, rajam, dan potong tangan. Oleh karena itu, bagi mereka yang
merasa risih dengan hukuman yang mengerikan itu, dengan serta merta merasa
takut apabila syari‘at Islam dilaksanakan dalam penyelenggaraan negara.[10]
Sebaliknya, bagi mereka yang berpandangan bahwa hukuman itu merupakan bagian dari
kelengkapan syari‘at Islam yang sangat penting, pelaksanaan hukuman tersebut
dalam penyelenggaraan negara merupakan keniscayaan. Terjadi dua sikap apriori
yang berlawanan.
Sementara itu
pelaksanaan syari‘at Islam melalui pendekatan kultural dalam kehidupan
bermasyarakat boleh dikatakan relatif lancar, meskipun berjalan sangat lambat
(“jalur lambat”) dan tidak memiliki daya ikat dan daya atur secara nasional.
Pendekatan itu dilakukan melalui proses alokasi hukum Islam, terutama fiqh, ke
dalam institusi sosial yang tersedia dalam ruang yang luas dan kurun waktu yang
amat panjang. Proses itu dapat disebut sebagai institusionalisasi fiqh, yang
menjadi subyek utama dalam tulisan ini. Hal itu terjadi secara bertahap dan
berkesinambungan. Setiap tahapan menunjukkan tentang perubahan alokasi fiqh ke
dalam institusi sosial, yang kemudian memeroleh konkretisasi dalam wujud pola
perilaku dalam memenuhi kebutuhan hidup. Institusionalisasi itu didasarkan pada
asumsi bahwa pada setiap satuan masyarakat memiliki berbagai institusi sosial
sebagai norma-norma yang dijadikan rujukan dalam memenuhi kebutuhan hidup
spesifik. Institusi itu bersumber dari kebudayaan yang dianut oleh masyarakat
(lokal), yang dipelihara dan diwariskan secara turun temurun. Selain itu,
institusi merupakan produk interaksi dengan kebudayaan asing yang lebih unggul
dan dominan.
Tahapan
institusionalisasi fiqh dapat diuraikan sebagaimana berikut ini :
1. Tahapan pemahaman substansi fiqh secara
individual dan kolektif.
2. Tahapan penghargaan terhadap substansi
fiqh sebagai norma perilaku.
3. Tahapan pematuhan terhadap fiqh sebagai
norma pengatur. Yakni suatu kehendak untuk menundukkan diri kepada fiqh sebagai
norma perilaku. Tingkat kepatuhan antar individu dan kelompok sosial juga
sangat bervariasi.
4. Tahapan pengamalan sebagai wujud nyata
atas pematuhan terhadap norma kehidupan tersebut, sesuai dengan kebutuhan hidup
secara individual dan kolektif.
5. Tahapan pembiasaan sebagai wujud
pengamalan yang berulang-ulang. Pembiasaan itu diwariskan dari suatu generasi
kepada generasi berikutnya secara turun menurun. Dengan demikian fiqh menjadi
bagian dari entitas kehidupan secara kolektif, yang dapat menjadi ciri spesifik
suatu komunitas dalam satuan masyarakat yang lebih luas.
6. Tahapan penyerapan atau difusi fiqh ke
dalam pola perilaku kolektif dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dalam tahapan ini
terjadi interaksi antara fiqh dengan institusi sosial melalui proses adaptasi
dan akomodasi. Selanjutnya terjadi penerimaan atau integrasi fiqh ke dalam
institusi sosial yang telah tumbuh dan berkembang sebelumnya. Integrasi itu
terjadi ketika persamaan substansi dan fungsi fiqh dan institusi sosial lebih
besar ketimbang perbedaannya.
7. Tahapan pengalokasian fiqh ke dalam
institusi sosial secara optimal dan ajeg, yang kemudian terbentuk suatu
institusi sosial bercorak keislaman (“institusi Islam”). Fiqh diterima sebagai
norma pengatur yang diserap tanpa mengganggu keberadaan dan fungsi institusi
sosial yang telah mapan.
Institusionalisasi
fiqh ke dalam institusi peribadatan di luar yang disyari‘atkan: shalat, shaum,
dan haji– misalnya, merupakan suatu proses alokasi fiqh dalam tata cara dan
upacara keagamaan, baik yang berkenaan dengan peristiwa penting dalam kehidupan
manusia (kelahiran, perkawinan, dan kematian) maupun peristiwa alamiah dalam
konteks kebudayaan tertentu, seperti gerhana matahari, gerhana bulan, dan
kemarau yang berkepanjangan. Simbol dan substansi fiqh secara bertahap menjadi
pengarah utama dalam ritus tersebut. Boleh jadi dalam proses itu alokasi fiqh
hanya bersifat simbolis, atau sekaligus substantif. Dalam masyarakat yang
cederung menganut kebudayaan ekspresif terutama di beberapa negara Asia Selatan
dan Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, proses tersebut akan mudah
diidentifikasi, dipahami, dan dijelaskan.
Institusionalisasi
fiqh dalam setiap komunitas tidak selalu berjalan secara simultan. Norma fiqh
yang berkenaan dengan institusi kekerabatan, terutama fiqh munakahah, telah
menjadi norma kehidupan dalam lingkungan masyarakat Islam pada umumnya; dan
mendapat legalisasi di beberapa negara yang ditetapkan melalui peraturan
perundang-undangan. Norma fiqh berkenaan dengan institusi ekonomi, yakni fiqh
muamalah, terutama dalam pengelolaan perbankan (bank syari‘ah) telah menjadi
salah satu alternatif dalam menggerakkan roda perekonomian di beberapa negara.
Institusionalisasi fiqh telah
melahirkan beberapa institusi sosial bercorak keislaman, yakni institusi
peribadatan, institusi kekerabatan, institusi pendidikan, institusi penyiaran,
institusi keilmuan, institusi ekonomi, institusi hukum, institusi politik,
institusi kesehatan, institusi perawatan sosial, dan institusi kesenian.
Kesebelas institusi itu merupakan bagian dari struktur masyarakat Islam, baik
di negara-negara Islam dan negeri-negeri Muslim maupun di negara-negara yang
mayoritas penduduknya non-Muslim. Proses pembentukan, besaran, dan perkembangan
masing-masing institusi tersebut tentu saja sangat beragam.
B. Fokus Penelitian
Berikut pemetaan
tentang wilayah penelitian institusionalisasi fiqh. Fiqh dipilah menjadi tujuh
bidang, yakni: fiqh ibadah, fiqh munakahah, fiqh waratsah, fiqh muamalah, fiqh
jinayah, fiqh siyasah, dan fiqh aqdhiyah. Sedangkan institusi sosial dipilah
menjadi 11 bidang, yakni: institusi peribadatan. institusi kekerabatan,
institusi pendidikan, institusi penyiaran, institusi keilmuan, institusi
ekonomi, institusi hukum, institusi politik, institusi kesehatan, institusi
perawatan sosial, dan institusi kesenian.
Berdasarkan
pemilahan wilayah penelitian di atas, dapat dilakukan pemilihan model
penelitian sesuai dengan keahlian dan minat peneliti. Namun demikian, dalam tulisan ini hanya
disajikan tiga model penelitian, yang dapat digunakan untuk memahami dan
menjelaskan institusionalisasi fiqh secara keseluruhan maupun masing-masing
bidang fiqh. Ketiga model tersebut terdiri atas:
1. Model Proses Institusionalisasi Fiqh
(MPIF);
2. Model Integrasi Fiqh dalam Institusi
Sosial (MIFI);
3. Model Peranan Tokoh Masyarakat (MPTM).
Ketiga model
tersebut menunjukkan tentang aspek dinamis alokasi fiqh dalam institusi sosial.
Model itu dapat diterapkan dalam satuan komunitas yang amat dekat dengan
kehidupan peneliti, baik dalam dimensi ruang maupun waktu. Dengan demikian, penelitian
akan dapat dilakukan dengan mudah dan memperoleh manfaat yang lebih nyata. Di
samping ketiga model tersebut dapat disusun dan dirumuskan model lain, dengan
merujuk pada cakupan wilayah penelitian.
1. Model Proses Institusionalisasi Fiqh
Fokus penelitian
MPIF lebih ditekankan pada tahapan difusi dan alokasi fiqh ke dalam institusi
soal, sebagaimana telah dikemukakan, yakni pemahaman, penghargaan, pematuhan,
pengamalan, pembiasaan, penyerapan, dan pengalokasian fiqh. Namun demikian
dalam model ini hanya dicantumkan empat tahapan yang kemudian dijadikan unsur
fokus penelitian: pemahaman, pematuhan, pengamalan, dan penyerapan fiqh (PPPP).
Hal itu disusun untuk menyederhanakan unsur fokus penelitian. Bahkan, apabila
keempat unsur itu dipandang terlalu rumit, maka unsur fokus penelitian dapat
dikurangi.
2. Model Integrasi Fiqh dalam Institusi
Sosial
Fokus penelitian
MIFI lebih ditekankan pada wujud akomodasi atau penerimaan fiqh ke dalam
institusi sosial yang tersedia. Dalam model ini terdiri atas empat unsur, yakni
substansi fiqh, potensi integrasi, proses integrasi, dan bentuk integrasi
(SPPB). Dalam fokus ini institusionalisasi fiqh dipandang sebagai sesuatu “yang
telah diketahui”. Sedangkan keempat unsur fokus penelitian tersebut dipandang sebagai
sesuatu “yang belum diketahui”. Bila keempat unsur fokus itu dipandang sangat
rumit, dapat dilakukan pengurangan salah satu unsur.
3. Model Peranan Tokoh Masyarakat
Fokus penelitian
MPTM lebih ditekankan aktualisasi diri tokoh masyarakat dalam proses alokasi
fiqh ke dalam institusi sosial. Dalam model ini terdiri atas empat unsur, yakni
kedudukan tokoh, kegiatan tokoh, partisipasi pengikut, dan perubahan institusi
(KKPP). Dalam fokus ini institusionalisasi fiqh dipandang sebagai sesuatu yang
telah diketahui. Sedangkan keempat unsur fokus tersebut dipandang sebagai
sesuatu yang belum diketahui.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian
institusionalisasi fiqh dapat dikatakan masih amat langka, meskipun gejala itu
dengan mudah dapat ditemukan di mana pun dan kapan pun. Untuk memahami dan
menjelaskan struktur, fungsi, dan perkembangan institusi bercorak keislaman
memerlukan beragam pengetahuan dalam ilmu fiqh, ilmu-ilmu budaya, dan ilmu-ilmu
sosial. Kelangkaan penelitian “akar” itu boleh jadi karena dipandang tidak
penting, atau sebaliknya. Institusi itu dapat diketahui secara kasat mata dan
tidak aneh. Atau boleh jadi memadukan beragam ilmu untuk memahami dan
menjelaskan “akar” tersebut merupakan suatu kesulitan tersendiri. Padahal
dengan menggunakan beragam ilmu itu, “akar” kehidupan masyarakat Islam akan
dengan mudah untuk diidentifikasi, dipahami, dan dijelaskan.
Berkenaan dengan
kedua hal di atas, tujuan penelitian dapat dirumuskan mulai dari yang sederhana
hingga yang rumit. Secara umum, tujuan yang paling sederhana adalah untuk
mengidentifikasi institusionalisasi fiqh dalam suatu satuan masyarakat.
Sedangkan tujuan penelitian yang dipandang rumit adalah untuk memahami dan
menjelaskan institusionalisasi fiqh itu dalam suatu satuan masyarakat dengan
memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi. Hal itu didasarkan pada
pandangan bahwa institusionalisasi fiqh merupakan suatu rangkaian perubahan
sebagaimana tergambarkan dalam ketiga fokus di atas. Bila penelitian tentang
ketiga fokus itu dilakukan dalam beberapa satuan masyarakat secara terus
menerus, maka akan ditemukan pola institusionalisasi fiqh.
Tujuan
penelitian proses institusionalisasi fiqh untuk memahami atau menjelaskan
tahapan pengalokasian fiqh ke dalam institusi sosial secara linier. Boleh jadi
tahapan tersebut terjadi secara evolusioner. Di samping itu, mungkin juga
terjadi secara revolusioner. Pada tiap tahapan itu berkenaan faktor penunjang
dan penghambat, serta arah institusionalisasi fiqh. Bila penelitian itu
dilakukan dalam beberapa satuan masyarakat yang beragam, maka akan ditemukan
pola tahapan institusionalisasi fiqh.
Tujuan penelitian
peranan tokoh masyarakat dalam institusionalisasi fiqh adalah untuk memahami
atau menjelaskan tentang usaha-usaha yang dilakukan oleh pemimpin masyarakat
dalam institusionalisasi fiqh. Hal itu didasarkan pada asumsi bahwa pemimpin
masyarakat memiliki kemampuan memengaruhi atau menggerakkan para pengikutnya
untuk berpartisipasi dalam institusionalisasi fiqh. Kemampuan tersebut akan
sangat bervariasi, tergantung pada tipe kepemimpinan yang dianut dan intensitas
hubungan antara pemimpin dengan para pengikut yang bersangkutan.
2. Kegunaan Penelitian
Penelitian
institusionalisasi fiqh memiliki beberapa kegunaan. Pertama, hasil penelitian
berguna untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah tentang fiqh dalam entitas
kehidupan. Fiqh bermula sebagai jawaban atas masalah hukum yang dihadapi dalam
memenuhi kebutuhan hidup spesifik dari berbagai satuan masyarakat Muslim yang
tersebar di berbagai lingkaran kebudayaan. Atas perihal tersebut, kegunaan
penelitian institusionalisasi fiqh mencakup:
a. Untuk menemukan anatomi dan dinamika
institusionalisasi fiqh dalam berbagai satuan masyarakat yang majemuk dan
multikultural, sehingga wacana fiqh semakin kaya;
b. Untuk menata pengkajian
institusionalisasi fiqh sebagai salah satu subyek pengkajian fiqh sehingga
pengkajian fiqh lebih bervariasi dan dinamis;
c. Untuk dialihkan ke dalam kegiatan
pembelajaran sehingga para pencari pengetahuan ilmiah akan memperoleh informasi
mutakhir berkenaan dengan institusionalisasi fiqh, yang pada ujungnya
kompetensi ilmiah yang bersangkutan akan lebih bermutu;
d. Untuk dijadikan titik tolak bagi kegiatan
penelitian institusionalisasi fiqh lebih lanjut, baik oleh peneliti yang
bersangkutan maupun oleh peneliti lain, sehingga kegiatan penelitian akan
dilakukan secara berkesinambungan.
Kedua, hasil
penelitian berguna bagi pemenuhan hajat hidup manusia, khususnya berkenaan
dengan aspek penataan kehidupan kolektif. Ia mencakup: Untuk mengembangkan
apresiasi terhadap institusionalisasi fiqh sebagai inti kebudayaan dalam masyarakat
Islam, Untuk meningkatkan apresiasi terhadap institusionalisasi fiqh yang
beragam, sehingga muncul toleransi yang tinggi atas keberagaman pemahaman fiqh
dan norma-norma kehidupan masyarakat pada umumnya, Untuk dijadikan salah satu
bahan rujukan dalam proses penataan kehidupan manusia yang semakin pelik dan
rumit, termasuk kehendak untuk melaksanakan syari‘at Islam dalam masyarakat
majemuk dan multikultural.
D. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Berpikir
1. Tinjauan Pustaka
Ketika terjadi
interaksi antar masyarakat (etnis atau bangsa), maka dengan sendirinya terjadi
interaksi antar kebudayaan. Interaksi itu terjadi sepanjang sejarah umat
manusia. Masyarakat yang memiliki tradisi mengembara (centrifugal) berinteraksi
dengan masyarakat yang memiliki tradisi menetap (centripetal). Dalam interaksi
itu akan terjadi difusi kebudayaan. Kebudayaan tinggi yang unggul memengaruhi
kebudayaan rendah yang marjinal. Bahkan, kebudayaan tinggi itu dapat
mendominasi kebudayaan rendah, baik melalui infrastruktur maupun suprastruktur
sosial. Hal itu terjadi melalui penyebaran agama (dunia), kesepakatan antar
anggota satuan masyarakat, dan penjajahan dengan pengerahan kekuatan militer.
Hal terakhir dilakukan melalui invasi dan agresi oleh bangsa yang kuat terhadap
bangsa yang lemah. Berkenaan dengan hal itu, dewasa ini, kebudayaan Barat
(Eropa Kontinental dan Anglo-Amerika) sangat dominan dalam kehidupan masyarakat
dunia. Hal itu amat tampak dalam sistem hukum nasional di berbagai negara bekas
jajahan, yang diadopsi dari civil law system dan common lawsystem karena telah
terjadi penetrasi kebudayaan melalui penjajahan.
Ketika terjadi
difusi kebudayaan, dalam hal institusionalisasi fiqh, maka muncul hubungan yang saling
menguntungkan (mutual symbiotic) atau terjadi integrasi. Dari beberapa hasil
penelitian dalam lingkungan masyarakat etnis di Indonesia, misalnya,
menunjukkan tentang hal itu.
Teori difusi
atau asimilasi kebudayaan merupakan salah satu unsur informasi yang dapat
digunakan untuk memahami institusionalisasi fiqh terutama berkenaan dengan
fokus penelitian yang dipilih. Oleh karena itu, pengkajian pustaka tentang
teori tersebut dan aplikasinya dalam kegiatan penelitian merupakan kegiatan
lanjutan setelah fokus penelitian dirumuskan. Selanjutnya, hasil kajian pustaka
itu dikemukakan sebagai tinjauan pustaka sesuai dengan cakupan fokus
penelitian.
2. Kerangka Berpikir
Secara sepintas
institusionalisasi fiqh amat sederhana, hanya mencari unsur-unsur kesamaan
antara fiqh dengan norma lokal yang dianut. Akan tetapi, di balik kesederhanaan
tersebut terdapat jaringan hubungan antar unsur yang sangat rumit. Dalam
jaringan itu, terjadi perubahan secara terus menerus pada setiap tahapan
institusionalisasi fiqh. Selanjutnya, untuk menyederhanakan instutisionalisasi
fiqh dalam suatu satuan masyarakat, dapat disusun suatu kerangka yang dapat
menggambarkan hubungan antar unsur dalam suatu kesatuan fokus penelitian
sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Berkenaan dengan
hal itu, dapat disusun dan dirumuskan kerangka berpikir institusionalisasi fiqh
secara umum, sebagai rujukan dalam merumuskan kerangka berpikir pada
masing-masing fokus penelitian. Fokus tersebut terdiri atas lima unsur, yaitu:
(1) Fiqh sebagai norma kehidupan yang dipahami dan diamalkan; (2) Norma lokal
yang diwariskan secara turun temurun; (3) Peranan tokoh masyarakat; (4)
Partisipasi pengikut dan masyarakat pada umumnya; (5) Institusionalisasi fiqh
sebagai titik temu keempat unsur lainnya.
E. Langkah-langkah Penelitian
1. Metode Penelitian
Pemilihan metode
penelitian didasarkan kepada pendekatan yang digunakan yang bertitiktolak dari
fokus penelitian yang dipilih. Untuk penelitian institusionalisasi fiqh,
sebagaimana dipilah menjadi tiga fokus penelitian, lebih tepat digunakan
pendekatan antropologis atau sosiologis (mikro). Pilihan metode penelitian yang
dipandang tepat ialah grounded (grounded research) atau studi kasus. Dengan
perkataan lain, dalam penelitian ini digunakan paradigma kualitatif.
2. Sumber Data
Secara umum
sumber data dalam penelitian ini adalah para pelaku yang terlibat dalam
institusionalisasi fiqh, yakni tokoh masyarakat dan para pengikutnya dalam
suatu komunitas. Apa yang dipahami, dilakukan, serta dialami oleh mereka
merupakan data primer dalam penelitian ini. Sumber lain yang dapat digunakan
ialah dokumen yang relevan dengan fokus dan tujuan penelitian.
Penentuan sumber
data, terutama tokoh masyarakat (elite Islam dan elite tradisional), dapat
dilakukan dengan beberapa cara:
a. Pengguliran bola salju (snow balling),
yaitu cara memilih salah seorang tokoh masyarakat sebagai responden atau
informan pertama. Berdasarkan informasi dari yang bersangkutan dipilih tokoh
lain dan seterusnya, sehingga jumlah tokoh tersebut menjadi lebih banyak (bola
membesar). Dengan cara demikian, akan diperoleh beberapa orang tokoh sehingga
mencapai jumlah tertentu sesuai dengan keperluan penelitian.
b. Pemilihan informan secara berjenjang,
yaitu cara memilih tokoh masyarakat dengan menentukan informan kunci yang
dipandang paling memahami sistem sosial dalam suatu komunitas. Berdasarkan
informasi dari yang bersangkutan, dapat dicari informan lain pada jenjang yang
lebih rendah. Pemilihan tokoh masyarakat dengan cara ini dilakukan bertahap,
mulai dari kawasan yang lebih luas menuju ke kawasan yang lebih sempit. Dengan
cara demikian, akan ditemukan sejumlah tokoh masyarakat untuk dipilih menjadi
responden dan informan.
c. Pemilihan anggota kelompok tokoh
masyarakat (sociometric), yaitu cara memilih tokoh masyarakat dengan menyusun
peringkat mereka berdasakan pilihan kelompok yang bersangkutan. Hal itu
dilakukan dengan mengajukan daftar nama untuk dipilih oleh seluruh anggota
kelompok yang tercantum dalam daftar itu. Dengan cara demikian, akan diperoleh
peringkat tokoh masyarakat menurut pilihan masing-masing anggota kelompok.
Berdasarkan peringkat itu dapat dipilih beberapa tokoh masyarakat mulai
peringkat pertama dan seterusnya, sesuai dengan keperluan penelitian.
3. Pengumpulan Data
Pengumpulan data
tergantung kepada jenis data yang diperlukan dan sumber data yang terpercaya.
Pada masing-masing fokus penelitian terdapat sejumlah jenis data yang spesifik.
Rincian jenis data itu disusun berdasarkan unsur fokus pada ketiga model
penelitian institusionalisasi fiqh. Selanjutnya, untuk keperluan pengumpulan
data, masing-masing jenis data itu dapat dirinci lebih lanjut, yang tersusun
dalam panduan wawancara atau butir-butir pengamatan.
4. Analisis Data
Analisis data
dilakukan sejak pengumpulan data, dengan beberapa tahapan sebagaimana berikut
ini
a. Menyeleksi dan menyunting data yang
telah terkumpul (Data 1) berdasarkan cara pengumpulan data (wawancara dan
pengamatan terlibat) dan sumber data (informan, responden, dan subyek
pengamatan). Oleh karena itu, pada tahapan ini terjadi reduksi data sehingga
diperoleh data halus (Data 2). Dalam tahapan ini dilakukan konfirmasi dengan
sumber data (Konfirmasi 1: informan atau responden; Konfirmasi 2: subyek
pengamatan). Misalnya, dalam MPIF, data tentang pelaksanaan suatu ketentuan
fiqh oleh seorang tokoh dikonfirmasi melalui wawancara mendalam dengan tokoh
sehingga data itu terseleksi, terkonfirmasi (dapat dipastikan), dan terpercaya.
Hal yang sama dapat dilakukan kepada pengikut tokoh tersebut.
b. Mengklasifikasi data menjadi kelas data
dan subkelas data atau kategori-kategori (dalam grounded research). Misalnya,
dari hasil seleksi tersebut jenis data pengamalan, sebagai gabungan dari
pengamalan dan pembiasaan, dapat dipilah lebih lanjut menjadi: (1) subkelas
data alasan pengamalan; (2) subkelas data cara atau kaifiah pengamalan; (3)
subkelas data frekuensi pengamalam; dan (4) subkelas data durasi durasi
pengamalan. Boleh jadi subkelas data itu dapat dikembangkan, misalnya subkelas
data rujukan pengamalan (pandangan fuqaha) dan subkelas data sumber rujukan
pengamalan (kitab fiqh tertentu).
c. Menyusun kode kelas dan subkelas data.
Misalnya, kelas data pengamalan diberi kode C. Sedangkan subkelas data alasan
pengamalan diberi kode C1; subkelas data kaifiah pengamalan diberi kode C2;
subkelas data frekuensi pengamalam diberi kode C3; dan subkelas data durasi
pengamalan diberi kode C4. Pengkodean tersebut juga dilakukan terhadap kelas
dan subkelas data lainnya. Dengan cara demikian, dalam MPIF tersusun kode
subkelas data: A1, A2, A3, dan A4 (pemahaman fiqh); B1, B2, B3, dan B4
(pematuhan fiqh); C1, C2, C3, dan C4 (pengamalan fiqh); serta D1, D2, D3, dan
D4 (penyerapan fiqh dalam institusi sosial).
d. Memvisualisasikan (display data) tentang
hubungan antar kelas dan subkelas data dalam bentuk tabel silang atau diagram.
Misalnya, hubungan antara kegiatan tokoh masyarakat dengan partisipasi pengikut
dalam MPTM. Kelas data kegiatan tokoh terdiri atas: subkelas data pengajaran
(kode J1); subkelas data pengajakan (kode J2); dan subkelas data peneladanan
(kode J3); dan subkelas data pemecahan masalah (kode J4). Sedangkan kelas data
partisipasi pengikut terdiri atas: subkelas data kesediaan partisipasi (kode
K1); subkelas data bentuk partisipasi (K2); dan subkelas data tanggung jawab
partisipasi (kode K3). Display data dilakukan dapat disusun dalam bentuk tabel
silang yang menggambarkan tentang hubungan antar subkelas data tersebut.
Subkelas data kegiatan tokoh masyarakat diletakkan dalam kolom. Sedangkan
subkelas data partisipasi pengikut diletakkan dalam lajur. Dengan cara
demikian, akan tergambar hubungan menyilang: J1K1, J1K2, J1K3; J2K1, J2K2,
J2K3; J3K1, J3K2, J3K3; dan J4K1, J4K2, J4K3. Selanjutnya hubungan yang
menyilang itu dideskripsikan secara verbal dengan dukungan data yang diperoleh
melalui wawancara dan pengamatan terlibat. Atas perihal yang sama, sebagian
tentang MPTM akan dapat dideskripsikan secara utuh dalam suatu kesatuan fokus
penelitian yang telah dikonstruksi dan dipilih.
e. Menafsirkan data berdasarkan pendekatan
yang digunakan sebagaimana dirumuskan dalam kerangka berpikir yang disusun oleh
peneliti. Sekedar bahan masukan dalam menafsirkan data tersebut, berikut ini
dikutip dua proposisi sebagaimana dirumuskan dalam kerangka berpikir secara
umum.
f. Menarik simpulan internal, yang di dalamnya,
diharapkan mengandung temuan penelitian (Data 3). Dalam tahapan ini dilakukan
konfirmasi terakhir dengan responden, informan, dan subyek pengamatan. Boleh
jadi dalam konfirmasi ini masih ditemukan data penting yang akan memperkaya
temuan dalam penelitian ini.
Penelitian
Masalah Fiqih
Masail Fiqhiyah
terurai dari kata mas’alah dalam bentuk mufrad yang dijamakkan dan dirangkaikan
dengan kata fiqh. Fiqh secara bahasa adalah pemahaman/ faham sedangkan menurut
istilah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at dalam bentuk amaliah
(perbuatan mukallaf) yang diambil dari dalilnya secara terperinci.
Masail fiqhiyah
adalah persoalan-persoalan yang muncul pada konteks kekinian sebagai refleksi
komplekitas problematika pada suatu tempat, kondisi dan waktu. Dan persoalan
tersebut belum pernah terjadi pada waktu yang lalu, karena adanya perbedaan
situasi yang melingkupinya. Masail merupakan bentuk jamak taksir dari kata
mas’alah yang artinya perkara/ masalah (persoalan). Fiqhiyyah dari kata fiqh
yang artinya pemahaman yang mendalam tentang hukum-hukum Islam.[11]
Jadi masail
fiqhiyah berarti persoalan hukum islam yang selalu dihadapi oleh umat Islam
sehingga mereka beraktifitas dalam sehari-hari selalu bersikap dan berperilaku
sesuai dengan tuntunan Islam. Masail
fiqhiyah disebut juga masail fiqhiyah al haditsah (persoalan hukum Islam yang
baru). Focus kajiannya tidak hanya membahas persoalan fiqih, tapi juga aqidah
(kepercayaan) dan persoalan akhlak (moral).
A. Sebab-Sebab Terjadinya Masalah Fiqih
1. Factor ikhtilaf seputar fiqh
a. Perbedaan qira’at;
b. Adam al ittila ala hadits yaitu adanya
hadits yang belum ditelaah oleh sebagian sahabat karena secara real pengetahuan
mereka dalam hal ini tidak sama;
c. Adanya syak atau keraguan dalam
menetapkan hadits;
d. Perbedaan dalam memahami nas dan
perbedaan penafsirannya;
e. Adanya lafad musytarak yaitu lafadz yang
memiliki dua makna atau lebih;
f. Ta’arud al-Adillah, yaitu dalil-dalil
yang lahir secara kontradiktif.
2. Dua factor dominan perpecahan umat
a. Fanatic Arabisme;
b. Factor pertikaian dalam memperebutkan
kekuasaan dan pengendali tampuk pemerintahan.
3. Metode- Metode Fuqaha dalam menyelesaikan
Persoalan
a. Al-Qur’an;
b. As-Sunnah;
c. Al-Ijma;
d. Al-Qiyas;
e. Al- Istihsan;
f. Al-Maslahah Mursalah
g. Al-Urf;
h. Al-Istihshab;
i. Al-Zara’i;
j. Syar’un man Qoblana;
k. Mazdhab sahabat.
B. Langkah-Langkah Penelitian
1. Kaedah pertama : menghindari sikap taklid
dan atau fanatisme;
2. Kaedah kedua : prinsip mempermudah dan
menghindarkan kesulitan;
3. Kaedah Ketiga : berdialog dengan
masyarakat melalui bahasa kodisi masanya dan melalui pendekatan persuasive
aktif serta komunikatif;
4. Kaedah keempat : bersikap moderat
terhadap kelompok tekstualis (literalis) dan kelompok kontekstualis;
5. Kaedah kelima : ketentuan hukum bersifat
jelas tidak mengandung interpretasi.
Penelitian
Transformasi Fiqih
A. Fiqh dan Sistem Hukum Nasional
Suatu gejala
yang bersifat umum bahwa pembentukan dan pengembangan hukum nasional dilakukan
dari hukum tidak tertulis ke arah hukum tertulis, baik dalam masyarakat bangsa
yang masih berkembang maupun yang telah maju. Meskipun demikian, hukum tidak
tertulis merupakan bagian dalam sistem hukum nasional. Hukum tertulis dan tidak
tertulis itu berlaku dalam penyelenggaraan segenap bidang kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang bersifat mengikat bagi semua
penduduk. Bentuk hukum tertulis di bidang tertentu, terutama dalam bidang hukum
yang relatif netral, dikodifikasikan dan diunifikasikan.
Berkenaan dengan
keterikatan satuan masyarakat bangsa, dewasa ini, umat Islam merupakan bagian
dari empat tipe satuan masyarakat bangsa dalam ikatan organisasi negara modern,
yaitu :[12]
1. Dalam masyarakat bangsa yang secara resmi
menyatakan diri sebagai negara Islam (Islamic states), seperti Brunei
Darussalam, Pakistan, Arab Saudi, Iran, dan Maroko (Muslim Sovereign State).
2. Dalam masyarakat bangsa yang mayoritas
penduduknya beragama Islam tetapi tidak menyatakan dirinya sebagai negara
Islam, dengan madzhab fiqh yang beragam, misalnya, Indonesia (sunni), Irak (32%
sunni dan 65% syi‘i), dan Mesir (sunni). Dalam tipe masyarakat ini, umat Islam
pernah menjadi kekuatan politik yang dominan. Oleh karena itu, transformasi
hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dilakukan melalui
berbagai saluran, infrastruktur maupun suprastruktur politik.
3. Dalam masyarakat bangsa yang mayoritas
penduduknya beragama lain, tetapi berupaya untuk menerapkan hukum Islam sebagai
norma sosial dalam kehidupan internal umat Islam, seperti masyarakat Islam
Patani di Muangthai (Selatan) dan Moro di Philipina (Selatan).
4. Dalam masyarakat bangsa di negara
sekuler, yang mayoritas penduduknya menganut agama lain.
Uraian di atas
menunjukkan tentang tipe masyarakat Muslim dalam berbagai satuan masyarakat
bangsa yang sangat majemuk. Ia berada dalam masyarakat bangsa yang meliputi
berbagai umat pemeluk agama dan corak aliran pemikiran Islam dan madzhab fiqh.
Ia berada dalam masyarakat bangsa yang meliputi berbagai ras, etnis, dan
asal-usul keturunan. Berkenaan dengan hal itu, terdapat variasi transformasi
fiqh ke dalam produk badan penyelenggara negara, terutama badan legislatif dan
eksekutif. Hal itu tergantung kepada politik hukum yang ditetapkan, yang
kemudian ditindaklanjuti melalui program legislasi nasional.
Transformasi
fiqh tersebut merupakan suatu perubahan bentuk, dari produk penalaran fuqaha
yang “beragam” (mukhtalaf fih) menjadi produk badan penyelenggara negara yang
bersifat “seragam” (muttafaq ‘alayh), yakni peraturan perundang-undangan
(al-qānun). Transformasi itu bermakna suatu proses kontekstualisasi norma fiqh
(sebagai majmū‘at al-ahkām) ke dalam struktur masyarakat bangsa. Dalam proses
itu terjadi reduksi, adaptasi, dan modifikasi norma fiqh yang “anti struktur”
menjadi qanun yang “terstruktur”, yang memiliki daya ikat serta daya atur.
Bahkan, dalam hal tertentu, qanun memiliki daya paksa. Dengan demikian, ketika
fiqh ditransformasi ke dalam qanun ia telah mengalami perubahan wujud dan
fungsi dalam konteks sistem hukum nasional. Fiqh telah terintegrasi dengan
norma lain, yang telah berubah bentuk menjadi qanun. Bahkan dalam hal tertentu
mengalami perubahan makna, baik dalam arti perluasan makna maupun penyempitan
makna.
Atas perihal
tersebut, dalam bidang tertentu di Indonesia, misalnya, makna subyek hukum
mengalami perluasan, dari orang (naturlijk persoon) menjadi orang dan atau
badan hukum (rechtspersoon) sebagaimana tampak dalam hukum perwakafan (wakif
dan nadzir) dan hukum pengelolaan zakat (muzakki dan mustahiq). Hal itu tampak
dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, wakif terdiri atas
perseorangan, organisasi, dan badan hukum yang mewakafkan benda miliknya.
Sedangkan nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas
pemeliharaan dan penguasaan benda wakaf.
Secara
sosiologis transformasi fiqh tersebut merupakan produk interaksi antara
kelompok elite Islam (ulama bebas, pemimpin organisasi kemasyarakatan, pejabat
agama, dan cendekiawan Muslim) dengan elite penguasa, yaitu pemerintah dan
unsur kekuasaan lainnya. Dalam proses penyusunan dan pembahasan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, misalnya, peranan elite Islam sangat
menonjol. Hal itu dilakukan melalui pertemuan dan pendekatan dengan
fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah, dan pembahasan intensif
di kalangan mereka. Setiap butir rancangan undang-undang itu dikaji dan diukur
berdasarkan ketentuan fiqh.
Usaha-usaha yang
demikian, menjadikan fiqh sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan qanun.
Hal ini menunjukkan bahwa fiqh memiliki potensi dan posisi dalam sistem hukum
nasional yang bersumber pada qanun. Kini, di samping civil law system, dan
common law system, juga berkembang Islamic law system yang intinya adalah fiqh.
Di beberapa negara Islam, fiqh menjadi sumber utama program legislasi nasional
Sementara itu,
di negara-negara sekuler program legislasi nasional didasarkan pada keputusan
parlemen yang tidak bersangkut paut dengan hukum agama (pada umumnya). Khusus
di Indonesia, hukum agama (Islam) dan hukum agama pada umumnya, diakui dan
dihormati sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat, yang menjadi salah satu
“bahan baku” dalam pengembangan hukum nasional.
Berkenaan dengan
uraian di atas, ada tiga gagasan utama yang digunakan dalam penelitian
transformasi fiqh. Ketiga gagasan itu,
merupakan bagian dari gejala kehidupan di berbagai negara dan kawasan,
khususnya di dunia Islam. Ia berada dalam tataran perubahan hukum di berbagai
satuan masyarakat bangsa, dari hukum tidak tertulis menjadi hukum tertulis,
dari hukum yang bersifat khusus (internal Muslim) menjadi bersifat umum.
1. fiqh (dalam arti majmū‘at al-ahkām)
Yakni produk
penalaran fuqaha bagi penataan kehidupan umat manusia. Ia bersifat semesta,
tanpa terikat oleh struktur sosial meskipun mempertimbangkan dan berkembang
dalam sistem sosial yang berlaku, sebagaimana tampak dalam proses perumusan
fiqh yang juga menggunakan dalil empiris (selain dalil normatif dan dalil
metodologis), seperti al-‘urf, syar‘un man qablanā, dan al-maslahah
al-mursalah. Atas perihal tersebut, dikenal fiqh yang bercorak lokal di
antaranya fiqh Hijazi, fiqh Kufi, fiqh Mishri, fiqh Hindi, dan fiqh Indunisi.
Demikian pula ketika fiqh itu diterapkan dalam kehidupan masyarakat, ia
mengalami penyesuaian dengan tradisi dan derajat kemampuan subyek hukum
(mukallaf) berdasarkan prinsip istitha‘a.
2. transformasi fiqh ke dalam qanun dalam
sistem hukum nasional.
Ia merupakan
pengalihan substansi fiqh ke dalam substansi qanun, yang meliputi empat tataran
hukum, yakni :
a. tataran asas atau prinsip hukum;
b. tataran hukum material (hukum
substantif);
c. tataran hukum formal (hukum acara);
d. tataran pelaksanaan hukum atau penegakan
hukum.
Transformasi itu
dilaksanakan berdasarkan politik hukum dari badan penyelenggara negara yang
ditindaklanjuti oleh program legislasi. Hal itu terjadi di berbagai negara
Islam dan negeri Muslim.
3. sistem hukum nasional sebagai bagian dari
sistem masyarakat dalam ikatan negara kebangsaan.
Dalam sistem
hukum itu mencakup beberapa hal. Pertama, nilai-nilai fundamental yang telah
disepakati sebagai rujukan utama sebagaimana tersurat dalam konstitusi. Kedua,
bahan baku dalam pembentukan dan pengembangan hukum. Ketiga, arah pengembangan
hukum yang hendak dicapai. Keempat, berbagai bidang kehidupan yang memerlukan
pengaturan. Kelima, proses politik melalui suprastruktur dan infrastruktur
politik. Keenam, perangkat hukum dalam jenjang hukum tertulis yang ditetapkan
oleh badan penyelenggara negara. Ketujuh, penegakan hukum melalui badan dan
aparat penegakan hukum. Kedelapan, pluralitas dan perkembangan masyarakat
bangsa secara internal. Kesembilan, perkembangan masyarakat dunia yang
ditunjang oleh produk teknologi (eksternal). Berbagai hal itu merupakan unsur
(subsistem) dalam sistem hukum nasional sebagai suatu kesatuan terintegrasi
yang saling berhubungan, saling menunjang, dan saling tergantung.
Khusus di
Indonesia, transformasi fiqh ke dalam qanun tersebar dalam berbagai
undang-undang, baik dalam hukum keluarga maupun hukum keperdataan lain.
B. Fokus Penelitian
Secara garis
besar wilayah penelitian transformasi fiqh adalah teks peraturan
perundang-undangan, yang terdiri atas mukadimah (preamble) atau konsideran,
batang tubuh, dan penjelasan (umum dan khusus). Mukadimah dalam konstitusi
berisi tentang kesepakatan pembentukan negara dan nilai-nilai dasar yang
dijadikan rujukan bagi hukum dasar yang dirinci dalam batang tubuh.
Transformasi fiqh ke dalam sistem hukum nasional dapat dipahami dan dijelaskan
melalui beberapa model penelitian sebagaimana model penelitian fiqh lainnya.
Ketika
merumuskan fokus penelitian, ada tiga cara yang dapat dilakukan.
a. fokus dirumuskan dengan cara menelaah
kemiripan substansi fiqh dengan substansi qanun. Boleh jadi kemiripan itu hanya
bersifat kebetulan; atau merujuk pada sumber yang sama; atau memang
sesungguhnya terjadi transformasi.
b. fokus dirumuskan dengan cara menelaah
substansi fiqh yang dialihkan ke dalam qanun. Dengan cara ini substansi fiqh
dipandang sebagai sesuatu yang telah diketahui, sedangkan substansi qanun
dipandang sebagai sesuatu yang belum diketahui.
c. fokus dirumuskan dengan cara menelaah
substansi qanun yang mengandung substansi fiqh. Dengan cara ini substansi fiqh
dipandang sebagai sesuatu yang belum diketahui, sedangkan substansi qanun
dipandang sebagai sesuatu yang telah diketahui.
Berdasarkan
pilihan tersebut fokus penelitian transformasi fiqh terdiri atas empat unsur,
yakni substansi fiqh, proses transformasi, rujukan konstitusi, dan perubahan
sosial (SPRP). Dalam model ini, dapat dilakukan penyempitan fokus, dengan cara
mengurangi salah satu unsur SPRP. Atau dapat dilakukan modifikasi fokus, dengan
menempatkan substansi fiqh sebagai sesuatu yang telah diketahui.
Keempat unsur
tersebut memiliki posisi yang berlapis. Unsur proses transformasi menempati posisi
sentral. Sedangkan unsur substansi fiqh menempati posisi kedua. Sementara itu,
unsur rujukan konstitusi dan perubahan sosial menempati posisi berikutnya,
sebagai unsur eksternal dalam transformasi fiqh tersebut. Berkenaan dengan hal
itu, inti fokus penelitian ini adalah unsur proses transformasi, terutama pada
tahapan persiapan, tahapan perancangan, dan tahapan pembahasan. Pada tahapan
ini terjadi proses pengalihan substansi fiqh ke dalam qanun ketika terdapat
titik persamaan antara substansi fiqh dengan bahan baku lain dalam perumusan
qanun lebih besar ketimbang perbedaannya.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum
penelitian transformasi fiqh diarahkan untuk memahami, mendeskripsikan, dan
menjelaskan pengalihan substansi fiqh ke dalam qanun. Berdasarkan hasil yang
diperoleh akan tampak pola-pola transformasi fiqh sesuai dengan hierarki qanun
yang berlaku dalam suatu atau di berbagai negara.
Patut dimaklumi
bahwa penelitian ini pada mulanya dilakukan untuk memperdalam pengetahuan
ilmiah, atau untuk menyingkap sesuatu di balik pengetahuan yang telah
dirumuskan dan disosialisasikan. Penelitian tersebut bertitiktolak dari masalah
akademis yang biasanya dilakukan dalam lingkungan perguruan tinggi. Akan tetapi
penelitian transformasi fiqh dapat dilakukan dengan bertitiktolak dari masalah
sosial, yang diarahkan untuk merumuskan bahan dalam proses pemecahan masalah.
2. Kegunaan Penelitian
Pada dasarnya
penelitian transformasi fiqh memiliki dua kegunaan.
a. Hasil penelitian berguna untuk
mengembangkan pengetahuan ilmiah di bidang fiqh dan ilmu perundang-undangan.
Hal itu mencakup:
a) Untuk merumuskan konsep sampai kawasan
baru, sehingga wacana fiqh semakin kaya, terutama dalam konteks kehidupan
bernegara;
b) Untuk menata pengkajian proses transformasi
fiqh dalam berbagai negara yang memiliki keunikan masing-masing sehingga kajian
fiqh akan memiliki kawasan baru yang selama ini kurang mendapat perhatian;
c) Untuk dialihkan ke dalam kegiatan
pembelajaran sehingga para mahasiswa akan memperoleh informasi mutakhir
berkenaan dengan transformasi fiqh, yang pada ujungnya kompetensi ilmiah yang
bersangkutan akan lebih bermutu;
d) Untuk dijadikan titik tolak bagi kegiatan
penelitian lebih lanjut, baik oleh peneliti yang bersangkutan maupun oleh
peneliti lain, sehingga kegiatan penelitian mengalami kesinambungan.
b. hasil penelitian berguna bagi pemenuhan
hajat hidup manusia, khususnya berkenaan dengan pola dan cara pengalihan fiqh
sebagai bahan baku dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Hal itu
mencakup:
a) Untuk mengembangkan apresiasi terhadap
fiqh sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan qanun;
b) Untuk meningkatkan apresiasi terhadap
transformasi fiqh yang beragam di berbagai negara yang memiliki karakteristik
dan keunikan masing-masing;
c) Untuk dijadikan salah satu bahan rujukan
dalam proses penataan kehidupan manusia yang semakin pelik dan majemuk.
D. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Berpikir
1. Tinjauan Pustaka
Transformasi
fiqh dalam sistem hukum nasional dapat dijelaskan dengan menggunakan beberapa
teori, di antaranya teori negara hukum, teori trias politica, teori akulturasi
kebudayaan, dan teori perubahan hukum (Pemilihan teori tersebut tergantung pada
sudut pandang peneliti dan ketersediaan perangkat teori yang dapat digunakan).
2. Kerangka Berpikir
Berdasarkan
hasil kajian pustaka dapat disusun kerangka berpikir, yang untuk selanjutnya
dijadikan kerangka analitis terhadap data yang ditemukan. Kerangka berpikir
makro dalam penelitian ini terdiri atas enam komponen, yakni:
a. konstitusi yang dijadikan rujukan;
b. politik hukum nasional;
c. program legislasi nasional;
d. bahan baku, yakni substansi fiqh dan
bahan baku dari tatanan hukum lain dalam proses penyusunan qanun;
e. tuntutan perubahan dalam skala nasional;
f. produk legislasi, berupa qanun.
E. Langkah-langkah Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode
penelitian yang dipandang tepat bagi penelitian transformasi fiqh ialah
analisis isi teks, baik fiqh maupun qanun. Berkenaan dengan hal itu, dapat
dilakukan modifikasi metode penelitian analisis isi bagi penelitian kualititif
atau metode penelitian hermeneutik. Metode penelitian ini diarahkan untuk
memahami teks dengan menggunakan beberapa metode penafsiran teks hukum, dalam
hal ini teks qanun. Metode penafsiran autentik dapat digunakan untuk memahami
kehendak penyusun qanun sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan qanun, yang
secara rinci dapat diketahui dalam notula pada setiap tahap pembahasan draft
qanun. Sementara itu, metode penafsiran sosiologis dapat digunakan untuk
memahami dan mendeskripsikan aspek-aspek sosiologis berkenaan dengan
pembahasan, pengesahan, dan pengundangan suatu qanun dalam konteks sistem sosial
yang mengalami dinamika.
2. Sumber Data
Sumber data
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Qanun sebagai suatu dokumen hukum yang
terdiri atas konsideran, batang tubuh, dan penjelasan.
b. Dokumen pada tiap tingkat pembicaraan
draft qanun, mulai dari nota pengantar, tanggapan umum, pembahasan dalam
komisi, panitia khusus, tim kecil, sampai persetujuan dan pengesahan. Risalah
(notula) pada setiap pembahasan merupakan sumber data yang penting.
c. Kitab fiqh dan sumber lainnya yang
dijadikan rujukan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
d. Para pihak, sebagai responden, yang
terlibat langsung dalam proses pengalihan substansi fiqh ke dalam qanun.
3. Pengumpulan Data
Secara rinci
pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara kajian dokumen dan wawancara,
melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
a. Peneliti menentukan jenis data yang
hendak dikumpulkan, yang merujuk kepada unsur-unsur fokus penelitian
sebagaimana dirinci dalam pertanyaan penelitian.
b. Peneliti menyusun jenis data lebih rinci.
c. Peneliti menginventarisasi isi teks
qanun serta kelengkapan dokumen lainnya (terutama risalah pada tahapan
pembahasan draf qanun) sesuai dengan jenis data yang dikumpulkan. Di samping
itu, menyusun beberapa butir pertanyaan yang tersusun dalam sebuah panduan
wawancara sebagai pegangan peneliti untuk dikembangkan dalam pelaksanaan
wawancara dengan responden yang terlibat dalam proses transformasi.
d. Peneliti melakukan pengecekan terhadap
dokumen yang akan diteliti, baik berkenaan dengan otentisitas dokumen itu
maupun kelengkapannya agar penelitian dapat dilakukan dengan lancar dan datanya
memadai.
e. Peneliti mengumpulkan data dengan cara
memahami dan mencatat isi teks qanun dan wawancara. Dalam mencatat isi teks
qanun ada yang patut mendapat perhatian peneliti. Teks itu menggunakan ragam
bahasa hukum, yang memiliki karakteristik tersendiri.
f. Peneliti mencatat isi naskah yang dibaca
dan hasil wawancara yang diperoleh. Pencatatan isi teks dan hasil wawancara
cukup dibatasi pada hal-hal yang dipandang penting. Sedangkan isi wawancara
secara lengkap direkam dalam alat perekam.
g. Peneliti melakukan pengecekan terhadap
hasil bacaan teks dan hasil wawancara, yang dapat ditempuh melalui dua cara.
Pertama, dilakukan pembacaan ulang dan wawancara ulang apabila hasil bacaan dan
wawancara belum memadai dan ditemukan hal-hal yang belum jelas. Kedua, khusus
bagi wawancara dilakukan kepada responden berikutnya apabila kesamaan pandangan
antar responden tampak dengan nyata. Di samping itu, pengecekan dapat dilakukan
terhadap bahan tertulis yang dirujuk oleh responden.
h. Peneliti menyalin hasil bacaan teks qanun
dan hasil wawancara menjadi bahasa tulisan, sesuai dengan apa yang tertera
dalam teks dan ungkapan responden. Salinan itu dicatat secara lengkap, kemudian
dialihkan ke dalam lembaran khusus yang diberi kode.
i. Peneliti menyarikan isi catatan yang
telah disalin ke dalam bahasa tulisan menurut kosa kata dan gaya bahasa yang
digunakan oleh peneliti.
j. Peneliti melakukan konfirmasi kepada
responden terutama tentang sari hasil wawancara. Konfirmasi ini dilakukan untuk
memperoleh persetujuan responden; dan menghidarkan kemencengan berdasarkan
persepsi atau subjektivitas peneliti.
k. Peneliti mengklasifikasikan data sesuai
dengan unsur fokus dan pertanyaan penelitian yang diajukan. Hal itu dilakukan
melalui seleksi terhadap sari hasil kajian teks dan wawancara, mana yang layak
digunakan dan mana yang tidak layak digunakan. Kemudian, mana yang dipandang
pokok, dan mana yang dipandang penting, dan mana pula yang dipandang sebagai
penunjang.
l. Berdasarkan hasil klasifikasi data itu,
dilakukan klasifikasi yang lebih spesifik, yakni subkelas data sebagaimana
hasil pengumpulan data.
4. Analisis Data
Tahapan
pengumpulan data sebagaimana diuraikan di atas, terutama dengan cara kajian
teks dan wawancara, sebagian telah memasuki bagian awal dari analisis data,
yakni ketika dilakukan klasifikasi data. Berkenaan dengan hal itu, pada tahap
analisis data dilakukan dengan melibatkan tahapan penelitian yang telah
dilaksanakan. Secara umum analisis data dilakukan dengan cara menghubungkan apa
yang diperoleh dari suatu proses kerja sejak awal. Ia ditujukan untuk memahami
data yang terkumpul dari sumber, untuk menjawab pertanyaan penelitian dengan
menggunakan kerangka berpikir di atas. Atas perihal tersebut, disusun tahapan
analisis data secara terus menerus.
Analisis data
dilakukan sejak pengumpulan data, dengan tahapan sebagaimana berikut ini.
a. Data yang telah terkumpul (Data 1)
diedit dan diseleksi sesuai dengan ragam pengumpulan data (kajian teks qanun
dan wawancara), ragam sumber (qanun, kitab fiqh, dan responden), dan pendekatan
yang digunakan (kerangka berpikir), untuk menjawab pertanyaan penelitian yang
terkandung dalam fokus penelitian. Oleh karena itu, terjadi reduksi data
sehingga diperoleh data halus (Data 2). Dalam proses itu, dilakukan konfirmasi
dengan sumber data (Konfirmasi 1: teks; Konfirmasi 2: responden).
b. Berdasarkah hasil kerja pada tahapan
pertama, dilakukan klasifikasi data: kelas data dan subkelas data. Hal itu
dilakukan dengan merujuk kepada pertanyaan penelitian dan unsur-unsur yang
terkandung dalam fokus penelitian.
c. Data yang telah diklasifikasikan diberi
kode. Kemudian antar kelas data itu disusun dan dihubungkan dalam konteks SPRP.
Hubungan antar kelas data tersebut divisualisasikan dalam tabel silang
(matriks), atau diagram. Dengan cara demikian berbagai hubungan antar data dapat
dideskripsikan secara verbal, sehingga diperoleh kesatuan data yang
menggambarkan tentang transformasi fiqh.
d. Selanjutnya dilakukan penafsiran data
berdasarkan salah satu, atau lebih, pendekatan yang digunakan, yakni:
pendekatan yuridis (koherensi substansi qanun), pendekatan antropologis
(pemaknaan transformasi menurut responden), atau pendekatan sosiologis (pola
interaksi antar elite). Ketepatan pendekatan yang digunakan merujuk kepada
kerangka berpikir yang dijadikan kerangka analitis.
e. Berdasarkan hasil kerja pada tahapan keempat
dapat diperoleh jawaban atas pertanyaan penelitian. Berdasarkan hal itu, dapat
ditarik simpulan internal, yang di dalamnya terkandung data baru atau temuan
penelitian (Data 3). Dalam proses itu dilakukan konfirmasi dengan sumber data
dan sumber lainnya (Konfirmasi 3: teks qanun dan fiqh; dan Konfirmasi 4:
responden).
f. Menghubungkan apa yang ditemukan dalam
penelitian ini dengan hasil penelitian tentang fokus serupa, yang pernah
dilakukan dalam konteks yang sama atau berbeda sebagaimana dapat ditemukan
dalam tinjauan pustaka Berdasarkan hal itu, dapat ditarik kesimpulan makro dari
penelitian tersebut. Dengan cara demikian, akan tampak makna dan posisi
penelitian dalam gugus penelitian yang tercakup dalam model penelitian
transformasi fiqh.
Rangkaian
penelitian tentang transformasi fiqh merupakan unsur penggerak dalam
pengembangan ilmu. Oleh karena itu, diharapkan, setiap kegiatan penelitian,
terutama yang dilakukan oleh para peneliti senior, menghasilkan gagasan baru
atau teori baru, sebagai peta pemikiran yang menjadi milik peneliti. Di samping
itu, penelitian yang dilakukan dapat dijadikan media untuk menguji model
penelitian yang telah disusun dan dirumuskan.
Penelitian KHI
Bahwasannya
terdapat dua buah buku hukum Islam yang dijadikan pedoman dalam menerima,
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pada pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama. Kedua buku tersebut ialah Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari‘ah (KHES) KHI disusun berkenaan dengan
kekosongan hukum di bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.[13]
Kompilasi merupakan fiqh dalam bahasa undang-undang. Di
samping itu, KHI memiliki keunikan yang lebih menonjol ketimbang KHES. Oleh
karena itu, KHI memiliki daya tarik tersendiri untuk menjadi sasaran
penelitian, baik untuk penelitian akademik maupun untuk penelitian pengembangan
dan kebijakan.
Dalam KHI juga
menunjukkan mengenai adanya variasi hukum Islam, yang bersumber dari Qur’an dan
Hadis yang kemudian diformulasikan di dalam berbagai kitab fiqh. Kitab fiqh
yang dijadikan rujukan KHI terdiri atas 38 kitab, mencakup 160 masalah hukum
keluarga. Atas perihal tersebut terjadi pengalihan substansi fiqh dari berbagai
sumber itu menjadi “qanun” dalam sistem hukum nasional.
KHI disusun
sebagai upaya untuk mewujudkan kesatuan hukum di bidang perkawinan, kewarisan,
dan perwakafan yang berlaku di Indonesia. KHI disusun dan disebarluaskan “untuk
digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya”,
sebagaimana yang diinstruksikan oleh Presiden kepada Menteri Agama pada tahun
1991. Dalam perjalanan lebih lanjut KHI mengalami sosialisasi di dalam
masyarakat, terutama melalui bahan tertulis. Namun demikian wacana tentang
hukum keluarga Islam masih tetap bervariasi, baik dalam lingkungan pendidikan
(pesantren) dan media massa maupun dalam lingkungan masyarakat luas.
A. Fokus Penelitian
Secara garis
besar fokus penelitian KHI dapat dibagi menjadi dua pilahan. Pilahan pertama,
fokus penelitian internal berkenaan dengan proses perumusan hingga penerapan
KHI. Dalam pilahan ini dapat dirumuskan tiga fokus penelitian, yakni proses
perumusan, hasil perumusan, dan penerapan hasil perumusan. Pilahan kedua, fokus
penelitian eksternal berkenaan dengan kedudukan KHI dalam sistem hukum
nasional. Dalam pilahan ini dapat dirumuskan beberapa fokus penelitian, di
antaranya tentang KHI dalam politik hukum nasional, penyebarluasan KHI dalam
masyarakat bangsa Indonesia yang majemuk, dan efektivitas KHI sebagai rujukan
normatif bagi pemecahan masalah hukum dalam kehidupan bermasyarakat.
Berkenaan dengan
pilahan pertama, dapat disusun tiga model penelitian KHI :
1. Penelitian proses perumusan KHI yang
dapat disebut sebagai Model Proses Perumusan KHI (MPPK).
Model ini
berkenaan dengan tahapan pengintegrasian bahan yang diperoleh melalui jalur
kajian kitab fiqh, kajian yurisprudensi, kajian banding, dan wawancara mulai
dari penyusunan draft awal sampai naskah final yang disepakati dan siap untuk
disebarluaskan (tahapan ketiga sampai kelima).
Fokus penelitian
MPPK terdiri atas empat unsur, yakni: pengumpulan bahan, perancangan naskah,
kesepakatan ulama, dan legalisasi pemerintah. Unsur pengumpulan bahan berkenaan
dengan tahapan kajian kitab fiqh, kajian yurisprudensi, kajian banding, dan
wawancara dengan ulama. Unsur perancangan naskah berkenaan dengan tahapan
pengintegrasian bahan dari hasil kajian, wawancara, serta bahan lain ke dalam
rancangan KHI, yang mencakup pilahan buku, bab, pasal, dan ayat. Sedangkan
unsur kesepakatan ulama, berkenaan dengan tahapan sosialisasi, pembahasan, dan
perumusan final KHI melalui forum lokakarya yang menghasilkan “ijma ulama”
Indonesia. Sementara itu, unsur legalisasi oleh pemerintah berkenaan dengan
tahapan legalisasi terhadap “ijma ulama” melalui Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991. Titik berat
keempat unsur fokus tersebut ialah kegiatan berbagai pihak yang terlibat dalam
proses perumusan KHI, yang menghasilkan rumusan KHI.
Fokus penelitian
MPPK merupakan hubungan keempat unsur itu sebagai suatu kesatuan yang
terintegrasi. Keempat unsur tersebut ditempatkan sebagai sesuatu “yang belum
diketahui”, untuk dipahami dan dideskripsikan. Fokus penelitian ini dapat
dipersempit dengan cara mengurangi salah satu unsur. Atau dapat dilakukan
modifikasi, dengan cara melakukan rekonstruksi unsur fokus penelitian sesuai
dengan keperluan penelitian yang mengandalkan akal sehat dan kreativitas
peneliti.
2. Penelitian hasil perumusan KHI, yang dapat
disebut sebagai Model Hasil Perumusan KHI (MHPK).
Model ini
berkenaan dengan substansi KHI sebagaimana tertulis dalam ketiga buku KHI. Di
dalamnya terjadi kohesi antara fiqh dengan substansi hukum lain (nasional,
barat, dan adat). Fokus penelitian MHPK terdiri atas empat unsur, yakni:
substansi fiqh, hukum nasional, hukum barat. Unsur substansi fiqh berkenaan
dengan asas serta materi fiqh (hukum Islam pada umumnya) yang dialihkan menjadi
bagian substansi KHI. Unsur substansi hukum nasional berkenaan dengan materi
peraturan perundang-undangan (perkawinan dan perwakafan) yang dialihkan menjadi
bagian substansi KHI. Sedangkan unsur substansi hukum barat berkenaan dengan
materi Burgerlijk Wetboek dan hukum tertulis lain produk pemerintahan Belanda
yang dialihkan menjadi bagian substansi KHI. Sementara itu, unsur substansi
hukum adat berkenaan dengan asas dan materi hukum adat, terutama hukum
perkawinan dan hukum kewarisan yang dialihkan menjadi bagian dari substansi
KHI.
3. Penelitian penerapan KHI terutama dalam
produk pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang dapat disebut sebagai
Model Penerapan Hukum KHI (MPHK).
Model ini
berkenaan dengan penerapan KHI, sebagai hukum tertulis, dalam pelaksanaan
penegakan hukum. Fokus penelitian MPHK terdiri atas empat unsur, yakni: jenis
perkara, substansi hukum, proses penerapan hukum. Unsur jenis perkara berkenaan
dengan perkara yang diajukan oleh pihak berperkara kepada pengadilan. Unsur
substansi hukum berkenaan dengan isi pasal atau ayat dalam KHI yang dijadikan
dasar untuk mengadili perkara. Sedangkan unsur proses penerapan hukum berkenaan
dengan tahapan pengalihan substansi KHI ke dalam putusan pengadilan melalui
persidangan dan musyawarah hakim. Sementara itu, unsur temuan hukum berkenaan
dengan hasil ijtihad hakim yang digali dan dipahami dari nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat.
Fokus penelitian
MPHK juga dapat dipersempit, dengan cara mengurangi salah satu unsur terutama
unsur temuan hukum. Atau dapat dilakukan modifikasi fokus tersebut. Dengan
modifikasi itu dapat dilakukan rekonstruksi unsur fokus penelitian itu dengan
menggunakan akal sehat dan kreativitas peneliti.
4. Model Hasil Perumusan KHI
B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum,
tujuan penelitian KHI diarahkan untuk memahami dan menjelaskan berbagai aspek
KHI baik secara internal maupun eksternal. Namun demikian, pada dasarnya, yang
dibahas dalam tulisan ini, diarahkan untuk memahami dan menjelaskan hubungan
antara fiqh dengan KHI. Substansi fiqh yang berasal dari beberapa kitab fiqh
sangat beragam sedangkan substansi KHI bersifat seragam. Sementara itu, model
penelitian yang dikemukakan di atas juga bervariasi. Atas perihal tersebut,
tujuan penelitian dapat dirumuskan secara spesifik sesuai dengan pertanyaan
penelitian yang diajukan terhadap fokus penelitian. Oleh karena itu, tujuan
penelitian dari masing-masing ketiga model penelitian tersebut dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Untuk memahami
dan menjelaskan tahapan pengalihan substansi hukum (tertulis dan tidak
tertulis, khususnya fiqh) yang berasal dari beberapa sistem dan sumber menjadi
rumusan KHI;
Untuk memahmi
dan menjelaskan kohesi dan integrasi substansi hukum yang berasal dari beberapa
sistem dan sumber sebagaimana dirumuskan dalam substansi KHI.
Untuk memahami
dan menjelaskan substansi fiqh (dengan ragam sumber dan madzhab) dalam
substansi KHI;
Untuk memahami
dan menjelaskan penerapan KHI dalam produk pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama.
Selanjutnya
dapat dirumuskan tujuan penelitian berkenaan dengan fokus penelitian eksternal,
yang lebih rumit dan komprehensif. Misalnya, untuk melakukan evaluasi terhadap
faktor penunjang dan penghambat penyebarluasan KHI dalam kehidupan masyarakat.
Juga dapat dirumuskan untuk mengukur koherensi KHI dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Kegunaan Penelitian
Pada dasarnya
penelitian KHI memiliki kegunaan ganda. Pertama, hasil penelitian berguna untuk
mengembangkan pengetahuan ilmiah dalam kajian fiqh dalam sistem masyarakat
Muslim Indonesia. Hal itu mencakup:
a. Untuk merumuskan gagasan baru,
sehingga wacana fiqh dan KHI semakin kaya terutama berkernaan dengan anatomi
dan dinamika masyarakat Muslim;
b. Untuk menata pengkajian fiqh dalam
konteks masyarakat Muslim Indonesia sebagai bagian dari kajian kebudayaan Islam
dengan pendekatan yang holistik;
c. Untuk dialihkan ke dalam kegiatan
pembelajaran, sehingga para mahasiswa akan memperoleh informasi mutakhir
berkenaan dengan aspek normatif dalam kehidupan suatu masyarakat Muslim;
d. Untuk dijadikan titik tolak bagi
kegiatan penelitian lebih lanjut, baik oleh peneliti yang bersangkutan maupun
oleh peneliti lain. Kedua, hasil penelitian berguna bagi pemenuhan hajat hidup
masyarakat, khususnya berkenaan dengan aspek penataan kehidupan kolektif. Hal
itu mencakup: (1) Untuk mengembangkan apresiasi terhadap KHI sebagai fondasi
dari salah satu inti kebudayaan dalam masyarakat Muslim; (2) Untuk dijadikan
salah satu bahan rujukan dalam proses penyempurnaan KHI, baik berkenaan dengan
perumusannya maupun penerapannya.
C. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Berpikir
D. Langkah-langkah Penelitian
1. Metode Penelitian
Terdapat
beberapa metode penelitian yang dapat digunakan bagi penelitian KHI. Penelitian
MPPK lebih tepat menggunakan metode penelitian historis, meskipun peristiwa
penyusunan dan perumusan KHI baru berlangsung lebih kurang duapuluhan tahun
yang lampau. Titikberat penelitian ini difokuskan pada rangkaian peristiwa masa
lalu dengan beberapa aktor yang memiliki peranan dan kontribusi penting dalam
proses perumusan KHI.
2. Sumber Data
Sumber data
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. KHI sebagai suatu dokumen hukum yang
terdiri atas konsideran, batang tubuh, dan penjelasan, yang tersusun dalam
ragam bahasa hukum.
Peraturan
perundang-undangan, khususnya di bidang perkawinan dan perwakafan, yang
dijadikan rujukan utama KHI.
Kitab fiqh dan
sumber lainnya yang dijadikan rujukan, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, khususnya di bidang perkawinan.
Literatur hukum
adat yang diadaptasi dan dirujuk oleh KHI.
Para pihak,
sebagai responden, yang terlibat langsung dalam proses perumusan KHI (tim
penyusun) dan penerapan KHI (hakim).
3. Pengumpulan Data
Ragam penelitian
KHI sebagaimana tercermin dalam model dan fokus penelitian, serta ragam sumber
data, berkonsekuensi terhadap ragam cara pengumpulan data. Atas perihal
tersebut, secara garis besar cara pengmpulan data dari ketiga model penelitian
tersebut terdiri atas wawancara mendalam dan kajian dokumentasi. Adapun tahapan
pengumpulan data tersebut ialah sebagai berikut:
a. Peneliti menentukan jenis data yang
hendak dikumpulkan, yang merujuk kepada unsur-unsur fokus penelitian.
Peneliti
menyusun jenis data lebih rinci.
Peneliti
melakukan pengecekan terhadap dokumen yang akan diteliti, baik berkenaan dengan
otentisitas dokumen itu maupun kelengkapannya agar penelitian dapat dilakukan
dengan lancar dan datanya memadai (MHPK dan MPHK). Atau, peneliti menghubungi
responden untuk meminta kesediaan wawancara berkenaan dengan isi, tempat dan
waktu wawancara (MPPH). Hal itu menjadi penting karena keberhasilan wawancara
sangat tergantung kepada kesediaan pelaku untuk menyampaikan pendapat atau
informasi yang akan dikumpulkan.
Peneliti
mengumpulkan data dengan cara memahami dan mencatat isi dokumen dan atau
wawancara. Dalam mencatat isi dokumen ada yang patut mendapat perhatian
peneliti. Dokumen itu menggunakan ragam bahasa hukum, yang memiliki
karakteristik tersendiri.
Peneliti
mencatat isi dokumen yang bibaca dan hasil wawancara yang diperoleh. Pencatatan
isi dokumen dan hasil wawancara cukup dibatasi pada hal-hal yang dipandang
penting. Sedangkan isi wawancara secara lengkap direkam dalam alat perekam.
Peneliti
melakukan pengecekan terhadap hasil bacaan dokumen dan hasil wawancara, yang
dapat ditempuh melalui dua cara. Pertama, dilakukan pembacaan ulang dan
wawancara ulang apabila hasil bacaan dan wawancara belum memadai dan ditemukan
hal-hal yang belum jelas. Kedua, khusus bagi wawancara dilakukan kepada
responden berikutnya apabila kesamaan pandangan antar responden tampak dengan
nyata. Dengan kata lain, penggalian data dari pelaku dikonfirmasikan dengan
hasil penggalian data dari sumber dokumen yang relevan.
Peneliti
menyalin hasil bacaan dokumen dan atau hasil wawancara menjadi bahasa tulisan,
sesuai dengan apa yang tertera dalam dokumen dan ungkapan responden. Salinan
itu dicatat secara lengkap, kemudian dialihkan ke dalam lembaran khusus yang
diberi kode tertentu.
Peneliti
menyarikan isi catatan yang telah disalin ke dalam bahasa tulisan menurut kosa
kata dan gaya bahasa yang digunakan oleh peneliti. Dalam proses ini diperlukan
kehati-hatian, terutama hasil wawancara yang dapat disarikan.
Peneliti
melakukan konfirmasi kepada responden terutama tentang sari hasil wawancara.
Konfirmasi ini dilakukan untuk memperoleh persetujuan responden; dan
menghidarkan kemencengan berdasarkan persepsi atau subyektivitas peneliti.
Peneliti
mengklasifikasikan data sesuai dengan unsur fokus dan pertanyaan penelitian
yang diajukan. Hal itu dilakukan melalui seleksi terhadap sari hasil kajian
dokumen dan wawancara, mana yang layak digunakan dan mana yang tidak layak
digunakan. Kemudian, mana yang dipandang pokok, dan mana yang dipandang
penting, dan mana pula yang dipandang sebagai penunjang.
Berdasarkan
hasil klasifikasi data itu, dilakukan klasifikasi yang lebih spesifik, yakni
subkelas data sebagaimana hasil pengumpulan data (kajian dokumen atau
wawancara).
Penelitian
Perkembangan Fiqih
Secara umum
dapat dimengerti bahwa penelitian historis merupakan penelaahan serta
sumber-sumber lain yang berisi informasi mengenai masa lampau dan dilaksanakan
secara sistematis. Atau dapat dengan kata lain yaitu penelitian yang bertugas
mendeskripsikan gejala, tetapi bukan yang terjadi pada waktu penelitian
dilakukan. Penelitian historis di dalam pendidikan hukum merupakan penelitian
yang sangat penting atas dasar beberapa alasan. Penelitian historis bermaksud
membuat rekontruksi masa latihan secara sistematis dan objektif, dengan cara
mengumpulkan, mengevaluasi, mengverifikasikan serta mensintesiskan bukti-bukti
untuk mendukung bukti-bukti untuk mendukung fakta memperoleh kesimpulan yang
kuat. Dimana terdapat hubungan yang benar-benar utuh antara manusia, peristiwa,
waktu, dan tempat secara kronologis dengan tidak memandang sepotong-sepotong
objek-objek yang diobservasi.[14]
Menurut Jack. R.
Fraenkel & Norman E. Wallen, 1990 : 411 dalam Yatim Riyanto, 1996: 22 dalam
Nurul Zuriah, 2005: 51 penelitian sejarah adalah penelitian yang secara
eksklusif memfokuskan kepada masa lalu. Penelitian ini mencoba merenkonstruksi
apa yang terjadi pada masa yang lalu selengkap dan seakurat mungkin, dan
biasanya menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Dalam mencari data dilakukan
secara sistematis agar mampu menggambarkan, menjelaskan, dan memahami kegiatan
atau peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu. Sementara menurut Donald Ary
dkk (1980) dalam Yatim Riyanto (1996: 22) dalam Nurul Zuriah , 2005: 51 juga
menyatakan bahwa penelitian historis adalah untuk menetapkan fakta dan mencapai
simpulan mengenai hal-hal yang telah lalu, yang dilakukan secara sistematis dan
objektif oleh ahli sejarah dalam mencari, mengvaluasi dan menafsirkan
bukti-bukti untuk mempelajari masalah baru tersebut.
Berdasarkan
pendangan yang disampaikan oleh para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa
pengertian penelitian sejarah mengandung beberapa unsur pokok, yaitu
a. Adanya proses pengkajian peristiwa atau
kejadian masa lalu (berorientasi pada masa lalu);
Usaha dilakukan
secara sistematis dan objektif;
Merupakan
serentetan gambaran masa lalu yang integrative antar manusia, peristiwa, ruang
dan waktu;
Dilakukan secara
interktif dengan gagasan, gerakan dan intuiasi yang hidup pada zamannya (tidak
dapat dilakukan secara parsial).
Adapun yang
menjadi tujuan penelitian sejarah atau historis adalah untuk memahami masa
lalu, dan mencoba memahami masa kini atas dasar persitiwa atau perkembangan di
masa lampau (Jhon W. Best, 1977 dalam Yatim Riyanto, 1996: 23 dalam Nurul
Zuriah 2005: 52). Sedangkan Donal Ary (1980) dalam Yatim Riyanto (1996: 23)
dalam Nurul Zuriah (2005: 52) menyatakan bahwa penelitian historis untuk
memperkaya pengetahuan peneliti tentang bagaimana dan mengapa suatu kejadian
masa lalu dapat terjadi serta proses bagaimana masa lalu itu menjadi masa kini,
pada akhirnya, diharapkan meningkatnya pemahaman tentang kejadian masa kini
serta memperolehnya dasar yang lebih rasional untuk melakukan pilihan-pilihan
di masa kini.
Berikutnya Jack
R. Fraenkel dan Norman E. Wellen (1990) dalam Yatim Riyanto (1996: 23) dalam
Nurul Zuriah (2005: 52) menyertakan bahwa para peneliti sejarah hukum melakukan
penelitian sejarah dengan tujuan untuk :
a. Membuat orang menyadari apa yang terjadi
peristiwa hukum pada masa lalu sehingga mereka mungkin mempelajari dari
kegagalan dan keberhasilan konsep hukum masa lampau;
Mempelajari
bagaimana sesuatu telah dilakukan system hukum pada masa lalu, untuk melihat
jika mereka dapat mengaplikasikan masalahnya pada sistem hukum masa sekarang;
Membantu
memprediksi sesuatu yang akan terjadi pada masa mendatang; ius contituedum;
Membantu menguji
hipotesis yang berkenaan dengan hubungan atau kecendrungan. Misalnya masih
dominankah paham positivisme abad 19 dalam penegakan hukum saat ini;
Memahami praktik
dan arah politik hukum sekarang secara lebih lengkap.
Dengan demikian,
tujuan penelitian sejarah tidak dapat dilepaskan dengan kepentingan masa kini
dan masa mendatang.
A. Sumber-Sumber Data
Objek penelitian
sejarah adalah peristiwa atau kehidupan masyarakat pada masa lampau maka yang
menjadi sumber informasi harus mempunyai karakteristik yang berbeda dengan
metode penelitian lainnya. Beberapa sumber tersebut di antaranya adalah sebagai
berikut.
Sumber-sumber
primer, yaitu data yang diperoleh dari cerita para pelaku perisriwa itu
sendiri, dan atau saksi mata yang mengalami atau mengetahui peristiwa tersebut.
Contoh sumber-sumber primer lainnya yang sering menjadi perhatian perhatian
para peneliti di lapangan atau situs di anataranya seperti, dokumen asli,
relief dan benda-benda peninggalan masyarakat zaman lampu.
Sumber informasi
sekunder, yaitu informasi yang diperoleh dari sumber lain yang mungkin tidak
berhubungan langsung dengan peristiwa tersebut. Sumber sekunder ini dapat
berupa para ahli yang mendalami atau mengetahui peristiwa yang dibahas dan dari
buku atau catatan yang berkaitan dengan peristiwa, buku sejarah, artikel dalam
ensiklopedia, dan review penelitian.Dari adanya sumber primer dan sekunder ini,
sebaiknya peneliti apabila mungkin lebih memberikan bobot sumber-sumber data
primer lebih dahulu, baru kemudian data sekunder, data tersier, dan seterusnya.
B. Tahapan Penelitian Sejarah Hukum
Pertama yang
harus dilakukan adalah menentukan topik penelitian dengan tujuan agar dalam
melakaukan pencarian sumber-sumber sejarah dpat terarah dan tepat
sasaran.Pemilihan topik penelitian dapat didasarakan pada unsur-unsur berikut
ini :
a. Bernilai Peristiwa sejarah hukum yang
diungkap tersebut harus bersifat unik, kekal, abadi;
b. Keaslian (Orisinalitas).Peristiwa sejarah
hukum yang diungkap hendaknya berupa upaya pembuktian baru atau ada
pandanganbaru akibat munculnya teori dan metode baru;
c. Praktis dan Efesien. Peristiwa sejarah
hukum yang diungkap terjangkau dalam mencari sumbernya dan mempunyai hubungan
yang erat dengan peristiwa itu.
d. Kesatuan. Unsur-unsur yang dijadikan bahan
penelitian itu mempunyai satu kesatuan ide.
C. Langkah –Langkah Penelitian
Setelah
menentukan topik penelitian selanjutnya meliputi langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Heuristik (Pengumpulan Data)
Heuristik
merupakan langkah awal dalam penelitian sejarah untuk berburu dan mengumpulkan
berbagi sumber data yang terkait dengan masalah yang sedeang diteliti.misalnya
dengan melacak sumber sejarah tersebut dengan meneliti berbagai dokumen,
mengunjungi situs sejarah, mewawancarai para saksi sejarah.
2. Kritik (Verifikasi)
Kritik merupakan
kemampuan menilai sumber-sumber sejarah yang telah dicari (ditemukan). Kritik
sumber sejarah meliputi :
a. Kritik Ekstern
Kritik ekstern
di dalam penelitian ilmu sejarah umumnya menyangkut keaslan atau keautentikan
bahan yang digunakan dalam pembuatan sumber sejarah, seperti prasasti, dokumen,
dan naskah.Bentuk penelitian yang dapat dilakukan sejarawan, misalnyatentang
waktu pembuatan dokumen itu (hari dan tanggal) atau penelitian tentang bahan
(materi) pembuatan dokumen itu sndiri.Sejarawan dapat juga melakukan kritik
ekstern dengan menyelidiki tinta untuk penulisan dokumen guna menemukan usia
dokumen. Sejarawan dapat pula melakukan kritik ekstern dengan
mengidentifikasikan tulisan tangan, tanda tangan, materai, atau jenis hurufnya
b. Kritik Intern
Kritik Intern merupakan
penilaian keakuratan atau keautentikan terhadap materi sumber sejarah itu
sendiri. Di dalam proses analisis terhadap suatu dokumen, sejarawan harus
selalu memikirkan unsur-unsur yang relevan di dalam dokumen itu sendiri secara
menyeluruh. Unsur dalam dokumen dianggap relevan apabila unsur tersebut paling
dekat dengan apa yang telah terjadi, sejauh dapat diketahui berdasarkan suatu
penyelidikan kritis terhadap sumber-sumber terbaik yang ada.
3. Interpretasi (Penafsiran)
Interpretasi
adalah menafsirkan fakta sejarah dan merangkai fakta tersebut hingga menjadi
satu kesatuan yang harmonis dan masuk akal. Dari berbagi fakta yang ada
kemudian perlu disusun agar mempunyai bentuk dan struktur. Fakta yang ada
ditafsirkan sehingga ditemukan struktur logisnya berdasarkan fakta yang ada,
untuk menghindari suatu penafsiran yang semena-mena akibat pemikiran yang
sempit. Bagi sejarawan akademis, interfretasi yang bersifat deskriptif
sajabelum cukup. Dalam perkembangan terakhir, sejarawan masih dituntut untuk mencari
landasan penafsiran yang digunakan.
4. Historiografi (Penulisan Sejarah)
Historiogray
adalah oses penyusunan fakta-fakta sejarah dan berbagai sumber yang telah
diseleksi dalam sebuah bentuk penulisan sejarah. Setelah melakukan penafsiran
terhadap data-data yang ada, sejarawan harus sadar bahwa tulisan itu bukan
hanya sekedar untuk kepentingan dirinya, tetapi juga untuk dibavca orang lain.
Oleh karena itu perlu dipertimbangkan struktur dan gaya bahasa penulisan nya.
Sejarawan harus menyadari dan berusaha agar orang lain dapat mengerti
pokok-pokok pemikiran yang diajukan.
D. Teknik pengumpulan data
Dengan wawancara
terbagi menjadi tiga macam:
1. Poll Type Interview
Wawancara
dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan dengan jawabannyang telah
ditentukan, narasumber tinggal memilih jawaban yang ada.
2. Open Type Interview
Wawancara
dilakukan dengan cara pertanyaan ditentukan terlebih dahulu, sedangkan
narasumber dapat menjawab bebas.
3. Nonstructured Interview
Wawancara
dilakukan dengan cara pertanyaan ataupun jawaban tidak ditentukan sebelumnya.
Teknik wawancara merupakan teknik yang bersifat pelengkap artinya wawancara
digunakan untuk melengkapi data atau informasi yang berasal dari sumber
dokumen. amun apabila dumber dokumen tidak ada barulah informasi hasil
wawancara dapat dianggap sebagai bahan pokok penelitian.
Beberapa
persiapan sebelum melakukan wawancara antara lain:
1. Seleksi individu untuk diwawancarai, yang
benar -benar nara sumber;
2. Pendekatan terhadap orang yang akan
diwawancarai, empati;
3. Mengembangkan suasana lancar dalam
wawancara misalnya terekam;
4. Mempersiapkan pokok masalah yang akan
dikemukakan (ditanyakan), berupa dafatra pertanyaan yang bersifat terbuka
memenuhi lima prinsip 5 + 1 H (What, When, Why, Who, Where, How).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Desain
penelitian disebut juga rencana penelitian. Rencana merupakan suatu kehendak
atau keputusan yang dilakukan oleh seseorang. Rencana bisa juga berarti sebuah
usulan (proposal) yang rinci untuk melakukan atau mencapai sesuatu. Adapun
penelitian adalah pengamatan secara sistematis dan kajian atas bahan dan sumber
sesuatu untuk membangun fakta dan kesimpulan. Jadi yang dimaksud dengan rencana
penelitian adalah sebuah keputusan untuk mengamati atau mengkaji suatu bahan
atau sumber secara sistematis.
Beberapa
pendekatan pada penelitian hukum islam diantaranya adalah :
1. Pendekatan historis (Historical approach);
2. Pendekatan kasus (Case Approach);
3. Pendekatan analisis ( Analitical Aproach;)
4. Pendekatan Filsafat ( Phylosophycal
Approach);
5. Pendekatan perbandingan (Comparative
Approach);
6. Pendekatan Perundang-undangan( Statute
Approach);
Berdasarkan
cir-ciri penelitian hukum Islam dapat disusun wilayah penelitian fiqh sebagai
berikut :
1. Model penelitian dalil fiqih;
2. Model penelitian kaidah fiqih;
3. Model penelitian ulama fiqih;
4. Model penelitian ulama fuqaha;
5. Model penelitian mazhab fiqih;
6. Model penelitian kitab fiqih;
7. Model penelitian substansi Fiqih;
8. Model penelitian pengajaran fiqih;
9. Model penelitian institusional fiqih;
10. Model penelitian fiqih dan pola prilaku;
11. Model penelitian masalah fiqih;
12. Model penelitian transformasi fiqih;
13. Model penelitian KHI;
14. Model penelitian perkembangan fiqih;
15. Model penelitian rujukan prilaku;
B. Saran
Tugas pertama
seorang mahasiswa apabila akan melakukan penelitian ialah menyusun rancangan
penelitian. Penyusunan rancangan penelitian ada kaitannya dengan paradigma yang
dianut oleh peneliti. Ternyata ada banyak variasi model proposal dan skripsi
terutama perguruan tinggi, sehingga tak jarang terdapat perbedaan format
didalamnya. Oleh karena itu, hendaknya peneliti ketika menyusun rancangan
penelitian ataupun skripsi mengikuti format sesuai dengan bidang masing-masing
dan format yang diberlakukan oleh masing-masing perguruan tinggi. Kritik dan
Saran membangun dari pembaca juga
diperlukan untuk terwujudnya kelengkapan ilmu dan pengetahuan di dalam
penelitian hukum makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
http://konsep-dan-teori-teori-muqaranah-mazhab.html
http://www.academia.edu/7558321/METODE_PENELITIAN_HUKUM
http://www.knowledge-leader.net/2011/01/model-penelitian-kompilasi-hukum-islam/
http://fahruddinas.blogspot.com/2011/02/pengantar-dalil-dalil-syariah-dalam_538.html
http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/03/26/model-penelitian-transformasi-fiqh-dalam-peraturan-perundang-undangan/
http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/03/31/model-penelitian-institusionalisasi-fiqh/
http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/04/27/model-penelitian-fuqaha-bagian-kesatu-tokoh-dan-komunitas/
http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/04/28/model-penelitian-fuqaha-bagian-kedua-fokus-penelitian/
http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/05/01/model-penelitian-fuqaha-bagian-keempat-tinjauan-pustaka-dan-kerangka-berpikir/
http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/05/02/model-penelitian-fuqaha-bagian-kelima-langkah-langkah-penelitian/
http://abiavisha.blogspot.com/2013/02/aneka-metodologi-memahami-islam_1385.html
http://hukum.kompasiana.com/2013/05/01/perancangan-skripsi-hukum-islam--555931.html
http://stitattaqwa.blogspot.com/2013/05/masail-fiqhiyah-masalah-masalah.html
[1]
http://hukum.kompasiana.com/2013/05/01/perancangan-skripsi-hukum-islam--555931.html
[2]
http://fahruddinas.blogspot.com/2011/02/pengantar-dalil-dalil-syariah-dalam_538.html
[3]
http://abiavisha.blogspot.com/2013/02/aneka-metodologi-memahami-islam_1385.html
[4]
http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/04/27/model-penelitian-fuqaha-bagian-kesatu-tokoh-dan-komunitas/
[5]
http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/04/28/model-penelitian-fuqaha-bagian-kedua-fokus-penelitian/
[6]http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/04/30/model-penelitian-fuqaha-bagian-ketiga-tujuan-dan-kegunaan-penelitian/
[7]http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/05/01/model-penelitian-fuqaha-bagian-keempat-tinjauan-pustaka-dan-kerangka-berpikir/
[8]
http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/05/02/model-penelitian-fuqaha-bagian-kelima-langkah-langkah-penelitian/
[9]
http://konsep-dan-teori-teori-muqaranah-mazhab.html
[10]
http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/03/31/model-penelitian-institusionalisasi-fiqh/
[11]
http://stitattaqwa.blogspot.com/2013/05/masail-fiqhiyah-masalah-masalah.html
[12]http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/03/26/model-penelitian-transformasi-fiqh-dalam-peraturan-perundang-undangan/
[13]
http://www.knowledge-leader.net/2011/01/model-penelitian-kompilasi-hukum-islam/
[14]
http://www.academia.edu/7558321/METODE_PENELITIAN_HUKUM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...