KH. Syakur Khudhary
Tujuan
bangsa Indonesia memerdekakan diri dari cengkraman penjajah sebagai mana
dikemukakan dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia adalah untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk
memajukan kesejahteraan umum, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan abadi dan
keadilan sosial.
Dalam
menjabarkan tujuan memajukan kesejahteraan umum, dalam Pasal 33 ayat (4)
perubahan keempat yang disahkan tanggal 10 Agustus 2002, dinyatakan bahwa:
“Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Dalam
rangka menjalankan roda ekonomi, baik pemerintah maupun masyarakat, baik
perseorangan maupun badan hukum, memerlukan dana, yang untuk pemenuhan dana
tersebut salah satunya diperoleh melalui pinjam meminjam.
Untuk
kelancaran pinjam meminjam pada umumnya diperlukan jaminan atau agunan, dan
jaminan yang paling banyak digunakan oleh masyarakat adalah gadai.
Pengertian Gadai (konvensional) seperti
dirumuskan dalam Pasal 1150
Kitab Undang undang
Hukum Perdata adalah sebagai berikut:
“Gadai adalah suatu hak yang
diperoleh kreditor atas sesuatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh
debitor, atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan
kepada kriditor itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan daripada kreditor-kreditor lainnya; dengan kekecualian biaya untuk
melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus
didahulukan”.
Pengertian
gadai yang tercantum dalam Artikel 1196 vv, titel 19 Buku III N.B.W. berbunyi
bahwa: gadai adalah “hak kebendaan atas barang bergerak untuk mengambil
pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan”. Menurut Andi
Prajitno[1],
kedua pengertian tersebut perlu disempurnakan. Seharusnya yang diartikan dengan
gadai adalah “suatu perjanjian yang dibuat antara kreditor dan debitur dimana
debitur menyerahkan benda bergerak kepada kreditor untuk menjamin pelunasan
suatu utang gadai ketika debitur lalai melaksanakan prestasinya”.
Dari
ungkapan di atas hal-hal yang perlu kita cermati adalah: Pertama gadai adalah
suatu perjanjian, kedua debitur menyerahkan benda bergerak dan ketiga sebagai
pelunasan utang tatkala debitur wanprestasi.
Pertama:
gadai adalah suatu perjanjian.Perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Pasal 1313.
”Suatu persetujuan adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih”.
Menurut
Subekti[2],
suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang
lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal”.
Kemudian
Pasal 1338 ayat (1) menyatakan:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, dan untuk sahnya
suatu perjanjian, dinyatakan dalam Pasal 1320:“Untuk sahnya
persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat: yaitu:1. Sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya ; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal
tertentu; dan 4. Suatu sebab yang halal”
Kedua:
debitur menyerahkan benda bergerak. Benda yang menjadi objek gadai adalah benda
bergerak. Benda bergerak adalah benda yang karena sifatnya dapat dipindahkan
atau karena ditentukan undang-undang[3],
sedang benda tidak bergerak adalah benda yang karena sipatnya tidak dapat
dipindahkan atau karena peruntukkannya atau karena ditentukan undang-undang[4].
Pengertian
benda. Di dalam KUH Perdata ditemukan dua istilah yaitu benda (zaak) dan
barang (goed). Pada umumnya yang diartikan dengan benda (berujud, bagian
kekayaan, hak), ialah segala sesuatu yang dapat dikuasai manusia dan dapat
dijadikan obyek hukum[5].
Tan
Kamelo membagi benda atas benda bergerak dan tak bergerak serta terdaftar dan
tidak terdaftar[6]
Pembagian
benda bergerak dan tak bergerak mempunyai akibat hukum
(rehctgevolg) terhadap
kedudukan berkuasa (bezit), penyerahan, (levering), kadaluwarsa (veryaring), pembebanan (bezwaring)
dan penyitaan (beslag), sedang pembagian benda terdaftar dan tidak
terdaftar untuk memenuhi aspek publisitas dan sebagai bukti kemilikan atas
benda tersebut.
Ketiga:
Untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut.Dalam hal si berhutang wanprestasi,
pemegang gadai berhak menjual sendiri benda gadai. Dari hasil penjualan ini
kreditor berhak mengambil pelunasan piutangnya
beserta bunga dan biaya penjualan barang tersebut. Seperti disebutkan
dalam pasal 1155 ayat 1 KUH Perdata.
“Apabila oleh
para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka si berpiutang adalah berhak
jika si berutang atau si pemberi gadai bercidra-janji, setelah tenggang waktu
yang ditentukan lampau, atau jika tidak telah ditentukan suatu tenggang waktu,
setelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar, menyuruh menjual
barangnya gadai dimuka umum menurut kebiasan-kebiasan setempat serta atas
syarat-syarat yang lazim belaku, dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah
piutangnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan biaya tersebut...”
Gadai
dalam istilah syari’ah disebut rahn. Zainuddin Ali[7],
menyimpulkan dari pendapat ulama Syafi’iyah, Hanabilah, Malikiyyah, Ahmad azhar
Basyir dan Muhammad Syafi’i Antonio: bahwa rahn (gadai syari’ah) adalah:
”menahan barang jaminan yang
bersipat materi milik sipeminjam (rahin)
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima
tersebut bernilai ekonomis, sehingga pihak yang menahan (murtahin)
memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari
barang gadai dimaksud, bila pihak yang menggadaikan tidak bisa membayar utang
pada waktu yang ditentukan”.
Dari
rumusan tersebut tampak bahwa gadai syari’ah merupakan perjanjian utang piutang
antara yang menggadaikan (rahin/debitur) dengan penerima gadai (murtahin/kreditur).
Pemberi gadai menyerahkan harta benda
apasaja yang bernilai ekonomis kepada penerima gadai sebagai jaminan, dimana
harta tersebut dapat dijual untuk membayar utang tatkala pemberi gadai tidak
dapat melunasi utang tersebut.
Membandingkan
objek jaminan antara gadai berdasar hukum perdata (gadai konvensional), dengan
gadai menurut Islam yang diistilahkan dengan gadai syari’ah, nampak jelas bahwa
gadai konvensional mensyaratkan bahwa jaminan (marhun) itu haruslah
barang bergerak sedang menurut gadai syari’ah jaminan tidak dimestikan barang
bergerak[8].
Dari
pengertian gadai syari’ah (rahn) diatas, nampak bahwa fungsi
perjanjian/akad antara pihak peminjam
dan yang meminjamkan adalah untuk memberikan ketenangan bagi pemberi pinjaman karena adanya barang jaminan yang dapat dijual
untuk memenuhi kewajiban peminjam tatkala peminjam tidak mampu atau cidera
janji (wan prestasi), karena itu rahn pada prinsipnya adalah
murni kegiatan tolong-menolong dengan memberi pinjaman uang yang bersipat
sosial, dan tidak dikaitkan dengan suatu imbalan. Jika peminjaman uang itu
dimaksud untuk menarik keuntungan, maka termasuk riba dan hukumnya haram[9]
Gadai
syari’ah berbeda dengan gadai konvensional dimana gadai konvensonal
memperbolehkan memberikan imbalan berbentuk bunga seperti tercermin dalam Pasal
1765 KUH Perdata: yang menyatakan bahwa:”
adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas peminjaman uang atau lain barang
yang menghabis karena pemakaian”.
Bunga yang
diperjanjikan atas peminjaman beras atau gandum, lazimnya beras atau gandum,
meskipun tidak dilarang untuk menetapkan bunganya dengan uang[10].
Besarnya
bunga berdasar Staatsblad (lembaran negara) Tahun 1848 No. 22 adalah 6
(enam) prosen pertahun, sedang bunga yang diperjanjikan boleh lebih dari itu.[11]
Secara umum, penyaluran kredit adalah kegiatan
bisnis meminjamkan dana (fund
lending) kepada
masyarakat berdasarkan pinjam-meminjam disertai bunga yang telah ditentukan dan
wajib dilunasi beserta utangnya pada akhir jangka perjanjian.[12]
Dari
uraian di atas terdapat dua perbedaan pokok antara gadai konvensional dengan
gadai syari’ah yaitu:
Gadai
konvensional mensyaratkan bahwa barang jaminan itu haruslah barang bergerak[13]
sedang dalam gadai syari’ah barang jaminan tidak mesti barang bergerak. Dalam
gadai konvensional yang meminjamkan (penerima gadai/murtahin/kreditur)
bisa mengambil keuntungan berupa bunga pinjaman, sedang dalam gadai syari’ah yang meminjamkan
tidak boleh mengambil imbalan
dari gadai yang
berbentuk bunga, karena bunga termasuk dalam kategori riba dan riba adalah
haram.
Berdasarkan
teori kredo atau teori syahadat[14],
yaitu suatu teori hukum Islam di Indonesia, prinsip ini menghendaki agar setiap
orang yang telah menyatakan dirinya beriman kepada Allah maka ia harus tunduk
kepada apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah dalam
Al-Qur’an. Allah telah melarang riba seperti disebutkan dalam Al-Qur’an
surat al-Baqarah ayat 275;”...Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba...”. Ulama Islam sepakat bahwa riba adalah haram, salah satu
yang dipermasalahkan adalah apakan bunga bank termasuk riba atau tidak. Dengan
keluarnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tanggal 16 Desember 2003 tentang
haramnya bunga bank, maka sudah tentu bunga dari gadaipun hukumnya haram.
Dalam
hal gadai Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) perbedaan yang prinsip dalam
gadai konvensional dengan gadai syari’ah, seperti halnya perbedaan prinsip
dalam Bank Konvensional dengan Bank Syari’ah adalah terletak dalam keuntungan.
Dalam gadai konvensional dan bank konvensionl keuntungan diambil dari bunga
yang diperjanjikan pada saat akad, sedang dalam gadai syari’ah keuntungan tidak
boleh diambil berdasarkan bunga, keuntungan bisa diambil dari menyewakan tempat
penyimpanan barang jaminan.
Belakangan ini banyak penawaran melalui media cetak, media elektronik maupun
pamplet yang bersedia meminjamkan dana segar untuk modal usaha dan lain
sebagainya yang bisa dicairkan dalam waktu yang relatif singkat dengan
menggadaikan/menjaminkan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB). Setelah memperhatikan ketentuan-ketentuan di
atas tentang gadai, maka penawaran ini perlu dipertanyakan keberadaannya.
Buku
Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), merupakan barang bergerak terdaftar. Buku
itu merupakan sertifikat dari kendaraan. Dilihat dari “barang bergerak” maka
bisa dijadikan jaminan baik menurut gadai konvensional maupun menurut gadai
syari’ah, namun jika dilihat dari fungsi jaminan dimana jaminan itu nilainya
harus lebih besar dari utang karena ia berfungsi untuk menutupi utang, maka
baik menurut gadai konvensional maupun gadai syari’ah, BPKB tidak bisa
dijadikan sebagai jaminan.
Jika
dilihat dari asas hukum jaminan dan doktrin hukum perdata yang mengatakan bahwa
semua harta debitur memikul beban untuk melunasi hutangnya kepada kreditur,
sampai terpenuhi seluruh pembayaran hutang[15]. Sesuai
dengan Pasal 1131 BW, maka BPKB bisa saja dijadikan sebagai jaminan.
Menurut Subekti[16]: Pasal
1131 BW menetapkan bahwa segala kebendaan si berutang (debitor) baik yang bergerak maupun yang tak begerak,
baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi
tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Ini berarti bahwa semua
kekayaan seorang dijadikan Jaminan untuk semua kewajibannya, yaitu semua
hutangnya. Inilah yang oleh hukum Jerman dinamakan HAFTUNG. Kalau seseorang
mempunyai suatu hutang, maka jaminannya adalah semua kekayaannya. Kekayaan ini
dapat disita dan dilelang dan dari hasil pelelangan ini dapat diambil suatu
jumlah untuk membayar hutangnya kepada kreditornya.
Jika
yang dimaksud dengan BPKB adalah apa yang tercatat dalam BPKB tersebut dan ia
hanya merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan pinjaman, maka gadai BPKB
seperti yang ditawarkan dalam media cetak, media elektronik dan pamplet
tersebut, sebenarnya fidusia, sedang fidusia sendiri telah diatur dalam
Undang-Undang Jaminan Fidusia (UUJF) yaitu Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999.
Menurut
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia; Fidusia adalah
“pengalihan hak kemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan
bahwa benda yang hak kemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik
benda”,
Dalam
kontek gadai konvensional dengan jaminan fidusia BPKB berarti: Pengalihan hak
kepemilikan kendaraan bermotor dari pemberi gadai/debitur kepada penerima
gadai/kreditur, atas dasar kepercayaan, kendaraan bermotor tersebut tetap dalam
penguasaan pemilik benda (debitur), sedang BPKB kendaraan tersebut dikuasai
oleh kreditur sampai lunasnya utang.
Pada
gadai syari’ah, gadai dengan jaminan fidusia BPKB berarti: Terhadap barang
gadaian/marhun yang berbentuk kendaraan bermotor, diadakan perjanjian
antara rahin dan murtahin. Rahin memanfaatkan kendaraan bermotor
yang digadaikan tersebut dengan akad mudharabah dengan pembagian
keuntungan yang disepakati bersama. Biasanya pembagian keuntungan itu adalah 85
% untuk rahin dan 15% untuk murtahin[17]
[1] Andi Prajitno, Hukum
Fidusia – Problematika Yuridis Pemberlakuan Undang-Undang
No. 42 Tahun 1999, Bayumedia Publishing,
Malang, 2009, hlm. 134.
[2] Subekti, Hukum
Perjanjian, Intermasa, Jakarta, Cet. Ke 19, 2002, hlm. 1.
[3] Tan Kamelo, Hukum
Jaminan Fidusia-Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung,
Cet ke-dua, 206, hlm. 32
[4] I b i d
[5] Mariam Darus
Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung,1997, hlm.
35.
[8] Ahmad Rodoni dan Abdul
Hamid, Lembaga Keuangan Syari’ah, Zikrul
Hakim, Jakarta, 2008, di halaman 189: dalam praktik, jaminan di LKS itu masih barang bergerak,
[9] Kaidah Fiqh “setiap
utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang berpiutang (muqridh)
adalah riba.
[10] Subekti, Aneka
Perjanjian,PT Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet. Kesepuluh, 1995 hlm.
128-129.
[11] I b i d, hlm. 129.
[12] Abdul Kadir Muhammad, Hukum
Organisasi Perusahaan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 273.
[13] KUH Perdata No. 1150:”Gadai
adalah suatu hak yang diperoleh kreditor atas sesuatu barang bergerak....
[14] Juhaya S. Praja, Teori-Teori Hukum Suatu Telaah PerbandinganDengan
Pendekatan Filsafat, Pasca Sarjana Universitas Islam IUIN) Bandung, 2009,
hlm. 107.
[15] Yahya Harahap dalam Tan
Kamelo, op.cit, hlm. 332.
[16] Subekti, Pokok-Pokok
Hukum Perdata, PT. Intermasa, Cet ke XXIX, 2001, hlm. 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...