Oleh: Abu Aisyah As-Silasafi
Sebuah keajaiban
datang menyapa, seseorang dengan peci putih, baju putih dan tas di belakang
punggung menyapa dengan hangat “Assalamualaikum, mau ke Monas juga mas” katanya
pelan. “Waalaikumsalam, Iya” jawabku. Setelah berbasa-basi sejenak akhirnya lekai-laki
yang bernama Diki mengajak saya berjalan bersama. Turun dari dari jembatan
penyeberangan kami bertemu kembali dengan serombongan umat Islam yang bergerak
dengan penuh semangat menuju Monas. Kembali semnagat saya terpacu, desiran ruhul
jihad semakin membara dalam dada. Akhirnya saya dengan Abang Diki sepakat
untuk bergabung dengan rombongan dari wilayah Jakarta Timur.
Kami berjalan
menyusuri Jl. Pramuka, kemudian di depan Pasar Burung kami berhenti sejenak
untuk menunggu Pak Harry yang sedang berjalan di belakang kami. Sekitar 20
menit kami menunggu di sebuah rumah makan Padang. Pemandangan yang luar bisa
kami saksikan di depan mata, berbagai elemen umat Islam berdatangan dari arah
Jl. Pemuda menuju Monas. Ada yang berjalan kaki, menaiki motor, kendaraan
pribadi, bus dan ada juga yang menggunakan bak terbuka dan truk. Setiap mereka
lewat maka gema takbir bersautan di antara kami “Allahu Akbar”. Sebuah
pemandangan yang menjadikan 212 semakin membara.
Setelah menunggu
beberapa lama akhirnya Pak Harry sampai di tempat kami menunggu, kami
bersalaman dan merasakan energy yang luar biasa dari beliau. “Orang setua ini
saja masih semangat untk berjalan kaki ke Monas, masa saya yang muda tidak
kuat”. Seteleh berbincang sejenak kami segera bergabung dengan salah satu
rombongan dari wilayah Jakarta Timur. Kami bergerak dari Jl. Pramuka menuju Jl.
Matraman, dan memasuki Jl, Salemba Raya menuju ke Senen. Sepanjang jalan, kami
bertakibr membesarkan asmaNya. Senandung penyemangat jiwa aksi 212 dilantunkan
membakar semangat umat Islam.
Sebuah
pemandangan tak biasa nampak di depan mata, beberapa elemen dari umat Islam
berada di tepi jalan dan sebagian menghadang kami dengan memberikan minuman dan
makanan. Sebuah pemandangan yang tidak pernah saya saksikan di ibukota Jakarta.
Tanpa ada komando dan perintah, hanya keimanan mendalam dan ukhuwah Islamiyah
yang menggerakan mereka, saya sangat terharu sekali dengan kejadian ini. scenario
yang mahas empurna hingga hati-hati mereka tergerak untuk berinfak di jalanNya.
Namun keterharuan
saya baru awal, karena saya ykin sekali ada banyak menakjubkan di hadapan sana.
Kami terus bergerak ke arah kawasan Senen, hingga kami bersatu dalam satu
rombongan yang lebih besar. Memasuki wilayah Taman Gunung Agung ternyata sudah
banyak sekali umat Islam yang berada di sana, mereka bergerak rapi secara
perlahan menuju wilayah Monas yang sejatinya masih berjarak kurang lebih 5 KM. kerumunan
umat Islam yang menyemut telah memenuhi wilayah Tugu Tani menuju ke Monas,
sebuah pemandangan yang menggetarkan iman bagi orang-orang yang melihatnya. Bagaimana
tidak, jutaan umat Islam bergerak dengan rapi dan diiringi pekikan takbir dan
shalawat kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam.
Lagi-lagi saya terharu
dengan pemandangan yang ada di depan mata, kerumunan umat Islam yang bersama
dalam satu ikatan ukhuwah. Mereka bergerak dengan rapi, tidak ada saling
dorong, tidak ada satu rumputpun yang terinjak, tidak ada satu manusiapun yang
didzalimi. Berbagai elemen umat Islam saling mengisi ruang kosong yang selama
ini menjadi kelemahan utama umat Islam. Sebagian mereka bergerak perlahan
menuju Monas, sebagian lainnya di pinggir jalan dengan membawa berbagai jenis
makanan dan minuman. Bukan untuk dijual, tapi diberikan secara sukarela kepada
seluruh lapisan umat Islam. Ada layanan charger hp gratis, nasi padang
gratis, roti gratis, aqua gratis dan berbagai hal gratis yang hanya Allah ta’ala
yang mampu untuk menggerakannya.
Saya dengan Abang
Diki terus bergerak menuju Monas, kami bertekad akan menuju ke tempat paling
dekat dengan panggung utama. Setelah memasuki kawasan Monas kami berjalan
menuju pintu gerbang yang telah terbuka.
Saya sempat
terpikir dengan provokasi seorang anggota Whatssapp yang menyatakan “Monas itu
punya delapan pintu, jika umat Islam sudah masuk ke dalam kemudian semua pintu
dikunci dan umat Islam yang berada di dalam dibanjiri dengan gas air mata atau
sejenisnya maka umat Islam pasti akan habis” itulah ucapannya. Namun semangat
jihad yang telah membara segera mengapuskan kekhawatiran tersebut, saya terus
bergerak bersama dengan jutaan umat Islam lainnya menuju bagian dalam Monas.
Sebelum memasuki
lapangan saya dengan Abang Diki bergantian mengambil air wudhu, sebuah
pengalaman spiritual yang jarang sekali ditemukan. Teman yang baru pertama
kenal, kemudian dengan sukarela bergantian berwudhu dengan hanya sebotol air
mineral. Ingin sekali saya mengabadikan momen itu, namun tidak bisa karena kami
bergantian menuangkan air untuk berwudhu. Namun Allah Ta’ala pasti sudah
mencatat perbuatan kami tersebut, sebuah ikatan ukhuwah yang lagi-lagi
digerakkan oleh Allah Ta’ala.
Setelah selesai
berwudhu kami segera memasuki bagian dalam lapangan Monas, jutaan manusia yang
telah duduk dengan rapi memunculkan keterharuan yang luar biasa, tidak ada
anarki, tidak ada kata-kata kasar dan tidak ada tindakan-tindakan tidak sopan. Semua
berjalan seiring nafas-nafas kehidupan. Saya bergerak mengikuti pergerakan
umat Islam yang terus berjalan ke bagian dalam lapangan Monas. Suara dari pengeras
suara yang berada di beberapa sudut lapangan memberikan gambaran secara jelas
jalannya aksi. Sambil berjalan saya menyaksikan jutaan umat Islam duduk rapi
dengan melantunkan takbir, tasbih dan tahmid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...