Oleh : Aziz Abdurrahman, S.Li (Mahasiswa Pascasarjana INAIS Bogor)
Sebagai agama yang universal, sisi ekonomi
juga mendapat perhatian yang serius dalam Islam, selain perkara tauhid yang merupakan
fundamental. Cakupan ekonomi tentu lebih luas daripada hanya sekedar transaksi
jual beli semata. Meskipun demikian kegiatan transaksi jual beli adalah bagian
terbesar dari ekonomi, karena di dalamnya adalah faktor produksi, distribusi
dan konsumsi.
Sudah kita maklumi secara historis bahwa
kehidupan masa muda Nabi Muhammad, sangat kental sekali dengan aktifitas
perdagangan. Bahkan sudah menjadi kebiasaan kaum Quraisy yang berada di Mekah
pada saat itu untuk melakukan perjalanan bisnis ke negeri Yaman pada saat musim
dingin, dan ke negeri Syam apabila musim panas (Ibnu Katsir, 2002.
Nabi Muhammad sejak masih usia muda
dikenal dengan julukan Al-Amin, yang artinya orang yang menjaga amanah.
Orang-orang Quraisy sangat percaya akan kejujuran beliau Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam. Nampaknya akhlak yang baik ini juga diteruskan oleh para Sahabat
Radhiyallahu ‘Anhum, sebagian diantara mereka juga ada yang mencari mata
pencaharian sebagai pedagang, sebut saja Abdurrahman bin Auf yang terkenal akan
kecerdikannya dalam berdagang.
Dalam beberapa sabda-sabda Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyebutkan bahwa pedagang yang jujur dan amanah
akan mendapatkan pahala yang besar dan keberkahan dalam jual belinya.
Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Umar Radhiyallahu
‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda;
التاجر
الصدوق الأمين مع النبيين و الصديقين و
الشهداء يوم القيامة
“Pedagang yang jujur dan amanah akan
bersama para Nabi, orang-oran Shiddiq, dan para Syuhada pada hari kiamat.” (HR.
Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Dalam hadits lainnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda;
البيعان بالخيار ما لم يتفرقا فإن صدقا و بينا بورك في بيعهما و إن
كتما و كذب محقت بركة بيعمها
“Penjual dan pembeli itu diberikan pilihan (untuk meneruskan jual
beli atau membatalkannya) selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya
jujur dan menjelaskan (keadaan barang), jual beli keduanya akan diberkahi.
Namun, apabila keduanya menyembunyikan dan berdusta, akan dihilangkan
keberkahan jual beli keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim.)
Namun dewasa ini banyak sekali
praktik-praktik jual beli yang tidak dilandasi dengan kejujuran. Mulai dari
pedagang kelas teri sampai kelas kakap ada saja berita telah terjadi penipuan
dalam transaksi jual beli. Misalnya, pedagang buah di pasar yang menjual
dagangannya sambil bersumpah atas nama Allah bahwa yang ia jual manis dan
modalnya besar, padahal faktanya tidak demikian. Ada lagi misalnya penjualan
properti rumah atau tanah namun ternyata surat-surat kepemilikan rumah atau
tanah tersebut palsu.
Perbuatan curang tersebut juga
ditemukan dalam kasus yang lainnya misalkan tindak korupsi yang dilakukan oleh
para pejabat, oleh menteri dan yang lainnya. Semua itu membuktikan kepada kita
bahwa kejujuran sudah menjadi barang langka di negeri yang mayoritas muslim
ini.
Ketika seorang muslim hendak membeli
dan menjual, menyimpan dan meminjam, atau menginvestasikan uang, ia selalu
berdiri pada batas-batas yang telah ditetapkan Allah. Ia tidak makan uang
haram, memonopoli milik rakyat, korupsi, mencuri, berjudi, ataupun melakukan
suap menyuap. Seorang muslim secara tegas menjahui daerah yang diharamkan
Allah. (Al-Qardhawi, 1997)
Segala macam tindak kecurangan dan
ketidakjujuran ini perlu diberikan sanksi tegas. Dalam sebuah
hadits yang terdapat di kitab Shahîh Muslim No. 102, suatu ketika Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam melewati tumpukan makanan (yang dijual) kemudian beliau
memasukkan tangannya ke dalam makanan tersebut, saat itu tangannya merasakan
bahwa bagian bahwa pada makanan tersebut basah. Lantas Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam bertanya, “Apa ini wahai penjual makanan?” Sang penjual
tersebut menjawab, “Terkena air hujan wahai Rasulullah.” Kemudian Beliau
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kembali kepada penjual tersebut, “Mengapa
tidak engkau letakkan yang basah ini di atas juga agar dapat diketahui oleh
yang lain? beliau menasehati penjual tersebut dan memerintahkan untuk berlaku
jujur seraya bersabda;
من غشنا فليسا منا
“Barang siapa yang menipu/berbuat curang maka ia tidak termasuk
golongan kami.” (Nawawi, 2010)
Hadits ini sangat jelas bagi kita semua bahwa
orang-orang yang berbuat curang tidaklah dianggap sebagai bagian dari golongan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, karena beliau selalu mengajarkan
kejujuran baik dalam tindakan maupun ucapan.
Thanks prof.
BalasHapus