Oleh: Abdurrahman
Ciboleger
adalah awal perjalanan nekat saya ke rimba Baduy, dengan menggunakan kaos dan
celana selutut ditemani tas punggung yang berisi pakaian untuk ganti akhirnya
saya melangkah seorang diri ke dalam rimba Baduy. Jangankan makanan air
minumpun saya tidak bawa hanya modal nekat dan yakin pasti akan sampai ke
pedalaman Baduy. Akhirnya sekita pukul 07.30 saya berjalan menyusuri jalan
setapak yang kiri-kananya ditumbuhi pohon-pohon besar. Di kejauhan tampak
pegunungan Kendeng yang seolah-olah menyeringai siap menyambut para petualang
nekat seperti saya. Suara-suara burung di kejauhan memberikan suasana hening,
sesekali terdengar suara burung gagak di pucuk-pucuk pohon di ketinggian.
Memasuki rimba Baduy sesekali saya berpapasan dengan suku Baduy yang membawa
hasil kebunnya, seperti durian, pisang, gula aren dan lain-lain. Pada
tebing-tebing tinggi tampak beberapa anggota suku Baduy sedang memanen padi.
Saya
melirik ke Hp saya, jam menunjukan pukul 10.30 ketika jalan yang saya tempuh
menanjak dengan kemiringan hingga 750 benar-benar tanjakan yang
sangat melelahkan. Ini tanjakan maut yang pernah diceritakan oleh seorang teman
ketika saya akan pergi ke sini. Tanjakan Pagelaran adalah sebuah tanjakan
dengan panjang mencapai 2 KM berupa tanah liat dan sedikit bebatuan yang
terbawa air ketika turun hujan. Pada tanjakan inilah biasanya para pendaki akan
menyerah nan kalaupun bisa naik ke atas harus mengeluarkan energy lebih. Itulah
kenapa rute ini jarang digunakan oleh masyarakat. Dengan keringat bercucuran
saya mencoba untuk terus kuat sedikit-demi sedikit, tenggorokan sudah terasa
kering dari tadi namun tidak ada stok air minum. Terpaksa saya harus menelan
ludah banyak-banyak agar rasa haus ini tidak menghabiskan energy untuk
menaklukan Baduy. Saya sempat mengambil photo di bawah pohon besar di
tengah-tengah tanjakan tersebut. pemandangannya cuku eksotik dengan jurang
dengan sebelah kiri yang seolah-olah siap menelan siapa saja yang terperosok ke
dalamnya. Tidak ada manusia satupun yang lewat, bahkan suara dari kejauhanpun
tidak terdengar sama sekali. Sepi… hanya suara angin yang berhembus di antara
sela-sela pepohonan yang berdaun lebat.
Perjalanan
dilanjutkan dengan menuruni sebuah bukit kecil, permukaan tanah berupa tanah
merah yang terkena air hujan menjadikannya licin sehingga memaksa saya untuk
membuka alas kaki. Dari kejauhan mulai terdengar suara gemericik air mengalir,
tidak salah dugaan saya sebuah sungai kecil dengan air beningnya mengalir di
antara pohon-pohon besar di tepi-tepinya. Tanpa berfikir mengandung kuman atau
tidak saya segera menceburkan diri ke sungai kecil itu, dengan kedua tangan
yang ditangkupkan saya mengambil air tersebut untuk mengobati keringnya
tenggorokan yang sedari tadi sudah melolong minta diairi. Setelah merasa
kenyang saya mengelonjorkan kaki saya pada sebuah batu yang dialiri oleh air,
kesegaran yang luar biasa… namun perjalanan masih jauh. Saya sempat melihat Hp
ternyata waktu menunjukan pukul 12.30, ini berarti saya sudah memasuki hutan
Baduy lebih dari 5 jam perjalanan. Sinyal Hp hanya sisa 1 bar dan sesekali
menjadi 2 bar, kondisi kritis untuk melakukan panggilan. Setelah puas menikmati
sungai kecil itu saya segera melangkah lagi menyusuri jalan setapak dengan
semak belukar di sisi kiri dan kanannya.
Setelah
melewati daerah lembah, saya berjalan di pinggiran huma (ladang) masyarakat
Baduy yang berada di tengah hutan. Sempat beberapa kali insting saya diuji
ketika melewati sebuah pertigaan dan perempatan, belok kiri, kanan atau lurus.
Insting saya menunjukan bahwa untuk menuju pedalaman saya harus menuju arah
timur dan selatan. Maka keputusan saya adalah mencari jalan yang mengarah ke
timur atau ke selatan. Kini sinyal Hp sudah tidak tampak sama sekali, ketika
mencoba untuk melakukan panggilan jawaban “no service” berulang-ulang
terdengar. Ini berarti saya sudah semakin jauh masuk ke pedalaman rimba Baduy.
Kali
ini insting saya diuji lagi, setelah melewati sebuah bukit kecil saya
dihadapkan pada pertigaan, satu ke arah kanan yang berarti ke selatan dan yang
satunya ke arah kiri yaitu ke utara. Sebenarnya insting saya mengatakan harus
kea rah kanan, namun karena belum begitu yakin akhirnya saya belok ke kiri.
Kurang lebih 500 meter saya mendapai sebuah tanjakan dan di ujung sana sebuah
lading milik Baduy Dalam, demikian pula tampak sebuah saung (rumah jaga
di huma). Tenaga saya yang sudah hampir habis memaksa saya untuk berhenti
sejenak dan mencari apakah ada orang di saung tersebut. ternyata di dalam saung
tersebut terdapat sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan dua anak
laki-lakinya. Seorang anak tampak duduk pada sebuah dipan bamboo dengan tanpa
mengenakan pakaian, sementara anak yang satu lagi memakai pakaian berwarna
putih yang sudah berubah warna menjadi abu-abu dan tanpa celana. Sementara sang
ibu memakai satu helai pakaian berwarna hitam yang digunakan untuk menutupi
tubuhnya.
Setelah
sedikit berbasa-basi akhirnya saya diberikan buah dukuh oleh kedua anak
tersebut dengan perintah ayahnya. Walaupun watu makan siang sudah lewat namun
buah dukuh yang ada saya jadikan menu makan siang saya, ditambah pula dengan
pisang rebus yang disediakan oleh keluarga Baduy tersebut. sebuah menu makan
siang yang tidak pernah ada tandingannya. Untuk membalas kebaikan mereka saya
memberikan uang Rp 3500 untuk mereka. Jumlah yang sangat kecil namun karena
persediaan keungan saya juga sangat tipis maka manurut saya jumlah tersebut
cukup besar. Akhirnya perjalanan saya lanjutkan dengan kembali menyusuri jalan
balik tadi.
Kini
perjalanan saya benar-benar tepat berada di tengah hutan belantara, tidak
tampak sama sekali perkampungan, yang ada adalah hutan hijau dan pohon-pohon
yang sepertinya belum pernah di sentuh oleh manusia. Semak belukar yang berada
di sisi kiri dan kanan jalan setapak menjadikan saya khawatir kalau-kalau ada
binatang buas yang siap menerkam. Keadaan waktu itu benar-benar sangat
memungkinkan seandainya ada binatang buas seperti harimau atau Panther menerkam
orang yang sendirian lewat di jalan tersebut. saya hanya bisa berjalan dan
berdoa semoga tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Tenaga saya yang
tadi pulih dengan buah dukuh dan pisang rebus kini sudah habis lagi. Seluruh
tubuh terasa pegal-pegal dan telapak kaki ini juga sepertinya melepuh. Beberapa
duri kecil sempat menusuk telapak kaki saya yang tanpa alas kaki sementara
daun-daun dan ranting-ranting yang menimbulkan gatal di kaki dan tangan dengan
seenaknya menyapa kulit saya.
Jam
di Hp saya sudah menunjukan pukul 14.30 ketika saya berada di puncak sebuah
bukit, pandangan saya hadapkan ke arah timur, tampak jalan setapak yang berada
di tengah semak-semak berkelok-kelok di punggung bukit yang memanjang. Ini
adalah akhir dari perjalanan saya. Namun ternyata kelokan itu begitu panjang
sehingga tampak seperti seseorang yang menyusuri tembok China yang baru
berjalan 20 KM. saya juga sudah berjalan lebih dari 6 jam sehingga ketika
melihat jalan itu sepertinya sangat jauh sekali.
Dengan
sisa-sisa tenaga yang saya miliki, perlahan kaki saya menyusuri jalan setapak
tersebut. Membutuhkan waktu kurang lebih
1,5 jam untuk mencapi akhir dari jalan tersebut. Perjalanan belum berakhir, di
akhir jalan setapak tersebut kini terbentang hutan lebat yang ditumbuhi
pohon-pohon besar dan pohon enau. Jalan setapak yang tadi kering kini terasa
becek dengan air di sana-sini. Perjalanan menembus rimba lebat unruk menuju
perkampungan Baduy dalam kurang lebih 1 jam lagi. Kini sinyal Hp benar-benar
sudah tidak ada, suasana-pun tampak semakin gelap dengan sinar matahari yang
tidak sampai menembus kelebatan hutan tersebut. pada jalan setapak itu tampak
beberapa bekas kaki suku Baduy yang keluar kampung untuk keperluan sesuatu.
Akhirnya
setelah menmpuh jarak kurang lebih 9 jam saya sampai ke perkampungan terdalam
suku Baduy. Sebuah jembatan terbuat dari bamboo diikat dengan tali injuk warna
hitam menjadi pintu gerbang untuk memasuki kampung Cikeusik Baduy Dalam. Kini
di depan mata berjajar rapi rumah-rumah dengan panggung tinggi. Beberapa wanita
tampak asyik mandi di sebelah timur jembatan sementara anak-anak kecil
berlarian di sekitar kampung. Semua dari mereka menggunakan pakaian warna hitam
dan putih, tidak ada warna pada pakaian mereka sebagaimana tidak ada cat pada
rumah mereka. bahkan sebatang paku-pun tidak digunakan dalam pembangunan rumah
tersebut.
Perlahan
saya memasuki kampung dan duduk di sekitar para lelaki yang sedang menunggu
kampung. Mereka semua berpakaian warna putih dan ikat kepaa putih. Seperti saya
telah kembali ke zaman Pajajaran di mana masyarakat menggunakan pakaian blacu
dan tidak ada tekhnologi di sini. Jangankan ember, sebatang korek api-pun tidak
ada sebagaimana tidak ada jam di kampung ini. Semuanya kembali ke masa lalu dan
say asedang berada di antara mereka. sekelompok masyarakat yang mengubur diri
secara bersama-sama dan tidak mau dipengaruhi dan dimasuki tekhnologi. Sampai
kapankah mereka akan bertahan dengan keadaan ini? Yang pasti perjalanan saya
kali ini benar-benar memberikan sebuah pengalaman hidup luar biasa, menembus
rimba baduy, tersesat di dalamnya dan akhirnya menemukan suku terasing yang
menolak secara tegas segala bentuk modernisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...