Oleh: Amatulloh Mujtahidah
Bismillahirrohmaanirrohiim..
Menjalani masa-masa sebagai seorang
pemuda pada sebuah kampus yang memiliki motto sebagai kampus yang bersyari’ah
menjadi sebuah pengalaman yang bermakna dan memiliki kesan tersendiri bagi
penulis. Mungkin hal ini dikarenakan penulis termasuk tipe mahasiswa yang “sok analis”
dan cukup memiliki pandangan yang juga“sok
idealis” namun tetap realistis karena ia sangat menyadari, dizaman initidak ada satu pun
makhlukNya yang perfectionis.
Kampus “bersyari’ah”, mendengar kata
syari’ah, banyak sekali reaksi yang akanmuncul diberbagai individu yang
memiliki keheterogenan pola fikir, budaya serta ideologis dimasyarakat yang
sudah banyak tercemar oleh segala yang berbau liberalis dan pluralis. Ada reaksi
sebagian individu yang anti pati, menganggap syari’ah sebagai sesuatu yang
berlebihan, sebuah angan-angan kosong serta hisapan jempol belaka dan ada juga
yang menganggap bahwa segala yang berkaitan dengan hal itu harus diperangi
karena mengancam keselamatan jiwa berbangsa dan bernegara,(Extreme-nya, mereka
menganggap bahwa shariaa is same with a terrorism,,,) kita jumpai
pula reaksi individu tertentu yang bersikap biasa-biasa saja ketika mendengar
kata syari’ahdan kemudian sebagian individu lain sangat merasa excited ketika
mendengar kata syariah, wujud sikap excitednya pun beragam, ada yang memiliki
ghiroh tinggi dalam menyuarakannya meski pada tatanan aplikasi masih perlu dipertanyakan,
ada yang berghiroh menyuarakan syari’ah dan tetap selaras dengan aplikasi dalam
kehidupannya serta ada pula yang tidak banyak bicara namun apa yang ia
aplikasikan dalam kehidupannya adalah segala hal yang sesuai dengan syari’ah. So,,Which
one are us ??
Suatu ketika tengah diadakan syuro salah satu organisasi
yang berada dalam naungan kampus “bersyaria’h”, yang didalam salah satu visi
dari organisasinyai tersebut adalah
menjadi salah satu organisasi yang bersyari’ah,, kemudian ketika sesi diskusi
ada seorang ikhwahyang bertanya kepada pemimpin syuro tersebut,,” ‘afwan akh,,,
menurut pandangan antum sendiri pengertian dari syari’ah itu apa ?”, pertanyaan
menarik yang membuat penulis mengerutkan dahi ketika mendengarnya,, bukan
karena apa-apa, penulis hanya merasa sekian tahun menjalani rutinitas dikampus
yang memilih visi misi bersyari’ah sebagai Motto-nya, memahamiternyata memang
tidak semua orang mampu benar-benar menghadirkan pertanyaan tersebut kedalam
diri dan hatinya ataupun mampu menjawab berdasarkan pandangannya. Pertanyaan
yang jawabannya juga sangat dibutuhkan bagi setiap orang, khususnya ketika
seseorang sedang berada dalam masa pencarian jati diri. Maklum saja, salah satu
waktu peralihan fase metamorfosis dalam mencari jati diri adalah ketika
mahasiswa, karena memang menurut teori perkembangan manusia, pada fase ini kita
sebagai manusia sudah berpotensi untuk mampu menentukan serta memilih segala
sesuatu sepaket dengan resiko yang akan dihadapi, hal ini seiring dengan
bertambahnya kedewasaan dan pengalaman hidup yang dijalani. Oleh karena itu penulis
merasa bahwa pada pertanyaan itu jawaban yang dibutuhkan sang ikhwah bukanlah sekedar
jawaban yang klisesemata.^^
Namun disini tidak akan dipaparkan
mengenai definisi atau pandangan mengenai makna syari’ah, namun yang akan
sedikit di ulas adalah mengenai hijab yang akan dibahas sesuai konteks
keberadaanya dalam kampu bersyari’ah.(Pembahasan dibatasi tidak menyangkut
hijab pakaian mukminah).Salah satu ciri pada sebuah kampus atau lembaga yang
menjunjung nilai syari’ah adalah adanya pemisahan antara ikhwan dan akhwat, Dan
dalam memberi batas pemisahan tersebut, maka digunakanlah hijab.Apa itu hijab?
Secara bahasa hijab berasal dari bahasa
arab yang berarti penghalang. Idealnya pemisahan ini memang dilakukan dalam hal
pemisahan kelas bahkan pemisahan gedung atau kampus. Namun, jika satu dan lain
hal belum memungkinkan maka biasa digunakan hijab sebagai pembatas atau
penghalangberupa kain tau papan kayu yang tidak tembus pandang.Lalu untuk
apakah penggunaan hijab tersebut?Apa perlu sampai seperti itu? Bukankah dalamadab
muamalah yang diperbolehkan antara ikhwan dan akhwat salah satu dari empatnya
adalah dalam hal pendidikan ?dan lagi pula bukankah segala sesuatu itu
tergantung kepada pribadinya masing-masing?
Seringkali dalam hidup ini, kita lebih
senang mencari-cari alasan atau memunculkan pertanyaan-pertanyaan (seperti
diatas) tentang segala aturan yang telah Alloh tetapkan.Alasan dan pertanyaan
itu bisa menunjukkan dua hal, yakni adanya rasa keberatan tentang aturan
tersebut atau memang merupakan salah satu usaha untuk penguatan keyakinan agar
dapat dengan mantap menerapkannya.
Berdasarkan pengalaman yang ada berkaitan
dengan hijab, banyak sekali kejadian yang pada akhirnya menjadi sebuah gejolak
pertanyaan yang berkecamuk dalam diri ketika merasa kecewa kepada individu yang
tidak menghargai keberadaan hijab yang ada.Dihijab dalam ruang kelas, namun
berselancar bebas tanpa kendali berinteraksi didunia maya bahkan dunia nyata.
Dihijab didalam ruang kelas, namun bertelepon ria dengan lawan jenis berbicara
yang tidak jelas tanpa batas. Hingga akhirnya pertanyaan yang muncul adalah : Lalu
untuk apa disini ia (red:hijab) digunakan jika pada kenyataannya tidak
memberikan sedikitpun sentuhan pemahaman dan penanaman nilai? Apakah ia hanya
bentuk simbolitas?Dan apakah batasan itu hanya dalam ruang kelas? Jangan sampai
frame yang ada ketika seseorang memutuskan untuk memilih kampus bersyariah
sebagai tempat dirinya menimba ilmu yang tepat berubah menjadi frame yang tidak
baik dikarenakantertular dan terbawa kedalam arus yang tidak seharusnyakarena
disebabkan pengalaman kurang baik yang ia dapatkan.Memang benar dan sangat
tidak dipungkiri, hal ini berkaitan dengan perkara hidayah.Namun, perlu juga
diingat bahwa lingkungan juga dapat berpengaruh dalam membentuk pola berfikir
seseorang.Semoga kita yang masih lemah dan seringkali berbuat khilaf bisa lebih
menghargai keberadaan hijab yang ada dan bisa menemukan bahkan menjadi pribadi
yang layak dijadikan uswah bukan malah menodai nilai-nilai syari’ah.
Sejatinya penggunaan hijab yang bertengger disamping kita adalah
sebagai alat. Yakni alat yang akan membantu dan mempermudah kita dalam
menundukkan pandangan, juga alat yang akan mempermudah kita untuk tidak
terjadinya ikhtilath dan pembicaraan yang tidak bermanfaat. Maka dengan
menundukkan pandangan seharusnya hati kita akan lebih terjaga, konsentrasi
belajar akan lebih terarah sehingga niat dalam tholabul ‘ilmu dapat lebih
tertata. Yang dimaksud dengan menundukkan (sebagian)
pandangan (al-ghadhdh min al-abshar) disini adalah menahan (kaff)
pandangan mata dari hal-hal yang haram dilihat (Tanwir al-Miqbaas fi Tafsir
Ibn ‘Abbas). Perintah menundukkan pandangan ditujukan kepada mukmin dan
mukminah dalam Al-Qur’an surat Al-Nur 30 – 31.
Ada beberapa hal yang sudah disepakati dalam
masalah pandangan mata (al-nazhr).
- Memandang aurat
orang lain yang tidak ditutup adalah tidak boleh, baik disertai syahwat
ataupun tidak. Hanya saja batasan-batasan aurat itu berbeda-beda,
tergantung pada jender, usia (anak-anak, dewasa, atau orang tua), kondisi
(saat shalat atau diluar shalat), dan lingkungan (sedang bersama siapa).
Disamping itu, dalam masalah batasan-batasan aurat juga terdapat perbedaan
pendapat para ulama’.
- Memandang lawan
jenis dengan tujuan taladzdzudz (memuaskan nafsu) adalah tidak
boleh.
- Apabila
diyakini akan timbul fitnah (godaan), maka memandang lawan jenis adalah
tidak boleh.
- Pandangan
seketika yang tidak disengaja terhadap lawan jenis adalah dimaafkan.
- Tujuan dari
perintah menundukkan pandangan adalah untuk menghindari fitnah sehingga
hati tetap bersih dan tidak terdorong untuk melakukan perbuatan yang keji.
(QS Al-Nur: 30)
- Apabila ada hajat syar’iyyah atau bahkan dharurat
maka diperbolehkan memandang lawan jenis dalam rangka memenuhi hajat atau
dharurat tersebut. Diantara hajat syar’iyyah tersebut adalah
melamar, bersaksi, mengobati, dan mengajar. Namun hajat syar’iyyah
tidaklah hanya terbatas pada beberapa hal tersebut saja (Masalah ini
dibahas lebih mendalam dalam kajian ushul fiqh).
Dr. Yusuf
Al-Qaradhawiy dalam buku Fatwa-fatwa kontemporer menjelaskan bahwa digunakannya
kata min (li tab’idh) pada Q.S An-Nuur:30 adalah tidak semua pandangan
harus ditahan. Hanya pandangan mata terhadap yang haram dilihat saja yang harus
ditahan.Namun yang menjadi pertanyaannya sekarang, dapatkah kita sebagai insan
lemah mampu menjamin serta memastikan bahwa kita dapat mengendalikan pandangan
dengan baik dan bisa mengelolanya agar tidak membawa kepada keharaman dan tidak
menimbulkan fitnah jika tidak terdapat hijab yang memisahkan dengan para ajnabi?
Dalam menundukkan pandangan, ada berbagai hikmah
yang tak terkira nilainya.Diantara berbagai hikmah tersebut adalah:
1.
Akan dikaruniai oleh
Allah kelezatan iman. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi,”Barangsiapa
memandang seorang wanita kemudian menundukkan (memalingkan) pandangannya
(karena takut fitnah, pen) maka Allah akan mengkaruniakan kepadanya kelezatan
iman”.
2.
Akan dikaruniai oleh
Allah cahaya kalbu dan kekuatan firasat. Karena itulah setelah menerangkan
perintah menundukkan pandangan dan berbagai perintah untuk bersikap ‘iffah
(menjaga kehormatan diri) maka Allah menyambungnya dengan ayat Cahaya, yang
menerangkan tentang cahaya-Nya yang Agung (yang tersulut sendiri tanpa
disulut).
3.
Akan dikaruniai oleh
Allah kekuatan dan ketetapan hati serta keberanian. (Majmu’ Fatawa Ibn
Taimiyyah, jilid 15, kitab Tafsir, hal 410 – 427)
Ya demikianlah hijab sebagai alat
menundukkan pandangan….Sebuah alat tidak akan berfungsi dengan baik, jika memang
sang pengguna alat tersebut tidak benar-benar meyakini dan memahami akan cara
kerja dan manfaat yang akan diperoleh dari alat tersebut. Begitupun hijab, ia
tidak akan memberikan manfaat jika didalam hati kita masih belum memahami bahwa
keberadaannya adalah untuk kemanfaatan kita bersama. Sekali lagi, hijab itu
hanyalah sebuah alat, sifatnya hanya sekedar membantu, bukan menjadi hal utama,lalu
apakahhal yang utama?
Yang utama adalah membangun kesadaran diri
kita sendiri, bahwakita perlu membangun hijab yang sesungguhnya didalam hati
kita, hijab berupa benteng yang kokoh dan menghujam dalam hati dengan dihiasi
prajurit-prajurit tangguh yang terbentuk dari rasa al-haya’ (malu) atas
tatapan-Nya dan al-khauf (takut) atas murka-Nya yang tidak akan membiarkan
musuh-musuh yang dapat mengobrak-abik kehanifan hati.
Juga yang utama adalah kita perlu menanam
bibit-bibit iffah dan izzah dengan berada dalam media tanah yang tepat agar
dapat memiliki akar-akar yang menjulur kuat kemudian akan menghasilkan
bunga-bunga ketenangan, ketetapan hati, keberanian serta ketentaraman jiwa juga
buah manis dari iffah dan izzah itu sendiri, sirami ia dengan air keikhlasan,
dan jika didapati gulma sertahama melanda, gunakan pestisida istiqomah dan do’a
sebagai seutama-utama kekuatan.
Kita memang manusia biasa, seringkali
merasa lupa dan tergoda , maka agar izzah dan iffah tetap terjaga, salinglah
menasehati, menerima dan berbaik sangka, dan jangan sekali-kali mau mencoba
untuk berbuat yang tidak-tidak, agar tidak menjadi sebuah kekeliruan dan dosa
yang terbiasa, semoga kini mata kita lebih terbuka, bahwa hijab bukan hanya
sebuah simbolitas semata…
Mari memulai dari diri sendiri, dari hal yang
terkecil dan dimulai kembali sejak saat ini..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...