Oleh: Abdurrahman Misno BP
Hukum Islam dilihat
dari segi pembagiannya terbagi menjadi dua, yaitu hukum-hukum yang berkaitan
dengan ibadah mahdhah dan hukum-hukum yang berkaitan dengan muamalah. Hukum Ibadah dalam Islam
berkaitan dengan ritual peribadahan antara seorang hamba dengan Allah Swt,
sementara hukum muamalah berkaitan
dengan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya dan alam sekitarnya. Berdasarkan
pada pembagian hukum Islam ini, maka komunitas Kampung Baduy, Kampung Naga dan
Marunda Pulo menerima unsur-unsur hukum Islam dengan variasi berbeda dalam
pelaksanaannya.
Bagan 9
Unsur-unsur Hukum Islam
yang diterima oleh tiga komunitas adat
Sumber bagan: Hasil analisis penulis
1. Komunitas
Kampung Marunda Pulo
Penyerapan
hukum Islam oleh komunitas Kampung Marunda Pulo terjadi bersamaan dengan penyerapan
mereka terhadap Islam. Hampir seluruh unsur hukum Islam dilaksanakan oleh
mereka dengan baik. Hukum Islam yang diterima oleh mereka meliputi hukum yang
bersifat ibadah dan muamalah. Pada
bidang ibadah komunitas Marunda Pulo termasuk komunitas yang konsisten dengan
keislamannya sehingga mereka menjalankan rukun Islam dengan baik. Mereka
menjalankan shalat, puasa, zakat dan menunaikan ibadah haji. Walaupun demikian
ada beberapa warga yang tidak melaksanakan shalat terutama ketika berada di
laut untuk mencari ikan.
Sementara dalam bidang muamalah mereka menjalankannya sesuai
dengan norma-norma hukum Islam seperti larangan memakan riba, berbuat jujur
dalam perdagangan, melaksanakan amanah dan bekerja pada hal-hal yang halal
saja. Secara umum mereka meyakini bahwa Islam mengatur seluruh sendi kebutuhan
manusia termasuk dalam masalah ekonomi.
Beberapa unsur hukum
Islam yang dilaksanakan oleh mereka dalam bidang ahwal al-Syakhsiyah diantaranya
adalah:
1) Perkawinan
Proses perkawinan yang
dilakukan oleh komunitas Kampung Marunda Pulo didasarkan pada sistem perkawinan
Islam. Proses lamaran dilaksanakan dengan perwakilan dari calon mempelai
laki-laki ke rumah calon mempelai perempuan dengan persetujuan dari kedua belah
pihak. Penentuan mahar disesuaikan dengan permintaan dari calon istri
yang akan diserahkan pada saat akad nikah berlangsung. Rukun dan syarat
perkawinan selaras dengan nilai-nilai Islam yaitu adanya kedua mempelai, ijab
qabul dan mahar.
Pesta pernikahan yang
dilaksanakan diwarnai dengan tradisi Betawi namun tidak lagi dominan.
Perkembangan terkini menunjukan bahwa perkawinan di Marunda Pulo lebih praktis
sesuai dengan perkembangan zaman. Pelaksanaan pernikahan tidak bisa dipisahkan
dengan tradisi yang masih ada walaupun kadarnya terbatas hanya pemakaian baju
adat dan iring-iringan pengantin. Mengenai pakaian saat ini berkembang pula
pakaian pengantin muslim di mana pengantin perempuan memakai pakaian yang
menutup aurat.
2) Kewarisan
Kewarisan sebagai bagian
dari hukum perdata Islam yang dilaksanakan oleh komunitas Kampung Marunda Pulo
sesuai dengan ilmu faraid dalam Islam. Mereka memahami bahwa hukum waris
Islam harus membagikan bagian antara laki-laki dan perempuan itu berbeda. Namun
dalam praktiknya mereka menganggap bahwa hal ini tidak adil sehingga dalam
pembagiannya mereka menyamakan bagian antara ahli waris laki-laki dan
perempuan. Keadilan yang mereka pahami adalah ketika membaginya dengan sama
rata. Walaupun demikian pembagian ini biasanya didasarkan kepada kesepakatan
seluruh ahli waris.
Pembagian harta waris
dalam bentuk penyerahan sebelum orang tua meninggal dunia sejatinya bukanlah
pembagian waris. Ia adalah hibah (pemberian) orang tua kepada anak-anaknya,
sehingga dalam hal ini diperbolehkan untuk membagi kepada anak-anaknya dengan
bagian yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bahkan menjadi sebuah
kewajiban untuk memberikan harta secara adil kepada anak-anak, sebagaimana
sabda Nabi Muhammad Saw:
اعْدِلُوابَيْنَ أَوْلَادِكُمْ اعْدِلُوابَيْنَ أَبْنَائِكُمْ
Berlaku adillah kepada anak-anak kalian.
HR. Bukhari, Abu Dawud dan Nasai.
Adapun apabila
pembagiannya setelah meninggal dunia maka harta waris akan diberikan kepada
seluruh ahli warisnya dan pembagiannya telah disebutkan oleh Allah Swt dalam
beberapa ayatNya:
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِمِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ
Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.
(QS. al-Nisaa [4]: 7).
Berdasarkan ayat ini
maka bagian dari laki-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan. Maka adat
kebiasaan yang membagikan harta warisan sama antara laki-laki dan perempuan
bertentangan dengan ayat ini, kecuali jika dalam pembagiannya mengetahui
masing-masing bagiannya maka dibolehkan untuk menyamakan bagian keduanya.
2. Komunitas Kampung Naga
Unsur-unsur hukum Islam
yang diterima oleh komunitas Kampung Naga meliputi beberapa aspek ibadah dan muamalah. Pada aspek ibadah hukum Islam diterima
secara bertahap dalam jangka waktu yang lama. Penyerapan nenek moyang mereka
terhadap Islam tidak serta merta penyerapan terhadap seluruh aspek ibadah dalam
Islam. Lima rukun Islam diterima secara baik oleh komunitas Kampung Naga
walaupun dalam praktiknya secara individu masih belum melaksanakannya dengan
sempurna. Misalnya dalam pelaksaan shalat lima waktu dan puasa Ramadhan.
Pada rukun Islam yang
ke lima yaitu menunaikan ibadah haji mereka masih keukeuh tidak mau
melaksanakannya. Terbukti hingga saat ini tidak ada satu orangpun yang
menunaikan ibadah haji, padahal secara ekonomi mereka mampu untuk
melaksanakannya. Tidak melaksanakan ibadah haji terutama bagi mereka yang
tinggal di Kampung Naga, sedangkan komunitas sa-naga yang tinggal di luar lembur
ada sebagian yang sudah menunaikan ibadah haji. Mereka masih memiliki
keyakinan bahwa hajat sasih yang mereka laksanakan adalah bentuk lain
dari menunaikan haji ke Baitullah.
Mereka berpendapat
bahwa naik haji itu adalah bagi yang mampu, sementara komunitas Kampung Naga
adalah keluarga petani yang secara ekonomi berada di garis kemiskinan sehingga
tidak mampu untuk menunaikan ibadah haji. Apalagi biaya haji saat ini yang
semakin mahal tentu tidak akan terjangkau oleh mereka. Sekilas argumentasi ini
benar, bahwa mereka miskin itu benar. Namun fakta yang penulis temukan tidak
semua mereka miskin, keluarga kuncen dan beberapa tokoh adat mempunyai ekonomi
yang cukup mapan dan bisa dikatakan berpenghasilan lebih akan tetapi mereka
tetap tidak mau melaksanakan ibadah haji tersebut. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa mereka secara sengaja tidak mau melaksanakan ibadah haji walaupun dengan
alasana tidak mampu.
Pada bidang muamalah hukum Islam yang diterima oleh
komunitas Kampung Naga adalah mengenai tidak bolehnya meminjamkan uang dengan
adanya bunga (riba). Mereka meyakini bahwa hal tersebut tidak baik dilakukan,
namun dalam praktiknya koperasi simpan-pinjam yang didirikan di Kampung Naga
menggunakan sistem bunga. Mereka berdalih bahwa bunga tersebut adalah untuk
diri sendiri bukan untuk orang lain. Tentu saja argumentasi ini sangat lemah
mengingat keharaman riba bukan hanya dilihat dari satu sisi saja, namun jika
dampak lain yang ditimbulkannya.
Berkenaan dengan perkawinan
dan kewarisan maka komunitas Kampung Naga menerima sebagiannya dan tidak
menggunakan sebagian lainnya. Berikut adalah pemaparan dari keduanya:
a.
Perkawinan
Proses perkawinan yang
dilakukan oleh komunitas Kampung Naga menerima hukum perkawinan Islam dalam hal
rukun dan syaratnya. Proses akad nikah yang menghadirkan mempelai laki-laki dan
perempuan serta wali dari mempelai perempuan merupakan syarat sah dalam sebuah
pernikahan Islam. Demikian pula adanya mahar dan ijab qabul yang dilaksanakan
merupakan model perkawinan dalam Islam yang dilaksanakan oleh komunitas Kampung
Naga. Hal ini bisa dipahami karena mereka sebagai muslim diwajibkan untuk
menjalankan syariat Islam khususnya di bidang perkawinan.
Adapun tahapan-tahapan
sebelum dan sesudah akad yang dilaksanakan oleh mereka sejatinya berasal dari
adat kebiasaan mereka. Semisal lamaran yang mengharuskan membawa sirih, gambir,
pinang dan yang lainnya. Selain itu acara sungkeman dan ngariung setelah
akad nikah selesai merupakan tradisi yang bukan berasal dari Islam. Walaupun
demikian bukan berarti Islam menolaknya, selama tidak ada nash atau dalil yang
melarangnya maka hal tersebut diperbolehkan.
Sistem pernikahan di
Kampung Naga berasakan monogamy, sehingga mereka tidak mengenal istilah
poligami. Wawancara yang penulis lakukan menunjukan bahwa poligami dianggap
perbuatan yang mendzalimi perempuan sehingga tidak ada satu orangpun yang
melakukan poligami di Kampung Naga. Pemberian sumbangan pada acara walimah
menjadi adat yang telah berakar pada kalangan mereka. Walaupun mereka tidak
menggunakan surat undangan untuk mengundang para tetangga namun ikatan
kekeluargaan yang kokoh menyebabkan mereka akan datang walaupun tanpa undangan
ke keluarga yang menikahkan anaknya.
Sebagaimana di wilayah
Sunda lainnya, komunitas Kampung Naga dalam proses pernikahan dilakukan adat sawer
yaitu pembacaan pantun yang berisi nasehat-nasehat kepada pengantin. Adat
ini dilaksanakan di depan rumah pengantin perempuan sebelum adat muka panto dimulai.
Pengaruh Islam pada saweran ini sangat kentara dengan lafadz-lafadz yang
genuine dari Islam. Misalnya pembukaan dengan membaca istighfar dan
basmalah, kemudian pada isinya juga terkandung lafadz-lafadz arab yang
sangat islami tentang nasehat kepada pengantin perempuan untuk taat kepada
suaminya dan seorang suami yang harus mengasihi istrinya tersebut.
b.
Kewarisan
Sistem kewarisan Islam
tidak diterima secara sempurna oleh komunitas Kampung Naga. Pembagian harta
warisan yang mereka lakukan lebih kepada kebijakan dari orang tua yang memiliki
harta tersebut, sehingga mereka membagikan hartanya tersebut kepada
anak-anakanya sebelum mereka meninggal dunia. Pembagian dilakukan dengan porsi
yang sama antara laki-laki dan perempuan. Selain itu pembagian juga dilakukan
tidak secara ketika anaknya tersebut menikah, orang tua akan memberikan harta
berupa tanah atau rumah untuk anaknya yang baru menikah tersebut. Demikian
seterusnya jika anak berikutnya menikah maka akan diberikan harta bagiannya.
Apabila orang tua
meninggal dunia dan harta warisan belum dibagikan, maka pihak ahli waris akan
bermusyawarah untuk menentukan bagiannya masing-masing, biasanya pembagian
dilakukan dengan porsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Apabila ahli
waris meninggalkan anak perempuan saja maka hartanya diberikan semua kepadanya.
Istri mendapatkan bagian sesuai dengan pembagian harta gono-gini. Ahli
waris lainnya yang dikenal dalam waris Islam tidak mendapatkan harta warisan
seperti ayah mayit atau ibunya. Apabila mayit tidak memiliki anak maka harta diberikan
kepada syabah (saudara-saudaranya).
Pembagian model pertama
atau yang disebut dengan hibah diperbolehkan dalam Islam walaupun jumlah bagian
antara laki-laki dan perempuan sama. Bahkan orang tua harus bisa berbuat adil
dalam pemberian (hibah) kepada anak-anaknya baik laki-laki ataupun permepuan.
Model ini bisa menjadi alternative dalam pembagian waris yang ada di
masyarakat, sehingga rasa keadilan yang mereka yakini tetap terlaksana dan
hukum Islam juga membolehkannya. Hanya saja, ini bukanlah harta waris melainkan
hanya hibah (pemberian) dari orang tua kepada anak-anaknya sebelum ia meninggal
dunia.
Sedangkan pada
pembagian setelah orang tua meninggal maka sudah selayaknya untuk disesuaikan
dengan nilai-nilai Islam yaitu bagian laki-laki dua kali lipat bagian
perempuan. Kalaupun ingin dibagi secara merata antara laki-laki dan perempuan
maka ketika pembagian harta waris berlangsung masing-masing ahli waris sudah
mengetahui bagiannya masing-masing. Misalnya seorang laki-laki sudah mengetahui
haknya adalah dua kali lipat hak perempuan, demikian pula seorang ahli waris
perempuan mengetahui bahwa haknya adalah separuh dari perempuan. Kemudian pihak
laki-laki memberikan tambahan bagiannya kepada ahli waris perempuan. Maka dalam
hal ini diperbolehkan untuk membaginya lagi kepada ahli waris perempuan.
Tentunya dengan kesepakatan dari masing-masing ahli waris tersebut.
3. Komunitas Baduy
Komunitas Baduy adalah
komunitas yang belum menerima Islam sebagai agama mereka, sehingga dalam banyak
hal tidak menerima hukum Islam. Namun interaksi mereka dengan umat Islam telah
memunculkan penyerapan hukum Islam oleh mereka. Beberapa hukum Islam yang diterima
oleh mereka meliputi hukum ibadah dan muamalah.
Dua kalimat syahadat
yang menjadi pintu gerbang masuknya seseorang ke dalam bangunan Islam mereka
ucapkan ketika melaksanakan akad pernikahan di depan penghulu (pegawai
pencatat nikah). Pembacaan ini disaksikan oleh beberapa orang saksi dari
keluarga pengantin perempuan. Sebelum pembacaan syahadat pihak penghulu
akan memberikan penjelasan tentang pernikahan dalam Islam beserta hak dan
kewajiban suami istri.
Komunitas Baduy juga
menjalankan puasa, terutama pada bulan-bulan kawalu yang dilaksanakan
tiga hari dalam tiga bulan. Puasa mereka jalankan dengan variasi yang berbeda,
walaupun hal ini dipertanyakan apakah berasal dari hukum Islam atau dari budaya
mereka. Hasil penelitian saya menunjukan bahwa hal tersebut sangat dipengaruhi
oleh hukum Islam tentang puasa. Termasuk setelah bulan tersebut selesai mereka
akan merayakan “lebaran” versi mereka dengan berkunjung ke camat Leuwidamar,
bupati Lebak dan gubernur Banten.
Menunaikan zakat ketika
mendapatkan rizki mereka lakukan dengan istilah “Jekat” yaitu memberikan
sebagian harta milik kepada fakir miskin dan anak yatim. Mereka juga mengenal
istilah shadaqah yang dikeluarkan pada saat mereka mendapatkan rizqi. Ketika
mereka mendapatkan uang dari pengunjung yang menginap di rumahnya mereka akan
membaginya kepada para tetangga yang miskin sebagai bentuk kebersamaan di antara
mereka. Penelitian saya terhadap sistem sosial mereka juga menunjukan perhatian
mereka terhadap fakir miskin dan anak yatim di antara mereka cukup baik dengan
menyantuni mereka dan memenuhi kebutuhannya.
Pelaksanaan haji yang
oleh umat Islam laksanakan ke Baitullah mereka laksanakan ke Arca Domas sebagai
pusat spiritual tertinggi mereka. Hingga saat ini mereka meyakini bahwa pada
lokasi Arca Domas terdapat pintu yang menghubungkan ke Ka’bah Baitullah.
Sehingga ritual muja yang mereka lakukan juga diyakini sebagai bentuk
lain dari haji menurut umat Islam. Muja sendiri adalah ritual ziarah ke
makam leluhur yang berada di lokasi Arca Domas. Ritual ini dilaksanakan setahun
sekali dan hanya diikuti oleh orang-orang khusus yang telah ditunjuk oleh Pu’un.
Khitanan menjadi unsur
hukum Islam yang diterima oleh komunitas Baduy, mereka mengkhitan seorang anak
yang sudah menginjak usia 6-10 tahun. Mereka menyebut khitanan dengan istilah ngislamkeun
yaitu mengeluarkan darah dengan menyudat kulit penutup kemaluan seorang
anak laki-laki. Sedangkan bagi perempuan ada peuperan khitan khusus bagi
anak perempuan pada komunitas Baduy. Walaupun mereka mengaku bahwa khitan sudah
menjadi tradisi mereka, namun secara nash dan fakta bahwa khitan adalah bagian
dari hukum Islam.
Pada bidang muamalah mereka menolak tambahan bunga
yang ada pada bank modern serta ketika meminjam uang kepada orang lain. Mereka
menyatakan bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Apabila mereka memiliki uang dalam jumlah banyak maka mereka akan menitipkan
uang tersebut kepada seseorang yang dipercaya di luar kampung. Selanjutnya
mereka akan mendapatkan semacam “bagi hasil” dari uang yang mereka titipkan
berupa ikan asin, garam atau kebutuhan makanan lainnya. Adapun hukum Islam dalam
bidang perkawinan dan kewarisan maka menerima pada beberapa bagiannya. Berikut
adalah penjelasannya:
a. Perkawinan
Hukum Islam yang diterima
dalam pelaksanaan perkawinan pada komunitas Baduy adalah pembacaan syahadat
dalam pelaksanannya. Pembacaan syahadat secara langsung dilakukan di depan amil
sebagai pegawai pencatat nikah dari Kecamatan Leuwidamar. Pihak pengantin
laki-laki dibimbing oleh amil untuk membaca dua kalimat syahadat, sebelum itu
amil akan memberikan nasehat berkenaan dengan perkawinan dalam Islam yaitu
mengenai rukun dan syarat nikah dan bekal-bekal perkawinan bagi calon
pengantin.
Selain pembacaan
syahadat pihak pengantin laki-laki juga memberikan kelapa, gula aren, beras dan
uang kepada penghulu. Menurut keterangan dari penghulu bahwa itu adalah
perjanjian Baduy dengan penguasa Banten pada masa lalu yang dianggap sebagai
mahar.
b. Kewarisan
Unsur hukum Islam di
bidang kewarisan yang diterima oleh komunitas Baduy hanya sebatas istilah
“waris” dan “wasiat”. Sedangkan dalam pelaksanaannya mereka menggunakan sistem
waris mereka sendiri yaitu dengan membagikannya kepada anak-anaknya sesuai
dengan keinginan orang tuanya. Pembagian dilakukan secara merata antara
laki-laki dan perempuan yang menjadi ahli warisnya.
Apabila seseorang
meninggal dunia maka pihak ahli waris akan bermusyawarah untuk memutuskan
pembagian harta peninggalannya. Mereka akan membagi rata harta warisan tersebut
antara anak laki-laki dan perempuan. Mereka juga mengenal harta warisan bagi
anak angkat, walaupun jumlahnya tidak sebesar untuk anak kandung. Mereka
meyakini bahwa pembagian dengan merata antara anak laki-laki dan perempuan
adalah bentuk keadilan yang sesuai dengan pemahaman mereka. Walaupun dalam praktiknya
sebenarnya tidak persis sama bagian waris laki-laki dan perempuan, karena
disesuaikan dengan bagiannya masing-masing yang berupa lahan, leuit atau
rumah tinggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...