Dr. Misno, MEI
a. Agama dan
kepercayaan
Mayoritas
komunitas Marunda Pulo beragama Islam, hanya ada beberapa orang yang beragama
Nasrani. Berdasarkan wawancara dengan Ketua RT 01 Bapak H. Thirmizi bahwa
seluruh warganya seluruhnya beragama Islam. Hanya ada beberapa orang di wilayah
RT 02 yang non muslim. Pola keislaman mereka umumnya beraliran tradisional
dengan basis organisasi keagamaan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.[1]
Ini bisa dipahami karena secara umum masyarakat Betawi mengamalkan Islam dengan
mazhab ini.
Gambar 33.
Mushala di
Marunda Pulo
Sumber gambar: Dokumen pribadi Penulis
Terdapat satu
mushala yang bernama mushala Nurul Jannah yang berada di RT 001 RW 002, ia
dijadikan tempat untuk shalat berjamaah bagi warga yang tinggal di sekitarnya.
Pada sebelah kiri masjid terdapat Majelis Taklim Ibu-ibu yang dilaksanakan
setiap hari selasa. Sebuah madrasah terdapat di seberang masjid yaitu TPQ A
Saniyah, namun hingga saat ini tidak difungsikan, sementara satu buah TK
berdiri di ujung kampung yang dikelola oleh warga secara swadaya. Kantor Markas
Unit Ditpolair Marunda dibangun di ujung kampung sebelah barat.
Tabel
11.
Sarana
keagamaan dan sosial di Marunda Pulo
RT
|
Mushola
|
MT
|
Sekolah
|
PKK
|
Posyandu
|
Kesehatan
|
1
|
Ada satu:
Nurul Jannah
|
Ada satu: TPQ
A Saniah
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Ada satu
|
Tidak ada
|
2
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Ada 2 TK dan
PAUD
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Sumber tabel: Obervasi di Marunda Pulo
a.
Ritual
dan perayaan
Sebagai
komunitas Islam tradisionalis, mereka melaksanakan berbagai perayaan Islam yang
umumnya dilaksanakan oleh umat muslim di Indonesia. Beberapa ritual yang hingga
saat ini masih dilaksanakan adalah perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw, hari
Raya Idhul Fitri, Hari Raya Idhul Adha, Peringatan Nuzul al-Quran dan yang
lainnya. Pelaksanaan perayaan keagamaan dipusatkan di Masjid al-Alam II atau
Masjid al-Aulia yang merupakan masjid tua bersejarah di wilayah ini. Letak
masjid ini berada di wilayah Marunda Besar yang berada di bagian utara Marunda
Pulo.
Masjid al-Aulia
atau al-Alam II Marunda
Sumber gambar: Dokumen pribadi Penulis
Kegiatan
keagamaan di Marunda Pulo dilakukan secara individu dan bersama-sama. Kegiatan
yang dilakukan secara individu adalah membaca surat Yasin pada kamis malam Jumat
oleh beberapa warga, sementara para perempuannya membaca surat Yasin di masjid
dan di rumah masing-masing warga dengan cara bergiliran dari rumah ke rumah.
Pembacaan surat Yasin bersama juga dilakukan di Masjid al-Alam II secara
bersama-sama, pelaksanaannya setelah shalat maghrib hingga waktu shalat Isya
tiba.
Perayaan Maulid
Nabi dilakukan pada bulan mulud atau Rabi al-Awwal setiap tahun
hijriyah. Pelaksanaannya tidak harus pada tanggal ke 12 Rabi al-Awwal namun
bisa selain tanggal tersebut dengan syarat masih pada bulan tersebut. Pelaksanaannya
dipusatkan di masjid al-Alam II dengan mengundang penceramah dari luar Marunda
Pulo. Beberapa hari sebelum acara dilaksanakan pihak masjid memberikan
kesempatan kepada masyarakat dan yang berkunjung ke sana untuk memberikan infaq
shadaqahnya sebagai partisipasi dalam acara tersebut. Penulis melihat antusias
warga dan penziarah untuk menyumbangkan hartanya pada acara ini cukup baik,
beberapa penziarah yang datang dari Ciputat dan wilayah lainnya menyumbang
dengan jumlah yang cukup besar.
Selain ceramah
oleh seorang ustadz dilakukan pembacaan kitab al-Barzanji oleh seorang yang
dituakan yang didengarkan oleh hadirin yang datang. Pembacaaan kitab ini
bertujuan mengenang kembali kisah kehidupan Nabi Muhammad Saw agar bisa
diteladani oleh umatnya. Peringatan maulid Nabi diakhiri dengan makan bersama
yang telah disediakan oleh pihak panitia. Sebagian jama’ah makan di tempat dan
sebagiannya lagi dibawa pulang ke rumah untuk dinikmati bersama-sama dengan
keluarga masing-masing.
Perayaan Nisyfu
Sya’ban dilaksanakan sebagai bentuk sambutan atas kedatangan bulan Ramadhan.
Pelaksanaannya setiap tahun dilaksanakan di masjid al-Alam II dengan mengundang
seluruh warga kampung. Pelaksanaannya biasanya dilakukan malam hari, setelah
shalat ‘Isya. Komunitas Marunda Pulo yang hadir pada acara ini biasanya membawa
air untuk didoakan. Selain itu mereka juga membawa makanan yang akan disantap
bersama-sama di masjid. Acara diakhiri dengan pembacaan surat Yasin dan Tahlilan
secara bersama-sama seluruh jamaah yang hadir.[2]
Bulan Ramadhan
sebagai bulan suci umat Islam dirayakan oleh komunitas Marunda Pulo dengan
antusias, mereka melaksanakan shalat tarawih di masjid al-Alam II Marunda
Besar.
Gambar 35.
Pelaksanaan
shalat Tarawih di Masjid al-Alam II Marunda
Sumber gambar: www.tempo.com
Perayaan Idhul
Fitri, sebagaimana umat Islam lainnya, komunitas Marunda Pulo memperingati hari
raya Idhul Fitri dengan penuh suka cita. Peringatan diawali dengan acara tahlilan
pada malam harinya, yaitu dengan mengundang para tetangga untuk hadir ke
rumahnya. Tujuan utamanya adalah menghadiahkan bacaan-bacaan al-Quran kepada
orang-orang yang sudah meninggal dunia.
Hampir seluruh
warga mengadakan acara ini sehingga selama malam takbiran di Marunda Pulo para
lelakinya berkeliling dari rumah ke rumah untuk menghadiri undangan tersebut.
Karena jumlahnya yang cukup banyak maka dalam satu kampung dibagi menjadi
beberapa kelompok. Acara ditutup dengan hidangan makan-makan oleh tuan rumah,
namun karena banyaknya rumah yang mengadakannya sehingga sering sekali makanan
tersebut justru tidak dimakan oleh yang hadir.
Pelaksanaan
shalat Idhul Fitri dilaksanakan di masjid al-Alam II dengan khatib tokoh agama
setempat semisal H. Sambu dan H. Hasan. Karena jumlah jamaah shalat sangat
banyak yang tidak hanya berasal dari kampung-kampung di sekitarnya namun juga
dari berbagai penjuru Jakarta dan Jabodetabek maka pihak panitia menggelar
karpet di lapangan halaman masjid dan pendopo. Suasana khidmat berlangsung
selama khatib menyampaikan nasehat-nasehatnya sementara jamaah yang datang
mendengarkannya dengan khusyu’.
Perayaan Idhul
Fitri diakhir dengan bersalam-salaman dan saling meminta maaf, selanjutnya
masing-masing pulang ke rumahnya untuk saling berkunjung ke rumah para
tetangga. Rumah pertama yang dituju biasanya adalah orang yang dituakan dan sesepuh
kampung. Kemeriahan semakin terasa dengan dihidangkannya beraneka ragam
makanan dan minuman serta pembagian “angpao” dari para orang tua kepada
anak-anak.
Perayaan Idhul
Adha di Marunda Pulo berlangsung meriah, masjid al-Alam II sebagai masjid
bersejarah menerima sumbangan hewan kurban dalam jumlah yang cukup banyak.
Panitia yang ditunjuk bekerja keras menjaga hewan-hewan kurban tersebut dan
menyiapkan segala sesuatunya. Malam Idhul Adha diisi dengan takbiran yang
dilakukan oleh anak-anak dan remaja, sementara para orang tua menyaksikannya
dari rumah dan sebagiannya berkumpul di masjid. Keesokan harinya pelaksanaan
shalat Idhul Adha dipusatkan di masjid al-Alam II. Pada masa lalu ketika mereka
berangkat dari rumah menuju ke masjid mereka membawa nasi beserta lauk-pauknya
ke masjid untuk di makan bersama-sama setelah pelaksanaan shalat.[3]
Saat ini acara
makan bersama sudah tidak ada lagi, dikarenakan beberapa sebab yaitu banyaknya
jumlah jamaah yang hadir sehingga menyulitkan dalam pelaksanaannya. Namun
diharapkan tradisi ini bisa dihidupkan kembali sebagai perekat kekeluargaan di
antara mereka.
Perayaan Isra’
Mi’raj juga dilaksanakan oleh komunitas Marunda Pulo, hanya saja perayaannya
disatukan dengan pengajian bulanan yang secara rutin di laksanakan di masjid
al-Alam II tepatnya setiap akhir bulan.[4]
Tidak ada perayaan khusus untuk momen ini, hanya pemberitahuan dari panitia
yaitu takmir masjid bahwa pada pengajian bulanan ini bertepatan dengan kejadian
Nabi Muhammad Saw yang melaksanakan Isra’ dari Masjid al-Haram ke
Masjid al-Aqsha dan Mi’raj dari sana ke langit guna mendapatkan wahyu
mengenai shalat lima waktu bagi umat Islam. Sebagaimana pengajian pada umumnya
acara diakhir dengan menyantap makanan kecil yang disediakan panitia.
Perayaan tahun
baru Islam tidak dilaksanakan secara khusus oleh komunitas Marunda Pulo. Mereka
hanya mengundang anak-anak yatim pada tanggal 10 Muharam yang dikenal dengan
hari raya anak yatim. Menurut H. Sambo, masjid al-Alam II mengelola kurang
lebih 100 anak yatim yang tersebar di wilayah sekitar Marunda Pulo dan wilayah
Tambun Bekasi.[5]
Walaupun tidak dikhususkan untuk perayaan anak yatim namun jika ada perusahaan
yang akan memberikan bantuan pada hari tersebut maka pihak masjid menerimanya
untuk disalurkan kepada anak yatim yang mereka asuh. Biasanya pada perayaan ini
mengundang seorang ustadz untuk berceramah memberikan nasehat-nasehat agama
kepada jamaah yang hadir. Acara diakhiri dengan pembacaan tahlilan oleh
jamaah yang hadir.
Selain perayaan
keagamaan komunitas Marunda Pulo juga masih melaksanakan perayaan dalam bentuk
upacara daur hidup (life cyrcle) dari mulai ritual kekeba (tujuh
bulan kehamilan), kelahiran, khitanan, khataman al-Quran, pernikahan,
dan tahlilan kematian. Kesadaran pelaksanaan ritual tersebut sebagai
bentuk penjagaan terhadap tradisi yang mereka wariskan secara turun-temurun.
Sebagaimana suku Betawi lainnya, komunitas Marunda Pulo menjadikan ritual
tersebut sebagai bagian dari agama. Sehingga harus dilakukan sebagai bentuk
ketaatan atas agama dan tradisi leluhurnya.
Ritual kekeba
(tujuh bulan kehamilan) dilaksanakan apabila seorang perempuan hamil dan
memasuki bulan ketujuh kehamilannya. Ibu yang hamil tersebut dianjurkan untuk
banyak membaca surat Yusuf atau surat Maryam secara simbolis. Ritual syukuran
dilakukan di rumah dengan mengundang para tetangga untuk mendoakan keselamatan
si bayi. Tujuan dari ritual ini adalah untuk mendapatkan rasa aman, mensyukuri
nikmat Tuhan, memohon keberkahan dan perlindungan kepada Allah Swt. Selain itu
agar anak yang lahir nanti menjadi anak yang shaleh, berbudi luhur, dan patuh
kepada orang tuanya.[6]
Pelaksanaannya saat ini lebih disederhanakan sehingga tidak ada hal-hal rumit
yang merepotkan shahibul hajat.
Setelah bayi
lahir dilaksanakan ritual Akeke (aqiqah). Aqiqah yang dilaksanakan oleh
komunitas Marunda Pulo adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran apabila
orangtuanya mampu. Apabila tidak mampu maka bisa dilaksanakan pada hari ke-21
atau ke-40 setelah kelahiran. Namun apabila tidak mampu juga maka bisa
dilaksanakan kapan saja, selama masih ada umur. Ritual aqiqah diawali dengan
penyembelihan kambing atau domba oleh orang tua si bayi.[7]
Pada acara akeke ini dilakukan pemotongan rambut bayi dan pemberian
nama. Jika tidak dilaksanakan aqiqah maka pemberian nama dilakukan sebelum anak
lahir, di mana pada umumnya mereka telah mempersiapkan nama untuk anaknya
tersebut. Acara akeke diakhiri dengan pembacaan do’a dan tahlil untuk
keselamatan si anak dan kedua orang tuanya.
Sunatan atau
Khitanan menjadi ciri khas pada komunitas Marunda Pulo, pelaksanaannya pada
umumnya dilaksanakan ketika anak sudah menginjak usia 7 tahun ke atas. Jika
dahulu khitanan dilakukan oleh Dukun sunat maka saat ini dilakukan oleh
dokter. Perayaan atas khitanan dilakukan oleh orang tua dengan mengundang para
tetangga untuk memberikan doa restunya. Untuk menghibur anak yang sunat
dilakukan hiburan di malam harinya. Sunatan adalah fase di mana seorang
anak laki-laki memasuki usia dewasa, ia adalah kewajiban bagi setiap anak
laki-laki muslim.
Tamatan Qur’an atau khataman al-Quran adalah tradisi yang dilakukan
setelah seorang anak menyelesaikan ngajinya, khususnya ketika telah selesai
membaca al-Quran secara keseluruhan. Perayaan ini dilakukan sebagai bentuk
penghargaan kepada seorang anak yang telah selesai menamatkan bacaan al-Qurannya.
Ia berupa pembacaan beberapa ayat dalam al-Quran, biasanya surat al-takatsur
hingga surat al-Naas pada juz ‘amma oleh anak tersebut.
Selanjutnya
dibacakan doa-doa dan diakhiri dengan makan bersama para tetangga yang datang.[8] Khataman
al-Quran menjadi ciri bagi setiap anak yang sudah selesai mengajinya dan
bisa dilanjutkan ke tingkat berikutnya.
Gambar 36.
Ritual Tahlilan
di Marunda Pulo
Sumber gambar: www.liputan6.com
Ritual Tahlilan
dilakukan ketika seseorang meninggal dunia, pelaksanaannya pada hari
pertama, ke-3, ke-7, ke-15, ke-21, ke-40, ke-100 dan setiap tahunnya jika
mampu. Pada komunitas Marunda Pulo pelaksanaannya di rumah orang yang meninggal
dunia. Sebenarnya bukan sebuah kewajiban untuk melaksanakan tahlilan ini,
namun karena tradisi tersebut telah dilaksanakan secara turun-temurun maka
mereka juga melaksanakannya. Pada keluarga yang tidak mampu mereka hanya melaksanakan
hingga hari ke-100 dan pada hari ke-15
juga tidak dilaksanakan. Namun bagi keluarga yang mampu maka mereka akan
melaksanakannya setiap tahun yang disebut dengan memendak.[9]
Bikin dan Pinde
Rume yaitu syukuran pembuatan rumah dan pindah rumah. Ritual ini dilakukan
apabila salah seorang warga di Marunda Pulo membuat rumah baru atau berpindah
rumah ke lokasi yang baru. Acara syukuran dilakukan dengan mengundang para
tetangga untuk mendoakan rumah baru tersebut. pembacaan doa dilakukan oleh
ustadz setempat. Acara diakhiri dengan makan-makan dan membungkus makanan
tersebut untuk dibawa pulang ke rumah yang disebut dengan besek.
Tujuan dari
tradisi ini adalah agar rumah tersebut diberikan keberkahan, demikian juga bagi
para penghuninya agar senantiasa berada dalam lindunganNya, lancar rizqinya dan
selalu sehat wal afiat serta dijauhkan dari segala bentuk bencana dan musibah.
Ritual kematian
pada komunitas Marunda Pulo dilaksanakan dengan melakukan tahlilan di
rumah orang yang meninggal dunia. Pelaksanaannya pada hari pertama, ketiga,
ketujuh, keempat puluh dan ke seratus. Selain itu dilaksanakan pula pada hari
ke seribu dan setiap tahun. Ziarah kubur bagi komunitas Marunda adalah sesuatu
yang dianjurkan sehingga mereka melaksanakannya ketika menjelang bulan Ramadhan
tiba dan saat Idhul Fitri dan Idhul Adha. Wilayah yang terbatas di Marunda Pulo
memaksa mereka untuk mengubur warga yang meninggal dengan menumpangnya pada
kuburan sebelumnya yang dianggap sudah lama. Kuburan komunitas Marunda Pulo
terletak di belakang masjid al-Alam II.
Gambar 37.
Makam milik
komunitas Marunda Pulo
Sumber gambar: Dokumen pribadi Penulis
Keberadaan
makam ini menjadi tempat untuk berziarah oleh mereka, selain makam tokoh
Marunda Pulo yaitu H. Jakim yang berada di sebelah mihrab masjid. Selain itu
terdapat pula sebuah makam yang dianggap keramat yaitu makam Habib Abdul Halim
yang banyak diziarahi oleh masyarakat yang berasal dari berbagai wilayah di
Jabodetabek bahkan ada yang berasal dari luar Jawa.
[2] Wawancara dengan Bang Engkus DKM
Masjid al-Alam II pada 23 Januari 2013.
[3] Wawancara dengan H. Hasan, H.
Ojih dan Bang Engkus secara terpisah pada 16 dan 17 Januari 2014.
[4] Wawancara dengan Engkus selaku
DKM Masjid al-Alam II pada 23 Januari 2013.
[5] Wawancara dengan H.Sambo tokoh
agama Marunda Pulo pada 23 Januari 2014.
[6] Yahya Andi Saputra, Upacara
Daur Hidup Adat Betawi, hlm.93.
[7] Wawancara dengan H. Ojih pada 17
Januari 2014.
[8] Yahya Andi Saputra, Upacara
Daur Hidup Adat Betawi, hlm. 33.
[9] Wawancara dengan Bang Engkus
pada 23 Januari 2014.