Dr. Misno, MEI
A.
Lokasi Penelitian
Penelitian
ini dilakukan pada tiga lokasi, yaitu komunitas adat Baduy di Desa Kanekes
Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten, Kampung Naga, Desa
Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat dan Kampung
Marunda Pulo Kelurahan Marunda Kecamatan Cilincing Kotamadya Jakarta Utara
Provinsi DKI Jakarta.
Ketiga
lokasi Penelitian tersebut merupakan tempat tinggal bagi komunitas suku Betawi,
Sunda dan Banten yang memiliki karakteristik budaya dan adat-istiadat yang
berbeda-beda. Berikut adalah peta tiga lokasi Penelitian:
Gambar
1.
Peta
lokasi Penelitian
Kampung Naga
|
Desa Kanekes
|
Marunda Pulo
|
Sumber Gambar: www.google.com dengan tambahan lokasi Penelitian
oleh Penulis.
1.
Lokasi Marunda Pulo
Kampung Marunda
Pulo terletak di wilayah bagian timur laut Propinsi DKI Jakarta. Secara
administrasi ia masuk ke wilayah Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, Kotamadya
Jakarta Utara Provinsi DKI Jakarta. Berikut adalah peta lokasi kampung Marunda
Pulo:
Gambar 5.
Peta Kelurahan
Marunda
Marunda
Pulo
|
Sumber Peta: Dokumen Kelurahan Marunda Kec. Cilincing
Luas wilayah
Kelurahan Marunda adalah ± 791.69 Ha dengan komposisi 50% pemukiman dan 50% lainnya
adalah empang, kawasan industri dan garasi truk trailer. Hal ini selaras dengan
pengembangan Marunda sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang merupakan
kawasan industri, eksport import dan pengembangan ekonomi strategis lainnya.
Kelurahan
Marunda merupakan hasil penggabungan sebagian wilayah Jawa Barat ke wilayah Provinsi
DKI Jakata berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 1251 Tahun
1986 tentang Pemecahan, Penetapan Batas, Perubahan Nama Kelurahan yang Kembar,
Penetapan Luas Wilayah Kelurahan-kelurahan di DKI Jakarta. Surat Keputusan ini
diperbaharui dengan Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No, 1227 Tahun 1989
tentang Penyempurnaan Lampiran Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Nomor 1251 Tahun 1986.
Secara administratif
Kelurahan Marunda memiliki batas wilayah sebagai berikut: Sebelah selatan berbatasan
dengan kelurahan Rorotan, sebelah barat berbatasan dengan kelurahan Cilincing,
sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, dan sebelah timur berbatasan dengan
Segera Makmur Kabupaten Bekasi. Secara keseluruhan wilayah kelurahan Marunda
adalah rawa-rawa dan tepi laut.
Kelurahan
Marunda terbagi dalam 10 RW dengan 97 RT. Dari 10 Rukun Warga tersebut 1 RW
merupakan komplek pendidikan yaitu RW. 08 khusus mengurusi warga/lingkungan
Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) yang terdiri dari 2 (dua) RT, Sedangkan
RW.010 adalah Rumah Susun yang ditempati warga berasal dari Kolong Tol
Penjaringan adapun 8 RW lainnya merupakan perkampungan biasa yang dikenal
dengan Sungai Tirem, Bambu Kuning, Marunda Baru, Marunda Pulo, Marunda Besar,
Marunda Kongsi, serta Bidara, yang dihuni oleh mayoritas etnis Betawi.[1]
Penelitian
ini terfokus pada kampung Marunda Pulo yang berlokasi di RT. 001 dan 002 RW. 07
yang merupakan pemukiman komunitas Marunda Pulo yang berada di bagian utara
wilayah kelurahan Marunda. Jumlah
penduduk Marunda Pulo berdasarkan sensus tahun 2013 sebanyak 621 jiwa dengan
204 Kepala Keluarga.
Tabel 6.
Jumlah Penduduk
di Kampung Marunda Pulo
RT
|
Jumlah
Penduduk
|
L
|
P
|
1
|
325/101 KK
|
85
|
240
|
2
|
296/103 KK
|
189
|
98
|
Jumlah
|
621/204 KK
|
264
|
338
|
Sumber: Dokumen Kelurahan Marunda
Wilayah Marunda
Pulo terbagi menjadi dua Rukun Tetangga (RT) yaitu RT 001 RW 07 dan RT 002 RW 07. Saat ini yang menjadi Ketua RT 001
adalah Bapak H. Thirmidzi sedangkan yang menjadi Ketua RT 002 adalah Bapak
Sugiyanto. Mayoritas penduduknya adalah masyarakat asli Marunda Pulo yang
beretnis Betawi, sedangkan sebagian kecilnya adalah perantau yang mengontrak
rumah di wilayah ini yang berjumlah tidak lebih 20 Kepala Keluarga. Sebagian
mereka adalah pegawai yang bekerja di perusahaan-perusahaan pelabuhan di
sekitar Marunda Pulo.
Kondisi wilayah
Marunda Pulo berada pada pinggir pantai Teluk Jakarta dan Laut Jawa. Pada zaman
dahulu, khususnya masa kolonial Belanda di mana kondisi pantainya masih bersih,
ia dijadikan sebagai tempat wisata masyarakat yang tinggal di sekitarnya.[2]
Saat ini kondisi pantainya telah mengalami abrasi bertahun-tahun lamanya
sehingga untuk menahan ombak dan air pasang di bagian utara kampung dibangun
tembok dam setinggi kurang lebih 2 meter.
Keadaan
permukaan tanahnya berupa daratan yang dikelilingi oleh air payau dan
sebagiannya berupa rawa-rawa yang ditumbuhi pohon bakau. Saat ini tumbuhan
bakau ini hanya ada di bagian selatan dan barat dengan kondisi yang sangat
memprihatinkan. Tinggi permukaan tanah yang berada di bawah permukaan air laut
mengakibatkan wilayah ini akan tergenang air ketika laut mengalami pasang,
bahkan tidak jarang memasuki rumah-rumah yang dibangun dengan tembok dan lantai
yang tidak dibuat panggung.
Saat ini
jalan-jalan di Marunda Pulo sudah disemen dengan pembangunan yang dilakukan
berulang-ulang. Namun karena kondisi tanahnya yang mengalami penurunan
terus-menerus maka tingginya terus berkurang.[3]
Hal inilah yang mengakibatkan jalan-jalan tersebut selalu digenangi air ketika
air laut pasang. Pada beberapa bagian kampung terutama pada ujung-ujung kampung
jalan-jalan yang menghubungkan antara satu rumah dengan rumah lainnya
menggunakan papan kayu yang ditopang dengan tiang-tiang di bawahnya sebagaimana
rumah-rumah panggung mereka.
Pada zaman
dahulu seluruh model rumah mereka adalah panggung dengan tinggi antara1-2
meter.[4]
Tiang-tiang panggung sebagian besar berada di atas air dengan bagian bawahnya
terendam. Sebagian lainnya berada di tanah rawa yang datar seperti kita lihat
saat ini yang menjadi lokasi rumah Si Pitung yang berada di depan pintu masuk
kampung Marunda Pulo. Seiring perkembangan zaman rumah-rumah penduduk mengalami
perubahan dengan pengurangan tinggi panggung dan penggunaan material pasir dan
semen sebagai tembok dan pondasinya. Pada beberapa rumah menggunakan lantai
semen pada bagian depannya sementara bagian tengah dan belakangnya tetap
menggunakan panggung dengan tinggi kurang lebih 50 cm.
Kondisi tanah
di Marunda Pulo pada umumnya adalah tanah berwarna hitam yang didominasi oleh
pasir laut. Saat ini kondisi tanah mengalami pencemaran yang cukup parah baik
yang berada di daratan maupun di perairannya.[5]
Hal ini menjadi salah satu sebab rusaknya ekosistem di wilayah ini, misalnya
pohon bakau yang tinggal beberapa batang, daratan yang terus-menerus mengalami
penurunan permukaan dan punahnya binatang-binatang yang tinggal di sekitar
wilayah ini.
Kondisi
airnya tidak lebih baik dari daratannya, banyaknya sampah yang mengotori
perairan ditambah dengan limbah industri yang berada di wilayah ini
mengakibatkan air yang berada di permukaan dan air tanah-nya sudah tidak layak
untuk dikonsumsi. Kebutuhan akan air bersih warga untuk mencuci, dan kebutuhan
rumah tangga lainnya disupply oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jaya DKI
Jakarta.
Kondisi
lingkungan perkampungan Marunda Pulo kelihatan kumuh karena sampah terdapat
hampir di setiap sudut kampung, apalagi pada bagian air yang tergenang. Pada
bagian barat kampung yang merupakan dam (tembok pembatas air laut) menumpuk
sampah yang berasal dari sisa-sisa rumah tangga warga. Upaya untuk menjaga
kebersihan sudah dilakukan dengan menempatkan tempat sampah di beberapa sudut
kampung. Namun sepertinya belum sesuai yang diharapkan di kampung tersebut.
Beberapa rumah yang berada di barisan paling pinggir dan menghadapi pantai
sering sekali kena luapan air pasang, demikian pula rumah yang tidak panggung
dan berada di bawah permukaan air laut. Sementara rumah yang menggunakan panggung
akan terbebas dari air pasang ini. Secara umum rumah-rumah di Marunda Pulo
terbagi menjadi beberapa jenis yaitu rumah panggung, panggung dengan semen dan
rumah semen.
Pemilihan
tiga lokasi Penelitian yang berbeda didasarkan pada beberapa pertimbangan khususnya
untuk mewakili tipe masyarakat di Indonesia dalam menerima hukum Islam, yaitu
masyarakat pesisir (Marunda Pulo) dan pedalaman (Kampung Naga dan Baduy).
Beberapa pertimbangan dalam menentukan lokasi Penelitian adalah:
Pertama,
Marunda Pulo merupakan kampung nelayan di pesisir pulau Jawa yang telah
menerima Islam terlebih dahulu dibandingkan dengan wilayah pedalaman. Interaksi
masyarakatnya dengan Islam yang cukup lama diperkirakan akan memengaruhi penyerapan
mereka terhadap hukum Islam. Kampung ini juga menjadi salah satu model dan
mewakili tipe masyarakat pesisir dalam penyerapan hukum Islam. Walaupun berada
di wilayah ibukota namun komposisi masyarakat asli masih dominan sehingga
keaslian dari komunitas ini masih terlihat dengan jelas. Selain itu di Marunda
Pulo terdapat Masjid al-Alam II yang dibangun oleh Sunan Gunung Djati serta
menjadi base camp bagi prajurit Mataram yang akan menyerang Batavia.[6]
Pada kampung ini juga masih berdiri rumah yang diyakini sebagai tempat
persembunyian Si Pitung, seorang jagoan Betawi yang melakukan perlawanan
terhadap Belanda.
[1] Profil Kelurahan Marunda
Kecamatan Cilincing Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Utara Provinsi DKI
Jakarta, Maret 2014.
[2] Jepri, Pengembangan Estuaria
Marunda Sebagai Kawasan Tujuan Wisata, (Jakarta: Universitas Indonesia,
2011).
[3] Wawancara dengan Bapak Yanto
Ketua RT 02/01 Marunda Pulo pada 17 Januari 2013.
[4] Serly Listiyanti, Transformasi
Rumah Panggung pada Pemukiman Pesisir Jakarta Utara, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 2011), hlm 68.
[5] Lihat Mustaruddin, Model
Penyebaran Logam Berat Akibat Cemaran Industri Pada Erairan Umum Dan Pengaruhnya Terhadap Nilai
Ekonomi Air (Studi Kasus Pada Kali Cakung Dalam Di Rorotan-Marunda, Jakarta
Utara), (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2005).
[6]
Wawancara dengan Bapak H. Hasan ketua DKM Masjid al-Alam II pada 28 Juni
2013 di rumahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...