A
Dr. Misno, MEI
1.
Sejarah Asal-usul Marunda
Pulo
Nama “Marunda”
berdasarkan asal-usulnya memiliki beberapa versi, Pertama, berasal dari kata
“menunda”. Istilah “menunda” untuk nama “Marunda” didasarkan pada beberapa
cerita sejarah yang diceritakan turun-temurun mengenai persinggahan pasukan
gabungan Demak dengan Cirebon yang akan menyerang Batavia.[1]
Pada waktu itu mereka “menunda” untuk menyerangnya dengan terlebih dahulu
mengatur strategi perang di sebuah tempat di bagian timur Batavia. Selain
menunda penyerangan, mereka juga menjadikan tempat ini sebagai lokasi
pengintaian. Sebagai pasukan yang semuanya beragama Islam maka mereka membangun
masjid sebagai tempat ibadah, saat ini masjid tersebut dikenal dengan nama
masjid al-Alam II atau Masjid Aulia. Tempat di sekitar masjid tersebut kemudian
dikenal dengan nama Marunda.[2]
Penggunaan nama
Marunda yang berasal dari kata “menunda” juga karena pada masa penjajahan
Belanda wilayah ini adalah tempat pertahanan bagi para pejuang ketika berperang
dengan Belanda. Ada salah satu dari mereka yang karena tertembak oleh Belanda
dimakamkan hanya dengan kedalaman setengah meter, mereka juga menunda
penguburan beberapa pahlawan lain yang meninggal dunia. Saat ini kuburan para
pahlawan tersebut telah dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta
Selatan.[3]
Nama Marunda menurut versi lainnya berasal dari pesan ghaib yang terlontar dari
seorang dukun setempat yang kesurupan. Pesan itu menyatakan bahwa orang yang
mengangkut barang ketika melintasi suatu tempat harus menunda perjalanan.
Tempat ini sekarang disebut Marunda.
Kedua, nama
Marunda berasal dari istilah “merenda” yaitu merajut dan menyulam, karena di
wilayah ini dahulu ada tempat khusus yang digunakan untuk merenda. Sehingga
siapa saja yang datang ke wilayah ini mereka akan mengatakan hendak pergi ke
tempat orang “merenda” sehingga lama-kelamaan kata “merenda” menjadi Marunda.[4]
Ketiga, nama
Marunda berasal dari nama seorang jagoan silat Betawi yang bernama si “Ronda”.
Ia adalah seorang bromocorah yang merampok orang-orang kaya untuk
diberikan kepada orang-orang miskin pada zaman Belanda. Ia berasal dari wilayah
yang kemudian disebut dengan Marunda. Selain itu, kata “Marunda” berasal dari
kebiasaan penduduk untuk bersopan-santun, yaitu dengan bersikap merendah, kata
“merendah” kemudian lama-lama menjadi Marunda. Berikutnya kata Marunda berasal
dari “meronda” ada juga yang menyebutkan bahwa Marunda berasal dari nama
seseorang yaitu Pak Marunda. Kebiasaan menyingkatnya sehingga ke rumah Pak
Marunda menjadi ke Marunda.
Adapun Marunda
Pulo adalah wilayah Marunda yang wilayahnya dikelilingi oleh air sebagaimana
sebuah pulau. Kata “Pulo” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti daratan
yang dikelilingi oleh air. Istilah “Pulo” dalam bahasa Sunda berarti Pulau,
pulau sendiri berarti tanah (daratan) yang dikelilingi air (di laut, di sungai,
atau di danau).[5] Sehingga disebut Marunda Pulo karena
lokasinya berada di daratan yang dikelilingi oleh lautan. Saat ini sudah ada
sebuah jembatan yang menghubungkan dengan wilayah lainnya.
Pemukiman di
Marunda Pulo bermula dari dua saudara yaitu H. Safiuddin dan H. Sajidin.
Keduanya adalah tuan tanah dan juragan sero di wilayah ini. Sampai
sekarang penduduk Marunda Pulo tidak memiliki tanah secara pribadi tetapi
secara khusus menumpang atas izin H. Idup sebagai pewaris terakhir. Penelusuran
yang Penulis lakukan mendapatkan beberapa penduduk yang telah mendaftarkan
kepemilikan tanahnya dalam bentuk sertifikat hak milik.[6]
Wawancara dengan beberapa tokoh juga diperoleh data bahwa sebagian mereka
berasal dari wilayah lain di sekitar DKI Jakarta pada masa lalu selain
segelintir orang dari wilayah lainnya yang beretnis selain Betawi.
Sejarah Marunda
Pulo tidak bisa dilepaskan dari sejarah kota Jakarta sebagai kota pelabuhan
dagang internasional pada masa lalu. Sebagai wilayah yang sejak dahulu menjadi
tempat bertemunya berbagai etnis dari seluruh dunia Sunda Kelapa sebagai cikal
bakal kota Jakarta merupakan pelabuhan dagang internasional yang ramai. Bahkan
jauh sebelum kedatangan kolonial Eropa wilayah ini telah menjadi pusat
perdagangan dunia khususnya di wilayah Asia.[7] Ia
menjadi tempat bagi para pedagang yang berasal dari berbagai suku bangsa dari
seluruh Nusantara, India dan China. Banyaknya berbagai etnis yang ada di
wilayah ini secara langsung ataupun tidak langsung berpengaruh kepada pola-pola
sosial komunitas Betawi termasuk di Marunda Pulo.
Berdasarkan Penelitian
yang dilakukan oleh beberapa ahli sejarah menunjukan bahwa wilayah DKI Jakarta
dahulu merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Salakanagara. Kerajaan ini
diperkirakan memiliki pusat pemerintahan di sekitar Ciondet (Condet) Jakarta
Timur. Pendapat ini bertentangan dengan teori yang menyatakan bahwa kerajaan
Salakanagara berada di Pandeglang seperti yang kenal saat ini.[8]
Argumentasi yang memperkuat bahwa Salakanagara berada di wilayah Sunda Kelapa
adalah bahwa di Pandeglang sejak dahulu tidak memiliki pelabuhan samudera,
wilayah Labuhan yang ada di wilayah ini adalah pelabuhan nelayan bukan
pelabuhan dagang internasional. Sehingga dipastikan bahwa wilayah Jakarta waktu
itu telah didiami oleh masyarakat yang merupakan warga masyarakat kerajaan
Salakanagara. Selain itu, hingga saat ini sungai yang mengalir yang melewati
wilayah Marunda Pulo disebut juga sungai Tiram yang berasal dari istilah Aki
Tirem sebagai penguasa Salakanagara waktu itu. Kerajaan ini berkuasa kurang
lebih tahun 130 M, sebagian sejarawan pada tahun 150 M hingga 362 M.[9]
Terlepas dari
perdebatan apakah kerajaan Salakanagara berada di Pandeglang atau di Sunda
Kelapa dapat diambil satu kesimpulan bahwa Marunda Pulo dan wilayah DKI Jakarta
saat ini adalah bagian dari kerajaan tersebut yang merupakan pelabuhan dagang
internasional. Ia menjadi tempat bertemunya berbagai pedagang yang datang dari
berbagai penjuru dunia, termasuk dari Eropa dan Arabia.[10]
Maka suatu suku bangsa telah ada di wilayah ini walaupun belum bisa disebut
suku Betawi, mereka lebih sebagai suku Sunda yang tinggal di wilayah-wilayah
pesisir. Karena interaksi mereka dengan suku lainnya dan adanya pernikahan
campuran mengakibatkan mereka menjadi satu suku tersendiri yang memiliki karakteristik
berbeda dengan suku asalnya.
Selanjutnya kerajaan
Salakanagara digantikan oleh kerajaan Tarumanagara dengan raja pertamanya
Jayasingawarman (358-382 M) dan raja terakhir Linggawarman (666-669 M).
Kerajaan ini berkuasa sejak tahun 358 M, hingga 669 M selama kurang lebih tiga
abad Tarumanagara mengembangkan wilayahnya hingga hampir ke seluruh wilayah
Jawa bagian barat dan pelabuhan Sunda Kelapa adalah salah satu dari kekuasaanya
yang menjadi pelabuhan perdagangan internasional. Kerajaan ini sendiri
diperkirakan berpusat di wilayah sekitar Bekasi saat ini, sehingga wilayah
Sunda Kelapa tercatat sebagai wilayah yang sangat dekat dengan pusat
pemerintahan.
Maka, wilayah
Sunda Kelapa bisa dipastikan telah ditempati penduduknya yang beretnis Sunda dan
suku-suku campuran lainnya. Penemuan-penemuan arkeologi terkini menunjukan
bahwa wilayah Marunda juga merupakan bagian dari wilayah kerajaan ini.
Argumentasi yang menguatkannya adalah adanya Prasasti Toegoe yang menyebutkan
bahwa di bawah kerajaan Hindu Tarumanegara, telah terdapat penduduk asli Betawi
paling tidak berjumlah 100 ribu jiwa yang tinggal pada lokasi tepian kali
Citarum perbatasan Bekasi dan Karawang.
Selanjutnya
setelah Tarumanagara runtuh digantikan dengan kerajaan Pajajaran yang berpusat di
Bogor. Kerajaan ini berkuasa sejak 1030 M hingga 1579 M yang merupakan kerajaan
Hindu terakhir di pulau Jawa yang berkuasa kurang lebih lima abad. Wilayahnya
membentang dari mulai ujung barat pulau Jawa hingga ke wilayah Banyumas Jawa
Tengah. Puncak keemasannya terjadi pada saat dipimpin oleh seorang raja
legendaris yaitu Prabu Jayadewata yang berkuasa dari tahun 1482-1521 M atau
yang lebih dikenal dengan Prabu Siliwangi.[11]
Sebagaimana
kerajaan sebelumnya Sunda Kelapa juga menjadi bagian wilayahnya yang menghubungkan
kerajaan ini dengan wilayah manca negara dan kerajaan lainnya. Posisi Sunda
Kelapa semakin istimewa setelah berdatangannya bangsa Eropa yang melakukan
perdagangan rempah-rempah ke wilayah Indonesia di bagian barat dan timur.
Masyarakat yang tinggal di wilayah ini juga semakin beraneka ragam dan semakin
berbeda dengan induk budayanya di Sunda pedalaman. Banyaknya para pedagang yang
singgah atau menetap di Sunda Kelapa serta menikah dengan penduduk lokal
menjadikan Sunda Kelapa adalah kota pelabuhan metropolis yang berpenduduk
beraneka suku bangsa dan etnis.
Posisi
Pajajaran yang merasa terancam dengan kerajaan Islam yaitu Demak dan Banten
memaksa mereka untuk mencari bala bantuan ke pihak asing. Maka Portugis di
Malaka menjadi mitra mereka untuk membela kerajaannya dari serangan kerajaan
Demak dan Banten, maka dibuatlah sebuah perjanjian antara Kerajaan Pajajaran
dan Portugis pada tahun 1522 M. Isi perjanjian ini salah satunya adalah
dibolehkannya pihak Portugis untuk membangun benteng pertahanan di pelabuhan
Sunda Kelapa.[12]
Namun sebelum mereka sampai di Sunda Kelapa, pasukan gabungan Islam dari
kerajaan Demak, Cirebon dan Banten telah berhasil menguasai wilayah ini pada
tahun 1527 M.
Sejenak wilayah
Sunda Kelapa yang telah diganti nama menjadi Jayakarta berada di bawah
kekuasaan Islam (Demak). Masyarakatnya dibina dengan nilai-nilai Islam dengan
lebih intensif, sementara para pedagang muslim dan pendakwah Islam berdatangan
dari India, China dan Timur Tengah. Pada masa ini bermunculan para pendakwah
yang menyebarkan Islam hingga ke pusat kerajaan Pajajaran di Bogor Jawa Barat.
Bahkan Raja Sri Baduga yang lebih dikenal dengan Prabu Siliwangi menikah dengan
salah seorang santri Syaikh Quro yang telah mendirikan lembaga pendidikan Islam
di Karawang Jawa Barat. Interaksi masyarakat yang tinggal di Jayakarta semakin
intens dengan Islam sehingga mereka mulai menemukan jati diri muslimnya yang
berbeda dengan saudara-saudaranya di wilayah pedalaman.
Pada tahun 1617
M, Jayakarta dikuasai oleh Belanda dan didirikanlah benteng besar milik
pemerintah penjajah. Hari-hari berikutnya cengkeraman penjajah atas Jayakarta
dan wilayah Indonesia semakin kuat, bahkan kota tersebut dirubah menjadi
Batavia.[13]
Nama ini berasal dari nenek moyang orang Belanda yaitu bangsa Batavieren
sekaligus sebagai bentuk kenang-kenangan terhadap kampung halaman mereka: “Batavia
is the Latin name for the land of the Batavians during Roman times. This was
roughly the area around the city of Nijmegen, Netherlands, within the Roman
Empire. The remainder of this land is nowadays known as Betuwe. During the
Renaissance, Dutch historians tried to promote these Batavians to the status of
"forefathers" of the Dutch people. They started to call themselves
Batavians, later resulting in the Batavian Republic, and took the name
"Batavia" to their colonies such as the Dutch East Indies, where they
renamed the city of Jayakarta to become Batavia from 1619 until about 1942,
when its name was changed to Djakarta (this is the short for the former name
Jayakarta, later respelt Jakarta; see: History of Jakarta). The name was also
used in Suriname, where they founded Batavia, Suriname, and in the United
States where they founded the city and the town of Batavia, New York. This name
spread further west in the United States to such places as Batavia, Illinois, near
Chicago, and Batavia, Ohio. Batavia merupakan nama Latin untuk tanah
Batavia pada zaman Romawi. Perkiraan kasarnya berada sekitar kota Nijmegen,
Belanda, dalam Kekaisaran Romawi. Sisa lahan ini kini dikenal sebagai Betuwe.
Selama Renaisans, sejarawan Belanda mencoba untuk mempromosikan Batavia menjadi
sebuah status "nenek moyang" dari orang-orang Belanda. Kemudian
mereka mulai menyebut diri orang-orang atau penduduk Batavia, kemudian hal
tersebut mengakibatkan munculnya Republik Batavia, dan mengambil nama
"Batavia" untuk koloni mereka seperti Hindia Belanda, dimana mereka
mengganti nama menjadi dari Kota Jayakarta menjadi Batavia dari 1619 sampai
sekitar 1942, ketika namanya diubah menjadi Djakarta (ini adalah kependekan
dari nama mantan Jayakarta, kemudian diubah kembali ejaannya menjadi Jakarta).
Nama itu (Batavia) juga digunakan di Suriname, di mana mereka mendirikan
Batavia, Suriname, dan di Amerika Serikat di mana mereka mendirikan kota dan
kota Batavia, New York. Nama ini menyebar lebih jauh ke barat di Amerika
Serikat untuk tempat-tempat seperti Batavia, Illinois, dekat Chicago, dan
Batavia, Ohio.
Sejak saat
itulah kota Batavia dipenuhi dengan orang-orang Eropa serta beraneka suku
bangsa yang didatangkan oleh Belanda sebagai budak-budak yang dipekerjakan
untuk kebutuhan bangsa penjajah tersebut. Kedatangan berbagai suku bangsa yang
berstatus sebagai budak inilah yang oleh Lance Castles disebut sebagai nenek
moyang suku bangsa Betawi.[14]
Tentu saja
pendapat ini harus diperiksa ulang, karena apabila kita melihat satu sisi maka
bisa jadi benar bahwa sebagian besar masyarakat Betawi saat ini adalah
keturunan dari mereka. Namun bisa juga salah jika melihatnya lebih luas lagi
pada komunitas-komunitas di sekitar Batavia waktu itu. Penulis berkesimpulan
bahwa asal-usul suku Betawi berasal dari pernikahan campuran antara berbagai
etnis yang ada di Jakarta secara turun-temurun. Beberapa etnis yang dominan
dalam pernikahan campuran tersebut adalah suku Sunda, Melayu, dan Jawa.
Istilah Betawi
muncul pertama kali dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama Perkoempoelan
Kaoem Betawi yang lahir pada tahun 1923 M yang digagas oleh Husni Thamrin
(seorang putra Wedana Distrik Batavia 1908-1911 M). Organisasi ini adalah
perkumpulan masyarakat di Jakarta waktu itu yang membawa ideologi etnis
pertama. Sejak saat ini komunitas “asli” yang tinggal di wilayah Batavia baik
yang berada di dalam benteng kota maupun di luarnya dikenal dengan suku Betawi.
Tidak semua suku yang tinggal di Batavia mengaku dirinya sebagai etnis Betawi,
beberapa kelompok dari imigran tersebut masih tetap menyebut diri mereka dengan
asal etnis mereka, seperti Sunda, Jawa, China, Ambon, Bugis, Makasar, Batak dan
lain sebagainya. Fakta ini bisa dijadikan argumentasi bahwa suku Betawi adalah
mereka yang mendakwakan dirinya sebagai suku Betawi dan tentu saja mereka yang
memiliki etnis tersendiri tidak akan mau mendakwakan dirinya sebagai etnis
Betawi. Oleh karena itu etnis Betawi adalah mereka yang memang secara historis
memiliki ikatan yang kuat dengan kebetawiannya.
Istilah Betawi
sendiri terjadi beberapa penafsiran tentang asal-usul istilah ini. Jika selama
ini istilah Betawi berasal dari kata “Batavia” maka perlu dikaji ulang.
Beberapa pendapat tentang asal-usul istilah Betawi adalah sebagai berikut:
Pertama, kata Betawi berasal dari kata “Batavia,” yaitu nama lama Jakarta yang
diberikan oleh Belanda. Lidah masyarakat lokal dalam menyebut “Batavia” menjadi
“Betawi”, sehingga lama-lama istilah Betawi lebih mudah diucapkan.
Kedua, berasal
dari kata Pitawi (Bahasa Melayu Polynesia Purba) yang artinya larangan.
Perkataan ini mengacu pada komplek bangunan yang dihormati di Batu Jaya. Sejarawan
Ridwan Saidi mengaitkan bahwa kompleks bangunan di Batu Jaya, Karawang
merupakan sebuah kota suci yang tertutup, sementara Karawang, merupakan kota
yang terbuka.
Ketiga, kata
Betawi dalam bahasa Melayu Brunei berarti giwang atau anting bagi perempuan.
Nama ini mengacu pada ekskavasi di Babelan, Kabupaten Bekasi, yang banyak
ditemukan giwang dari abad ke-11 M. Keempat, istilah Betawi merupakan nama dari
Flora guling Betawi (cassia glauca), famili papilionaceae yang
merupakan jenis tanaman perdu yang kayunya bulat seperti guling dan mudah
diraut serta kokoh. Dahulu kala jenis batang pohon Betawi banyak digunakan
untuk pembuatan gagang senjata keris atau gagang pisau. Tanaman guling Betawi
banyak tumbuh di Nusa Kelapa dan beberapa daerah di pulau Jawa dan Kalimantan.
Kelima, istilah
Betawi berasal dari kata “Bekawi” yang digunakan di wilayah Kapuas Hulu,
Kalimantan Barat, guling Betawi disebut Kayu Bekawi. Ada perbedaan pengucapan
kata "Betawi" dan "Bekawi" pada penggunaan kosakata
"k" dan "t" antara Kapuas Hulu dan Betawi Melayu, dan ini
biasa terjadi dalam bahasa Melayu, seperti kata tanya apakah atau apatah yang
memiliki persamaan makna atau arti. Kemungkinan nama Betawi yang berasal dari
jenis tanaman pepohonan ada kemungkinan benar. Menurut Sejarawan Ridwan Saidi, beberapa
nama jenis flora selama ini memang digunakan pada pemberian nama tempat atau
daerah yang ada di Jakarta, seperti Gambir, Krekot, Bintaro, Grogol dan banyak
lagi. Seperti Kecamatan Makasar, nama ini tak ada hubungannya dengan orang
Makassar, melainkan diambil dari jenis rerumputan”.
Berdasarkan
asal-usul istilah Betawi maka pendapat yang mendekati kebenaran adalah bahwa
istilah ini berasal dari nama dari jenis pohon yang banyak tumbuh di wilayah
ini. Pendapat ini mematahkan teori yang menyatakan bahwa istilah “Betawi”
berasal dari “Batavia” yang menjadi nama kota yang dibangun oleh Belanda.
Istilah suku
Betawi muncul dan berkembang secara merata ke seluruh wilayah yang memiliki
asal historis sama. Ia muncul baik sebelum mereka menyebar dan setelah mereka
menyebar ke seluruh wilayah Jakarta. Sehingga penamaan ini kemudian diterima
oleh seluruh masyarakat yang memiliki pandangan yang sama. Istilah ini
menghapuskan istilah-istilah lama yang menisbatkan kepada wilayah yang lebih
sempit seperti orang kemayoran, orang Senen, orang Jatinegara, orang Marunda
dan lain sebagainya.
Berdasarkan
pemaparan tentang sejarah kota Jakarta dan penduduknya dapat disimpulkan bahwa
komunitas Betawi telah ada sejak zaman kerajaan Salakanagara, Tarumanagara,
Pajajaran, Jayakarta, Batavia hingga Jakarta. Mereka menyebar ke berbagai wilayah
di sekitar Jakarta dan menempati setiap jengkal tanahnya. Termasuk mereka yang
menempati bagian timur Jakarta yaitu wilayah Cilincing dan Marunda. Sehingga
wilayah Marunda merupakan tempat bagi komunitas Betawi yang sebelumnya berada
di wilayah-wilayah pusat kota Jakarta. Mengenai waktu awal mereka tinggal diperkirakan
sejak penyerangan kerajaan Demak, Cirebon dan Banten yaitu tahun 1527 M.
Menurut catatan
pemerintah Belanda pada tahun 1930 bahwa penduduk kota Batavia yang berada di
luar kota khususnya di wilayah partikelir seperti Tjilintjing, Toegoe Oost,
Toegoe West, Toegoe Batoe Bamboe berjumlah 2.412 Jiwa pribumi dan 352
Thionghoa.[15]
Maka bisa diperkirakan bahwa wilayah Marunda yang berada di wilayah Cilincing
sudah terdapat penduduk yang tinggal di sana namun dengan jumlah yang sangat
terbatas. Mereka yang tinggal di sana adalah para nelayan yang sehari-hari
memiliki mata pencaharian mencari ikan di laut. Beberapa di antara mereka
adalah tuan tanah yang menjadi juragan untuk menjualkan ikan hasil tangkapan
mereka, selain itu mereka juga telah memiliki sebuah masjid yang telah dibangun
satu abad sebelumnya.
Pada zaman
dahulu, ketika menyebut Marunda maka yang muncul dalam benak manusia adalah
para jagoan, perampok dan pendekar-pendekar silat yang terkenal seantero
Batavia. Sebuat saja Si Pitung yang menjadi legenda bagi tanah Betawi, ia
menjadi simbol keberanian dan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penjajah
Belanda. Kemudian ada si Ronda yang juga membela rakyat kecil dengan merampok
orang-orang kaya di Batavia dan membagi-bagikan hasil rampokannya kepada orang
miskin. Serta si Mirah yang bergelar Singa Betina dari Marunda adalah jagoan
wanita yang memiliki ilmu silat tak tertandingi oleh jago-jago silat lainnya.
Berdasarkan beberapa legenda tersebut maka Marunda adalah tempat bagi para
jagoan yang di mata penjajah disebut perampok.
Cerita mengenai
si Pitung telah menjadi bagian dari sejarah Marunda, hingga saat ini namanya
masih terpatri di dada penduduk Marunda khususnya Marunda Pulo. Apalagi
dijadikannya rumah bekas H. Safiuddin sebagai museum rumah si Pitung menjadikan
namanya semakin dikenang tidak hanya oleh masyarakat sekitarnya namun juga oleh
masyarakat yang berkunjung ke Marunda Pulo. Padahal sejarah membuktikan bahwa
rumah tersebut adalah rumah juragan sero dan tuan tanah di Marunda Pulo yang
pernah dijadikan tempat persembunyian bagi si pitung. Salah satu versi sejarah
menyebutkan awalnya si pitung akan merampoknya, namun karena suatu hal akhirnya
ia justru berada di sana beberapa saat.
Kisah tentang
Marunda Pulo sebagai tempat para jawara dan jagoan ternyata bukan isapan
jempol. Pada masa-masa berikutnya masyarakat ini terkenal dengan jurus-jurus
silatnya sehingga sering terjadi tawuran dan perkelahian dengan kampung
lainnya. Setiap perkelahian terjadi mereka selalu menang dengan mengandalkan
kelihaian silat mereka.[16]
Hingga saat ini sebagian besar laki-laki penduduk Marunda Pulo masih memiliki
ilmu silat sebagai penjagaan diri apabila terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan.
Sejarah Marunda
Pulo tidak bisa dilepaskan dari keberadaan masjid al-Alam II atau masjid
al-Aulia. Menurut cerita turun-temurn masjid ini dibangun hanya dalam waktu
satu malam. Orang yang membangunnya adalah seorang wali yang datang dari Timur
Tengah (Arab Yaman).[17]
Cerita tersebut menyatakan bahwa di pagi hari tiba-tiba masyarakat melihat ada
sebuah masjid yang telah dibangun di tengah-tengah daratan yang dikelilingi
oleh sungai besar. Terlepas dari benar tidaknya cerita tersebut saat ini masjid
al-Alam II berdiri kokoh dengan arsitektur peninggalan abad ke-XVI sehingga
bisa diperkirakan pembangunannya dilakukan pada masa kerajaan Demak, Cirebon
dan Banten. Penulis berpendapat bahwa pembangunannya dilakukan oleh pasukan
gabungan tiga kerajaan tersebut yang akan menyerang Sunda Kelapa. Maka tidak
heran jika pembangunannya hanya memerlukan satu malam saja dikarenakan jumlah
yang membangunnya banyak dan kebutuhan mendesak waktu itu jangan sampai
ketahuan masyarakat di sekitarnya.
Pada zaman
dahulu hingga sekitar tahun 1970-an lokasi masjid masih berada di daratan yang
dikelilingi oleh sungai-sungai besar. Sehingga ketika akan ke sana harus
menyeberang menggunakan perahu, selain itu tidak ada jalan lain. Menurut
penuturan warga Marunda Pulo yang berumur 50 tahun ke atas, ketika mereka masih
kecil jika akan shalat Jumat atau tarawih mereka naik perahu untuk menuju ke
masjid tersebut. Kemudian dilakukan pengurukan sedikit demi sedikit dan
dibuatlah jembatan dari bambu. Lama-kelamaan urugan tanah tersebut bersambung
dan hingga saat ini jalan menuju masjid sudah bisa dilakukan dengan jalan
darat.[18]
Masjid inilah
yang menjadi pusat kegiatan keagamaan komunitas Marunda Pulo dan sekitarnya
terutama pada perayaan hari-hari besar Islam. Selain itu di belakang masjid
juga terdapat kuburan umum yang digunakan masyarakat untuk mengubur keluarga
mereka yang meninggal dunia. Lokasinya yang terbatas memaksa mereka melakukan
penumpukan kubur lebih dari satu ketika kubur yang lama dianggap sudah bisa
dipakai kembali.
Sebagaimana
lokasi masjid, Marunda Pulo juga adalah sebuah kampung yang dahulunya di
kelilingi oleh laut, hingga tahun 1980-an untuk sampai ke kampung ini harus
menggunakan perahu. Menurut cerita orang-orang yang tinggal di sekitar Marunda
Pulo bahwa mereka harus menaikan motor ke atas perahu apabila ingin ke Marunda
Pulo, demikian pula masyarakatnya yang dahulu memiliki motor. Jembatan yang
menghubungkan secara darat Marunda Pulo dengan dunia luar dibangun sekitar
tahun 1990-an oleh pemerintah setempat. Sejak saat itulah perubahan terjadi di
Marunda Pulo dalam segala hal, dari mulai mata pencahariaan, kepemilikan
kendaraan bermotor, pendidikan anak-anak hingga masalah sosial keagamaan yang
mengalami erosi karena budaya luar perlahan masuk ke dalam gaya hidup mereka.
[1] Wawancara dengan H. Oji tokoh
agama Marunda Pulo pada 16 Januari 2013.
[2] Wawancara dengan H. Sambu tokoh
Marunda Pulo dan sesepuh masjid Al-Alam II Marunda pada 08 Agustus 2013.
[3] Wawancara dengan H. Hasan Ketua
DKM Masjid al-Alam Marunda dan Tokoh agama Marunda Pulo pada 16 Januari 2013.
[4] Wawancara dengan H. Hasan pada
16 Januari 2013.
[5] Anonim, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008),
hlm. 1227.
[6] Wawancara dengan H. Oji pada 17
Januari 2014.
[7] George Coedes, Asia Tenggara
Masa Hindu-Budha, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), hlm. 48.
[8] Yahya Andi Saputra, Upacara
Daur Hidup Adat Betawi, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008), hlm.3.
[9] Ayatrohaedi, Sundakala,
Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta, (Cirebon:
Pustaka Jaya, 2005).
[10] Sanusi Pane, Sedjarah
Indonesia, (Djakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian P. P. dan
Kebudayaan, 1955), hlm. 27.
[11] Yoseph Iskandar, Sejarah Jawa
Barat (Yuganing Rajakawasa), (Bandung: Geger Sunten, 2005), hlm. 35.
[12] Nina Herlina Lubis, Sejarah
Kota-kota Lama di Jawa Barat, (Jatinangor: Alqa Print, 2000), hlm. 159.
[13] Perubahan nama dari Jayakarta
menjadi Batavia secara resmi terjadi pada tahun 1921. Lihat Sanusi Pane, Sedjarah
Indonesia, (Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian P.P. dan K, 1955),
hlm. 190.
[14] Lance Castles, Profil Etnik
Jakarta, (Jakarta: Masup Jakarta, 2007).
[15] Lance Castles, Profil Etnik
Jakarta, hlm. 22.
[16] Wawancara dengan H. Hasan ketua
DKM Masjid al-Alam II pada 16 Januari 2014.
[17] Wawancara dengan H. Sambu pada
Agustus 2013.
[18] Wawancara dengan H. Oji warga
Marunda Pulo pada 17 Januari 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...