Senin, 29 Juni 2020

Pada akhirnya, hanya bisa memandang dari kejauhan...

Oleh: Misno Mohd Djahri



Manusia adalah makhluk yang unik, selain jasad tempat bersemayamnya ruh ia juga memiliki rasa yang muncul dari dalam jiwa. Rasa yang mungkin sekali dipengaruhi oleh banyak hal; pengalaman hidup, lingkungan dan hasrat kemanusiaan. Ia muncul bergantian dan nampak dari perilaku dan tindakan dalam kehidupan.
Rasa suka adalah satu dari rasa yang muncul dari dalam jiwa, banyak penyebabnya. Mulai dari tampilan fisik yang sesuai dengan seleranya, kepribadian yang memesona hingga kecocokan yang terasa, seiring dengan lamanya bergaul bersama. Rasa suka juga muncul dari latarbelakang kehidupan yang memiliki banyak kesamaan, hingga seolah-olah ia separuh nyawa yang belum terkumpulkan.
Rasa suka pada seseorang akan terasa indah apabila disambut oleh Sang Tersuka, ia akan menjadikan dunia laksana surga. Keduanya akan mengikat janji setia untuk selalu bersama dalam suka dan duka, hingga menutup mata atau hujung usia.
Namun, jika rasa suka itu ternyata bertepuk sebelah tangan maka yang terjadi adalah neraka dunia. Layu sebelum berkembang, bahkan hidup seolah-olah tiada makna. Semua harapan sirna, bahkan rasa suka itu mungkin akan berubah menjadi benci luar biasa. Tetapi, jika rasa suka itu muncul dari jiwa yang paling dalam, niscaya ia akan tetap terus berkembang walau tak bisa selalu bersama. Karena suka tak semestinya berhujung dengan ikatan kebersamaan sepanjang zaman.
Rasa suka yang betul-betul tulus dari dalam jiwa, bukan ternodai oleh hawa dunia, bukan pula oleh kepentingan sesaat semata serta bukan untuk memaksa orang yang disuka. Walau rasa ini tak ada respon darinya, atau jawaban hampa sekadar ianya tidak mau menyakiti Sang Penyuka, terimalah ia dengan penuh keikhlasan.
“Pada akhirnya, hanya bisa memandang dari kejauhan...” itu kata yang muncul dari jiwa yang paling dalam. Memang, suka itu tidak harus memiliki. Tetapi ia perlu implementasi dan bukti hakiki dari Sang Penyuka kepada Yang Disuka. Memang, terasa sakit untuk dicerita, seiring bertambahnya usia rasa suka itu mungkin akan berubah menjadi lebih melihat realita.
Memandang orang yang disuka dari kejauhan bisa jadi adalah sekadar pelampiasan atas “Kasih Tak Sampai” yang ia rasakan. Memang, terlalu sakit untuk diingat dan dirasakan. Tetapi manusia juga punya pilihan dan kehidupannya masing-masing sehingga ia juga berhak menerima, menolak atau atau membiarkan rasa itu hilang dengan sendirinya. Mungkin bila seseorang itu punya rasa yang lain, ia akan sekadar “menghargai” supaya tidak muncul rasa kecewa. Lagi-lagi terimalah itu sebagai sebuah realita...
Akhirnya, rasa suka yang kita miliki adalah anugerah dari Allah Ta’ala. Suka dan kagum kepada orang lain itu adalah fitrah manusia, namun bila ternyata orang yang kita suka acuh tak acuh dan membiarkan rasa suka ini melayang entah kemana maka terimalah itu semua. Jadi rasa itu sebagai kekuatan baru, untuk terus mengisi kehidupan ini. jangan matikan rasa itu, jaga, pelihara dan biarkan ia memberi warna dalam kehidupan kita. Walau pada akhirnya, hanya bisa memandang dari kejauhan... itu sudah cukup membuktikan bahwa kita memiliki rasa.
Jika memang ia adalah takdirNya maka semoga di suatu masa hatinya akan terbuka menerima rasa kita. Jika rasa itupun tak ada dalam dirinya maka semoga akan datang kepada kita seseorang yang memiliki rasa yang sama dengan apa yang ada pada kita.
Kepada orang-orang yang pernah kita rasa maka jangan pernah ada rasa selain rasa yang telah ada sejak awal mula. Ini adalah anugerah dan takdir dariNya, selama tidak ada unsur hawa yang mendominasinya. Semoga...  Bogor, 29 Juni 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...