Oleh: Misno Mohd Djahri
Manusia adalah makhluk yang unik,
selain jasad tempat bersemayamnya ruh ia juga memiliki rasa yang muncul dari
dalam jiwa. Rasa yang mungkin sekali dipengaruhi oleh banyak hal; pengalaman
hidup, lingkungan dan hasrat kemanusiaan. Ia muncul bergantian dan nampak dari
perilaku dan tindakan dalam kehidupan.
Rasa suka adalah satu dari rasa
yang muncul dari dalam jiwa, banyak penyebabnya. Mulai dari tampilan fisik yang
sesuai dengan seleranya, kepribadian yang memesona hingga kecocokan yang terasa,
seiring dengan lamanya bergaul bersama. Rasa suka juga muncul dari
latarbelakang kehidupan yang memiliki banyak kesamaan, hingga seolah-olah ia
separuh nyawa yang belum terkumpulkan.
Rasa suka pada seseorang akan
terasa indah apabila disambut oleh Sang Tersuka, ia akan menjadikan dunia
laksana surga. Keduanya akan mengikat janji setia untuk selalu bersama dalam
suka dan duka, hingga menutup mata atau hujung usia.
Namun, jika rasa suka itu ternyata
bertepuk sebelah tangan maka yang terjadi adalah neraka dunia. Layu sebelum
berkembang, bahkan hidup seolah-olah tiada makna. Semua harapan sirna, bahkan
rasa suka itu mungkin akan berubah menjadi benci luar biasa. Tetapi, jika rasa
suka itu muncul dari jiwa yang paling dalam, niscaya ia akan tetap terus
berkembang walau tak bisa selalu bersama. Karena suka tak semestinya berhujung
dengan ikatan kebersamaan sepanjang zaman.
Rasa suka yang betul-betul tulus
dari dalam jiwa, bukan ternodai oleh hawa dunia, bukan pula oleh kepentingan
sesaat semata serta bukan untuk memaksa orang yang disuka. Walau rasa ini tak
ada respon darinya, atau jawaban hampa sekadar ianya tidak mau menyakiti Sang
Penyuka, terimalah ia dengan penuh keikhlasan.
“Pada akhirnya, hanya bisa
memandang dari kejauhan...” itu kata yang muncul dari jiwa yang paling dalam.
Memang, suka itu tidak harus memiliki. Tetapi ia perlu implementasi dan bukti
hakiki dari Sang Penyuka kepada Yang Disuka. Memang, terasa sakit untuk
dicerita, seiring bertambahnya usia rasa suka itu mungkin akan berubah menjadi
lebih melihat realita.
Memandang orang yang disuka dari
kejauhan bisa jadi adalah sekadar pelampiasan atas “Kasih Tak Sampai” yang ia
rasakan. Memang, terlalu sakit untuk diingat dan dirasakan. Tetapi manusia juga
punya pilihan dan kehidupannya masing-masing sehingga ia juga berhak menerima,
menolak atau atau membiarkan rasa itu hilang dengan sendirinya. Mungkin bila
seseorang itu punya rasa yang lain, ia akan sekadar “menghargai” supaya tidak
muncul rasa kecewa. Lagi-lagi terimalah itu sebagai sebuah realita...
Akhirnya, rasa suka yang kita
miliki adalah anugerah dari Allah Ta’ala. Suka dan kagum kepada orang lain itu
adalah fitrah manusia, namun bila ternyata orang yang kita suka acuh tak acuh
dan membiarkan rasa suka ini melayang entah kemana maka terimalah itu semua.
Jadi rasa itu sebagai kekuatan baru, untuk terus mengisi kehidupan ini. jangan
matikan rasa itu, jaga, pelihara dan biarkan ia memberi warna dalam kehidupan
kita. Walau pada akhirnya, hanya bisa memandang dari kejauhan... itu sudah
cukup membuktikan bahwa kita memiliki rasa.
Jika memang ia adalah takdirNya
maka semoga di suatu masa hatinya akan terbuka menerima rasa kita. Jika rasa
itupun tak ada dalam dirinya maka semoga akan datang kepada kita seseorang yang
memiliki rasa yang sama dengan apa yang ada pada kita.
Kepada orang-orang yang pernah kita
rasa maka jangan pernah ada rasa selain rasa yang telah ada sejak awal mula. Ini
adalah anugerah dan takdir dariNya, selama tidak ada unsur hawa yang
mendominasinya. Semoga... Bogor, 29 Juni
2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...