Ketahuilah wahai saudaraku se-Islam -mudah-mudahan Allah memberikan pemahanman agama kepada kita- bahwasanya meng-qadha puasa Ramadhan tidak wajib dilakukan segera, kewajiban dengan jangka waku yang luas berdasarkan satu riwayat dari Sayyidah 'Aisyah Radhiyallahu'anha:
"Aku punya hutang puasa Ramadhan dan tidak bisa meng-qadhanya kecuali di bulan Sya'ban." (HR. Bukhari (4/166), Muslim (1146))
"Aku punya hutang puasa Ramadhan dan tidak bisa meng-qadhanya kecuali di bulan Sya'ban." (HR. Bukhari (4/166), Muslim (1146))
Berkata Al Hafidz di dalam Al Fath (4/191): "Dalam hadits ini sebagai dalil atas bolehnya mengakhirkan qadha Ramadhan secara mutlak, baik karena udzur ataupun tidak."
Sudah dikatahui dengan jelas bahwa bersegera dalam meng-qadha lebih baik daripada mengakhirkannya, karena masuk dalam keumuman dalil yang menunjukkan untuk bersegera dalam berbuat baik dan tidak mendunda-nunda, hal ini didasarkan ayat dalam Al Qur-an:
"Bersegeralah kalian utuk mendapatkan ampunan dari Rabb kalian." (Ali Imran : 133)
"Mereka itu bersegera untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya." (Al Mu'minun : 61)
"Bersegeralah kalian utuk mendapatkan ampunan dari Rabb kalian." (Ali Imran : 133)
"Mereka itu bersegera untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya." (Al Mu'minun : 61)
Berdasarkan firman Allah pada surah Al Baqarah 185:
"Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain."
Dan Ibnu Abbas berkata:
"Tidak mengapa dipisah-pisahkan (tidak berturut-turut)." (Dibawakan oleh Bukhari secara mu'allaq (4/189), di maushulkan oleh Abdur Razak, Daruquthni, Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih. Lih: Taghliqut Ta'liq (3/186))
Abu Hurairah berkata, "Diseling-selingi kalau mau." (Lih: Irwa-ul Ghalil (4/95))
Adapun yang diriwayatkan Al Baihaqi (4/259), Daruquthni (2/191-192) dari jalan Abdurrahman bin Ibrahim dari Al 'Ala bin Abdurrahman dari bapaknya dari Abu Hurairah secara marfu:
"Barangsiapa yang punya hutang puasa Ramadhan, hendaknya di qadha secara berturut-turut tidak boleh memisahnya."
"Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain."
Dan Ibnu Abbas berkata:
"Tidak mengapa dipisah-pisahkan (tidak berturut-turut)." (Dibawakan oleh Bukhari secara mu'allaq (4/189), di maushulkan oleh Abdur Razak, Daruquthni, Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih. Lih: Taghliqut Ta'liq (3/186))
Abu Hurairah berkata, "Diseling-selingi kalau mau." (Lih: Irwa-ul Ghalil (4/95))
Adapun yang diriwayatkan Al Baihaqi (4/259), Daruquthni (2/191-192) dari jalan Abdurrahman bin Ibrahim dari Al 'Ala bin Abdurrahman dari bapaknya dari Abu Hurairah secara marfu:
"Barangsiapa yang punya hutang puasa Ramadhan, hendaknya di qadha secara berturut-turut tidak boleh memisahnya."
ini adalah riwayat yang dhaif. Daruquthni berkata: Abdurrahman bin Ibrahin dhaif.
Al Baihaqi berkata, "Dia (Abdurrahman bin Ibrahim) didhaifkan oleh Ma'in, Nasa-i dan Daruquthni."
Ibnu Hajar menukilkan dalam Talkhisul Habir (2/206) dari Ibnu Abi Hatim bahwa beliau mengingkari hadits ini karena Abdurrahman.
Syaikh kami Al Albani rahimahullah telah membuat penjelasan dhaifnya hadits ini dlam Irwa-ul Ghalil (943)
Adapun yang terdapat dalam Silsilah hadits dhaif (2/137) yang terkesan bahwa beliau menghasankannya, dia ruju' dari pendapat ini.
Peringatan: Kesimpulannya, tidak ada satupun hadits yang marfu' dan shahih - menurut pengetahuan kami- yang menjelaskan keharusan memisahkan atau secara berturut-turut dalam meng-qadha, namun yang lebih mendekati kebenaran dan mudah (dan tidak memberatkan kaum muslimin) adalah dibolehkan kedua-duanya. Demikian pendapatnya Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hambal Rahimahullah. Abu Dawud berkata dalam Masail-nya (95), "Aku mendengar Imam Ahmad ditanya tentang qadha Ramadhan, beliau menjawab kalau mau boleh dipisah, kalau mau boleh juga berturut-turut." Wallahu'alam.
Oleh karena itu dibolehkannya memisahkan tidak menafikan dibolehkannya secara berturut-turut.
Ulama Telah Sepakat Bahwa Barangsiapa yang Wafat dan Punya Hutang Shalat, Maka Walinya Apalagi Orang Lain Tidak Bisa Meng- qadhanya
Begitu pula orang yang tidak mampu puasa, tidak boleh dipuasakan oleh anaknya selama dia hidup, tetapi dia harus mengeluarkan makanan setiap harinya utuk seorang miskin, sebagaimana yang dilakukan Anas dalam satu atsar yang kami bawakan tadi.
namun barangsiapa yang wafat dalam keadaan mempunyai hutang nazar puasa, harus dipuasakan oleh walinya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam,
"Barangsiapa yang wafat dan mempunyai hutang puasa nazar hendaknya diganti oleh walinya." (Bukhari (4/168), Muslim (1147))
"Barangsiapa yang wafat dan mempunyai hutang puasa nazar hendaknya diganti oleh walinya." (Bukhari (4/168), Muslim (1147))
Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, "Datang seorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kemudian berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat dan dia punya hutang puasa setahun, apakah aku harus membayarnya?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Ya, hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar." (Bukhari (4/169), Muslim (1148))
Hadits-hadits umum ini menegaskan disyariatkannya seorang wali untuk puasa (mempuasakan) mayit dengan seluruh macam puasa, demikian pendapat sebagian Syafi'iyah dan madzhabnya Ibnu Hazm (7/2,8).
Tetapi hadits-hadits umum ini dikhususkan, seorang wali tidak puasa untuk mayit kecuali dalam puasa nazar, demikian pendapat Imam Ahmad seperti yang terdapat dalam Masail Imam Ahmad riwayat Abu Dawud (96) dia berkata, "Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata bahwa tidak berpuasa mayit kecuali puasa nazar." Abu Dawud berkata, "(Sedangkan) Puasa Ramadhan?" Beliau (Imam Ahmad) menjawab, "Memberi makan."
Inilah yang menenangkan jiwa, melapangkan dan mendinginkan hati, dikuatkan pula oleh pemahaman dalil karena memakai seluruh hadits yang ada tanpa menolak satu haditspun dengan pemahaman yang selamat khususnya hadits yg pertama. 'Aisyah tidak memahami hadits-hadits tersebut secara mutlak yang mencakup puasa Ramadhan dan lainnya, tetapi dia berpendapat untuk memberi makan (fidyah) sebagai pengganti orang yang tidak puasa Ramadhan, padahal beliau adalah perawi hadits tersebut, dengan dalil riwayat 'Amarah bahwasanya ibunya wafat dan punya hutang puasa Ramdhan kemudian dia berkata kepada 'Aisyah, "Apakah aku harus meng-qadha puasanya?" 'Aisyah menjawab, "Tidak, tetapi bersedekahlah untuknya, setiap harinya setengah gantang untuk setiap muslim."
Diriwayatkan Thahawi dalam Musykilal Atsar (3/142), Ibnu Hazm dalam Al Muhalla (7/4), ini lafadz dalam Al Muhalla, dengan sanad shahih.
Sudah disepakati bahwa rawi hadits lebih tahu makna riwayat hadits yang ia riwayatkan. Yang berpendapat seperti ini pula adalah Hibrul Ummah Ibnu Abbas Radhiyallahu'anhum, beliau berkata, "Jika salah seorang dari kalian sakit di bulan Ramadhan kemudian wafat sebelum sempat puasa, dibayarkan fidyah dan tidak perlu qadha, kalau punya hutang nazar diqadha oleh walinya." Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad shahih dan Ibnu Hazm dalam Al Muhallah (7/7), beliau menshahihkan sanadnya.
Sudah maklum bahwa Ibnu Abbas Radhiyallahu'anhuma adalah periwayat hadits kedua, lebih khusus lagi beliau adalah perawi hadits yang menegaskan bahwa wali berpuasa untuk mayit puasa nazar. Sa'ad bin Ubadah minta fatwa kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, "Ibuku wafat dan beliau punya hutang puasa nazar." Baliau bersabda, "Qadha-lah untuknya." Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim serta lainnya.
Perincian seperti ini sesuai dengan kaidah ushul syari'at sebagaimana dijelaskan oleh Ibndul Qayyim dalam I'lamul Muwaqi'in dan ditambahkan lagi penjelasannya dalam Tahdzibu Sunan Abi Dawud (3/279-282). (Wajib) atasmu untuk membacanya karena sangat penting. Barangsiapa yang wafat dan punya hutang puasa nazar dibolehkan diqadha oleh beberapa orang sesuai dengan jumlah hutangnya.
Al Hasan berkata, "Kalau yang mempuasakannya tiga puluh orang seorangnya berpuasa satu hari diperbolehkan. (Bukhari (4/112) secara mu'allaq, di maushulkan oleh Daruquthni dalam Kitabul Mudabbij, dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Al Albani dalam Mukhtashar Shahih Bukhari (1/58)). Diperbolehkan juga memberi makan kalau walinya mengumpulkan orang miskin sesuai dengan hutangnya, kemudian mengenyangkan mereka, demikian perbuatan Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...