Oleh : Adi Satria
Siapa nyana, Papua pernah diterjang tsunami yang menenggelamkan sebuah Kerajaan besar Islam. Yang terselamatkan hanyalah mushaf tua. Kini, mushaf yang hilang itu telah kembali.
Ada hal yang menarik, saat Sabili melakukan perjalanan jurnalistik ke Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Dari sejumlah tokoh masyarakat yang dijumpai, ternyata, tak ada keseragaman pendapat saat mereka bercerita tentang sejarah masuknya Islam di Tanah Papua. Acapkali terjadi perdebatan panjang dari berbagai kalangan, baik masyarakat, agamawan maupun akademisi.
Pembentukan Panitia Seminar Penetapan Sejarah Masuknya Agama Islam di Bumi Papua, khususnya di Kabupaten Fakfak, nampaknya menemui jalan buntu. Hal tersebut disebabkan kurangnya dukungan data/fakta otentik, baik pada tataran penyebarannya maupun pada fase perkembangannya.
Sebagai sebuah kota yang mayoritas penduduknya beragama Islam, masyarakat Fakfak memerlukan sebuah dokumen sejarah untuk dapat mengungkapkan tentang masuknya agama Islam di Kabupaten Fakfak sehingga dapat memperkuat eksistensi serta peran Islam di Kabupaten Fakfak, sekarang dan masa yang akan datang.
Ketika bicara tentang wilayah manakah di Tanah Papua yang pertama kali mendapat sentuhan syiar Islam, banyak versi yang mengungkapnya, masing-masing wilayah punya cerita yang berbeda. Karena itu perlu di telusuri jejak historisnya dengan melakukan penelitian ilmiah dan studi-studi intensif, bukan berdasarkan pandangan masyarakat yang telah di pengaruhi oleh pemikiran mistik atau cerita-cerita rakyat (legenda) dan paham-paham (mitos) yang dapat mengaburkan Historiografi Islam di Tanah Papua.
Ketiadaan literatur tertentu tentang Historiografi Islam di Tanah Papua untuk memahami proses penyebaran dan perkembangannya, mendorong para peneliti menelusuri catatan-catatan sejarah yang ditulis oleh para ilmuwan Islam dan non-Muslim (Barat) ihwal penyebaran agama Islam di bumi cendrawasih ini. Setidaknya, catatan-catatan perjalanan itu dapat dijadikan referensi awal dalam penyusunan Historiografi Islam di Tanah Papua.
Perjalanan Mushaf Tua
Sebelum wafat, Syekh Iskandar Syah (Sultan Kerajaan Pasai) mengamanatkan kepada keturunannya agar mengembalikan mushaf (al-qur’an) kepada keturunan Raja Patipi di Papua (ketika itu disebut Kerajaan Mes). Seorang keturunan Iskandar Syah yang bernama Burhanudin, kemudian menyerahkan mushaf itu ke Jakarta melalui Ustadz Fadzlan Garamatan setelah menghilang selama kurang lebih 800 tahun. Kini mushaf tua itu disimpan oleh H Ahmad Iba di kediamannya di Fakfak. Ahmad Iba adalah Raja Patipi ke-XVI yang diamanahkan untuk menyimpan lima buah manuskrip berbentuk kitab dengan berbagai ukuran.
Yang terbesar berukuran sekitar 50x40 cm, berupa mushaf al-qur’an tulisan tangan. Mushaf itu ditulis di atas kulit kayu yang dirangkai menjadi seperti sebuah kitab di zaman sekarang. Empat lainnya, salah satunya bersampul kulit rusa, merupakan kitab hadits, ilmu tauhid dan kumpulan doa. Ada “tanda tangan” dalam kitab itu berupa gambar tapak tangan dengan jari terbuka. Tapak tangan yang sama juga dijumpai di Teluk Etna (Kaimana) dan Merauke.
Sedangkan tiga kitab berikutnya dimasukkan ke dalam buluh bambu dan ditulis di atas daun koba-koba, pohon asli Papua yang kini mulai punah. Ada pula manuskrip yang ditulis di atas pelepah kayu, mirip manuskrip daun lontar, di Fakfak disebut daun pokpok.
Berdasarkan cerita turun temurun, lima manuskrip pertama diyakini masuk ke Papua tahun 1214. Dalam rangka penyebaran agama Islam, kitab-kitab itu dibawa oleh Syekh Iskandar Syah dari Kerajaan Samudera Pasai di Aceh yang datang menyertai rombongan ekspedisi Kerajaannya ke wilayah timur. Mereka masuk lewat Mes yang berada di wilayah Kerajaan Teluk Patipi saat itu. Jika diperkirakan, al-qur’an itu sudah ada sejak 800 tahun yang lalu
Menurut Muhammad Sya’ban Garamatan (tokoh masyarakat Fakfak) yang didampingi oleh Ahmad Iba dan Fadzlan Garamatan, ketika Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7, Syekh Abdul Rauf yang merupakan putra ke-27 dari waliyullah Syekh Abdul Qadir Jailani dari Kerajaan Pasai mengutus Tuan Syekh Iskandar Syah untuk melakukan perjalanan dakwah ke Nuu War (Papua). Sekitar abad ke-12, 17 Juli 1224 , tibalah Syekh Iskandar Syah di Mesia atau Mes -- kini masuk wilayah Kabupaten Fakfak, tepatnya di distrik Kokas. Orang pertama yang diajarkan Iskandar Syah adalah seorang yang bernama Kriskris.
“Saat itu Syekh Iskandar Syah mengatakan, jika kamu maju, mau aman, mau berkembang, maka kamu harus mengenal Alif Lam Lam Ha (maksudnya Allah) dan Mim Ha Mim Dal (maksudnya Muhammad). Singkat cerita Kriskris mengucapkan dua kalimat syahadat. Tiga bulan kemudian, Kriskris diangkat menjadi imam pertama dan beliau sudah menjadi Raja di Patipi pertama.”
Jadi yang bawa mushaf ini, kata Sya’ban Garamatan, bukan Sultan Iskandar Syah. Tapi salah satu dari keturunannya, namanya sama, yakni Syekh Iskandar Syah. Sampai ke Teluk Patipi, mushaf ini sudah dalam bentuk seperti ini.
Beberapa tahun kemudian, masih abad ke-12, bencana alam tsunami menenggelamkan Mes, sehingga menyebabkan sebagian penduduk dan seluruh kerajaan Mes habis musnah, tak terkecuali masjid dan isinya tenggelam di dasar laut, kecuali mushaf al-qur’an dan sejumlah Kitab Fiqih-Tauhid. Yang menyelamatkan mushaf tersebut adalah Tuan Syekh Iskandar Syah.
Bagaimana al-qur’an ini bisa terselamatkan? “Kitab ini dibawa kembali ke Aceh oleh Iskandar Syah. Sebelum ke Aceh, konon, kitab ini sempat singgah di Maluku, tepatnya Kampung Sinisore. Menurut kepercayaan masyarakat kampung Sinisore, Islam masuk bukan dari Arab, tapi dari Papua. Bahkan, konon, mushaf ini juga sampai ke Kalimantan karena dianggap membawa berkah. Singkatnya, al-qur’an berikut dengan kitab tauhid dan fiqih terselamatkan, dan disimpan di Aceh oleh keturunan keluarga Syekh Iskandar Syah, bernama Burhanuddin.”
Menurut cerita, pasca bencana, Syekh Iskandar Syah kembali ke Mes tanpa membawa mushaf. Iskandar Syah kemudian wafat di sini, makamnya berada di Pulau Kokorap, Batu Kudus. Konon, ia sendiri yang menggali kuburnya, setelah itu wafat di tempat itu pula. Bahkan sebelum wafat, beredar cerita di masyarakat setempat, ia mandi dan mengkafani dirinya sendiri di dasar laut yang dalamnya mencapai 3 meter. Begitulah cara wafat pembawa al-qur’an pertama di Papua, tepatnya di Fakfak (distrik Kokas yang dulu bernama Mesia atau Mes).
“Pastinya, makam Syekh Iskandar Syah ada di dasar laut. Sebagai simbolik, dibuat makamnya di darat. Inilah bukti otentik Islam masuk ke Fakfak. Selama ini banyak daerah lain mengaku-ngaku Islam masuk ke wilayahnya, tapi tak punya bukti otentik,” tukas Sya’ban Garamatan.
Mushaf itu Telah Kembali
Setelah bencana, Kerajaan Mes kemudian terbentuk lagi, penduduk yang terselamatkan kemudian turun ke Teluk Patipi (awalnya disebut kampung Patupa, kini Patipi I). Seorang keturunan Syekh Iskandar Syah yang bernama Burhanuddin seperti mendapat petunjuk melalui mimpinya. Dalam mimpinya itu, Burhanudin didatangi leluhurnya dan memintanya agar mengembalikan mushaf itu ke Papua, tepatnya kepada anak keturunan Raja Kriskris, raja pertama yang menganut Islam di Papua dan kemudian menjadi imam di wilayahnya.
Kontak batin pun terjadi. Tanggal 17 Juli 2004, atau enam bulan sebelum musibah tsunami di Aceh (26 Desember 2004), Burhanudin bertemu dengan Ustadz Fadzlan Garamatan, dai asal Fakfak, yang menjadi wakil keluarga Raja Teluk Patipi. Saat itu, Jakarta disepakati sebagai tempat bertemu. Subhanallah, kedua keturunan raja itu pun seperti menemukan rangkaian yang selama ini mereka cari untuk melengkapi sejarah yang hilang.
Ada hal yang menarik, saat Sabili melakukan perjalanan jurnalistik ke Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Dari sejumlah tokoh masyarakat yang dijumpai, ternyata, tak ada keseragaman pendapat saat mereka bercerita tentang sejarah masuknya Islam di Tanah Papua. Acapkali terjadi perdebatan panjang dari berbagai kalangan, baik masyarakat, agamawan maupun akademisi.
Pembentukan Panitia Seminar Penetapan Sejarah Masuknya Agama Islam di Bumi Papua, khususnya di Kabupaten Fakfak, nampaknya menemui jalan buntu. Hal tersebut disebabkan kurangnya dukungan data/fakta otentik, baik pada tataran penyebarannya maupun pada fase perkembangannya.
Sebagai sebuah kota yang mayoritas penduduknya beragama Islam, masyarakat Fakfak memerlukan sebuah dokumen sejarah untuk dapat mengungkapkan tentang masuknya agama Islam di Kabupaten Fakfak sehingga dapat memperkuat eksistensi serta peran Islam di Kabupaten Fakfak, sekarang dan masa yang akan datang.
Ketika bicara tentang wilayah manakah di Tanah Papua yang pertama kali mendapat sentuhan syiar Islam, banyak versi yang mengungkapnya, masing-masing wilayah punya cerita yang berbeda. Karena itu perlu di telusuri jejak historisnya dengan melakukan penelitian ilmiah dan studi-studi intensif, bukan berdasarkan pandangan masyarakat yang telah di pengaruhi oleh pemikiran mistik atau cerita-cerita rakyat (legenda) dan paham-paham (mitos) yang dapat mengaburkan Historiografi Islam di Tanah Papua.
Ketiadaan literatur tertentu tentang Historiografi Islam di Tanah Papua untuk memahami proses penyebaran dan perkembangannya, mendorong para peneliti menelusuri catatan-catatan sejarah yang ditulis oleh para ilmuwan Islam dan non-Muslim (Barat) ihwal penyebaran agama Islam di bumi cendrawasih ini. Setidaknya, catatan-catatan perjalanan itu dapat dijadikan referensi awal dalam penyusunan Historiografi Islam di Tanah Papua.
Perjalanan Mushaf Tua
Sebelum wafat, Syekh Iskandar Syah (Sultan Kerajaan Pasai) mengamanatkan kepada keturunannya agar mengembalikan mushaf (al-qur’an) kepada keturunan Raja Patipi di Papua (ketika itu disebut Kerajaan Mes). Seorang keturunan Iskandar Syah yang bernama Burhanudin, kemudian menyerahkan mushaf itu ke Jakarta melalui Ustadz Fadzlan Garamatan setelah menghilang selama kurang lebih 800 tahun. Kini mushaf tua itu disimpan oleh H Ahmad Iba di kediamannya di Fakfak. Ahmad Iba adalah Raja Patipi ke-XVI yang diamanahkan untuk menyimpan lima buah manuskrip berbentuk kitab dengan berbagai ukuran.
Yang terbesar berukuran sekitar 50x40 cm, berupa mushaf al-qur’an tulisan tangan. Mushaf itu ditulis di atas kulit kayu yang dirangkai menjadi seperti sebuah kitab di zaman sekarang. Empat lainnya, salah satunya bersampul kulit rusa, merupakan kitab hadits, ilmu tauhid dan kumpulan doa. Ada “tanda tangan” dalam kitab itu berupa gambar tapak tangan dengan jari terbuka. Tapak tangan yang sama juga dijumpai di Teluk Etna (Kaimana) dan Merauke.
Sedangkan tiga kitab berikutnya dimasukkan ke dalam buluh bambu dan ditulis di atas daun koba-koba, pohon asli Papua yang kini mulai punah. Ada pula manuskrip yang ditulis di atas pelepah kayu, mirip manuskrip daun lontar, di Fakfak disebut daun pokpok.
Berdasarkan cerita turun temurun, lima manuskrip pertama diyakini masuk ke Papua tahun 1214. Dalam rangka penyebaran agama Islam, kitab-kitab itu dibawa oleh Syekh Iskandar Syah dari Kerajaan Samudera Pasai di Aceh yang datang menyertai rombongan ekspedisi Kerajaannya ke wilayah timur. Mereka masuk lewat Mes yang berada di wilayah Kerajaan Teluk Patipi saat itu. Jika diperkirakan, al-qur’an itu sudah ada sejak 800 tahun yang lalu
Menurut Muhammad Sya’ban Garamatan (tokoh masyarakat Fakfak) yang didampingi oleh Ahmad Iba dan Fadzlan Garamatan, ketika Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7, Syekh Abdul Rauf yang merupakan putra ke-27 dari waliyullah Syekh Abdul Qadir Jailani dari Kerajaan Pasai mengutus Tuan Syekh Iskandar Syah untuk melakukan perjalanan dakwah ke Nuu War (Papua). Sekitar abad ke-12, 17 Juli 1224 , tibalah Syekh Iskandar Syah di Mesia atau Mes -- kini masuk wilayah Kabupaten Fakfak, tepatnya di distrik Kokas. Orang pertama yang diajarkan Iskandar Syah adalah seorang yang bernama Kriskris.
“Saat itu Syekh Iskandar Syah mengatakan, jika kamu maju, mau aman, mau berkembang, maka kamu harus mengenal Alif Lam Lam Ha (maksudnya Allah) dan Mim Ha Mim Dal (maksudnya Muhammad). Singkat cerita Kriskris mengucapkan dua kalimat syahadat. Tiga bulan kemudian, Kriskris diangkat menjadi imam pertama dan beliau sudah menjadi Raja di Patipi pertama.”
Jadi yang bawa mushaf ini, kata Sya’ban Garamatan, bukan Sultan Iskandar Syah. Tapi salah satu dari keturunannya, namanya sama, yakni Syekh Iskandar Syah. Sampai ke Teluk Patipi, mushaf ini sudah dalam bentuk seperti ini.
Beberapa tahun kemudian, masih abad ke-12, bencana alam tsunami menenggelamkan Mes, sehingga menyebabkan sebagian penduduk dan seluruh kerajaan Mes habis musnah, tak terkecuali masjid dan isinya tenggelam di dasar laut, kecuali mushaf al-qur’an dan sejumlah Kitab Fiqih-Tauhid. Yang menyelamatkan mushaf tersebut adalah Tuan Syekh Iskandar Syah.
Bagaimana al-qur’an ini bisa terselamatkan? “Kitab ini dibawa kembali ke Aceh oleh Iskandar Syah. Sebelum ke Aceh, konon, kitab ini sempat singgah di Maluku, tepatnya Kampung Sinisore. Menurut kepercayaan masyarakat kampung Sinisore, Islam masuk bukan dari Arab, tapi dari Papua. Bahkan, konon, mushaf ini juga sampai ke Kalimantan karena dianggap membawa berkah. Singkatnya, al-qur’an berikut dengan kitab tauhid dan fiqih terselamatkan, dan disimpan di Aceh oleh keturunan keluarga Syekh Iskandar Syah, bernama Burhanuddin.”
Menurut cerita, pasca bencana, Syekh Iskandar Syah kembali ke Mes tanpa membawa mushaf. Iskandar Syah kemudian wafat di sini, makamnya berada di Pulau Kokorap, Batu Kudus. Konon, ia sendiri yang menggali kuburnya, setelah itu wafat di tempat itu pula. Bahkan sebelum wafat, beredar cerita di masyarakat setempat, ia mandi dan mengkafani dirinya sendiri di dasar laut yang dalamnya mencapai 3 meter. Begitulah cara wafat pembawa al-qur’an pertama di Papua, tepatnya di Fakfak (distrik Kokas yang dulu bernama Mesia atau Mes).
“Pastinya, makam Syekh Iskandar Syah ada di dasar laut. Sebagai simbolik, dibuat makamnya di darat. Inilah bukti otentik Islam masuk ke Fakfak. Selama ini banyak daerah lain mengaku-ngaku Islam masuk ke wilayahnya, tapi tak punya bukti otentik,” tukas Sya’ban Garamatan.
Mushaf itu Telah Kembali
Setelah bencana, Kerajaan Mes kemudian terbentuk lagi, penduduk yang terselamatkan kemudian turun ke Teluk Patipi (awalnya disebut kampung Patupa, kini Patipi I). Seorang keturunan Syekh Iskandar Syah yang bernama Burhanuddin seperti mendapat petunjuk melalui mimpinya. Dalam mimpinya itu, Burhanudin didatangi leluhurnya dan memintanya agar mengembalikan mushaf itu ke Papua, tepatnya kepada anak keturunan Raja Kriskris, raja pertama yang menganut Islam di Papua dan kemudian menjadi imam di wilayahnya.
Kontak batin pun terjadi. Tanggal 17 Juli 2004, atau enam bulan sebelum musibah tsunami di Aceh (26 Desember 2004), Burhanudin bertemu dengan Ustadz Fadzlan Garamatan, dai asal Fakfak, yang menjadi wakil keluarga Raja Teluk Patipi. Saat itu, Jakarta disepakati sebagai tempat bertemu. Subhanallah, kedua keturunan raja itu pun seperti menemukan rangkaian yang selama ini mereka cari untuk melengkapi sejarah yang hilang.
Saat serah terima, Burhanudin menyatakan, ini amanat dari Tuan Syekh Iskandar Syah, sewaktu-waktu mushaf ini harus dikembalikan ke tempat asalnya. Selanjutnya, Ustadz Fadzlan menyerahkan mushaf ini kepada Ahmad Iba (Raja Teluk Patipi XVI) untuk disimpan dan dijaga dengan baik. “Kitab ini memang harus disimpan oleh keturunan Raja Patipi. Sebab, jika kitab ini dipegang dengan orang yang bukan ahli warisnya atau keturunannya, bisa-bisa orang itu jadi gila,” kata Ahmad Iba memperingati.
Siapa kira, mushaf itu kembali terselamatkan untuk kedua kalinya dari bencana alam tsunami Aceh. “Sejak tsunami menimpa Papua, tepatnya di wilayah Mes, kami sebagai masyarakat Muslim Papua sudah intropeksi diri sebelum bencana tsunami menimpa Aceh,” ujarnya. Wallahu a’lam bishshawab. (Adhes Satria/Sabili)
Siapa kira, mushaf itu kembali terselamatkan untuk kedua kalinya dari bencana alam tsunami Aceh. “Sejak tsunami menimpa Papua, tepatnya di wilayah Mes, kami sebagai masyarakat Muslim Papua sudah intropeksi diri sebelum bencana tsunami menimpa Aceh,” ujarnya. Wallahu a’lam bishshawab. (Adhes Satria/Sabili)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...