Oleh: Abdurrahman Misno Bambang Prawiro
Nenek moyang orang Baduy
dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu nenek moyang yang berasal dari masa
para Batara dan masa para puun. Batara Tunggal digambarkan dalam dua
dimensi, sebagai suatu kuasa dan kekuatan yang tak tampak tetapi berada di
mana-mana, dan sebagai manusia biasa yang sakti. Dalam dimensi sebagai manusia
sakti, Batara Tunggal mempunyai keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke
dunia di kabuyutan (tempat nenek-moyang), yaitu titik awal bumi Sasaka Pusaka
Buana. Mereka itu ialah:
1. Batara Cikal, yang diberitakan tidak
ada keturunannya.
2. Batara Patanjala yang menurunkan
tujuh tingkat Batara ketiga, yaitu:
a.
Daleum Janggala
b.
Daleum Lagondi
c.
Daleum Putih
Seda Hurip
d.
Daleum Cinangka
e.
Daleum Sorana
f.
Nini Hujung
Galuh
g.
Batara Bungsu.
Mereka itu yang
menurunkan Bangsawan Sawidak Lima atau tujuh batara asal, nenek moyang orang Baduy.
Daleum Janggala adalah batara yang tertua, dan yang menurunkan kerabat
tangtu Cikeusik; Daleum Putih Seda Hurip menurunkan kerabat Kampung Cibeo. Para
Batara tingkat ketiga lain masing-masing menurunkan jenis kerabat pemimpin
lainnya.
Lima Batara tingkat
kedua, saudara-saudara muda Batara Pantajala, yaitu Batara Wisawara, Batara
Wishnu, Batara Brahmana, Batara Hyang Niskala, dan Batara Mahadewa, menurunkan
kelompok kerabat besar di luar Baduy yang disebut salawe nagara (dua
puluh lima negara), yang menunjukkan jumlah kerabat yang besar, dan menurut
pengetahuan orang Baduy adalah wilayah yang sangat luas di sebelah Sungai
Cihaliwung.[1]
Kelompok kerabat itulah yang dianggap orang Baduy keturunan yang lebih muda.
Dari ketujuh orang
batara tingkat ketiga nenek-moyang orang Baduy itu tampak bahwa hanya kerabat
jaro dangka yang berasal dari garis keturunan perempuan. Lainnya diturunkan
melalui garis keturunan patrilineal. Para puun adalah keturunan Batara
Patanjala, dan sampai masa akhir abad ke-19 oleh Jacobs dan Maijer dicatat sudah
terjadi 13 kali pergantian puun Cikeusik.[2]
Menurut catatan tahun 1988, jumlah puun Cikeusik adalah 24 orang, dan yang
terakhir adalah Puun Sadi.
Suatu konsep penting
dalam religi orang Baduy ialah karuhun, yaitu generasi-generasi
pendahulu yang sudah meninggal. Mereka berkumpul di Sasaka Domas, yaitu tempat
di hutan tua di hulu Sungai Ciujung. Karuhun dapat menjelma atau datang
dalam bentuk asalnya menengok para keturuannya, dan jalan untuk masuk ialah melalui
hutan kampung.
Dalam kaitan dengan
konsep karuhun itu ada konsep lain, yaitu guriang, sanghyang, dan
wangatua. Guriang dan Sanghyang dianggap penjelmaan para karuhun
untuk melindungi para keturunannya dari segala marabahaya, baik gangguan orang
lain maupun mahluk-mahluk halus yang jahat (seperti dedemit, jurig, setan) wangatua
ialah ruh atau penjelmaan ruh ibu bapak yang sudah meninggal dunia.
Kosmologi orang Baduy
yang menghubungkan asal mula dunia, karuhun dan posisi tangtu, merupakan konsep
penting pula dalam religi mereka. Karena itu wilayah yang paling sakral ada di
Kanekes, terutama wilayah taneuh larangan (tanah suci, tanah terlarang)
tempat kampung tangtu dan kabuyutan. Bumi dianggap bermula dari masa
yang kental dan bening, yang lama-kelamaan mengeras dan melebar. Titik awal
terletak di pusat bumi, yaitu Sasaka Pusaka Buana tempat tujuh batara
diturunkan untuk menyebarkan manusia. Tempat itu juga merupakan tempat nenek
moyang. Kampung tangtu kemudian dianggap sebagai inti kehidupan manusia,
yang diungkapkan dengan sebutan Pada Ageung yaitu tangtu Cikeusik, Cikertawana
disebut Kadukujang, dan Cibeo disebut Parahyang, semua itu disebut Sanghyang
Daleum.
Secara khusus posisi
tempat nenek moyang (kabuyutan) dan alur tangtu dalam memperlihatkan kaitan karuhun,
yaitu Pada Ageung-Sasaka Pusaka Buana- dangkanya disebut Padawaras. Kadukujang-Kabuyutan-ikut
pada Cibeo dan Cikeusik dengan dangka-dangkanya yang disebut Sirah Dayeuh.[3]
Konsep buana
(dunia) bagi orang Baduy berkaitan dengan titik mula, perjalanan, dan tempat
akhir kehidupan. Ada tiga buana, yaitu Buana Luhur atau Buana
Nyungcung (angkasa, buana atas) yang luas tak terbatas, Buana Tengah
atau Buana Panca Tengah, tempat manusia melakukan sebagian besar
pengembaraannya dan tempat ia akan memperoleh segala suka-dukanya. Buana
Handap atau Buana Bawah ialah bagian dalam tanah yang tak terbatas
pada luasnya. Keadaan di tiga buana itu adalah seperti halnya dunia ini,
ada siang dan ada malam, dan keadaannya sebaliknya dengan di dunia.
Konsep lain dalam
religi orang Baduy ialah kaambuan atau ambu (ibu, wanita, ibu
suci).[4]
Menurut orang Baduy ada tiga ambu yang penting (paling tidak yang
ditakuti dan disegani) yaitu Ambu Luhur di Buana Luhur, Ambu Tengah di Buana
Panca Tengah, dan Ambu Rarang di Buana Handap. Ambu Tengah ialah pemelihara
kehidupan yang harus dihormati dengan kesungguhan melakukan pikukuh.
Ambu luhur tidak hanya mengurus tempat orang Baduy setelah mati, tetapi juga
dengan segala kekuatan dan kesaktiannya, Ambu Rarang dapat menyelesaikan setiap
masalah kehidupan dengan menyebut namanya atau membaca mantera-mantera. Sedang
Ambu Rarang adalah ambu yang menerima jasad dan ruh orang Baduy yang mati untuk
diurus selama tujuh hari dan melepaskannya setelah 40 hari ke tempat akhir
tetapi juga bentuk nyata dari Buana luhur.[5]
Pola kepercayaan ini
saat ini mengalami beberapa perubahan terutama terindikasi dengan masuknya
Islam, dari wawancara dengan Jaro Sami, Jaro Dainah, Jaro Alim, Jaro Sadi dan
beberapa tokoh adat lainnya mereka sepakat bahwa agama dan kepercayaan mereka
adalah Slam Sunda Wiwitan. Mereka meyakini bahwa leluhur mereka adalah
Adam Tunggal yang sama dengan Nabi Adam dalam agama Islam. Wawancara dengan
Jaro Sami sebagai Jaro Cibeo diketahui bahwa Adam bukanlah hanya satu pribadi
melainkan ada empat sampai tujuh pribadi.
Masing-masing Adam memiliki tugas tersendiri yang diamanatkan oleh
Tuhan. Adam Tunggal adalah leluhur Baduy yang diberi amanat untuk menjaga
kabuyutan yang ada di wilayah Baduy maka keturunannya melanjutkan tugas
tersebut menjaga keseimbangan alam (bertapa dengan beribadah kepada alam),
selain itu tugas mereka yaitu ngasuh ratu nyanyak menak (menasehati raja
dan penguasa negara).[6]
Sikap mereka terhadap
Islam tercermin dari pengakuan mereka bahwa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi
Wassalam adalah sebagai nabi penyempurna. Namun beliau tidak diutus untuk
masyarakat Baduy, sehingga mereka tidak memiliki kewajiban untuk mengikutinya. Unsur
Islam masuk ke dalam kepercayaan mereka secara perlahan dan tidak disadari oleh
generasi berikutnya. Sehingga adanya konsep Adam dalam kepercayaan Baduy
terindikasi karena interaksi mereka dengan Agama Islam.
Saat ini seluruh tokoh
Baduy menyebutkan bahwa mereka beragama Slam Sunda Wiwitan, mereka
berasal dari keturunan Adam Tunggal. Ayah Mursyid menyebutkan bahwa Adam
Tunggal adalah utusan dari Sang Pencipta untuk meneguhkan dan mematuhkan
wiwitan, menghayati, mengamalkan amanat awal yaitu Ngabaratapakeun,
ngabaratanghikeun wiwitan atawa pikukuh karuhun. Patokan dan batasan dari pikukuh
tersebut adalah:
“Lojor
teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, gunung teu meunang dilebur,
lebak teu meunang dirakrak, mun ngadek kudu saclekna, mun neukteuk kudu
sateukna mun nilas kudu sapasna, nu lain dilainkeun, nu enya dienyakeun ulah
gorok ulah linyok”
Panjang
tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung, gunung tidak boleh
dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak, kalau menyabet atau menebang harus
se-pasnya, kalau memotong harus seukurannya, kalau mengelupas harus se-pasnya,
yang salah nyatakan salah, yang benar nyatakan benar, tidak boleh menipu dan
berbohong.[7]
Maksud dari pernyataan
ini adalah bahwa pada masyarakat Baduy tidak boleh terjadi perubahan atau jika
terpaksa terjadi perubahan maka diusahakan sesedikit mungkin perubahan
tersebut. Hingga saat ini keteguhan memegang adat-istiadat masih ketat dilakukan,
walaupun bukan berarti tidak terjadi perubahan tersebut. Karena perubahan
adalah sebuah keniscayaan maka pada masyarakat Baduy sendiri saat ini telah dan
sedang terjadi perubahan tersebut, tentu saja perubahan yang paling tampak
adalah dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh pada
Baduy Luar mereka saat ini sudah banyak yang memiliki alat informasi dan
komunikasi seperti Radio, TV dan juga hand phone. Pada masyarakat Baduy Dalam
kepemilikan itu memang dilarang namun mereka terutama generasi mudanya sudah
mulai suka menonton TV atau layar tancap di luar wilayah Baduy. Sehingga saat
ini ada pemandangan menarik apabila terdapat layar tancap di sekitar wilayah
Baduy maka akan terdapat beberapa orang Baduy baik luar ataupun dalam yang ikut
menyaksikannya.[8]
[1] Judistira K Garna, Orang Baduy,
(Bangi: Penerbit University Kebangsaan Malaysia) tahun 1987, hlm. 85.
[2] Jacobs dan Maijer, 1891: hlm.
13.
[3]
Yudistira Garna, hlm. 75.
[4]
R.Cecep Eka Permana, Kesetaraan gender dalam Adat Inti Jagad Baduy, (Jakarta:
Wedatama Widya Sastra), hlm. 67.
[5] Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat
Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia
[6] Wawancara Jaro Sami dan Jaro
Alim pada April 2013
[7] Wawancara dengan Ayah Mursyid
wakil Jaro Cibeo pada Mei 2013.
[8]
Wawancara dengan Nurdin, warga Ciboleger Lebak dan disaksikan penulis sendiri
pada saat ada layar tancap di Ciboleger pada 15 Agustus 2013.