Oleh : Drs. H. Ahmad Supardi Hasibuan, MA.
Pendahuluan
Persoalan pimpinan dalam hukum Islam adalah
merupakan sesuatu hal yang sangat mendasar sebab pimpinan adalah merupakan
seorang kepala negara dan kepala pemerintahan yang akan mengatur, menertibkan
dan menjalankan hukum secara baik dan benar dalam masyarakatnya. Oleh karena
itulah maka di dalam al-Quran Allah SWT memerintahkan untuk mentaati segala
Perintah Allah, Perintah Rasul dan Perintah Pemimpinnya sesuai dengan firmanNya
:
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatlah
kepada Allah, kepada Rasul dan kepada pemimpin kamu.
Dengan demikian maka tidak perlu heran manakala Nabi
Muhammad SAW wafat, ummat Islam Madinah baik kaum Anshar maupun kaum Muhajirin
langsung disibukkan untuk mencari dan menetapkan figur pimpinan yang akan
menjadi pimpinan dan Kepala Negara ataupun Kepala Pemerintahan bagi ummat
Islam. Dan fakta menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW belum dikuburkan sebelum
pimpinan ummat Islam diangkat dan ditetapkan, sebab apabila Nabi Muhammad SAW
dikubur, sedangkan pimpinan yang akan mengatur ummat tidak ada, maka tidak
menutup kemungkinan akan terjadi chaos dan pertikaian di kalangan ummat Islam.
Selain hal tersebut di atas, persoalan pimpinan bagi
ummat Islam ini, hampir menimbulkan perpecahan dan pertumpahan darah, sebab
pada diri seorang pemimpin tercermin aspirasi dan visi masyarakat yang harus
diwujudkan dalam rangka mensejahterakan rakyat. Persoalan pimpinan pasca
wafatnya Nabi ini kelak menjadi salah satu akar pemicu timbulnya perpecahan di
kalangan ummat Islam, khususnya bagi kelompok Sunni dan kelompok Syii, apalagi
kelompok Syii berpendapat bahwa yang paling berhak untuk menjadi pimpinan pasca
wafatnya Nabi Muhammad SAW adalah Ali Bin Abi Thalib, dengan pertimbangan bahwa
Ali Bin Abi Thalib adalah seorang yang wajahnya bersih dari menyembah berhala
sehingga ia diberi istilah dengan Karromallohu Wajhahu (Allah memuliakan
wajahnya dari menyembah berhala).
Selain itu Ali Bin Abi Thalib ditinggalkan atau
tidak diikutsertakan dalam musyawarah pemilihan pimpinan pengganti Nabi
Muhammad sebab pada saat itu ia sedang sibuk mengurusi jenazah Nabi Muhammad
SAW, dan kalaupun ia diikutkan tentu ia akan merasa sangat tidak etis ikut
bersaing menjadi calon pengganti Nabi Muhammad SAW jadi pimpinan ummat Islam,
sementara jasad Rasulullah SAW yang nota bene mertuanya masih terbujur di
hadapannya. Alipun tidak menolak hasil musyawarah pemilihan pimpinan ummat
Islam yang menetapkan Abu Bakar Shiddiq sebagai Khalifah, namun fakta
menyatakan bahwa baru enam bulan kemudian Ali Bin Abi Thalib membaiat Abu Bakar
Shiddiq sebagai Khalifah.
Perpecahan ummat Islam pasca wafat Nabi sebagai
akibat dari penetapan pimpinan ummat Islam itu, akhirnya merembes kepada
masalah theologi yang tidak dapat diselesaikan dan pengaruhnya sangat kuat
hingga kini, yaitu antara aliran Sunni dan aliran Syiah. Aliran Sunni berpegang
pada pendapat kebanyakan para sahabat, sedangkan aliran Syiah adalah aliran
yang mengusung ahlul bait dalam hal ini Ali Bin Abi Thalib sebagai satu-satunya
figur yang pantas menggantikan posisi Nabi Muhammad SAW sebagai pimpinan ummat
Islam.
Selain fakta tersebut di atas, sejarah juga mencatat
bahwa persoalan pimpinan bagi ummat Islam pada masa Khulafaurrasyidin dan
sesudahnya baik pada masa Bani Umayyah maupun pada masa Bani Abbasiyah, bahkan
masa-masa sesudahnya, persoalan pimpinan adalah merupakan persoalan yang sangat
dominan dalam sejarah ummat islam, sebab seorang pimpinan adalah merupakan
seorang figur bagi masyarakat yang memiliki visi dan misi untuk membawa mereka
mencapai kebahagian, baik kebahagiaan di dunia maupun kebahagiaan di akhirat.
Saking pentingnya persoalan pimpinan ini, maka ada yang menyebutkan seorang pimpinan
yang zhalim jauh lebih baik daripada tidak ada pimpinan sama sekali.
Dengan demikian maka sesungguhnya seorang pimpinan
atau kepala negara atau kepala pemerintahan dalam islam itu adalah juga
merangkap sebagai pemimpin agama sebagaimana yang difigurkan oleh Nabi Muhammad
SAW dan juga oleh para khulafaurrasyidin. Dan baru pada masa pemerintahan Bani
Umayyah dan pemerintahan-pemerintahan sesudahnyalah adanya pemisahan antara
pimpinan pemerintahan atau pimpinan negara dengan pimpinan agama. Padahal sebelumnya
kedua pimpinan ini berada pada satu kekuasaan.
Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka penulis
memandang penting untuk membahas persoalan pimpinan ini khususnya dalam hal
tata cara pemilihannya, dengan judul, Pemilihan Pimpinan Secara Langsung dalam
Perspektif Hukum Islam.
Pentingnya Mengangkat Pemimpin
Mengangkat seorang pemimpin adalah merupakan
kewajiban bagi ummat Islam sebab keberadaan seorang pemimpin akan dapat
mengarahkan, membentengi dan melindungi ummat dari hal-hal yang dilarang oleh Allah
SAW. Kepemimpinan dalam Islam lebih dikenal dengan istilah khilafah yang
berarti kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan
hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia.
Kata lain dari khalifah adalah imamah. Imamah dan Khilafah mempunyai makna yang
sama. Bentuk inilah yang dinyatakan oleh hukum Islam, agar dengan bentuk
tersebut daulah Islam bisa berdiri di atasnya. Bahkan banyak hadis sohih yang
menunjukkan bahwa dua kata ini memiliki konotasi yang sama.Dan tidak satu nash
hukum Islampun yang menunjukkan adanya konotasi yang berbeda. Baik di dalam
al-Kitab maupun as-Sunnah, sebab nash hukum Islam hanya ada dua ini. Begitu
pula tidak harus terikat dengan lafadz, baik khilafah maupun imamah. Namun yang
wajib, hanyalah terikat dari segi maknanya saja.
Adapun dalil kewajiban mengangkat seorang pemimpin
ini adalah para shabat telah bersepakat untuk mengangkat seorang pengganti
Rasulullah SAW sebagai seorang pemimpin setelah beliau wafat. Mereka juga
bersepakat untuk mengangkat seorang khalifah, sepeninggal Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Ijma sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan
khalifah nampak jelas dalam kejadian bahwa mereka menunda kewajiban mengebumikan
jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang khalifah,
pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah merupakan suatu
keharusan dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman
jenazah tersebut melakukan kesibukan lain sebelum jenazah tersebut dikebumikan.
Namun sebahagian sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah
SAW, yang salah satunya adalah Ali bin Abi Thalib, ternyata justru mendahlukan
upaya-upaya untuk mengangkat khalifah. Sedangkan sebahagian sahabat lain, yang
tidak ikut sibuk mengangkat khalifah ternyata ikut pula menunda kewajiban
mengebumikan jenazah Nabi Muhammad SAW, sampai dua malam, padahal mereka mampu
mengingkari hal itu kemudian mengebumikan jenazah Nabi secepatnya.
Fakta ini menunjukkan bahwa adanya kesepakatan
mereka secara diam-diam untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat khalifah
daripada menguburkan jenazah Nabi. Hal itu tidak akan terjadi, kecuali jika
status hukum mengangkat seorang khalifah lebih wajib daripada menguburkan
jenazah. Atas dasar hal ini maka sesungguhnya mengangkat seorang pemimpin
adalah merupakan sebuah kewajiban yang tak bisa dihindari oleh siapapun juga,
sebab ternyata persoalan kepemimpinan mempengaruhi terhadap semua sektor
kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk di dalamnya persoalan agama,
ekonomi, sosial budaya dan lain sebagainya.
Hal ini terasa sangat penting lagi, mengingat bahwa
tugas pemimpin itu salah satunya adalah mewujudkan pemerintahan yang amanah
sebagaimana dikonsepsikan oleh Failosof Al-Farabi, atau Madinatul Fadhilah,
atau Negara Utama dalam konsepsi Zainal Abidin Ahmad seorang Masyumi dari
Indonesia. Apabila hal ini dapat diwujudkan maka akan tercapailah kesejahteraan
masyarakat secara menyeluruh, baik lahir maupun bathin, baik di dunia maupun di
akhirat kelak.
Tata Cara Pemilihan Khulafaurrasyidin
Apabila kita berkaca pada masa lalu khususnya dalam
hal memilih pemimpin pada masa Khulafaurrasyidin, maka akan ditemukan
perbedaan-perbedaan dalam memilih Pemimpin ataupun Khalifah ataupun Amirul
Mukminin. Perbedaan ini terjadi sebagai salah satu akibat langsung dari tidak
adanya aturan yang jelas dalam memilih dan mengangkat pimpinan baik dalam
al-Quran maupun dalam al-Hadis Rasulullah SAW. Pada masa Rasulullah SAW, karena
yang menjadi pemimpin itu adalah beliau sendiri dengan pengangkatan sebagai
Rasul dari Allah SWT, maka tidak ada yang protes di antara kaum muslimin. Akan
tetapi karena Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menentukan siapa penggantinya
sebagai pimpinan ummat islam dan bagaimana tata cara pemilihannya. maka
terjadilah perbedaan di kalangan ummat islam.
Apabila kita berkaca pada masa Khulafaurrasyidin
sebagai sebuah masa yang paling ideal pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW dan
figur-figurnya adalah figur ideal karena mereka adalah merupakan sahabat Nabi
yang paling setia, paling banyak berkorban dan berbakti bagi kepentingan ummat,
dan individunya adalah orang-orang yang dijamin oleh Nabi masuk syurga, selama
masa khulafaurrasyidin ini terdapat bermacam-macam bentuk pemilihan yang
dilakukan, artinya pemilihan satu khulafaurrasyidin dengan khulafaurrasyidin
yang lainnya adalah berbeda-beda sebagai berikut :
1. Pengangkatan
Abu Bakar Shiddiq sebagai Khalifah I adalah melalui pemilihan secara musyawarah
yang dilakukan oleh ummat Islam di Tsaqifah Bani Saidah setelah wafatnya
Rasulullah SAW. Pemilihan secara musyawarah ini dilakukan dengan sangat alot
dan melalui perdebatan yang sengit antara golongan Anshor dengan golongan
Muhajirin yang diwakili oleh Abu Bakar Shiddiq dan Umar Bin Khaththab. Golongan
Muhajirin hanya diwakili oleh kedua tokoh tersebut sebab yang melakukan
prakarsa untuk memilih pemimpin pengganti Rasulullah SAW adalah kaum Anshor,
sedangkan kaum Muhajirin termasuk di dalamnya Ali Bin Abi Thalib (dari barisan
keluarga Nabi) sedang sibuk mengurusi jenazah Nabi. Akibatnya golongan
Muhajirin hanya diwakili oleh Abu Bakar Shiddiq dan Umar Bin Khaththab.
Musyawarah ini menghasilkan terpilihnya Abu Bakar Shiddiq sebagai Khalifah
pertama pengganti Rasulullah SAW. Pemilihan Khalifah pertama ini dilakukan
secara musyawarah melalui sebuah rapat yang alot dan sengit oleh para tokoh dan
masyarakat, sekalipun masih banyak orang lain yang tidak ikut melakukan
pemilihan di dalamnya.
2. Pengangkatan
Umar Bin Khaththab sebagai Khalifah Kedua berbeda dengan pengangkatan Abu Bakar
Shiddiq sebagai Khalifah Pertama. Kalau pengangkatan Abu Bakar Shiddiq melalui
musyawarah, sekalipun tidak diikuti oleh semua ummat islam, maka pengangkatan
Umar Bin Khaththab sebagai Khalifah Kedua adalah melalui penunjukan dari
Khalifah Pertama dalam hal ini penunjukan dari Abu Bakar Shiddiq. Penunjukan
dari Khalifah pertama ini disambut baik oleh semua kaum muslimin, karena memang
Khalifah pertama menunjuk penggantinya bukan hanya sekedar menunjuk atas dasar
like and dislike, tetapi beliau menunjuk orang yang tepat di tempat yang tepat
dan pada masa yang tepat (the right man and the right place). Selain itu
penunjukan ini ditengarai setelah terlebih dahulu melakukan konsultasi dan
diskusi dari para pembesar-pembesar sahabat, sehingga surat penunjukan dari Abu
Bakar Shiddiq itu tidak mendapat protes sedikitpun dari para sahabat dan Umar
diterima menjadi Khalifah kedua menggantikan Abu Bakar Shiddiq. Pengangkatan
Khalifah Kedua ini adalah melalui penunjukan dan surat sakti dari Sang Khalifah
sebelumnya.
3. Pengangkatan
Usman Bin Affan sebagai Khalifah ketiga berbeda dengan dua pendahulunya. Kalau
yang pertama dengan pemilihan secara musyawarah, yang kedua dengan penunjukan
dari khalifah sebelumnya, maka pengangkatan Usman Bin Affan sebagai Khalifah
ketiga adalah melalui Satu Tim yang ditunjuk oleh Umar Bin Khaththab yang
beranggotakan enam orang ditambah satu orang (yang ketujuh) anaknya Abdullah
Bin Umar dengan catatan anaknya tidak berhak untuk dipilih dan kalau terjadi
suara berimbang di antara anggota enam orang itu, maka keputusannya ditanyakan
kepada anaknya, tetapi kalau yang enam orang itu telah bersepakatn untuk
menentukan khalifah maka tidak perlu ditanyakan kepada anaknya. Oleh Tim ini
maka dipilihlah Usman Bin Affan sebagai Khalifah Ketiga. Dengan demikian maka
pemilihan Khalifah Ketiga ini melalui sebuah tim yang dalam istilah sekarang
ini dikenal dengan istilah Tim Formateur.
4. Pemilihan
Ali Bin Abi Thalib sebagai Khulafaurrasyidin yang keempat berbeda pula dengan
tiga pendahulunya, yaitu Ali Bin Abi Thalib dipilih dalam suasana ummat Islam
sedang dalam kekacauan dan penuh fitnah sebagai akibat dari terbunuhnya
Khalifah Usman Bin Affan. Pemilihannya dilakukan oleh ummat Islam Madinah,
namun mendapat protes dari Gubernur Damaskus yaitu Muawiyah Bin Abi Sufyan yang
kelak mendirikan Khalifah Bani umayyah. Protes Muawiyah tersebut bukan karena
tidak setuju dengan diri peribadi Ali Bin Abi Thalib sebagai khalifah, akan
tetapi Muawiyah meminta diusut terlebuh dahulu siapa pembunuh khalifah Usman
Bin Affan, barulah kemudian dipilih dan diangkat khalifah. Hal ini menjadi
pemicu konflik berkepanjangan antara pendukung Ali Bin Abi Thalib dengan
pendukung Muawiyah Bin Abi Sufyan.
Dari keempat model pemilihan pimpinan atau kepala
negara tersebut di atas, tidak ada satupun di antaranya yang berdasar langsung
dari Al-Quran dan Al-Hadis, namun demikian semuanya telah diakui dan diterima
oleh ummat Islam sebagai sebuah fakta dan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri
oleh siapapun juga. Dan satu hal yang pasti bahwa keempat model pemilihan
khalifah tersebut, tidak ada satupun di antaranya yang bertentangan dengan
Al-Quran dan Al-Hadis, apalagi hal ini dilakukan oleh orang-orang yang memang
betul-betul dekat dengan Nabi Muhammad SAW dan memahami subsatnsi ajaran-ajaran
Islam, sebab mereka adalah Assabiqunal Awwalun, Ashabi Rasulillah dan
murid-murid langsung dari Rasulullah SAW.
Adapun pemilihan pimpinan yang dilakukan sesudah
khulafaurrasyidin tersebut di atas adalah dilakukan melalui turun temurun sebab
sistem pemerintahan yang diterapkan adalah sistem kerajaan. Sistem kerajaan ini
pertama kali diterapkan oleh Muawiyyah yang mendirikan Bani Ummayah dengan
pusat ibukotanya di Damaskus, yang kemudian dilanjutkan oleh Bani Abbasiyah
dengan pusat ibukotanya di Bagdad. Sistem ini berjalan ratusan tahun secara
silih berganti sampai dengan berakhirnya kerajaan Islam yaitu dengan
berakhirnya Kerajaan Turki Usmani dengan terbentuknya Pemerintahan Republik
Turki.
Model-Model Pemilihan Pimpinan
Ada banyak bentuk, model dan tata cara pemilihan
pimpinan ataupun Kepala Negara yang berlangsung di dunia ini, yang kesemua itu
dapat dijadikan rujukan dan pedoman. Tata cara dan model tersebut antara lain
adalah :
1. Pemilihan
secara langsung.
Pemilihan pimpinan secara langsung berlangsung pada
negara-negara maju dan demokratis seperti di Amerika Serikat dan sekarang ini
juga berlaku di Indonesia dan di negara-negara lainnya. Pemilihan pimpinan di
negeri ini dilakukan secara langsung oleh masyarakat dengan satu orang satu
suara (one man one fote). Hanya saja pemilihan seperti ini masih terdapat
kelemahan-kelemahan yang salah satunya adalah disamakannya kualitas dan
kuantitas suara antara seorang yang memiliki ilmu banyak seperti seorang
profesor dengan seorang tukang becak. Padahal secara logika sehat kualitas dan
pengaruh antara seorang profesor dengan seorang tukang becak adalah berbeda dan
semua orang sepakat bahwa seorang profesor jauh lebih hebat daripada seorang
tukang becak. Oleh karena seorang profesor berbeda jauh dengan tukang becak
dalam segala hal, maka seharusnya suara seorang profesor tidak bisa sama dengan
suara seorang tukang becak. Hal inilah yang menjadi kelamahan pada sistem
pemilihan langsung dengan menggunakan one man one fote ini. Oleh karena itu
maka perlu dicarikan solusinya sehingga terjadi keadilan dalam hal suara antara
seorang profesor dengan seorang tukang becak. Hal yang sama berlaku bagi yang
lainnya dalam semua profesi yang ditekuni oleh masyarakat secara proforsional.
Apabila hal ini tidak dilakukan maka tetap saja model pemilihan seperti ini
tidak akan menghasilkan pemimpin yang ideal, yang dikehendaki oleh masyarakat,
termasuk di dalamnya masyarakat yang menekuni bidang keilmuan.
2. Pemilihan
Melalui Perwakilan.
Pemilihan melalui perwakilan adalah merupakan salah
satu bentuk dari pemilihan pimpinan. Pemilihan secara perwakilan ini seperti di
Indonesia sebelum masa reformasi dilakukan oleh Majelis Perwakilan Rakayat
(MPR) dan merekalah yang memilih Pimpinan baik Presiden maupun Wakil Pressiden.
Hanya saja pemilihan melalui perwakilan inipun menunai kritikan dari berbagai
pihak, sebab terkadang pimpinan yang dipilih oleh MPR itu tidak sesuai dengan
keinginan rakyat, padahal mereka sesungguhnya adalah wakil rakyat. Pilihan MPR
itu tidak sesuai dengan keinginan rakyat terkadang adalah disebabkan antara
lain adalah MPR itu tidak mau mendengarkan suara dan aspirasi rakyat yang
diwakilinya. Selain itu, MPR itu telah terkooptasi oleh kekuasaan tertentu,
sehingga para anggota MPR itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus
memilih figur tertentu yang sudah diatur sedemikian rupa. Oleha kerena itu pulalah
maka sistem seperti ini di Indonesia dirubah melalui program reformasi
menyeluruh terhadap kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi pemilihan
pimpinan secara langsung dengan sistem one man one fote, sekalipun harus diakui
bahwa sistem ini penuh dengan kelemahan sebagaimana kami sebutkan di atas.
3. Pemilihan
secara turun temurun.
Selain kita mengenal istilah pemilihan secara
langsung, pemilihan melalui perwakilan sebagaimana kami bahas tersebut di atas,
kita juga mengenal istilah pemilihan pimpinan secara turun temurun yang
diterapkan pada negara-negara yang menganut sistem keerajaan seperti Saudi
Arabia dan lain sebagainya. Pada negara-negara yang berbentuk kerajaan ini,
para raja sebagai Kepala Negara ditetapkan secara turun temurun dan bersifat
seumur hidup. Seorang kepala negara tidak bisa diganti selama kepala negara itu
masih hidup, sekalipun ia telah uzur dalam melaksanakan tugas. Kalaupun Sang
Raja mau mendelegasikan kekuasaannya maka itu didelegasikan secara sementara
kepada putra mahkota yang memang kelak akan menjadi penggantinya setelah Sang
Raja meninggal dunia. Dalam pemerintahan sistem kerajaan ini, pada umumnya
kepala negara mengangkat Perdana Menteri yang tugasnya adalah memimpin
pemerintahan sehari-hari, namun kekuasaan sebagai kepala negara tetap ada pada
Sang Raja. Untuk itulah maka Perdana Menteri mempunyai kewajiban untuk
melakukan konsultasi dengan pihak kerajaan mengenai kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang diambilnya, sehingga kebijaksanaannya tidak bertentangan dengan kebijaksanaan
Kepala Negara. Kelemahan dari sistem kerajaan ini adalah masyarakat lain yang
berkualitas dan berkemampuan untuk menjadi kepala negara, tidak mempunyai
kesempatan untuk menjadi kepala negara sebab sudah menjadi hak keluarga
kerajaan. Selain itu, kepala negara dan keluarganya tidak menutup kemungkinan
berbuat sewenang-wenang kepada rakyatnya tanpa bisa dilahakan oleh siapapun
juga.
Pandangan Hukum Islam
Berbicara tentang memilih pimpinan secara langsung,
maka satu hal yang adalah Hukum Islam baik secara terang-terangan maupun secara
terperinci tidak mengatur tentang tata cara pemilihan pimpinan, apakah
pemilihan pimpinan itu dilakukan secara langsung sebagaimana di negara-negara
demokratis, ataukah dilakukan melalui perwakilan sebagaimana yang pernah
berlangsung di Indonesia dan ataukah melalui warisan secara turun temurun
sebagaimana pada negara dengan sistem kerajaan. Islam hanya mengatur tentang
adanya larangan mengangkat pimpinan dari kalangan Nasrani dan Yahudi dan
mewajibkan pimpinan itu berasal dari ummat Islam. Sedangkan bagaimana tata cara
untuk memilih dan mengangkat pimpinan itu tidaklah diatur secara terperinci.
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu);
sebahagian mereka adalah menjadi pemimpin bagi sebahagian yang lain.
Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zhalim.
Pada ayat yang lain juga hanya menjelaskan tentang
adanya kewajiban untuk mengikuti perintah pimpinan sebagaimana wajibnya
mengikuti perintah Allah dan perintah RasulNya. Ayat tersebut adalah :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatlah
kepada Allah, kepada Rasul dan kepada pemimpin kamu.
Selain tidak adanya diatur secara terperinci tentang
tata cara pemilihan pimpinan baik dalam al-Quran maupun dalam al-Hadis
Rasulullah SAW, sejarah juga mencatat adanya beberapa bentuk model tentang tata
cara pemilihan khulafaurrasyidin (pimpinan ummat Islam) yang berbeda-beda
antara satu sama yang lain sebagaimana penulis jelaskan secara panjang lebar di
muka.
Pemilihan sebagaimana bentuk dan model yang
dilakukan pada pemilihan Khulafaurrasyidin ini adalah merupakan bentuk dan
model yang paling ideal dan paling mendekati dengan ketentuan hukum Islam sebab
orang-orang yang memilih, mengangkat dan membaiat mereka adalah orang-orang
yang paling dekat dengan Rasulullah SAW, orang-orang yang paling memahami isi
kandungan al-Quran sebab mereka mendapat penjelasan secara langsung dari Nabi,
sebahagian di antara mereka adalah orang-orang yang dijamin oleh Rasul masuk
syurga, orang-orang yang sangat tawadhu dan tidak ambisi kekuasaan, dan
lain-lain sebagainya. Sehingga tidak salah apabila disebutkan bahwa keempat
bentuk pemilihan itulah yang paling mendekati ketentuan hukum Islam.
Persoalannya sekarang adalah pemilihan pimpinan
secara langsung sebagaimana yang dimaksud dalam pembahasan dalam makalah ini
tidak ada yang sama dengan apa yang diterapkan pada masa khulafaurrasyidin.
Pemilihan pimpinan secara langsung ini hanyalah mendekati dengan pemilihan Abu
Bakar Shiddiq sebagai khulafaurrasyidin pertama, sebab pemilihannya dilakukan
secara langsung, hanya saja dalam pemilihan langsung sekarang ini tidak ada
unsur musyawarahnya sebagaimana diperintahkan dalam firman Allah :
Artinya : Dan urusan mereka diputuskan secara
musyawarah di antara mereka.
Dalam pemilihan langsung berlaku siapa yang paling
banyak perolehan suaranya, maka secara otomatis dia ditetapkan menjadi
pimpinan, sekalipun secara individu dia memiliki kelemahan dibanding dengan
calon lainnya. Berbeda apabila melalui musyawarah, maka akan dipertimbangkan
kelebihan dan kelemahan di antara para calon pemimpin dan yang paling
berkualitaslah yang akan ditunjuk menjadi pimpinan.
Namun mengingat bahwa sistem dan tata cara pemilihan
itu tidak diatur secara pasti dan rinci dalam hukum Islam, maka pemilihan
secara langsungpun dapat dibenarkan dalam Islam sebab tidak ada larangan dalam
ajaran Islam untuk melakukan pemilihan secara langsung, dengan catatan bahwa
masyarakat ataupun rakyatnya melalui musyawarah sepakat untuk melakukan
pemilihan langsung. Kesepakatan untuk melakukan pemilihan langsung itu secara
musyawarah telah memenuhi ketentuan hukum Islam sesuai dengan Al-Quran Surat
Asy-Syura ayat 38 tersebut di atas. Hal ini didukung oleh hadis Nabi yang
menyebutkan :
Artinya : Kamu lebih mengetahui tentang urusan dunia
kamu.
Hanya saja menurut penulis pemilihan pimpinan secara
langsung yang berlangsung pada saat ini perlu mendapat sentuhan-sentuhan khusus
secara proforsional dengan memperhatikan kualitas keilmuan seseorang, sebab
dalam kenyataan yang berlangsung pada sistem ini adalah satu orang satu suara
(one man one fote), padahal kualitas mereka berbeda. Oleh karena kualitas
mereka (masyarakat) berbeda antara satu sama yang lain, maka nilai suaranyapun
haruslah berbeda, dan tidak dapat disamakan.
Sebagai contoh dalam masalah ini adalah disamakannya
suara antara seorang profesor yang menghabiskan hidupnya dengan dunia ilmu
pengetahuan, penelitian dan pengembangan masyarakat, disamakan kuantitas dan
kualitas suaranya dengan seorang peminta-minta di jalan yang malas bekerja dan
relatif tidak punya perhatian sedikitpun dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
Penyamaan kuantitas dan kualitas suara ini dirasakan tidak adil dan tidak seimbang,
padahal keadilan dan keseimbangan adalah dua hal yang juga menjadi
prinsip-prinsip umum dalam melakukan muamalah dalam hukum Islam.
Dengan demikian seharusnya kuantitas dan kualitas
suara antara seorang profesor dengan peminta-minta di pinggir jalan tadi harus
dibedakan. Sebagai contoh dalam hal ini, suara seorang profesor setidaknya
berbanding lima dengan seorang peminta-minta. Sehingga dengan demikian suara
seorang profesor sama dengan suara lima orang peminta-minta, dan seperti inilah
diqiaskan dengan profesi-profesi lainnya.
Salah satu persoalan yang sangat rawan dalam masalah
ini adalah adanya money politic yang dilakukan oleh figur-fugur yang
mencalonkan dirinya sebagai pimpinan, akibatnya pemilihan secara langsung tidak
menghasilkan figur seorang pimpinan yang ideal. Hal ini sangat mungkin terjadi
khususnya di daearh-daerah yang kondisi ekonominya sangat lemah, kemiskinan
menyeleimuti warganya, masyarakatnya sangat membutuhkan makanan, akibatnya
asalkan si calon pemimpin mau memberikan uang, mereka akan ramai-ramai
memilihnya, sekalipun dalam pertimbangan objektif yang bersangkutan tidak layak
ataupun masih ada yang lebih layak lagi untuk memimpin.
Hal seperti ini sangat berbahaya bagi suatu
masyarakat sebab apabila seseorang mengeluarkan uang untuk menjadi pimpinan
suatu negara atau daerah, maka setelah seseorang itu menjadi pimpinan, maka
tidak mustahil hal pertama yang dilakukannya adalah bagaimana mengembalikan
modal yang telah dikeluarkannya itu secepat mungkin, walau dengan cara apapun,
termasuk dengan cara yang tidak halal. Dia hampir tidak sempat untuk berpikir,
bagaimana mensejahterakan rakyatnya. Hal ini sangat logis dan masuk akal, serta
sudah banyak kejadian yang terjadi dalam masyarakat. Akibatnya waktu yang
seharusnya dia pergunakan untuk memikirkan masa depan rakyatnya, dia hanya
sibuk untuk mencari dan mengembalikan dana yang telah dikeluarkannya.
Namun demikian sistem pemilihan langsung ini adalah
merupakan sistem yang paling ideal untuk diterapkan saat ini sebab dalam
pemilihan langsung ini transparansi, kejujuran dan keadilan akan terlihat
secara nyata. Selain itu pimpinan yang akan terpilih adalah benar-benar
merupakan pilihan rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Apabila
pimpinan ini baik, maka pimpinan ini otomatis akan dipilih lagi oleh rakyatnya
pada priode berikutnya dan sebaliknya apabila pemimpin itu tidak baik, maka
tidak akan dipilih oleh rakyat lagi pada priode berikutnya. Dalam hal ini maka
kualitas dan ketokohan individu seseorang dipertaruhkan di hadapan rakyat
pemilihnya. Dan untuk itu maka diperlukan kesiapan mental dan spritual dalam
menghadapinya.
Kesimpulan
1. Hukum
Islam tidak mengatur secara jelas dan terperinci tentang tata cara pemilihan
pimpinan, apakah dilakukan secara langsung, melalui penunjukan, melalui
musyawarah, ataukah dengan sitem turun temurun.
2. Pemilihan
seorang pemimpin dalam sejarah perdaban ummat Islam berbagai bentuk ada yang
melalui musyawarah, ada yang melalui surat wasiat, ada yang melalui tim
formateur ada yang melalui pemilihan dan ada yang bersifat turun temurun.
3. Pemilihan
pemimpin secara langsung adalah sesuatu yang tidak dilarang dalam ajaran agama
Islam atau dalam kata lain sesuatu yang dibolehkan. Pemilihan model ini untuk
saat ini dirasakan bentuk pemilihan paling ideal untuk seorang pemimpin sebab
dilakukan secara transparan, jujur, adil dan langsung, tanpa mendapat
intimidasi dari orang lain.
4. Dalam
pemilihan langsung ini hedaknya kualitas dan pengaruh seseorang harus
diperhitungan dalam besaran suaranya, jangan sampai antara seorang profesor
sama kuantitas dan kualitas suaranya dengan seorang peminta-minta dipinggir
jalan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...