Abdurrahman Misno BP
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan sangat menstimulus umatnya untuk membaca. Firman Allah Ta’ala dalam QS. Al-‘Alaq ayat 1-5 menjadi landasan kuat bahwa membaca merupakan jalan menuju ilmu pengetahuan. Ayat ini juga secara teknis memberikan panduan bagaimana proses membaca haruslah diawali dengan dengan nama Rabb (Tuhan) yang telah menciptakan manusia dan seluruh alam semesta. Ini bermakna bahwa membaca itu haruslah diawali dengan keyakinan mendalam bahwasanya Sang Pencipta seluruh alam semesta ini adalah Dzat yang Tunggal (Esa) yaitu Allah Ta’ala, yang tidak ada sekutu baginya.
Dalam konteks aqidah maka hal
ini adalah merupakan keyakinan atau tauhid Rububiyah, yaitu meyakini bahwasanya
Allah Ta’ala adalah satu-satunya Pencipta alam semesta, tidak ada yang dapat
menciptakan alam semesta kecuali hanya Dia. Allah adalah Sang Pencipta tunggal,
pemilik tunggal, pemelihara tunggal dan Pengatur seluruh alama semesta. Dia
memelihara semesta; memberikan rizki kepada seluruh makhluknya, termaasuk
manusia, menetapkan takdirNya dan berkuasa atas segalanya. Maka buah pertama
dari membaca adalah keyakinan bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya Rabb
(Pencipta), tidak ada selainnya. Demikian pula alam semesta ini bukan tercipta
dengan sendirinya, seperti yang diungkapkan oleh orang-orang yang tidak percaya
keberadaan Tuhan dari kalangan ateis.
Selanjutnya adalah perintah
kembali untuk membaca yang diiringi dengan perintah untuk memuliakanNya. Makna
memuliakannya adalah beribadah hanya kepadaNya, sehingga ayat ini terkait
dengan tauhid uluhiyah atau ubudiyah, yaitu keyakinan bahwasanya hanya Allah
Ta’ala satu-satunya Dzat yang berhak untuk diibadahi, tidak ada dzat lain yang
benar untuk disembah, ditaati, dicintai dan tempat untuk bersandar. Hanya Allah
Ta’ala satu-satunya Ilaah (sesembahan) yang berhak untuk disembah,
sehingga jika ada orang yang beribadah kepada selainNya maka sejatinya ia telah
terjatuh kepada kesalahan yang paling besar karena telah menyekutukannya.
Lanjutan dari ayat berikutnya
adalah bagaimana Allah Ta’ala mengajarkan kepada umat manusia umumnya dengan
perantaraan Qalam (pena). Dia telah mengajarkan semua hal kepada manusia seagala
hal terkait dengan sendi-sendi kehidupan mereka di dunia dan juga di akhirat
sana. Manusia lahir dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, kemudian Allah
Ta’ala mengajarkan berbagai hal tentang kehidupan. Allah Ta’ala menganugerahkan
hati, akal pikiran dan jasad sebagai seperangkat alat untuk mempelajari
pengetahuan yang akan menyampaikannya kepada bukti akan keberadaan dan
keesaanNya.
Jasad yang terdiri dari panca
indra khususnya mata adalah alat untuk dapat mentadaburi kalamNya serta
mentafakuri alamNya. Inilah makna dari membaca, yaitu tadabur kalamNya yang
berupa Al-Qur’an dan Al-Hadits serta tafakur alamNya di semesta raya. Proses
membaca ini akan melahirkan ilmu pengetahuan yang nantinya akan menguatkan
keberadaanNya.
Membaca dalam konteks yang
lebih sempit adalah memaknai setiap kata dan kalimat yang tersusun, baik berupa
kalimat pendek, artikel, makalah, buku serta kitab suci. Sebagai umat Islam
tentu saja perintah membaca haruslah diawali dengan membaca Al-Qur’an yang
merupakan kalam (firman) Allah yang mulia. Stimulus membaca Al-Qur’an tercermin
dalam sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam bahwa setiap huruf
yang dibaca akan mendapatkan pahala 10 kali, sehingga satu kata dalam ayat Alif
Laam Miim itu akan mendapatkan 30 pahala. Demikian pula perintah membaca
Al-Qur’an akan memberikan manfaat bagi para pembacanya di mana Al-Qur’an akan
mendatanginya pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat (penolong)nya.
Analogi dari hal ini adalah
bahwa proses membaca lainnya semisal hadits, ilmu dan pengetahuan lainnya juga
akan memberikan manfaat yang besar bagi pembacanya.
Selanjutnya setelah Al-Qur’an
adalah hadits Nabawi, yaitu seluruh ucapan, tindakan, dan taqrir Nabi Muhamamd Shalallahu
Alaihi Wassalam yang terbukukan dalam hadits-hadits beliau adalah bahan
bacaan yang harus dibaca dan ditelaah oleh umat Islam. Studi mengenai hadits
yang begitu intens tentu saja dilakukan dengan membaca setiap sanad, rawi,
tabaqat hingga matan dari hadits tersebut. Proses bacaan para ulama ini
melahirkan berbagai maha karya yang menjadi bahan bacaan bagi umat Islam
lainnya. Sehingga hadits Nabi Nabi Muhamamd Shalallahu Alaihi Wassalam
adalah bacaan selanjutnya setelah Al-Qur’an.
Al-Qur’an dan hadits yang
menjadi bacaan utama umat Islam kemudian dijelaskan oleh para ulama dalam
buku-buku mereka, sehingga umat Islam harus membacanya. Inilah kemudian yang
melahirkan ilmu pengetahuan, membaca buku-buku para ulama yang berisi berbagai
macam ilmu pengetahuan menjadi warisan bagia umat Islam untuk dibaca. Sehingga
jika ada umat yang masih enggan membaca atau tidak tahu apa yang akan dibaca
maka sejatinya para ulama terdahulu telah mewariskan jutaan buku yang menjadi
obyek bacaan umat Islam.
Merujuk pada fakta ini maka
dapat disimpulkan bahwa membaca bagi umat Islam adalah sebuah keniscyaan,
bahkan ia menjadi amal sholeh yang mendatangkan pahala yang besar. Membaca juga
menjadi sarana dalam mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya pengetahuan
terkait dengan masalah keyakinan atau aqidah yang akan membuktikan keberadaan Allah
Ta’ala, keesaanNya serta mengetahui nama-nama dan sifat-sifatNya yang mulai.
Selanjutnya membaca dalam konteks yang lebih luas untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, sehingga manusia akan mendapatkan kesejahteraan di dunia dan juga
di akhirat sana.
Membaca dalam bingkai Agama
bermakna membaca yang akan menguatkan keyakinan aqidahnya, menambah keshahihan
dalam ibadahnya, serta kemanfaatan dalam muamalahnya. Oleh karena itu... Ayo
membaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...