Etnografi:
Sebuah Metode Penelitian Kualitatif
(Tinjauan
Ringkas Etnografi Sebagai Metode Penelitian Kualitatif dari Berbagai Referensi)
Perkembangan
media dalam konteks sosial dan praktik budaya yang kian beragam semakin
mengukuhkan eksistensi paradigma kualitatif. Kemampuannya menghasilkan produk
analisis yang mendalam selaras dengan settingnya, diakui sebagai paradigma yang
patut diperhitungkan dalam rangka menghadirkan refleksi bagi kajian ilmu
komunikasi. Beberapa metode penelitian berbasis paradigma kualitatif ini–
analisis wacana, studi kasus, semiotik dan etnografi – kini mulai dilirik para
ilmuwan maupun peneliti.
Etnografi
– yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini – merupakan salah satu
metode penelitian kualitatif. Dalam kajian komunikasi, Etnografi digunakan
untuk meneliti perilaku-perilaku manusia berkaitan dengan perkembangan
teknologi komunikasi dalam setting sosial dan budaya tertentu, misalnya
penelitian mengenai perilaku penggunaan mobile phone oleh remaja di Norwegia
(Rich, Ling, ___). Metode penelitian etnografi dianggap mampu menggali
informasi secara mendalam dengan sumber-sumber yang luas. Dengan teknik
“observatory participant”, etnografi menjadi sebuah metode penelitian yang unik
karena mengharuskan partisipasi peneliti secara langsung dalam sebuah
masyarakat atau komunitas sosial tertentu. Yang lebih menarik, sejatinya metode
ini merupakan akar dari lahirnya ilmu antropologi yang kental dengan kajian
masyaraktnya itu.
Tidak
seberuntung analisis wacana, studi kasus dan semiotik, selama ini belum banyak
buku-buku khusus yang membahas metode penelitian etnografi dalam komunikasi,
khususnya di Indonesia. Pun metode ini juga belum terlalu banyak diadaptasi
oleh para peneliti dalam kajian komunikasi – walaupun diakui sumbangsihnya dalam
menyediakan refleksi mengenai masyarakat dan perkembangan teknologi komunikasi
terhitung tidak sedikit. Beberapa keunikan dan fenomena yang mengikuti
eksistensi metode penelitian etnografi dalam komunikasi ini membuat penulis
meliriknya sebagai salah satu metode yang laik dikenalkan, dikembangkan dan
dirujuk dalam penelitian komunikasi. Untuk itu, dengan mengacu pada beberapa
referensi buku, penulis akan memetakan secara ringkas metode penelitian
etnografi.
“Metode
Etnografi” – James Spradley
Secara
harafiah, etnografi berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang
ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan (field work)
selama sekian bulan atau sekian tahun. Etnografi, baik sebagai laporan
penelitian maupun sebagai metode penelitian, dianggap sebagai asal-ususl ilmu
antropologi. Margareth Mead menegaskan, “Anthropology as a science is entirely
dependent upon field work records made by individuals within living societies.
Dalam buku “Metode Etnografi” ini, James Spardley mengungkap perjalanan
etnografi dari mula-mula sampai pada bentuk etnografi baru. Kemudian dia
sendiri juga memberikan langkah-langkah praktis untuk mengadakan penelitian
etnografi yang disebutnya sebagai etnografi baru ini.
Etnografi
mula-mula (akhir abad ke-19). Etnografi mula-mula dilakukan untuk membangun
tingkat-tingkat perkembangan evolusi budaya manusia dari masa manusia mulai
muncul di permukaan bumi sampai ke masa terkini. Tak ubahnya analisis wacana,
mereka – ilmuwan antropologi pada waktu itu – melakukan kajian etnografi
melalui tulisan-tulisan dan referensi dari perpustakaan yang telah ada tanpa
terjun ke lapangan. Namun, pada akhir abad ke-19, legalitas penelitian semacam
ini mulai dipertanyakan karena tidak ada fakta yang mendukung interpretasi para
peneliti. Akhirnya, muncul pemikiran baru bahwa seorang antropolog harus
melihat sendiri alias berada dalam kelompok masyarakat yang menjadi obyek
kajiannya.
Etnografi
Modern (1915-1925). Dipelopori oleh antropolog sosial Inggris, Radclifffe-Brown
dan B. Malinowski, etnografi modern dibedakan dengan etnografi mula-mula
berdasarkan ciri penting, yakni mereka tidak terlalu mamandang hal-ikhwal yang
berhubungan dengan sejarah kebudayaan suatu kelompok masyarakat (Spradley,
1997). Perhatian utama mereka adalah pada kehidupan masa kini, yaitu tentang
the way of life masayarakat tersebut. Menurut pandangan dua antropolog ini
tujuan etnografi adalah untuk mendeskripsikan dan membangun struktur sosial dan
budaya suatu masyarakat. Untuk itu peneliti tidak cukup hanya melakukan
wawancara, namun hendaknya berada bersama informan sambil melakukan observasi.
Ethnografi
Baru Generasi Pertama (1960-an). Berakar dari ranah antropologi kognitif,
“etnografi baru” memusatkan usahanya untuk menemukan bagaimana masyarakat mengorganisasikan
budaya mereka dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya tersebut
dalam kehidupan. Analisis dalam penelitian ini tidak didasarkan semata-mata
pada interpretasi peneliti tetapi merupakan susunan pikiran dari anggota
masyarakat yang dikorek keluar oleh peneliti. Karena tujuannya adalah untuk
menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran dari suatu masyarakat, maka
pemahaman peneliti akan studi bahasa menjadi sangat penting dalam metode
penelitian ini. “Pengumpulan riwayat hidup atau suatu strategi campuran, bahasa
akan muncul dalam setiap fase dalam proses penelitian ini.
Ethnografi
Baru Generasi Kedua. Inilah metode penelitian hasil sintesis pemikiran Spardley
yang dipaparkan dalam buku “Metode Etnografi” ini. Secara lebih spesifik,
Spardley mendefinisikan budaya – sebagai yang diamati dalam etnografi – sebagai
proses belajar yang mereka gunakan untuk megintepretasikan dunia sekeliling
mereka dan menyusun strategi perilaku untuk menghadapinya. Dalam pandangannya
ini, Spardley tidak lagi menganggap etnografi sebagai metode untuk meneliti
“Other culture”, masyarakat kecil yang terisolasi, namun juga masyarakat kita
sendiri, masyarakat multicultural di seluruh dunia. Pemikiran ini kemudian dia
rangkum dalam “Alur Penelitian Maju Bertahap” yang terdiri atas lima ,prinsip,
yakni: Peneliti dianjurkan hanya menggunakan satu teknik pengumpulan data;
mengenali langkah-langkah pokok dalam teknik tersebut., misalnya 12 langkah
pokok dalam wawancara etnografi dari Spardley.; setiap langkah pokok
dijalankakn secra berurutan; praktik dan latihan harus selalu dilakukan;
memberikan problem solving sebagia tanggung jawab sosialnya, bukan lagi ilmu
untuk ilmu.
Inti
dari “Etnografi Baru” Spardley ini adalah upaya memperhatikan makna tindakan
dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami melalui kebudayaan
mereka. Dalam melakukan kerja lapangan, etnografer membuat kesimpulan budaya
manusia dari tiga sumber: (1) dari hal yang dikatakan orang, (2) dari cara
orang bertidak, (3) dari berbagai artefak yang digunakan. Namun, dalam buku
ini, Spradley memfokuskan secara khusus pembuatan keksimpulan dari apa yang
dikatakan orang. Wawancara etnografik dianggap lebih mampu menjelajah susunan
pemikiran masyarakat yang sedang diamati.
Sebagai
metode penelitian kualitatif, etnografi dilakukan untuk tujuan-tujuan tertentu.
Spradley mengungkapkan beberapa tujuan penelitian etnografi, sbb: pertama,
untuk memahami rumpun manusia. Dalam hal ini, etnografi berperan dalam
menginformasikan teori-teori ikatan budaya; menawarkan suatu strategi yang baik
sekali untuk menemukan teori grounded. Sebagaii contoh, etnografi mengenai
anak-anak dari lingkungan kebudayaan minoritas di Amerika Serikat yang berhasil
di sekolah dapat mengembangkan teori grounded mengenai penyelenggaraan sekolah;
etnografi juga berperan untuk membantu memahami masyarakat yang kompleks.
Kedua, etnografi ditujukan guna melayani manusia. Tujuan ini berkaitan dengan
prinsip ke lima yang dikemukakan Spradley di atas, yakni meyuguhkan problem
solving bagi permasalahan di masyarakat, bukan hanya sekadar ilmu untuk ilmu.
Ada
beberapa konsep yang menjadi fondasi bagi metode penelitian etnografi ini.
Pertama, Spradley mengungkapkan pentingnya membahas konsep bahasa, baik dalam
melakukan proses penelitian maupun saat menuliskan hasilnya – dalam bentuk
verbal. Sesungguhnya adalah penting bagi peneliti untuk mempelajari bahasa
setempat, namun, Spredley telah menawarkan sebuah cara, yakni dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan etnografis. Konsep kedua adalah informan. Etnografer
bekerja sama dengan informan untuk menghasilkan sebuah deskripsi kebudayaan.
Informan merupakan sumber informasi; secara harafiah, mereka menjadi guru bagi
etnografer (Spradley, 1997: 35).
Sisa
dari buku yang ditulis Spradley ini mengungkap tentang langkah-langkah
melakukan wawancara etnografis – sebagai penyari kesimpulan penelitian dengan
metode etnografi. Langkah pertama adalah menetapkan seorang informan. Ada lima
syarat yang disarankan Spradley untuk memilih informan yang baik, yaitu: (1) enkulturasi
penuh, (2) keterlibatan langsung, (3) suasana budaya yang tidak dikenal, (4)
waktu yang cukup, (5) non-analitis. Langkah kedua adalah melakukan wawancara
etnografis. Wawancara etnografis merupakan jenis peristiwa percakapan (speech
event) yang khusus (ibid, hal. 71). Tiga unsur yang penting dalam wawancara
etnografis adalah tujuan yang eksplisit, penjelasan dan pertanyaannya yang
bersifat etnografis. Langkah selanjutnya adalah membuat catatan etnografis.
Sebuah catatan etnografis meliputi catatan lapangan, alat perekam gambar,
artefak dan benda lain yang mendokumentasikan suasana budaya yang dipelajari.
Langkah ke empat adalah mengajukan pertayaan deskriptif. Pertanyaan deskriptif
mengambil “keuntungan dari kekuatan bahasa untuk menafsirkan setting” (frake
1964a: 143 dalam Spradley, 1991: 108). Etnografer perlu untuk mengetahui paling
tidak satu setting yang di dalamnya informan melakukan aktivitas rutinnya.
Langkah ke lima adalah melakukan analisis wawancara etnografis. Analisis ini
merupakan penyelidikan berbagai bagian sebagaimana yang dikonseptualisasikan
oleh informan. Langkah ke enam, yakni membuat analisis domain. Analisis ini
dilakukan untuk mencari domain awal yang memfokuskan pada domain-domain yang
merupakan nama-nama benda. Langkah ketujuh ditempuh dengan mengajukan
pertanyaan struktural yang merupakan tahap lanjut setelah mengidentifikasi
domain. Langkah selanjutnya adalah membuat analisis taksonomik. Langkah ke
sembilan yakni mengajukan pertanyaan kontras dimana makna sebuah simbol diyakini
daoat ditemukan dengan menemukan bagaimana sebuah simbol berbeda dari
simbol-simbol yang lain. Langkah ke sepuluh membuat analisis komponen. Analisis
komponen merupakan suatu pencarian sistematik berbagai atribut (komponen makna)
yang berhubungan dengan simbol-simbol budaya. Langkah ke sebelas menemukan
tema-tema budaya. Langkah terakhirnya yakni menulis sebuah etnografi.
Pemikiran
Spradley ini memberi pemetaan historis yang jelas mengenai metode penelitian
etnografi selain mamberi gambaran mengenai langkah-langkahnya. Dengan cerdas,
Spradley memaparkan bahwa etnografi baru bukan hanya dapat diadaptasi sebagai
metode penelitian dalam antropologi melainkan dapat digunakan secara luas pada
ranah ilmu yang lain. Penulis meletakkan pemikiran Spradley ini di bagian awal
dengan maksud agar kita memperoleh pemahaman awal mengenai metode etnografi
yang masih murni, umum, yang berasal dari akarnya, yakni ilmu antropologi.
Berikut, penulis akan menyajikan pemikiran-pemikiran lain mengenai metode
penelitian etnografi dalam ranah kajian ilmu yang lebih spesifik, ilmu
komunikasi.
“Metodologi
Penelitian Kualitatif” – Deddy Mulyana
Istilah
Etnografi berasal dari kata ethno (bangsa) dan graphy (menguraikan). Etnografi
yang akarnya adalah ilmu antropologi pada dasarnya adalah kegiatan penelitian
untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena
teramati kehidupan sehari-hari. Menurut pemikiran yang dirangkum oleh Deddy
Mulyana ini, etnografi bertujuan menguraikan suatau budaya secara menyeluruh,
yakni semua aspek budaya baik yang bersifat material, seperti artefak budaya
dan yang bersifat abstrak, seperti pengalaman, kepervcayaan norma, dan system
nilai kelompok yang diteliti. Sedang Frey et al., (1992: 7 dalam Mulyana, 2001:
161) mengatakan bahwa etnografi berguna untuk meneliti perilaku manusia dalam
lingkungan spesifik alamiah. Uraian tebal (thick description ) berdasarkan
pengamatan yang terlibat (Observatory participant) merupakan ciri utama
etnografi (ibid: 161-162).
Pengamatan
yang terlibat menekankan logika penemuan (logic of discovery), suatu proses
yang bertujuan menyarankan konsep-konsep atau membangun teori berdasarkan
realitas nyata manusia. Metode ini mematahkan keagungan metode eksprimen dan
survei dengan asumsi bahwa mengamati manusia tidak dapat dalam sebuah
laboratorium karena akan membiaskan perilaku mereka. Pengamatan hendaknya
dilakukan secara langsung dalam habitat hidup mereka yang alami.
Denzin
menkategorikan jenis pengamat, sbb: participant as observer, complete
participant, observer as participant serta complete observer (I bid: 176).
Etnografer harus pandai memainkan peranan dalam berbagai situasi karena
hubungan baik antara peneliti dengan informaan merupakan kunci penting
keberhasilan penelitian. Untuk mewujudkan hubungan baik ini diperlukan
ketrampilan, kepekaan dan seni. Selain ketrampilan menulis, beberapa taktik
yang disarankan adalah taktik “mencuri-dengar” (eavesdropping) dan taktik
“pelacak” (tracer), yakni mengikuti seseorang dalam melakukan serangkaian
kegiatan normalnya selama periode waktu tertentu.
Hampir
sama dengan pemikiran sebelumnya, tulisan Deddy Mulyana ini mengukuhkan
wawancara secara mendalam dan tak terstruktur sebagai teknik pengumpulan data
dalam penelitian etnografi ini. Kedua jenis wawancara ini adalah metode yang
selaras dengan perspektif interaksionisme simbolik, karena memungkinkan pihak
yang diteliti untuk mendefinisikan dirinya sendiri dan lingkungannya, tidak
sekadar manjawab pertanyaan peneliti. Pada tahap ini, wawancara hendaknya
dilakukan secara santai dan informal dengan tetap berpengang pada pedoman
wawancara yang telah dibuat peneliti.
Walaupun
pemaparannya tidak jauh berbeda dengan Spradley di atas, namun Deddy Mulyana
lebih menekankan pendekatan interaksionisme simbolik untuk membaca sebuah
fenomena menggunakan metode etnografi ini. Menurut perspektif interaksionisme
simbolik, transformasi identitas menyangkut perubahan psikologis. Pelakunya
menjadi individu yang berbeda dari sebelumnya (Ibid: 230). Hal ini menjadi
perhatian dalam penggunaan metode penelitian etnografi. Peneliti disarankan
untuk mampu merunut riwayat sejarah informan sebelum melakukan penelitian, atau
yang sering dikenal dengan analisis dokumen.
“A
Hand Book of Methodologies For Mass Communication research” – Jensen and Jankowski
Dalam
bukunya “A Hand Book of Methodologies For Mass Communication Research”, Jensen
dan Jankowski menempatkan etnografi sebagai sebuah pendekatan. Etnografi tidak
dilihat sebagai alat untuk mengumpulkan data, tetapi sebuah cara untuk
mendekati data dalam meneliti fenomena komunikasi. Menurut Hammersley dan
Atkinson (1983: 2 dalam Jansen and jankowski, 1991: 153), etnografi dapat
dipahami sebagai
Simply
one social research method, albeit an unusual one, drawing on a wide range of
sources information. The erhnographer participates in people’s lives for an
extended period of time, watching what happens, listeninf to what is said,
asking questions, collecting whatever data are available to throw light on
issues with which he or she concerned.
Etnografi
secara alami dipandang sebagai penyelidikan mengenai aktivitas hidup manusia.
Oleh Greetz disebut sebagai “informal logic of actual life”. Berbasis pandangan
ini, seharusnya etnografi mampu menghasilkan deskripsi secara detail dari
pengalaman kongkrit dengan latar budaya dan aturan sosial tertentu, pola-pola
yang ada di dalamnya bukan berpatokan pada hukum yang universal (ibid: 8).
Namun kenyataannya, etnografi menjadi istilah yang totemic. Misalnya, dalam
kajian mengenai audiens akhir-akhir ini, tiba-tiba semua orang menjadi seorang
etnografer.
Hal
ini menggugah Lull untuk meneriakkan kembali tanggung jawab sebagai seorang
peneliti etnografi, yakni; pengamatan dan pencatatan secara langsung tingkah
laku yang rutin dari seluruh karakteristik individu yang dipelajari; pengamatan
harus dilakukan secara langsung dalam setting masyarakat yang diteliti –
sebagai laboratorium alaminya; Kesimpulan digambarkan secara hati-hati, tidak
gegabah, perlu juga memberikan perlakuan spesial terhadap hasil pengamatan
dalam konteks yang berbeda-beda.
Strategi
penelitian kualitatif, seperti Etnografi ini dirancang untuk memasuki
ceruk-ceruk wilayah kehidupan alami serta aktivitas tertentu yang menjadi
karakter masyarakat yang akan diteliti. Kekuatan utama etnografi adalah
contextual understanding yang timbul dari hubungan antaraspek yang berbeda dari
fenomena yang diamati. Namun, yang masih dianggap sebagai kelemahannya ialah
interpretasi peneliti dalam menggambarkan hasil pengamatan. Karena peneliti
barada bersama dengan para informan, maka peneliti dituntut untuk reflektif dan
mampu menjauhkan diri dari kekerdilan interpretasi, ketidaklengkapan observasi
dan dan gap- gap yang ada dalam struktur yang diamati.
Sedang
penelitian etnografi mulai dikembangkan, debat mengenai etnografi postmodern
terpusat di USA pun masih berlangsung. Perdebatan itu bermuara pada hubungan
antara siapa yang megnamati serta siapa yang diamati, dan kewenangan dasar
seorang etnografer untuk membuktikan sebuah pengalaman kultural orang lain.
Sesungguhnya ini adalah perdebatan klasik dalam kajian etnografi selama
bertahun-tahun, namun memang segala pendekatan yang berpangkal pada paradigma
subyektivis harus menemukan jalannya sendiri. Menanggapi perdebatan tersebut,
Greetz dengan bijak mengatakan bahwa being there as the founding authority of
the ethnographic account.. Walaupun mendapat cercaan dari penganut positivis,
etnografi toh telah membantu kita dalam memahami praktik-praktik menonton
televisi dan pengkonsumsian media lainnya yang tidak dapat dihindari selalu
terjadi dalam konteks kehidupan tsehari-hari.
SEBUAH
TINJAUAN
Etnografi,
yang akarnya adalah ilmu antropologi pada dasarnya adalah kegiatan penelitian
untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena
teramati kehidupan sehari-hari. Seperti layaknya penelitian kualitatif lainnya,
etnografi saat ini sudah mampu mengambil hati para ilmuwan komunikasi terutama
berkaitan dengan penelitian yang mengungkap praktik-praktik pengkonsumsian
media, perilaku dalam perkembangan teknologi komunikasi, dll. Metode penelitian
etnografi menyuguhkan refleksi yang mendalam bagi kajian-kajian semacam itu.
Metode
etnografi memiliki ciri unik yang membedakannya dengan metode penelitian
kualitatif lainnya, yakni: observatory participant—sebagai teknik pengumpulan
data, jangka waktu penelitian yang relatif lama, berada dalam setting tertentu,
wawancara yang mendalam dan tak terstruktur serta mengikutsertakan interpretasi
penelitinya. Yang terakhir ini sepertinya masih menjadi perdebatan dengan
penganut positivis. Untuk kasus-kasus tertentu, kemampuan interpretasi peneliti
diragukan – tanpa mereka sadari, sejatinya interpretasi ilmuwan-ilmuwan
etnografi berperan besar dalam menyajikan kesadaran-kesadaran kritis atas
perilaku bermedia masyarakat.
Ketidakberuntungan
merode etnografi dibanding analisis wacana, semiotik serta studi kasus adalah
karena penelitian ini memerlukan waktu yang sangat lama, tenaga yang besar –
karena peneliti harus bergabung dengan informan, ketrampilan berkomunikasi yang
terlatih, serta kemampuan menuliskan interpretasi dengan baik. Di sisi lain,
metode etnografi telah membuktikan bahwa sebagai metode penelitian kualitatif,
ia mampu melaklukan analisis yang lebih mendalam serta menyajikan refleksi
kritis secara detil dalam lingkup mikro sebuah kehidupan manusia.
Bagaimanapun
juga, metode penelitian etnografi hanyalah sebuah cara yang dalam aplikasinya
tentu tidak dapat meninggalkan metode penelitian lainnya, bahkan metode
penelitian kuantitatif sekalipun. Sebagai calon ilmuwan komunikasi, ada baiknya
kita mempelajari metode ini, karena di masa yang akan datang, ketika kultur
mikro mulai tereduksi oleh globalisasi makro, tentu refleksi-refleksi kritis
sangat diperlukan. Dan etnografi akan hadir sebagai metode penelitian kulaitatif
yang akan menyelesaikannya.
REFERENSI
Jensen,
Klaus Bruhn and Nicholas W. Jankowski. 1991. A Hand Book of Methodologies For
Mass Communication research.
Mulyana,
Deddy. 2001. metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT remaja Rosdakarya
Spradley,
james P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT tiara Wacana