Oleh
: Toriqul Chaer
Jika ditanyakan
bagaimana gambaran dunia pendidikan kita saat ini?, maka sungguh miris jika
melihat kenyataan bahwa pendidikan di negeri ini berjalan tertatih-tatih,
terseok-seok tanpa arah tujuan yang jelas. Pada setiap diskursus, kajian
intensif, seminar yang mengangkat tema-tema pendidikan selalunya hadir
justifikasi bagaimana gambaran lemahnya mutu, kualitas dan pengelolaan
manajemen pendidikan di Indonesia.
Gambaran nyata
dunia pendidikan seperti diatas banyak menuai pro dan kontra, ada yang
menyanggah, membantah walaupun ada juga sebagian yang membela mati-matian,
bahkan ada yang dengan sekuat tenaga dan segenap daya upaya serta
terang-terangan berupaya mengkondisikan status quo, carut- marutnya pendidikan
di Indonesia hanya untuk kepentingan pribadi yang ujung-ujungnya duit!
Menggagas
idealita pendidikan Indonesia kita bagaikan menyanyikan lagu paduan suara yang
merdu, syahdu dan mendayu-dayu, tetapi jika bicara fakta atawa berbicara
kongkrit pendidikan di Indonesia maka suara yang keluar tergagap-gagap dan
cenderung falseto. Keadaan ini akan semakin menjadi-jadi apabila melihat
banyaknya kasus perilaku pelaku pendidikan yang gamang, perilaku amoral dan
terjangkit sirosis krisis identitas -bahkan sebagian sudah kehilangan
identitas- bagaimana filosofi pendidikan harus diterjemahkan dengan arif dan
bijaksana.
Sebagai contoh
ketika bicara tentang Ujian Nasional (UN), masih banyak dijumpai pelaku dunia
pendidikan yang terjebak paradigma grade-minded; pemutlakan angka sebagai
representasi mutu dan kualitas dari peserta didik. Memang tak bisa dipungkiri
pada setiap kegiatan perlu dievaluasi termasuk proses pembelajaran.
Dalam kegiatan
belajar- mengajar, salah satu evaluasi itu berupa ujian. Ujian diperlukan
karena hasil yang diperoleh dipergunakan sebagai alat ukur untuk mengetahui apa
yang telah dicapai peserta didik.
Pada sisi lain
ujian dapat digunakan sebagai cambuk atau alat pacu belajar bagi peserta didik
disamping sebagai need assesment bagi guru dan sekolah dalam pengambilan
kebijakan tindakan pembelajaran. Namun sekali lagi pemutlakan realitas ujian
sebagai alat satu-satunya masih terlalu superior sebagai alat satu-satunya yang
paling sahih untuk mengetahui kualitas pendidikan di negeri ini. Perlu disadari
bahwa ujian adalah alat untuk mengetahui kemampuan dan perkembangan intelektual
(kognitif) belaka, masih banyak spektrum kemampuan/kompetensi lain yang bisa
dan perlu dikembangkan dalam pendidikan, yaitu diantaranya sikap dan
kepribadian.
Menurut survei
yang diterbitkan National Association of Colleges and Employers (NACE) pada
tahun 2002, Indeks Prestasi sebagai representasi kecerdasan seseorang hanya
menduduki peringkat 17 dari 20 kriteria yang dianggap penting bagi seorang
lulusan universitas atau perguruan tinggi. Berikut Tabel Indeks skor kualitas
seseorang.
*Skor
Kualitas/Sukses Seseorang (Hasil Survei NACE, 2002)
No. Kualitas Skor
1. Kemampuan berkomunikasi 4,69
2. Kejujuran/Integritas 4,59
3. Kemampuan bekerja sama 4,54
4. Kemampuan interpersonal 4,50
5. Etos kerja yang baik 4,46
6. Memiliki motivasi/berinisiatif 4,42
7. Mampu beradaptasi 4,41
8. Kemampuan analitikal 4,36
9. Kemampuan komputer 4,05
10. Kemampuan berorganisasi 4,05
11. Berorientasi pada detail 4,00
12. Kemampuan untuk memimpin 3,97
13. Percaya diri 3,95
14. Berkepribadian ramah 3,85
15. Sopan/beretika 3,82
16. Bijaksana 3,75
17. Indeks Prestasi 3,0 keatas 3,68
18. Kreatif 3,59
19. Humoris 3,25
20. Kemampuan Entrepreneurship 3,23
(Suara Merdeka,
12 Mei 2009)
Data yang
tersebut diatas bisa jadi telah usang, yaitu data survei tahun 2002 tapi bila
kita mau mencermati apa yang diungkap pada survei tersebut kita akan mendapati
bahwa data- data yang terekam memiliki relevansi dan tingkat signifikasi cukup
kuat dalam konteks kekinian. Jika melihat peringkat yang berada diatas kita
akan mendapati bahwa seringkali hal- hal kecil, sepele yang seringkali dianggap
sekedar basa-basi ketika tertulis di iklan lowongan pekerjaan. Sebagai contoh
misalnya kemampuan berkomunikasi, integritas, etos kerja yang baik,
interpersonal dan team-work. Kualitas–kualitas yang bertengger diperingkat atas
memang tidak terlihat wujudnya, namun keberadaannya sangat diperlukan ini
disebut dengan soft skills.
Entrepreunership;
Antara Cita dan Idealita
Menjadi seorang
pemimpin atau wirausaha sudah seharusnya menjadi idaman setiap mahasiswa. Jika
melihat kecenderungan kondisi bangsa ini maka ke depan sangat dibutuhkan sosok-
sosok pemimpin yang mampu membawa bangsa ini menuju kemajuan, karena tanpa
pemimpin cita- cita bangsa hanyalah sebatas impian dan angan-angan, “where
there is no vision people shall perish”.
Untuk menjadi
pemimpin yang efektif dan kompeten ada cara untuk mewujudkannya, perlu
dipelajari dan dipraktekkan. Dan mahasiswa sebagai penerus generasi bangsa
sudah sewajarnya diberikan wahana untuk praktik, baik melalui kurikulum maupun
non kurikulum. Sayangnya selama ini pendidikan kita –terutama pada Perguruan
Tinggi- masih terjebak pemahaman bahwa seorang wirausaha adalah hanya sekedar
“bakul”.
Sesungguhnya
wira usaha adalah ghirah, semangat dan sikap yang mampu melihat sesuatu
pekerjaan dari sudut pandang inovatif, kreatif, sinergik, efisien dan
profesional. Bagi seorang wirausahawan Muslim spirit wirausaha ini berkelindan,
bertransformasi dan teraktualisasi dalam tujuan mencapai kemaslahatan dan
keberkahan bersama. Dan untuk itu maka diperlukan kemampuan yang invisible
seperti; amanah, komitmen, loyalitas, mampu bekerjasama, komunikatif dan
inovatif serta sikap profesional.
Masalahnya dari
sejumlah kriteria yang tertera pada tabel, manakah yang dilatih dan
dikembangkan mahasiswa pada masa- masa kuliah? Seharusnya momentum ini bagi
mahasiswa bisa menjadi pilihan untuk menentukan dan memilih perguruan tinggi
mana yang bisa memungkinkan jiwa pemimpin/entrepeneurship dapat berkembang
dengan baik.
ITB, IPB, UGM
merupakan jajaran Perguruan Tinggi “Umum” yang telah memanfaatkan keluasan
kampusnya untuk memberi wahana bagi mahasiswa mengembangkan konsep soft skills.
ITB menggembleng kepribadian mahasiswanya dengan konsep mentoring pada setiap
hari Sabtu, UGM dengan konsep leadership-nya dan IPB mengembangkannya pada
setiap proses perkuliahan.
Untuk mengasah
berbagai kemampuan soft skills idealnya mahasiswa memiliki kehidupan yang seimbang
antara aktivitas akademik dan non akademik. Dengan begitu, ketika lulus yang
diperoleh bukan hanya sekedar justifikasi gelar dan ijazah legal formal
melainkan juga mutu dan kualitas diri yang terjaga sehingga mampu bersaing
ketika terjun ke dunia kerja dan dunia nyata.
Dare To Be
Different !
Sebagai
kemampuan invicible, soft skill kadang memerlukan bukti otentik. Sebagai contoh
mana yang lebih meyakinkan dari peryataan berikut ini; mengklaim diri sebagai
komunikator yang baik atau mencantumkan sejumlah pengalaman presentasi dan
penghargaan, baik skala nasional maupun internasional? atau mana yang lebih
penting antara datang, duduk, mendengarkan lalu pulang dengan kemampuan
berimprovisasi, berkreasi untuk selalu menjadi pribadi yang terbaik? Maka, urusan
untuk memilih perguruan tinggi yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa
untuk aktif di berbagai organisasi, kajian- kajian intensif, kelompok- kelompok
studi disamping itu berpartisipasi aktif dalam mendorong peningkatan mutu dan
kualitas mahasiswa adalah fardhu ain!
Hal yang tidak
kalah penting adalah bagaimana untuk memulai perubahan paradigma berpikir “to
be different” dimulai dari diri sendiri karena hal ini merupakan tahap awal
yang terkadang para mahasiswa lupa bagaimana untuk memulainya , “first step is
difficult”.
Dirjen Dikti
telah mengembangkan materi soft skills sebagai ikon perguruan tinggi ke depan,
yang penerapannya disesuaikan dengan visi, misi dan nilai perguruan tinggi
masing- masing. Mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa harus dibekali nilai
kepemimpinan, termasuk didalamnya spiritual leadership; yang mampu mengilhami,
menginspirasi dan membangkitkan serta memberdayakan semua elemen yang dipimpin.
Cara untuk mempengaruhi yang dipimpin tidak dengan melulu dengan pendekatan
materi, tetapi intensitas mixing antara spirit iman dan kasih sayang.
Target
kepemimpinan adalah membangun persaudaraan, kasih sayang, menebar kebajikan dan
kemaslahatan sebagai pembagi rahmat Tuhan di dunia, integritas dan komitmen
pada kejujuran, termasuk dunia pendidikan yang telah dipilih sebagai jalan
pengabdian hidup.
Ngawi, 11 April
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...