Penulis: Heddy
Shri Ahimsa-Putra
Perkembangan
pendekatan etnosains dan etnometodologi melalui perdebatan di kalangan ilmuwan
sosial, khususnya kalangan antropolog dan sosiolog di Indonesia terus terjadi
terbukti terus munculnya tulisan mengenai kedua pendekatan ini. Meski kedua
pendekatan ini bukan sesuatu yang baru dalam antropologi dan sosiologi, tetapi
dukungan dan kecaman di antara kalangan ilmuwan terhadap suatu pandangan
menyangkut pendekatan ini, setidaknya
memunculkan dua sikap. Pertama, bagi para pendukung kedua pendekatan
ini, muncul dan berkembangnya pendekatan ini dianggap sebagai suatu alternatif,
atau bahkan menganggapnya bahwa pandangan merekalah yang benar, dan semua yang
sebelumnya akan dianggap salah. Kedua, bahwa terdapat pula kalangan yang tidak menghiraukan perdebatan meski
berlangsung tajam dan hangat. Di Indonesia, keadaan yang terakhir ini terjadi
pada kalangan ilmuwan sosial. Dalam konteks inilah artikel yang ditulis
oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra ini menarik
dan perlu disimak. Hal ini seperti dikemukakan oleh Redaksi melalui Catatan
Redaksi pada bagian awal artikel ini. Menurut saya, penulis artikel ini tidak
sekedar meramaikan perdebatan mengenai pendekatan etnosains dan etnometodologi
yang telah ada, namun ia juga sekaligus
menunjukkan keberpihakannya pada pengembangan pemikiran teoritis dan
metodologis disiplinnya untuk kemajuan ilmu itu sendiri.
Artikel
yang ditulis dengan sangat padat ini, sesungguhnya berisi empat hal pokok.
Pertama, penulis mengulas tentang asal-usul, asumsi dasar, dan konsep-konsep
pendekatan etnosains dalam antropologi dan etnometodologi dalam sosiologi.
Kedua, penulis melakukan perbandingan terhadap kedua pendekatan ini yang
ditunjukkan melalui persamaan dan perbedaannya. Ketiga, menunjukkan berbagai
kritik yang ditujukan pada pendekatan etnosains. Keempat, penulis dengan cermat
mengemukakan gagasannya sendiri tentang pendekatan etnosains dan relevansinya
dalam pembangunan Indonesia saat ini.
Oleh
penulisnya, kerangka artikel ini secara sistematis meliputi uraian tentang:
Etnosains, Etnometodologi, Data dan Analisis, dan Perbandingan. Sementara pada
bagian terakhir artikelnya, penulis menunjukkan penilaiannya terhadap
etnosains, sebagai suatu aliran yang diakuinya lebih akrab dengannya
dibandingkan dengan etnometodologis, dalam konteks upaya membangun bangsa
Indonesia. Terhadap yang terakhir, saya ingin menyampaikan bahwa seorang Heddy
Shri Ahimsa-Putra, yang meski memiliki keluasan wawasan, tetap menunjukkan
sikap kehati-hatiannya dan secara cermat mengemukakan pandangan-pandangannya,
khususnya menyangkut hasil-hasil analisis etnometodologi atas gejala sosial
(hlm.129). Keterbatasan inilah
menyebabkan ia untuk tidak tidak terburu-buru mengemukakan penilaiannya
terhadap sumbangsih etnometodologi dalam meneropong masyarakat Indonesia. Tentu
saja ia tak ingin seperti Churchill (hlm.127) ataupun Psathas (hlm.128).
Etnosains
dan Etnometodologi: Sejarah Perkembangan, Akar Pemikiran dan Penyebab
Kelahirannya
Etnosains,
yang dalam bahasa asalnya disebut dengan “Ethnoscience”, atau dalam istilah
lain disebut pula dengan “The New Ethnography”, atau “Cognitive Anthropology”
merupakan suatu metode etnografi dengan tipe yang khas, yang mulai berkembang
sejak tahun 1960-an. Dikatakan khas, karena sebelum munculnya etnosains sebagai
suatu perkembangan dalam aliran baru antropologi, antopologi kognitif, telah dikenal beberapa metode
etnografi yang dilakukan oleh antropolog. Pada bentuknya yang mula-mula,
peneliti awal antropologi yang terkenal adalah W.H.R. Rivers dari Inggris dan
Franz Boas dari Amerika. Pada tahap ini, metode wawancaranya secara khas
disebut dengan istilah “genealogical method”. Teknik etnografinya yang utama
adalah wawancara yang panjang, berkali-kali, dengan beberapa informan kunci.
Tipe penelitiannya lebih bertujuan
mendapatkan gambaran masa lalu suatu kelompok masyarakat (Spradley 2006:x).
Berbeda
dengan etnografi modern yang dipelopori oleh A.R.Radcliffe-Brown dan B.
Malinowski, etnografi yang umum dijalankan pada masa kini, yang tidak terlalu
memandang penting hal-ihwal yang berhubungan dengan sejarah kebudayaan suatu
kelompok masyarakat. Perhatian utamanya adalah pada kehidupan masa kini yang
sedang dijalani oleh anggota masyarakat, tentang way of life masyarakat
tersebut (Spradley 2006:x-xi).
Jika
dalam etnografi modern, bentuk dan sosial budaya masyarakat dibangun dan
dideskripsikan melalui analisis dan nalar sang peneliti, maka dalam etnografi
baru (etnosains) bentuk tersebut dianggap sebagai susunan yang terdapat dalam
pikiran (mind) anggota masyarakat tersebut. Tugas dan cara peneliti mengoreknya
keluar lalu mendeskripsikannya adalah khas metode dari etnosains (Spradley
2006:xii).
Penelusuran
terhadap akar pemikiran etnosains dalam antropologi bermula dari definisi
kebudayaan yang dikemukakan oleh Ward Goudenough. Menurutnya, budaya suatu
masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau dipercayai
seseorang agar dia dapat berperilaku sesuai dengan cara yang diterima oleh
masyarakat. Budaya adalah satu bentuk hal-ihwal yang dimiliki manusia dalam
pikirannya (mind), model yang digunakan untuk mempersepsikan, menghubungkan,
dan seterusnya menginterpretasikan hal-ihwal tersebut (Goudenough 1957 dalam
Spradley 2006:xii-xiii).
Definisi
Goudenough ini banyak dipengaruhi oleh kajian-kajian linguistik. Dalam
perkembangan selanjutnya definisi ini kemudian dioperasionalkan oleh pengikut
antropologi kognitif dalam penelitian-penelitian etnografinya. Asumsi dasarnya
adalah bahwa setiap masyarakat mempunyai satu sistem yang unik dalam
mempersepsikan dan mengorganisasikan fenomena material, seperti benda-benda,
kejadian, perilaku, dan emosi. Karena itu, objek kajian antropologi (kognitif)
adalah menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran (mind) manusia.
Penggunaan
definisi kebudayaan yang dikemukakan oleh Goudenough tersebut, ternyata
memunculkan implikasi terhadap masalah-masalah antropologis (hlm:108). Meski
mengacu pada satu definisi kebudayaan yang sama, namun perbedaan penekanan
masing-masing kelompok melahirkan tiga golongan, yang sekaligus berpengaruh
dalam penekanan analisisnya terhadap suatu masyarakat. Kelompok pertama dalam
etnosains lebih menekankan pada upaya mengungkap model-model yang digunakan
masyarakat untuk mengklasifikasikan
lingkungan atau situasi sosial yang dihadapi.pada akhirnya akan
mengungkap prinsip-prinsip yang digunakan anggota masyarakat yang menjadi landasan
perikaku mereka. Karenanya, peneliti akan terkesan pada beberapa
istilah-istilah seperti barang rongsokan, kertas, plastik, koran, karton, dan
sebagainya (hlm.118). Melalui suatu wawancara dalam etnosains, lalu diperoleh
suatu bentuk kategorisasi-kategorisasi menurut masyarakat yang diteliti.
Kelompok
kedua lebih mengarahkan perhatiannya pada rule atau aturan-aturan. Masih tetap
menggunakan kategorisasi-kategorisasi seperti pada kelompok pertama, tetapi
lebih banyak ditujukan pada kategori-kategori sosial yang dipakai dalam
interaksi sosial (hlm.108). Mengikuti Goudenough deskripsi tentang
aturan-aturan yang menyangkut berbagai interaksi sosial akan membawa pada
pengkajian konsep kedudukan dan peranan. Hubungan sosial menyangkut hubungan
antara dua pihak yang dibatasi oleh serangkaian hak dan kewajiban seseorang
terhadap orang lain. Metode descriptive semantics dengan menggunakan Guttman
Scale digunakan untuk mengetahui distribusi hak dan kewajiban dalam berbagai
hubungan sosial dalam masyarakat. Etnografi Goudenough yang diperoleh melalui
penelitiannya yang mewawancarai salah satu warga masyarakat Truk, seperti
dikutip penulis artikel ini, sangat membantu kita dalam memahami model
kategorisasi salah satu warga yang mendiskripsikan masyarakatnya secara luas
(hlm.108,120-121).
Kelompok
ketiga menekankan pada makna-makna yang hidup dalam suatu masyarakat atau
sub-kultur tertentu, lalu mengusahakan mengungkapkan tema-tema budaya (cultural
themes) yang ada di dalamnya. Meski kelompok pertama dan kedua juga mempelajari
tentang makna, tetapi pada kelompok ketiga ini cara pengungkapan maknanya lebih eksplisit.
Etnometodologi
adalah suatu aliran sosiologi Amerika yang muncul pada tahun 1960-an. Pada
awalnya aliran ini berasal dari kampus-kampus California, lalu menyebar ke
beberapa universitas di Amerika, dan akhirnya ke Eropa, khususnya di Inggris
dan Jerman. Seperti diakui Coulon (2008) bahwa pentingnya etnometodologi
disebabkan oleh dua hal. Pertama, dari sudut teori dan epistemologi,
etnometodologi sangat berbeda dengan cara berpikir sosiologi tradisonal. Kedua,
etnometodologi merupakan suatu wawasan penelitian (une perspective de
recherche), suatu sikap intelektual baru (Coulon 2008:v).
Sebagai
suatu pendekatan, etnometodologi bermula dari filsafat fenomenologi yang
dikembangkan oleh Husserl. Fenomenologi transendental dibedakan dari
fenomenologi eksistensial. Persamaan keduanya terdapat pada perhatian mereka
yang bertemu mengenai kesadaran (consciousness). Pada dasarnya, usaha
fenomenologis adalah menggambarkan kesadaran manusia serta bagaimana kesadaran
tersebut terbentuk atau muncul, tanpa memperhatikan benar atau salahnya
kesadaran tersebut. Pandangan ini sekaligus menjadi salah satu landasan
etnometodologi (hlm.111).
Landasan
kedua dari etnometodologi adalah konsepnya tentang natural attitude. Oleh
Husserl, natural attitude disebut juga commonsense reality. Melalui konsep ini,
Ego berada dalam situasi tertentu menggunakan penalaran yang bersifat praktis,
seperti dalam kehidupan sehari-hari (hlm.112). Sementara itu, konsepsi Schutz
bahwa interaksi sosial merupakan proses interpretasi yang terus-menerus ini
kemudian membangkitkan permasalahan dalam etnometodolgi tentang bagaimana
interpretive procedures digunakan untuk memahami dan membangun interaksi sosial.
Selanjutnya, ide-ide ini lalu mempengaruhi Harold Garfinkel, seorang ahli
sosiologi, yang selanjutnya dikenal pula sebagai pelopor etnometodologi. Pada
intinya, idenya menyangkut masalah bagaimana proses terjadinya suatu proses
interaksi sosial (hlm.114).
Berdasarkan
upaya perbandingan yang telah dilakukan oleh penulis dalam artikel ini, maka
terdapat empat persamaan antar pendekatan etnosains dan etnometodologi yaitu:
Pertama, Keduanya sama-sama menggunakan bahasa atau pernyataan-pernyataan yang
diucapkan oleh orang yang diteliti sebagai bahan untuk analisis. Kedua,
keduanya sama-sama terlibat dalam relativisme budaya sebab salah satunya tidak
menyatakan bahwa satu kebudayaan lebih tinggi dari kebudayaan lainnya. Ketiga,
baik etnometodologi dan sebagian etnosciencetist berusaha mendapatkan
aturan-aturan yang mendasari tingkah laku manusia, dengan caranya
masing-masing. Keempat, bahwa keduanya berangkat dari asumsi yang sama tentang
manusia, bahwa manusia pada dasarnya memberikan makna terhadap gejala yang
dihadapi. Pemberian makna terhadap situasi inilah yang membedakan manusia
dengan binatang.
Perbedaan
diantara keduanya adalah bahwa etnosains lebih banyak memperhatikan
komponen-komponen yang ada dalam sistem pengetahuan si pelaku, sedangkan
etnometodologi lebih menyibukkan diri dengan usaha untuk menemukan “basic
features (essence, perhaps) of everyday interaction so that the problem of how
meanings are constructed and how social reality…”(hlm.128).
Dalam
konteks kemajemukan masyarakat dan budaya Indonesia, sumbangsih perspektif
etnosains sangat sesuai untuk diterapkan dalam upaya membangun bangsa ini.
Melalui pendekatan ini, penelitian tentang suatu kelompok masyarakat akan mampu
mengungkap tentang nilai-nilai, aturan-aturan, pandangan hidup serta berbagai
kebiasaan yang ada pada masyarakat yang akan dibangun. Meski penulis mengakui
bahwa etnosains sebagai bukan satu-satunya perspektif yang dapat turut
mensukseskan pembangunan, namun pengetahuan mengenai sistem ide suatu
masyarakat sangat penting bagi perencana pembangunan. Jika kita menginginkan suatu upaya pembangunan
yang manusiawi dan secara etika menghargai
pandangan-pandangan dan sistem pengetahuan masyarakat yang menjadi
sasaran pembangunan, maka perspektif
etnosains tidak bisa diabaikan, demikian ditegaskan Heddy Shri Ahims-Putra
dalam artikelnya tersebut.
Mengakhiri
tinjauan artikel ini, saya ingin mengemukakan beberapa pandangan saya terkait
dengan artikel ini. Bahwa kelebihan artikel ini dapat ditinjau dari dua aspek:
aspek teknis penulisan dan aspek substansinya. Pada aspek teknis penulisan,
termasuk di dalamnya cara penyajian yang sistematis dan runut menyangkut asumsi
dasar kedua pendekatan, disajikan lebih awal daripada uraian lainnya. Sementara
perbandingan diantara keduanya yang menghasilkan kekhususan dan titik temu
keduanya, dan sajian data (setengah fiktif) dan metode analisisnya, disajikan
kemudian. Melalui cara penyajian ini, pembaca dapat memperoleh manfaat berupa
kemudahan dalam memahami kedua pendekatan yang sedang dibahas karena uraian
dimulai dari pandangan teoritis, lalu melihat bagaimana operasionalisasi kedua
pendekatan tersebut dalam realitas.
Kelebihan
secara substansial yang dimiliki oleh artikel ini karena menyajikan perdebatan
diantara kedua pendekatan, dan keberpihakan masing-masing pihak mengenai
pandangan-pandangannya. Kekayaan referensi yang ditunjukkan penulisnya memberi
bobot yang bermakna bagi artikel ini. Tanggapan atas beberapa kritik yang
ditujukan pada etnosains dihadapi penulisnya dengan mengemukakan
argumen-argumen logis dan penjelasan singkat tetapi langsung pada jantung
persoalannya. Hal ini bisa kita jumpai dalam menunjukkan kekeliruan Pfohl dalam
menilai Goudenough, dimana penulis menunjukkan kealfaan Pfohl mencermati dua
macam etnosains: yaitu etnografi etnosains dan etnologi etnosains menurut
Warner (hlm.127).
Keunggulan
lain yang dimiliki oleh artikel ini adalah pengutipan berbagai pendapat atau
pandangan atas suatu permasalahan dari sumber aslinya. Hal ini menunjukkan
orisinalitas pustaka sekaligus meminimalisir kekeliruan dalam memahami
pandangan dari penulis aslinya. Sepanjang tulisan kita menemui banyak kutipan
langsung dari sumber-sumber yang relevan. Hal ini tentu sangat baik. Hanya
saja, pengutipan langsung dari sumber yang dirujuk tanpa diikuti penafsiran
oleh penulis artikel akan menyulitkan bagi sebagian kalangan. Kesulitan yang
mungkin dihadapi adalah masalah penguasaan bahasa dan upaya menjaring makna
dari pernyataan melalui bahasa tadi, yang semuanya dikutip langsung dalam
Bahasa Inggris.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahimsa-Putra,
H.S. 1985. “Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan” dalam
“Masyarakat Indonesia” Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia. Jakarta: Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia Jilid XII Nomor 2. Hlm.103-133
Coulon,
A. 2008. Cetakan Ketiga. Etnometodologi. Jakarta: Lengge. Diterbitkan atas
kerjasama Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK) Jakarta dan Yayasan Lengge
Mataram.
Spradley,
J.P. 2007. Edisi Kedua. Metode Etnografi. (diterjemahan oleh Misbah Zulfa
Elizabeth). Yogyakarta: Tiara Wacana
Sumber : Majalah
Ilmu-ilmu Sosial Indonesia, Jilid XII Nomor 2, Jakarta: LIPI 1985, hlm.103-133.
Ditinjau oleh: Andi Sumar Karman (Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi
Antropologi FIB, UGM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...