Oleh : Abdurrahman MBP
Pendahuluan
Semakin meningkatnya
jumlah masyarakat miskin di Indonesia ternyata membawa berbagai persoalan
multi-dimensi bagi bangsa ini, untuk mengurangi atau jika bisa menghilangkan
kemiskinan ini diperlukan usaha keras yang harus didukung oleh seluruh komponen
bangsa. Dalam Islam salah satu dari usaha untuk mengurangi serta
mengentaskan kemiskinan adalah dengan adanya syariat zakat yang berfungsi
sebagai pemerataan kekayaan. Pendistribusian zakat bagi masyarakat miskin tidak
hanya untuk menutupi kebutuhan konsumtif saja melainkan lebih dari itu, esensi
dari zakat sendiri adalah selain untuk memenuhi kebutuhan konsumtifnya juga
memenuhi segala kebutuhan hidupnya termasuk pendidikan, tempat tinggal dan
sandang mereka. Dari sinilah pola pemberian zakat kepada para mustahiq tidak
hanya bersifat konsumtif saja, namun dapat pula bersifat produktif.
Sifat distribusi zakat yang bersifat produktif berarti memberikan zakat
kepada fakir miskin untuk dijadikan modal usaha yang dapat menjadi mata
pencaharian mereka, dengan usaha ini diharapkan mereka akan mampu memenuhi kebutuhan
hidup mereka sendiri. Tujuan lebih jauhnya adalah menjadikan mustahiq zakat
menjadi muzzaki zakat.
Lalu bagaimana pendayagunaan zakat bagi usaha produktif dalam syari'ah
Islam? serta bagaimana aplikasinya dalam masyarakat?, makalah ini mencoba untuk
membahasnya secara ilmiah dan rinci.
Salah satu ibadah ritual dalam
Islam yang mempunyai dimensi ganda adalah zakat, pertama dimensi hubungan
antara hamba dengan Allah Subhanahu Wa ta’ala (hablu minallah),
kedua dimensi hablu minannas yaitu hubungan antara manusia dengan
manusia lainnya. Dimensi terakhir inilah yang sangat penting bagi terciptanya
masyarakat adil makmur dan sejahtera. Zakat adalah salah satu dari usaha untuk
merealisasikan hal itu, pola pendistribusian kekayaan dari orang-orang kaya (muzakki)
kepada orang-orang miskin sebagai mustahiq zakat menjadi satu metode
efektif bagi pemerataan kekayaan. Mengenai para mustahiq zakat disebutkan
dalam QS At-Taubah ayat 60 Allah
berfirman :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ
عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ
فَرِيضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat ini menyebutkan bahwa
para mustahiq zakat adalah fakir, miskin, ‘Amilin, gharimin, ibnu sabil,
muallafah qulubuhum, orang yang berada fi sabilillah serta
pembebasan para budak ( riqab ).[1]
Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang lemah kondisi ekonominya, karena
itu di antara tujuan diberikannya zakat adalah agar mereka dapat memperbaiki
kehidupan ekonominya menjadi lebih baik.
Dalam rangka mencapai tujuan
tersebut maka pendistribusian zakat tidak cukup dengan memberikan kebutuhan
konsumsi saja, model distribusi zakat produktif untuk modal usaha akan lebih
bermakna, karena akan menciptakan sebuah mata pencaharian yang akan mengangkat
kondisi ekonomi mereka, sehingga diharapkan lambat laun mereka akan dapat keluar
dari jerat kemiskinan, dan lebih dari itu mereka dapat mengembangkan usaha
sehingga dapat menjadi seorang muzakki.
Tujuan dari penulisan makalah ini
adalah untuk memberikan gambaran yang jelas berkenaan dengan pendayagunaan
zakat bagi usaha produktif, sehingga dengan makalah ini diharapkan semakin
jelas bagaimana sandaran hukum dari masalah ini, begitu juga aplikasinya di
tengah masyarakat.
Penulisan makalah ini menggunakan
metode deskriptif analisis di mana data-datanya bersumber dari
literatur-literatur yang ada relefansinya dengan judul makalah, baik dalam
bentuk kitab-kitab fiqh klasik, buku-buku para ulama kontemporer dan juga hasil
dari pencarian tema terkait di internet, adapun tekhnik yang digunakan adalah
dengan menginventarisir pendapat-pendapat para ulama klasik dan cendekiawan
kontemporer, setelah data tersebut terkumpul langkah berikutnya dianalisa dan
disimpulkan dari berbagai pendapat yang ada. Penelitian ini juga didukung oleh
data-data terkini yang berasal dari penelitian lapangan yang telah dilakukan di
Badan Amil Zakat (BAZ) Kabupaten Sukabumi.
PENDAYAGUNAAN ZAKAT
1. Definisi
Pendayagunaan mempunyai kata dasar daya dan guna
kemudian diberi awalan pe dan akhiran an, menurut kamus besar Bahasa Indonesia
bahwa kata daya berarti kemampuan melakukan sesuatu dan kata guna yang berarti
manfaat sehingga kata pendayagunaan berarti pengusahaan agar mampu mendatangkan
hasil dan manfaat, bisa pula bermakna peningkatan kegunaan atau memaksimalkan
kegunaan.[2]
Adapun Zakat menurut etimologi berasal dari akar kata زكا – زكاء (zaka – zakaa) yang berarti tumbuh,
berkembang atau bertambah, kata yang sama yaitu زكى (zaka) bermakna menyucikan atau
membersihkan.[3] Menurut
Hasbi Ash-Shiddieqy makna zakat menurut
bahasa berasal dari kata نام (nama) yang berarti Kesuburan, طهرة (thaharah)
berarti kesucian dan بركة (barakah) yang berarti
keberkatan, atau dikatakan تزكية و التطهير (tazkiyah dan tathir)
mensucikan.[4] Dari
pengertian secara bahasa dapat diketahui bahwa zakat secara bahasa bisa
bermakna tumbuh dan berkembang atau bisa bermakna menyucikan atau membersihkan.
Sementara Didin Hafiduddin berpendapat bahwa zakat ditinjau dari segi bahasa
bisa berarti (الصلاح ) Ash-Shalahu yang
berarti kebersihan.[5]
Sedangkan menurut terminology (syara’) zakat adalah
sebuah aktifitas (ibadah) mengeluarkan sebagian harta atau bahan makanan utama
sesuai dengan ketentuan Syariat yang diberikan kepada orang-orang tertentu,
pada waktu tertentu dengan kadar tertentu.[6]
2. Dasar Hukum
Di antara dalil yang menjadi dasar
hukum bagi pendistribusian zakat adalah Firman Allah Subhanahu
wata'ala dalam QS At-Taubah ayat 60 :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ
عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي
سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat berikutnya adalah dalam QS
Ar-Rum ayat 38.
فَئَاتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ
ذَلِكَ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ
Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian
(pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan Itulah
yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah, dan mereka
itulah orang-orang beruntung
Adapun dalil dari As-Sunnah atau
Hadits adalah sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam dalam sebuah
haditsnya :
عَنْ ابْنِ عَبّاسٍ رَضِيَ الله عَنْهُما: أَنَّ النَّبِيَّ صَلّى الله
عَلَيْهِ وَسَلّم بَعَثَ مُعَاذاً إِلَى لْيَمَنِ ـ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ ـ
وَفِيْهِ: "إنَّ الله قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمِ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ
تُؤخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ، فَتُرَدُّ فُقَرَائِهِمْ". مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ.
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwasanya Nabi saw. pernah mengutus Muadz ke
Yaman , Ibnu Abbas menyebutkan hadits itu, dan dalam hadits itu beliau bersabda
: Sesungguhnya Allah telah memfardhukan atas mereka sedekah (zakat) harta
mereka yang di ambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan dikembalikan
kepada orang-orang fakir di antara mereka. HR
Bukhary dan Muslim, dengan lafadz Bukhary.[7]
عن سالم بن عَبْدِ الله بن عُمر عَنْ أَبيه رضي الله عنُهم أنَّ رسولَ
الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم كانَ يُعْطي عُمَرَ بن الخطاب العْطاءَ فيقولُ
أَعْطِه أَفْقَر منّي، فَيَقُول: "خُذْهُ فَتَمَوّلْهُ أَوْ تَصَدَّقْ به،
وما جاءَكَ مِنْ هذا المال وأَنْت غير مشرفٍ ولا سائلٍ فَخُذْهُ، وَمَا لا فلا
تُتْبِعه نَفْسك" رواهُ مسلمٌ.
Dari
Salim bin Abdullah bin 'Umar dari bapaknya ( Umar bin Khatab ) mudah-mudahan
Allah meridhoi mereka, bahwasanya Rasulullah pernah memberikan Umar bin Khatab
suatu pemberian, lalu Umar berkata " berikanlah kepada orang yang lebih
fakir dari saya, lalau Nabi bersabda "Ambilah dahulu, setelah itu
milikilah ( kembangkanlah ) dan dan sedekahkan kepada orang lain dan apa yang
datang kepadamu dari harta semacam ini sedang engkau tidak membutukannya dan
bukan engkau minta, maka ambilah. Dan mana-mana yang tidak demikian maka
janganlah engkau turutkan nafsumu. HR Muslim.
Ayat dan hadits di atas memberikan tuntunan kepada
kita mengenai cara mengambil zakat dan pendistribusiannya, yaitu diambil dari
golongan orang-orang yang kaya dan diserahkan kepada golongan-golongan yang
miskin, secara rinci orang-orang yang
berhak mendapatkan zakat adalah :
- Orang-orang Faqir. Yaitu orang-orang yang berada dalam kebutuhan dan tidak mendapatkan apa yang mereka perlukan.
- Orang-orang Miskin, mereka adalah orang yang mempunyai harta akan tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
- Para pengurus zakat. Yaitu para ‘amilin yang mengurus pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat.
- Muallaf (orang yang baru masuk Islam). Hal ini bertujuan untuk melunakan hati mereka agar mereka damai dalam Islam.
- Untuk memerdekakan budak. Yaitu seseorang pada zaman dulu yang ingin memerdekakan diri mereka sendiri sebagai budak, atau uang zakat tersebut digunakan untuk memerdekakan budak, hal ini karena Islam menolak adanya praktek perbudakan.
- Gharimin (orang-orang yang berhutang). Mereka adalah orang-orang yang pailit dikarenakan perusahaannya bangkrut, tertimpa musibah yang mengakibatkan menumpuknya hutang yang harus dibayarkan.
- Ibnu Sabil ( Orang yang dalam perjalanan ), yaitu setiap kaum muslimin yang dalam perjalanan dan kehabisan perbekalan, tentunya perjalanan ini bukan untuk bermaksiat kepada Allah.
- Fi sabilillah (orang yang berjihad di jalan Allah). Pengertian fi sabilillah para ulama berpendapat mereka yang sedang berjihad di jalan Allah, namun tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang sedang berjuang mencari ilmu atau sekolah yang mempelajari ilmu agama.[8]
Para Ulama telah Ijma' bahwa kedelapan asnaf tersebut
adalah para mustahiq zakat, walaupun dalam pendistribusiannya sebagian ulama
ada yang berpendapat harus dibagikan secara merata seperti Imam Syafi'i namun
sebagian ulama lain berpendapat bahwa zakat tidak harus diberikan kepada semua asnaf
tersebut.[9]
Khalifah Umar bin Khatab pada masa pemerintahannya tidak memberikan zakat
kepada muallaf, dan hal ini tidak dipermasalahkan oleh sahabat Nabi lainnya
sehingga menjadi ijma'.[10]
Dalam perkembangannya para
mustahiq zakat tersebut mengalami beberapa perubahan dan pengembangan pemikiran.
Sjechul Hadi Permono memberikan beberapa pengembangan dari para mustahiq zakat,
beliau menukil pendapat dari Shawki Isma’il Shehatah yang menyatakan bahwa
bagian untuk fakir miskin dapat diberikan kepada lembaga-lembaga yang mengurusi
santunan kepada fakir miskin serta untuk kepentingan umum yang berupa pelayanan
umum.[11]
Ini berarti bisa saja dana zakat bagi fakir miskin digunakan untuk membuat
balai pengobatan cuma-cuma ataupun rumah sakit yang dikhususkan bagi kelompok
fakir miskin. Sedangkan mengenai riqab yaitu hamba sahaya karena saat
ini telah tidak ada lagi perbudakan maka untuk asnaf ini bisa
dipindahkan kepada para tawanan perang Muslim atau juga untuk membantu Negara
muslim yang ingin lepas dari perbudakan dan penjajahan Negara lain, hal ini
tentu sesuai dengan makna riqab yang menghilangkan segala bentuk
perbudakan.[12]
Sementara makna fi sabilillah dikembangkan oleh Sahri Muhammad dengan
jalan iman dan ilmu / tekhnologi yaitu jalan untuk kemaslahatan agama dan
masyarakat umum.[13]
Demikian juga mustahiq-mustahiq zakat yang lain, walaupun jumlahnya
tetap delapan asnaf namun interpretasinya semakin
berkembang.
Begitulah dengan berubahnya
waktu ternyata alokasi bagi para mustahiq zakat berkembang, namun hal ini
tidaklah mengurangi manfaat dari zakat bahkan akan semakin terasa manfaatnya
ketika kita bisa memberdayakannya.
Adapun pola penyaluran harta
zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dapat digunakan dengan dua
cara yaitu :
a. Zakat Konsumtif
b. Zakat Produktif
Zakat konsumtif yaitu zakat
yang diberikan kepada mustahiq untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti
makan, tempat tinggal meneruskan perjalanan dan lain-lain. Fungsi ini adalah
asal dari fungsi zakat yaitu memberikan zakat untuk kebutuhan sehari-hari.
Seperti zakat fitrah yang memang diberikan untuk konsumsi fakir miskin selama
hari raya. Dalilnya adalah firman Allah ta'ala dalam QS Al-Baqarah ayat 273 :
لِلْفُقَرَآءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ لاَ
يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي اْلأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَآءَ مِنَ
التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْئَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا
وَمَاتُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيمٌ
(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang
terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi;
orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari
minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak
meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.
Ayat di atas menceritakan tentang
orang-orang miskin yang tidak suka meminta-minta kepada manusia, kepada mereka
diberikan zakat untuk kebutuhan mereka dalam bentuk zakat konsumtif.
Adapun zakat produktif adalah zakat
yang diberikan kepada fakir miskin berupa modal usaha atau yang lainnya yang
digunakan untuk usaha produktif yang mana hal ini akan meningkatkan taraf
hidupnya, dengan harapan seorang mustahiq akan bisa menjadi muzakki jika
dapat menggunakan harta zakat tersebut untuk usahanya. Hal ini juga pernah
dilakukan oleh Nabi, dimana beliau memberikan harta zakat untuk digunakan
shahabatnya sebagai modal usaha. Hal ini seperti yang disebutkan oleh Didin
Hafidhuddin[14] yang
berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yaitu ketika Rasulullah
memberikan uang zakat kepada Umar bin Al-Khatab yang bertindak sebagai amil zakat
seraya bersabda :
"خُذْهُ فَتَمَوَّلْهُ, أَوْ تَصَدَّقْ
بِهِ, وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا اَلْمَالِ, وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا
سَائِلٍ فَخُذْهُ, وَمَا لَا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ". رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Ambilah
dahulu, setelah itu milikilah (berdayakanlah) dan sedekahkan kepada orang lain
dan apa yang datang kepadamu dari harta semacam ini sedang engkau tidak
membutukannya dan bukan engkau minta, maka ambilah. Dan mana-mana yang tidak
demikian maka janganlah engkau turutkan nafsumu. HR Muslim.[15]
Kalimat فَتَمَوَّلْهُ (fatamawalhu) berarti mengembangkan dan mengusahakannya
sehingga dapat diberdayakan, hal ini sebagai satu indikasi bahwa harta zakat
dapat digunakan untuk hal-hal selain kebutuhan konsumtif, semisal usaha yang
dapat menghasilkan keuntungan. Hadits lain berkenaan dengan zakat yang
didistribusikan untuk usaha produktif adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas
bin Malik, katanya :
أن رسولَ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم لم
يكون شيئا علي اللإسلام إلا أعطاه, قال : فأتاه رجل فساله, فامر له بشاء كثير بين
جبلين من شاء الصدقة, قال : فرجع إلي قومه فقال : يا قوم أسلموا فإن محمد يعطي
عطاء من يخشى الفاقة ! رواه أحمد بإسناد صحيح
Bahwasanya Rasulallah tidak pernah menolak jika diminta
sesuatu atas nama Islam, maka Anas berkata "Suatu ketika datanglah seorang
lelaki dan meminta sesuatu pada beliau, maka beliau memerintahkan untuk
memberikan kepadanya domba (kambing) yang jumlahnya sangat banyak yang terletak
antara dua gunung dari harta shadaqah, lalu laki-laki itu kembali kepada
kaumnya seraya berkata " Wahai kaumku masuklah kalian ke dalam Islam,
sesungguhnya Muhammad telah memberikan suatu pemberian yang dia tidak takut
jadi kekurangan !" HR. Ahmad dengan sanad shahih.[16]
Pemberian kambing kepada muallafah qulubuhum di atas adalah
sebagai bukti bahwa harta zakat dapat disalurkan dalam bentuk modal usaha.
Pendistribusian zakat secara produktif juga telah menjadi pendapat ulama
sejak dahulu. Masjfuk Zuhdi mengatakan bahwa Khalifah Umar bin Al-Khatab selalu
memberikan kepada fakir miskin bantuan keuangan dari zakat yang bukan sekadar
untuk memenuhi perutnya berupa sedikit uang atau makanan, melainkan sejumlah
modal berupa ternak unta dan lain-lain untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan
keluarganya.[17]
Demikian juga seperti yang dikutip oleh Sjechul Hadi Permono yang menukil
pendapat Asy-Syairozi yang mengatakan bahwa
seorang fakir yang mampu tenaganya diberi alat kerja, yang mengerti
dagang diberi modal dagang, selanjutnya An-Nawawi dalam syarah Al-Muhazzab
merinci bahwa tukang jual roti, tukang jual minyak wangi, penjahit, tukang
kayu, penatu dan lain sebagainya diberi uang untuk membeli alat-alat yang
sesuai, ahli jual beli diberi zakat untuk membeli barang-barang dagangan yang
hasilnya cukup buat sumber penghidupan tetap.[18]
Pendapat Ibnu Qudamah seperti yang dinukil oleh Yusuf Qaradhawi
mengatakan “Sesungguhnya tujuan zakat adalah untuk memberikan kecukupan kepada
fakir miskin….”[19] Hal ini
juga seperti dikutip oleh Masjfuk Zuhdi yang membawakan pendapat Asy-Syafi’i,
An-Nawawi, Ahmad bin Hambal serta Al-Qasim bin Salam dalam kitabnya Al-Amwal,
mereka berpendapat bahwa fakir miskin hendaknya diberi dana yang cukup dari
zakat sehingga ia terlepas dari kemiskinan dan dapat mencukupi kebutuhan
hidupnya dan keluarganya secara mandiri.[20]
Secara umum tidak ada perbedaan pendapat para ulama mengenai
dibolehkannya penyaluran zakat secara produktif. Karena hal ini hanyalah
masalah tekhnis untuk menuju tujuan inti dari zakat yaitu mengentaskan
kemiskinan golongan fakir dan miskin.
3. Pendayagunaan Zakat bagi Mustahiq Zakat
Di antara mustahiq zakat yang berhak untuk menerima
zakat produktif adalah kaum fakir, miskin, Amil zakat[21]
serta para Muallaf[22].
Namun yang lebih diutamakan dari mereka adalah golongan fakir dan miskin.
Selain mereka hanya mendapatkan zakat konsumtif atau keperluan tertentu saja
seperti ibnu sabil, fi sabilillah, gharimin dan hamba sahaya. Tabel di
bawah ini menjelaskan tentang distribusi mustahiq yang dapat memperoleh zakat
produktif :
No
|
Asnaf
|
Produktif
|
Non-Produktif
|
Keterangan
|
1
|
Fakir
|
V
|
V
|
|
2
|
Miskin
|
V
|
V
|
|
3
|
Amil
|
V
|
V
|
|
4
|
Muallaf
|
V
|
V
|
|
5
|
Riqab
|
-
|
V
|
|
6
|
Gharimin
|
-
|
V
|
|
7
|
Ibnu Sabil
|
-
|
V
|
|
8
|
Fi
Sabilillah
|
-
|
V
|
|
Pada tabel terlihat bahwa kelompok fakir dan miskin
menjadi prioritas dalam menerima zakat produktif, sehingga kepada merekalah
diberdayakan zakat jenis ini. Adapun mengenai amilin dan muallaf
pada asalnya mereka juga dapat diberikan harta zakat dalam bentuk ini, namun
hal ini akan disesuaikan dengan keadaan zaman apakah memang diperlukan atau
tidak. Berbicara mengenai pendistribusian bagi fakir dan miskin maka seberapa
besar hak atau bagian mereka dalam zakat ?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas terlebih dahulu
harus kita perhatikan beberapa kebijakan dalam rangka pemberdayaan zakat
sebagai langkah awal, di antara kebijakan tersebut adalah, Pertama kebijakan
yang bersifat umum, yaitu segala daya dan upaya dalam rangka memanfaatkan hasil
pengumpulan zakat kepada sasaran dalam pengertian yang lebih luas sesuai dengan
cita rasa syara’, secara tepat guna, efektif manfaatnya dengan
distribusi yang serba guna dan produktif, sesuai dengan pesan dan kesan syariat
serta tujuan sosial ekonomi dari zakat. Kebijakan kedua yaitu pendayagunaan per
mustahiq zakat, maksudnya adalah bahwa interpretasi dan pengembangan pada tiap
mustahiq dapat dilakukan sesuai dengan perkembangan zaman dan kemaslahatan
ummat.[23]
Sayid Sabiq dalam Fiqh As-Sunnah, mengatakan
bahwa hendaklah ia ( fakir miskin ) diberi zakat sebesar jumlah yang dapat
membebaskannya dari kemiskinan kepada kemampuan, dari kebutuhan kepada
kecukupan untuk selama-lamanya.[24]
Senada dengan hal ini Hasbi Asy-Shiddiqy juga mengatakan bahwa pemberian kepada
fakir miskin haruslah dapat memenuhi kehidupan mereka dan bisa dijadikan modal
usaha.[25]
Mengenai zakat produktif yang diberikan kepada fakir miskin maka
dapat berupa alat-alat untuk usaha,
modal kerja atau pelatihan keterampilan. Yang dapat dijadikan sebagai mata pencaharian
dan sumber hidupnya. Menurut M.A. Manan dalam “ Effects of Zakat Assessement
and Collection on the Re-distribution of income in Contemporary Muslim
Caountries “ seperti dikutip oleh Sjechul Hadi Permono, mengatakan bahwa
dana zakat dapat didayagunakan untuk investasi produktif, untuk membiayai
bermacam-macam proyek pembangunan dalam bidang pendidikan, pemeliharan
kesehatan, air bersih dan aktivitas-aktivitas kesejahteraan sosial yang lain,
yang dipergunakan semata-mata untuk kepentingan fakir miskin. Pendapatan fakir
miskin diharapkan bisa meningkat sebagai hasil dari produktivitas mereka yang
lebih tinggi.[26]
Dari semua pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa zakat dapat disalurkan kepada para
mustahiq zakat dari golongan fakir dan miskin dalam bentuk zakat produktif yang
berupa modal usaha ataupun alat-alat untuk menjalankan usaha. Demikian juga
penyaluran dapat berupa pelatihan-pelatihan serta keterampilan-keterampilan
agar mereka dapat bekerja, sekaligus dana zakat juga dapat digunakan untuk pembangunan
pabrik-pabrik yang mempekerjakan para fakir miskin.[27]
Pendayagunaan zakat selain memberdayagunakan para mustahiq
zakat juga dapat dilakukan dengan langkah lain, sebuah pendapat menarik
dilontarkan oleh Sahri Muhammad, beliau menggagas tentang adanya Bank Zakat,
yaitu sebuah lembaga yang menjadi perantara antara muzzaki dan mustahiq,
yang fungsinya sama dengan bank. Adapun ciri khusus dari Bank Zakat adalah :
1.
Tugas utama Bank Zakat adalah
menghimpun dana zakat, infak dan sedekah dan ditujukan kepada obyek-obyek zakat
yang telah ditentukan.
2.
Bank Zakat beroperasi semata-mata
untuk mengembangkan dana zakat, infak dan sedekah.
3.
Bank Zakat menyalurkan dana
pinjaman tanpa bunga baik para mustahiq zakat yang memerlukan modal usaha.[28]
Bila kita lihat ide di atas, saat ini Bank Zakat tersebut dapat
digantikan posisinya dengan badan amil zakat ataupun lembaga amil zakat yang
keduanya memang bergerak pada pengelolaan zakat infak dan sedekah. Hanya saja
ide Bank Zakat lebih pada ingin menggantikan posisi bank-bank konvesional yang
ada saat ini, sehingga fungsi-fungsinya dapat dicover oleh Bank Zakat.
Ide pemberdayaan zakat lainnya dikemukakan oleh Sjechul Hadi Permono yang
mengutip pendapat beberapa ahli ekonomi muslim mereka menawarkan adanya sistem Surplus
Zakat Budget, penjabarannya adalah jumlah total penerimaan zakat lebih
besar daripada jumlah total distribusi zakat. Artinya tidak semua dana zakat
yang terkumpul dibagikan, namun hanya sebagian dan sisanya menjadi tabungan
yang merupakan sumber pembiayaan proyek-proyek produktif. Hal ini dilakukan
karena jika zakat disalurkan secara konsumtif terus menerus maka dikhawatirkan
akan menimbulkan inflasi, demikian menurut pengamatan Akram Khan. Dengan adanya
surplus zakat budget ini
diharapkan dapat mengurangi permintaan dalam ekonomi sehingga dapat mengurangi
tingkat harga.[29] Ide ini
juga menawarkan adanya Zakat Serificate. Untuk menggantikan serah terima
uang tunai, maka dana zakat oleh lembaga amil zakat dapat diinvestasikan dalam
industri-industri untuk menyediakan pekerjaan bagi fakir msikin, agar mereka
mendapatkan pekerjaan tetap sehingga mempunyai kehidupan yang wajar. Keuntungan
dari industri-industri ini dapat dibagikan kepada fakir miskin ataupun gharimin
dalam bentuk deviden tahunan. Pada periode-periode tingkat harga membumbung
tinggi, deviden-deviden itu tidak dibagikan dalam bentuk uang tunai, tetapi
sebaliknya sertifikat zakatlah yang dibagikan dan baru dapat diuangkan atas
kehendak holder (pemilik) setelah berjalan waktu 3 – 6 bulan. Dengan cara ini permintaan
dalam bidang ekonomi dapat diperkecil dalam suatu masa yang pendek, sehingga
tidak menimbulkan fluktuasi harga.[30]
Kedua ide di atas jika kita padukan maka akan tercipta sebuah badan atau
lembaga yang mengurusi masalah zakat secara integral, dimana idealnya adalah
mencontoh Baiutl Mal pada zaman keemasan Islam. Saat ini badan amil
zakat dan lembaga amil zakat menjadi alternatif, diharapkan fungsi-fungsi dari
baitul mal dapat terwakili, selain itu yang tidak kalah penting adalah
seyogyanya lembaga amil zakat meluruskan niatnya karena Allah dan dengan ikhlas
ingin mengentaskan para mustahiq zakat dari jurang kemiskinan.
Skala prioritas haruslah menjadi perhatian amil zakat, jika dana yang
terkumpul hanya sedikit maka prioritas utama adalah mustahiq yang sangat
membutuhkan terutama dalam bentuk zakat konsumsi, sedangkan jika dana yang
terkumpul lebih dari cukup maka dapat digunakan untuk seluruh asnaf atau untuk
investasi produktif yang melibatkan kelompok fakir miskin serta hasilnya dapat
mereka manfaatkan, selain itu juga dapat dipergunakan untuk program pengentasan
kemiskinan dengan menyalurkan zakat untuk usaha produktif baik dalam bentuk
modal usaha, alat-alat usaha, pelatihan keterampilan, bimbingan usaha dan
lain-lain.
ZAKAT BAGI USAHA PRODUKTIF
Usaha produktif
adalah setiap usaha yang dapat menghasilkan keuntungan ( profitable ),
mempunyai market yang potensial serta mempunyai managemen yang bagus, selain
itu bahwa usaha-usaha tersebut adalah milik para fakir miskin yang menjadi
mustahiq zakat dan bergerak di bidang yang halal. Usaha-usaha seperti inilah
yang menjadi sasaran zakat produktif.
Dalam
pendistribusiannya diperlukan adanya lembaga amil zakat yang amanah dan
kredibel yang mampu untuk me-manage distribusi ini. Sifat amanah berarti
berani bertanggung jawab terhadap segala aktifitas yang dilaksanakannya
terkandung didalamnya sifat jujur. Sedangkan professional adalah sifat mampu
untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya dengan modal keilmuan yang
ada.[31]
Pola pendistribusian
zakat produktif haruslah diatur sedemikian rupa sehingga jangan sampai sasaran
dari program ini tidak tercapai. Beberapa langkah berikut menjadi acuan dalam
pendistribusian zakat produktif :
1.
Forecasting yaitu meramalkan,
memproyeksikan dan mengadakan taksiran sebelum pemberian zakat tersebut.
2.
Planning, yaitu merumuskan
dan merencanakan suatu tindakan tentang apa saja yang akan dilaksanakan untuk
tercapainya program, seperti penentuan orang-orang yang akan mendapat zakat
produktif, menentukan tujuan yang ingin dicapai, dan lain-lain.
3.
Organizing dan Leading,
yaitu mengumpulkan berbagai element yang akan membawa kesuksesan program
termasuk di dalamnya membuat peraturan yang baku yang harus di taati.
4.
Controling yaitu pengawasan
terhadap jalannya program sehingga jika ada sesuatu yang tidak beres atau
menyimpang dari prosedur akan segera terdeteksi.[32]
Selain
langkah-langkah tersebut di atas bahwa dalam penyaluran zakat produktif
haruslah diperhatikan orang-orang yang akan menerimanya, apakah dia benar-benar
termasuk orang-orang yang berhak menerima zakat dari golongan fakir miskin,
demikian juga mereka adalah orang-orang yang berkeinginan kuat untuk bekerja
dan berusaha. Masjfuk Zuhdi menyebutkan bahwa seleksi bagi para penerima zakat
produktif haruslah dilakukan secara ketat, sebab banyak orang fakir miskin yang
masih sehat jasmani dan rohaninya tetapi mereka malas bekerja. Mereka lebih
suka menjadi gelandangan daripada menjadi buruh atau karyawan. Mereka itu tidak
boleh diberi zakat, tetapi cukup diberi sedekah ala kadarnya, karena mereka
telah merusak citra Islam. Karena itu para fakir miskin tersebut harus
diseleksi terlebih dahulu, kemudian diberi latihan-latihan keterampilan yang
sesuai dengan bakatnya, kemudian baru diberi modal kerja yang memadai.[33]
Setelah mustahiq
penerima zakat produktif ditetapkan selanjutnya adalah Amil zakat harus cermat
dan selektif dalam memilih usaha yang akan dijalankan, pemahaman mengenai
bagaiamana mengelola usaha sangat penting terutama bagi Amil mengingat dalam
keadaan tertentu kedudukannya sebagai konsultan / pendamping usaha produktif
tersebut. Di antara syarat-syarat usaha produktif dapat dibiayai oleh dana
zakat adalah :
- Usaha tersebut harus bergerak dibidang usaha-usaha yang halal. Tidak diperbolehkan menjual belikan barang-barang haram seperti minuman keras, daging babi, darah, symbol-symbol kesyirikan dan lain-lain. Demikian juga tidak boleh menjual belikan barang-barang subhat seperti rokok, kartu remi dan lain sebagainya.
- Pemilik dari usaha tersebut adalah mustahiq zakat dari kalangan fakir miskin yang memerlukan modal usaha ataupun tambahan modal.
- Jika usaha tersebut adalah perusahaan besar maka diusahakan mengambil tenaga kerja dari golongan mustahiq zakat baik kaum fakir ataupun miskin.
Setelah usaha yang
akan dijadikan obyek zakat produktif ditentukan maka langkah berikutnya yaitu
cara penyalurannya. Mengenai penyalurannya dapat dilakukan dengan model
pinjaman yang “harus” dikembalikan, kata harus di sini sebenarnya bukanlah
wajib, akan tetapi sebagai bukti kesungguhan mereka dalam melakukan usaha.
Yusuf Qaradhawi
menawarkan sebuah alternatif bagaimana cara menyalurkan zakat kepada fakir
miskin, beliau mengatakan seperti dikutip oleh Masjfuk Zuhdi bahwa orang yang masih
mampu bekerja / berusaha dan dapat diharapkan bisa mencukupi kebutuhan hidupnya
dan keluarganya secara mandiri, seperti pedagang, petani, pengrajin, tetapi
mereka kekurangan modal dan alat-alat yang diperlukan, maka mereka itu wajib
diberi zakat secukupnya sehingga mereka mampu mandiri seterusnya. Dan mereka
bisa juga ditempatkan di berbagai lapangan kerja yang produktif yang didirikan
dengan dana zakat.[34]
Setelah proses
penyaluran selesai, maka yang tidak kalah penting adalah pengawasan terhadap
mustahiq yang mendapatkan zakat produktif tersebut, jangan sampai dana tersebut
disalah gunakan atau tidak dijadikan sebagai modal usaha. Pengontrolan ini
sangat penting mengingat program ini bisa dikatakan sukses ketika usaha
mustahiq tersebut maju dan dapat mengembalikan dana zakat tersebut. Karena hal
inilah yang diharapkan, yaitu mustahiq tersebut dengan usahanya akan maju dan
berkembang menjadi mustahiq zakat.
Model pengawasan
terhadap bergulirnya dana zakat produktif dapat pula berupa pendampingan usaha,
semacam konsultan yang akan mengarahkan para mustahiq dalam menjalankan
usahanya. Model pendampingan ini juga hendaknya tidak hanya terfokus kepada
usaha yang dikelolanya, melainkan juga dapat mendampingi dan memberikan input
dalam hal spiritual mustahiq. Diadakannya kelompok-kelompok pertemuan antar
mustahiq penerima zakat produktif dengan pengelola zakat dapat dijadikan momen
untuk memberikan tausiah keagamaan, jadi selain untuk mengentaskan kemiskinan
keduniaan sekaligus mengentaskan mereka dari kemiskinan spiritual.
Bagaimana aplikasi
penyaluran dana zakat produktif pada
masyarakat yang telah dilakukan oleh Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil zakat di
Indonesia? Berikut beberapa contoh nya :
Di antara contoh
pendistribusian zakat yang bersifat produktif adalah yang telah dilaksanakan
oleh BAZKAF PT. Telkom Indonesia dimana mereka memasukan dua unsur produktif
dalam penyaluran zakatnya :
a.
Investasi dalam bentuk pinjaman
tanpa bunga dan bentuk pemberdayaan SDM yaitu berupa pelatihan keterampilan, bimbingan
usaha dan beasiswa.
b.
Modal kerja usaha.[35]
Sementara BAZ Kabupaten Sukabumi menyalurkan dana zakat yang bersifat
produktif kepada para fakir miskin yang lemah kondisi ekonominya dalam bentuk
modal usaha yang dengan beberapa variasi program yaitu :
1.
Pemberdayaan Perempuan Kepala
Keluarga (PEKKA) Zakat
2.
Bantuan Modal usaha Kecil (BMUK)
3.
Bantuan Modal Pertanian dan
Peternakan
4.
Qordul Hasan untuk PNS yang
kesulitan pinjaman
5.
Penguatan BMT
Program ini
ditujukan bagi pengembangan ekonomi produktif di kalangan keluarga miskin.
Bentuknya dalam bentuk bantuan permodalan bergulir dan bimbingan usaha,
sehingga diharapkan dengan bantuan tersebut sasaran dapat melakukan usaha
sendiri secara mandiri dan berpenghasilan tetap untuk keluar dari jerat
kemiskinan. Kalau bisa menjadikan usaha ekonomi lemah ini menjadi seorang muzzaki.
Program ini juga bisa berbentuk pelatihan usaha, Enterpreuneur School dll.
Adapun prosedurnya adalah bagi para penerima Dana Zakat harus memenuhi
syarat yang telah ditetapkan dan mengisi formulir permohonan serta akta
perjanjian, hal ini diambil sebagai tanda kesungguhan bagi penerima dana
mengingat pengalaman tahun-tahun sebelumnya sekitar 30 % dana tidak kembali.
Mengenai Enterpreuneur School bisa dalam bentuk Short Course (Kursus
singkat) wirausaha bagi siapa saja yang berminat namun diutamakan dari golongan
dhuafa dan fakir miskin yang mempunyai keinginan untuk maju dan berkembang.
Program ini akan terus berlanjut hingga usaha tersebut benar-benar berdiri dan
tugas BAZ adalah mendampingi dan membantu dalam hal manajerial dan pengembangannya.
BAZ DKI Jakarta juga melakukan terobosan baru dalam penyaluran zakat
produktif ini, dengan menyalurkan modal usaha, langkah pertama yang dilakukan
adalah modal usaha yang diberikan itu harus dikembalikan dalam waktu tertentu
untuk disalurkan lagi kepada mustahiq berikutnya, yaitu merupakan pinjaman
modal tanpa bunga selama satu tahun, sebagai pendidikan untuk meningkatkan
kehidupan yang layak, demikian seperti dikutip oleh Sjechul Hadi Permono.[36]
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari
makalah ini adalah :
1.
Mustahiq zakat yang telah
disebutkan dalam QS At-Taubah ayat 60 terdiri dari delapan asnaf, kepada
merekalah zakat didistribusikan.
2.
Interpretasi baru yang merupakan
pengembangan dari delapan asnaf mustahiq zakat adalah langkah yang bagus
sebagai suatu cara untuk mengoptimalkan fungsi zakat.
3.
Pendayagunaan zakat dapat
dilaksanakan dengan pengembangan terhadap delapan asnaf, misalnya zakat untuk
fakir miskin dapat dimanfaatkan untuk fasilitas umum bagi mereka, seperti balai
pengobatan cuma-cuma, klinik bersalin gratis, pembuatan pabrik yang
mempekerjakan merka dan lain-lain.
4.
Selain pendistribusian zakat
secara konsumtif dapat juga digunakan
model pendistribusian secara produktif yaitu memberikan uang zakat kepada fakir
miskin dalam bentuk modal usaha, atau berbentuk alat-alat untuk usaha yang
dapat mereka gunakan sebagai sumber mata pencaharian mereka.
5.
Dalam aplikasinya lembaga amil zakat
harus cermat dalam menyalurkan zakat produktif ini, penelitian tentang penerima
zakat kemudian jenis usaha produktif
harus mendapat perhatian lebih. Setelah itu managemen yang amanah dan
profesional turut memberikan kontribusi bagi kesuksesan program ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Al-Jazairi, Fiqh 'ala Madzahibul Arba'ah Juz I,
Darul Ihya At-turats Al-'Araby cet : VII,
Beirut, Libanon, 1986
Anonimus, Pedoman
Manajemen Zakat,
BAZISKAF PT Telekomunikasi Indonesia,
Jakarta. 1996.
Anonimus, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Edisi III cet. II Jakarta, 2002
Anonimus, Holy Qur’an
(Versi 6.50) / Program Kitab Suci Al-Qur’an, Perusahaan Software Sakhr /
Perusahaan Al-Alamiah, Republik Arab Mesir. 1997
As-San’any, Subulus
Salam Syarah Bulughul Maram, Juz II
cet : I.
Jum’iyah Ihyau Turots
Al-Islamy Kuwait, 1997
A.Hassan (Penerjemah), Bulughul Maram min Adilatil
Ahkam li Ibni Hajar Al-Asqolani. Diponegoro, Bangil Jawa Timur. 1991
A.W. Munawwir, Kamus
Al-Munawwir Arab – Indonesia, Pustaka Progresif, Surabaya, 1997
Didin
Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern. Cet. II. Gema Insani Press, Jakarta, 2002
Muhammad bin Ali bin
Muhammad Asy-Syaukany, Nailul AutharJuz III, Darul Kalam
Ath-Thayib, Damaskus. 1999
Muhammad
Abu Zahrah, Zakat Dalam Perspektif Sosial. Pustaka Firdaus, Jakarta,
1995
Shaleh Al-Fauzan, Mulakhas
Al Fiqh, Juz II, Darul Ibnu Al-Jauzi, Saudi Arabia, KSA. 2000
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Darul
Fikr : Beirut. 2005
Sjechul Hadi Permono, Pendayagunaan
Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional.. 2005
T.M. Hasbi Ash-Shidiqi, Pedoman Zakat,
Bulan Bintang, Jakarta, 1987
Yusuf Qaradhawi, Kiat
sukses Mengelola Zakat. Media Dakwah, Jakarta, 1997
Abdurrahman bin
Nashir As-Sa'di, Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir kalam Al-Manan, Jam'iyyah
Ihya At-Turats Al-Islami, Kuwait, 2003
[1] Abdurrahman bin Nashir
As-Sa'di, Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir kalam Al-Manan, Jam'iyyah
Ihya At-Turats Al-Islami, Kuwait, 2003, hal. 459-460.
[2] ---,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Jakarta, Edisi III cet. II
2002, hal. 242
[3]
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Pustaka Progresif, Surabaya, hal. 577.
[4]
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Bulan Bintang, Jakarta, 1987, hal.
24.
[5]
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Cet. II. Gema Insani
Press, Jakarta. hal. 7
[6] Anonimus, Pedoman Manajemen Zakat,
BAZISKAF PT TELKOM Indonesia, 1997, hal. 30.
[7] Abu Bakar Muhammad, Tereamahan Subul As-Salam II, Al-Ikhlash : Surabaya,
1991, hal. 479.
[8]
Shalih Al-Fauzan, Mulakhas Al-Fiqh, Darul Ibnu Haitsam, Kairo, 2003,
hal. 219-221.
[9]
Abdurrahman Al-Jazairi, Fiqh 'ala madzahibul arba'ah Juz I, Darul
Ihya At-turats Al-'Araby, Beirut,
libanon, cet : VII 1986. hal. 626
[10]
.Shalih Al-Fauzan, Mulakhas Al-Fiqh hal. 220
[11]
Sjechul Hadi Permono, Pendayagunaan Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional,
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1992 hal. 60.
[12]
Ibid, hal. 72
[13]
Sahri Muhammad, Zakat dan Infak, Al-ikhlas, Surabaya, 1982, hal. 28.
[14]
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern hal. 133
[15]Abu Bakar Muhammad (Penerjemah) Terjemahan Subulus
Salam II. hal. 588
[16]
Imam Asy-Syaukani, Nailul AutharJuz III, Darul Kalam Ath-Thayib, Damaskus.tahun
1999, Hal. 77.
[17]
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, Penerbit PT. Gunung Agung Jakarta, cet.
VII 1997 hal. 246
[18]
Pendayagunaan Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, op.cit. hal. 58-59.
[19]
Yusuf Qaradhawi ( Asmuni SZ : Penerjemah ), Kiat Sukses mengelola Zakat,
Media Da’wah, Jakarta 1997, hal. 69-70.
[20]
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah,
op. cit. hal. 246
[21] Imam As-San'ani, Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, Juz II cet : I.
Jum’iyah Ihyau Turats Al-Islamy Kuwait
[22]
Imam Asy-Syaukani, Nailul AutharJuz III, Darul Kalam Ath-Thayib,
Damaskus.
[23] Pendayagunaan
Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, op.cit hal. 42 - 56
[24]
Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, hal.
106
[25]
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Bulan Bintang, Jakarta, 1987, hal.
168
[26] Pendayagunaan
Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, op.cit. hal. 61-62.
[27]
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah,
op. cit. hal. 249
[28]
Sahri Muhammad, Zakat dan Infak, hal. 85-86.
[29] Pendayagunaan
Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, op.cit. hal. 49-51.
[30] Ibid, hal. 51
[31]
Lihat Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern hal. 129
[32] Anton Ath-Thoilah, Managemen,
Fakultas Syari’ah IAIN, Bandung 1994, hal. 43-46
[33]
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, hal. 247
[35] Anonimus, Pedoman Manajemen Zakat,
op.cit hal. 57.
[36] Pendayagunaan
Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, op.cit. hal. 58.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...