Philipina
adalah negara kepulauan dengan 7.107 pulau, dengan jumlah penduduk sekitar 47
juta jiwa, dengan menggunakan 87 dialek bahasa yang berbeda-beda yang
mencerminkan banyaknya suku dan komunitas etnis. Orang-orang Islam di Philipina
menamakan dirinya “Moro”. Namun nama ini sebenarnya bersifat politis, karena
dalam kenyataannya Moro terdiri dari banyak kelompok etno linguistik, umpamanya
Maranow, Maquindanau, Tausuq, Somal, Yakan, Ira Nun, Jamampun, Badjao,
Kalibugan, Kalagan dan Sangil.
Jumlah
masyarakat Moro sekitar 4,5 juta jiwa atau 9 % dari seluruh penduduk Philipina.
Bila direntang ke belakang, perjuangan bangsa Moro dapat dibagi menjadi 2 fase,
yaitu: pertama, berjihad melawan penguasa Spanyol selama 377 tahun (1521-1898).
Kedua, Moro melawan pemerintah Philipina (1970-sekarang).
Kedatangan
orang-orang Spanyol di Philipina atau menundukkan halus dengan hadiah-hadiah
orarng-orang Spanyol dapat memperluas kedaulatannya ke seluruh perkampungan
Philipina. Akan tetapi Spanyol mendapatkan perlawanan sengit ketika menghadapi
kesultanan Islam di wilayah selatan, yakni Sulu, Maquindanau dan Buayan.
Rentetan peperangan yang panjang antara Spanyol dan Islam hasilnya tidak
nampak, yang nampak adalah bertambahnya ketegangan antara orang KRISTEN dan
orang Islam Philipina.
Amerika
menguasai Philipina setelah mengalahkan Spanyol. Hubungan dengan masyarakat
Muslim Philipina lebih baik. Ini merupakan efek dari kebijakan resmi Amerika
untuk membiarkan kehidupan keagamaan orang Islam dan kebiasaan ritualnya. Namun
demikian, Islam dibenci dan dicurigai. Untuk itu, kontak-kontak dengan
saudaranya yang terdekat di pulau Kalimantan dan pulau-pulau lainnya di
Indonesia dibatasi. Ketika sebagian besar rakyat Philipina memilih dibawah
protektorat Amerika, masyarakat Muslim Philipina (dipelopori seratus tokoh
agama dari Manarao) pada bulan Maret 1935 menulis surat kepada Presiden
Roosevelf yang intinya persetujuannya terhadap pemerintahan protektorat khusus
untuk masyarakat Muslim yang terpisah dengan Philipina, tapi permintaan ini
dikabulkan Amerika.
Ketika
Manuel Quezon (presiden Persemakmuran) menyatakan bahwa undang-undang nasional
akan ditetapkan secara sama terhadap orang-orang Islam dan Kristen, mendapat
reaksi keras dari kelompok Islam, karena secara mencolok mengabaikan
sistem-sistem sosial dan hukum tradisional Islam, undang-undang nasional itu
lebih banyak mengambil dari etika Kristen dan sejarah sosial Barat. Sebagian
pemimpin Islam berkeyakinan bahwa peraturan pemerintah yang baru itu merupakan
rencana jahat yang disengaja untuk mematikan Islam di Philipina (Majul,
1989:8-20). Setelah kemerdekaannya Philipina tanggal 4 Juli 1946, Masyarakat Moro tetap melanjutkan perjuangannyabagi
kemerdekaan Moro. Pemerintahan Philipina yang baru tetap melanjutkan kebijakan
masa kolonial yakni melakukan tindakan-tindakan reprersif kepada
gerakan separatis Moro.
Pemindahan
masyarakat katolik Philipina ke wilayah Mindanao -yang mayoritas beragama
Islam- terus dilakukan. Menjelang tahun 1960, tingginya para pemukim baru yang
berasal dari Philipina Utara dan Tengah membuat Moro menjadi Minoritas di
wilayah tinggalnya sendiri. Pemerintahan Philipina, seperti halnya pemerintah
kolonial Amerika, juga mengeluarkan sejumlah undang-undang yang mensyahkan
pengambilan tanah yang secara turun-temurun dimiliki penduduk Muslim Moro guna
pembangunan proyek perkebunan dan pemukiman. Kondisi perekonomian yang semakin
menurun dikalangan penduduk Muslim Moro ditambah lagi derngan kasus pembunuhan
di Jabaidah telah memicu lahirnya gerakan Mindanao Merdeka MIM (Mindanai
Independence Movement) di tahun 1968, tapi gerakan ini dapat diatasi oleh
pemerintah Philipina dengan menberi posisi yang strategis kepada tokoh-tokoh
MIM. Hal ini menimbulkan kekecewaan pada kader-kader muda dibawah pimpinan Nur
Misuari. Kader muda itu membentuk Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF-Moro
National Liberation Front), sebuah organisasi yang dikenal sangan militan.
Tujuan
dari organisasi ini adalah memperjuangkan kemerdekaan penuh dari tanah Moro.
MNLF ini mandapat simpati dari negara-negara Islam dibawah sehingga memaksa
presiden Marcos menyetujui perjanjian Tripoli pada tanggal 23 Desember 1976.
Perjanjian ini memberikan peluang pembentukan wilayah Mindanao sebagai suatu
wilayah otonom yang meliputi 3 propinsi dan 9 kota. Marcos bersikeras bahwa
untuk menentukan daerah otonomi itu perlu diadakan referendum. Hal ini ditolak
MNLF, akibatnya berlanjut lagi diakhir tahun 1977, yang pada akhirnya membuat
pemimpin MNLF, Nur Misrua melarikan diri ke Timur Tengah. Gagalnya perjanjian
Tripoli ini memunculkan organisasi sempalan yang tidak puas terhadap sepak
terjang Nur Misuari , Bibawa Nashim Salamat, berdirilah Front Pembebasan Islam
Moro (Moro Islam Liberation Front-MILF). Ketika menjadi presiden di tahun 1986,
Aquino mengeluarkan undang-undang baru yang mendeklarasikan berdirinya wilayah
otonom bagi Muslim Mindanao tapi MNLF pecah untuk bersatu dan memperbaharui
perjuangan bersenjata demi berdririnya Republik Bangsa Moro yang berdaulat.
Pengangkatan
Fidel Ramos sebagai Presiden Philipina di tahun
1992, memberi harapan baru bagi Nur Misuari. Presiden mermbuka negoisasi
dengan MNLF tahun 1996. Persetujuan yang ditandatangani dengan MNLF menyatakan
bahwa MNLF menjadi badan pengawas atas semua proyek pembangunan ekonomi
diseluruh propinsi Mindanao untuk 3 tahun dan Nur Misuari sebagai Gubernur di
wilayah itu. Ternyata perjanjian itu terbukti berhasil mengurangi perlawanan
bersenjata di Mindanao. Pemecahan yang paling jitu atas problem bangsa Moro
adalah kemerdekaan penuh lepas dari Philipina dan berdirinya nergara Islam
Moro.
Menurut
Majul, ada 3 alasan yang menjadi Moro berintegrasi secara penuh kepada
pemerintah Republik Philipina. Pertama, Bangsa Moro sulit menghargai
undang-undang nasional, khususnya yang mengenai hubungan pribadi dan keluarga,
karena jelas undang-undang itu berasal dari Barat dan Katolik. Kedua, sistem
sekolah yang menetapkan kurikulum yang sama, bagi setiap anak Philipina di
semua daerah tanpa membedakan perbedaan agama dan kultur, membuat bangsa Moro
malas untuk belajar di sekolah. Ketiga, Bangsa Moro masih trauma dan kebencian
yang mendalam terhadap program pemindahan penduduk yang dilakukan oleh
pemerintah Philipina ke wilayah mereka di Mindanao, karena program ini telah
merubah posisi mereka dari mayoritas menjadi minoritas hampir di segala bidang
kehidupan. Sumber : http://tugas-makalah.blogspot.com/2012/06/islam-di-philipina.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...