Melacak
Jejak Hukum Islam di Tatar Sunda
Oleh:
Abdurrahman MBP, MEI
A. Pendahuluan
Islam adalah rahmat
bagi seluruh alam[1],
kehadirannya membawa kebaikan bagi seluruh umat manusia. Ia adalah agama
pembebas, yaitu agama yang membebaskan segala bentuk perbudakan antar sesama
manusia. Risalahnya menjadikan manusia memiliki pedoman hidup berupa
nilai-nilai Ilahiyah, selain itu ia juga menjadikan penyembahan dan ketaatan hanya
kepada Allah ta’ala saja. Sebagai agama yang menebarkan kebaikan dan kedamaian
Islam hadir di setiap peradaban manusia, dari mulai kawasan padang sahara di
Afrika utara, hingga ke hutan belantara Asia Tenggara, dari gempita benua Eropa
hingga heningnya benua Australia. Islam merambah ke setiap peradaban dunia
memasuki setiap relung peradaban manusia dengan membawa nilai-nilai universal
bagi kebahagiaan manusia.
Islam hadir di Nusantara
membawa rahmat bagi seluruh penduduknya, mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan
dan memurnikan peribadahan hanya kepada Allah ta’ala saja. Kehadirannya
disambut dengan suka cita oleh masyarakatnya yang sudah bosan dengan system kasta,
di mana terjadi perbedaan status sosial yang sangat tajam antara raja dan
rakyat jelata. Demikian pula Islam memasuki Tatar Sunda dengan penuh kedamaian,
memberikan nilai-nilai spiritual bagi masyarakat Sunda yang telah memiliki
sifat hanif dengan penyembahan hanya pada satu Tuhan saja (monoteisme).
Kehadiran Islam di Tatar Sunda diterima dengan penuh suka cita, tak ada pedang
dan darah yang dikorbankan, tak ada nyawa dan jiwa manusia yang melayang. Semua
berjalan sebagaimana kehendak Ar-Rahman, hingga akhirnya muncullah istilah
Islam itu Sunda dan Sunda itu Islam.[2]
Apabila dalam buku-buku
sejarah terjadinya pertentangan dan peperangan, maka sejatinya hal tersebut
bukan disebabkan karena perbedaan agama. Perselisihan yang terjadi antara
Pajajaran dengan Cirebon dan Banten lebih pada persaingan politis, bukan karena
sentimen agama. Hal ini terbukti dengan kehadiran Islam yang telah lama ada di
Tatar Sunda, bahkan ia telah berdampingan di sekitar pusat-pusat Kerajaan di
Galuh dan Pakuan Pajajaran.[3]
Kisah pernikahan Prabu Siliwangi dan Nyai Subanglarang merupakan bukti yang
tidak bisa dibantah. Selain itu di sekitar Kerajaan Pakuan Pajajaran sendiri
sebagian masyarakatnya telah memeluk Islam.
Kehadiran Islam di
Tatar Sunda membawa perubahan baru dalam bidang politik, sosial, budaya dan
hukum. Kehadiran hukum Islam telah menjadikan masyarakatnya melaksanakan
bagian-bagian dari hukum Islam tersebut. Misalnya dalam bidang perkawinan,
selain pengesahan pernikahan yang dilakukan sebelumnya di depan para sesepuh
adat maka dengan keislaman mereka pernikahan dilakukan di depan petugas
pencatat pernikahan yang terlebih dahulu mengajarkan membaca syahadat untuk
calon pengantin. Selain itu bagi pihak laki-laki diwajibkan untuk membayar
“mahar” bagi pengantin perempuan. Sebelumnya mereka mengenal istilah seserahan
yang diberikan pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan. Hingga saat
ini kedua tradisi ini dilaksanakan secara beriringan dalam pernikahan pada
masyarakat Sunda. Pelaksanaan hukum Islam dan adat yang mereka lakukan
menjadikan Islam semakin menancapkan pengaruhnya di Tatar Sunda.
Tidak dapat dipungkiri
kreatifitas masyarakat Sunda di Tatar Sunda memberikan sentuhan baru cita rasa
Islam Lokal. Para inohong Sunda telah memberikan kontribusi luar biasa
bagi terciptanya harmoni antara Islam dan budaya Pasundan. Haji Hasan Musthapa
adalah salah satu dari cendekiawan Islam yang telah mengharmonikan antara Islam
dan budaya Pasundan. Kontribusi nyatanya dalam ceramah-ceramah dan
karya-karyanya telah membuktikan bahwa antara Islam dan budaya Sunda bisa
seiring sejalan dalam pelaksanaannya.[4] Akulturasi
budaya, agama dan hukum menjadi satu proses yang disetting sedemikian rupa
hingga menciptakan Islam dengan cita rasa lokal. Apakah hal ini menggerus
nilai-nilai kemurnian Islam? Atau justru Islam memberikan ruang bagi kearifan
lokal yang menjadikannya semakin kaya warna? Makalah ini akan mengkaji mengenai
jejak hukum Islam di Tatar Sunda.
[1] Al-Qur’an Surat Al-Anbiyaa: 107:
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam
[2] Istilah ini pertama kali
disebutkan oleh H. Ahmad Saepudin yang bermakna antara Islam dan Sunda memiliki
banyak kesamaan sehingga sulit dipisahkan.
[3] Yuyus Suherman, Sejarah
Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda, (Bandung: Penerbit Pustaka),
tahun 1995, hlm. 12.
[4] Gagasan-gagasan Haji Hasan Musthopa mengenai Islam dan budaya
Sunda bisa dilihat pada buku “Bab Adat-adat Urang Priangan jeung Sunda Lianna
ti Eta” dan buku-buku lain karyanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...