Dalam sejarah pertumbuhan peranan negara
--dalam pemikiran politik Islam klasik-- menduduki posisi sentral dari keberlangsungan Islam sebagai
ajaran yang total dan fundamental. Keberadaan
negara dalam batas
tertentu sebagai penjamin terlaksana
tidaknya syari'ah Islam. Bahkan dalam pandangan Ibnu Taimiyyah mendirikan negara adalah sebuah tugas suci
dan rohani bagi setiap muslim.
Pemikiran Poliitik Islam klasik setidaknya diwarnai dengan beberapa corak pemikiran yang
khas;
1. Terdapatnya
pengaruh yang signifikan
dari pemikiran-pemikiran Yunani,
terutama Plato. Interaksi
dengan pemikiran Yunani ini tampak
menonjol dalam masa-masa pemerintahan kekhilafahan
Abbasiyah.
2. Pemikiran politik sebagian besar memberikan legitimasi terhadap status quo. Baik dalam
formulasi teoretik yang memberikan
dukungan sampai hanya
memberikan saran-saran.
3. Pemikiran
politik Islam lebih
berkecenderungan menampilkan
bentuk-bentuk yang idialis
daripada yang lebih operasional.
Pemikiran Islam klasik
dalam kaitannya dengan managemen kenegaraan
terdapat variasi pendekatan:
Sentralisme Khalifah , Institusionalisme, dan Organisme.
Managemen kenagaraan
dengan pendekatan sentralisme banyak
dikemukakan oleh para filsof baik dari Al-Farabi, Ibnu Sina
maupun Al-Ghazali. Pandangan Farabi
dan Ibnu Sina dalam batas
tertentu terasa sangat idealis di mana khalifah harus dipegang oleh seorang
filsuf sebagai bentuk pengaruh pemikiran
Yunani.
Pandangan Al-Ghazali
menjadi lebih realistis dibandingkan dengan mereka karena Ghazali pernah terlibat dalam pemerintahan
dinasti Abbasiyah, sekaligus
teman karib dari Perdana Menteri Nizhamul
Mulk. Pandangan kaum filsof
menempatkan bahwa negara akan baik
dan tidak sangat tergantung kepada
sang Khalifah, jika khalifah
baik maka negara akan baik.
Khalifah merupakan implementasi
bayangan Tuhan di bumi.
Sentralnya peran Khalifah tercermin dalam pernyataan
Ghazali dalam Mukadimmah
buku "Al-Muhtazhir":
Pertama, sesungguhnya keberesan agama
tidaklah tercapai kalau dunianya tidak beres, sedangkan
keberesan dunia tergantung kepada
khalifah yang ditaati. Kedua,
ketentraman dunia dan
keselamatan jiwa dan harta hanyalah
dapat diatur dengan adanya
khalifah yang ditaati. Dengan
alasan ini, Ghazali secara tegas menyatakan syarat menjadi
seorang khalifah adalah mewakili pribadi para shahabat utama, di mana memenuhi syarat ilmiyah dan amaliyah.
Syarat ilmiyah yang berkaitan dengan kepribadian yang baik,
sedang amaliyah yang berkaitan
dengan perasaan emphati kepada lingkungan dengan baik. Di mana
kemudian terangkum ke dalam syarat yang 4:
najah (kemampuan bertindak,
kewibawaan, wara' (jujur), dan ilmuan (cerdas). Jika syarat-syarat
tersebut tidak terpenuhi maka ia akan
ditempatkan ke dalam level
yang lebih rendah wewenangnya
dalam kepemimpinan sesuai dengan gelarnya. Khalifah bagi yang memenuhi syarat kesemuanya, Imam Dharury, khalifah yang diangkat karena
dharurat saja, Wali bisy-syaukah, kepala
negara yang merampas kekuasaan, dan zus
syaukah, Sehingga baik buruknya akhlaq seorang kepala negara menjadi
prasyarat utama dari khalifah.
Sedangkan pendekatan institusional banyak dipelopori
oleh Imam Mawardi,
karya terbesarnya dalam
politik terangkum dalam
"Al-Ahkam As-Sulthaniyyah". Bagi Mawardi yang paling
penting dalam pengelolaan
negara adalah pemantapan
struktur dan fungsi
kelembagaan, terutama sekali kelembagaan kepala
negara (khalifah) dan yang memilih kepala
negara (ahl-ikhtiar). Orang-orang yang tergabung dalam kelembagaan ini adalah orang-orang
yang terpercaya, ahlul hal wal aqdi (orang yang faham akan satu hal (profesional) sekaligus orang yang adil).
Pandangan Mawardi tidak banyak berbeda dalam memandang peran kepala
negara (khalifah) sebagai bagian yang sentral.
Pandangan seperti ini memancing kritik bahwa Mawardi dalam merumuskan
tulisannya atas dasar
apalogi dan legitimasi
kekuasaan kekhalifahan, terutama
dalam hal pembenaran pergantian khalifah secara turun-temurun jika keadaan
terpaksa.
Pandangan
Mawardi tidak bisa
dilepaskan dari kedudukan Mawardi
sebagai sebagai seorang
Wazir (Penasehat) dalam masa khalifah al-Qadir dan
al-Qasim pada pemerintahan Abbasiyah. Mawardi mendapatkan perintah dari
khalifah bagaimana secara teoritis bisa
mempertahankan kelangsungan
kekhalifahan Sunni yang sedang
dalam kemunduran. Nasehat-nasehat
Mawardi ini di kemudian hari
disadur oleh Machiavelli dalam "Sang Pangeran" sebagai nasehat kepada
raja bagaimana menjalankan pemerintahan yang diambang kemunduran
Nasehat Machiavelli adalah nasehat yang realisme dengan
pernyataan bahwa untuk mempertahankan
kekuasaan seorang raja lebih harus ditakuti daripada dicintai rakyatnya. Jika rakyat dicintai maka
akan banyak menuntut dan berani. Sedangkan
dalam pandangan Mawardi, raja
yang baik demi mempertahankan kekuasaan adalah raja yang lebih dicintai rakyatnya dan tidak menimbulkan
perasaan takut.
Pandangan yang ketiga
dikemukakan oleh Ibnu Taimiyyah di
mana melandaskan pemikirannya
bahwa baik-buruknya suatu
pemerintahan tidak hanya ditentukan oleh kualitas
yang baik dari kepala negara
akan tetapi oleh organ
kenegaraan secara luas.
Pandangan Ibnu Taimiyyah banyak dirujuk dari bukunya Minhajul Sunnah dan Siyasah Asy-Syar'iyyah. Fungsi
organisme yang ditamsilkan oleh hadis
tentang hubungan antar mukmin sebagai
saudara dan bangunan yang saling melengkapi disadurnya dalam
bentuk pemerintahan.
Dengan pandangan ini
Taimiyyah melakukan reformasi sekaligus
melakukan kritik sosial
terhadap sistem kekhalifahan. Runtuh
dan hancurnya sistem kekhilafahan pada satu sisi disebabkan karena masalah
akhlaq pemimpin yang merosot.
Akan tetapi tidak
berfungsinya lembaga-lembaga pendukung kekhilafahan yang selamanya
ini tampak
hanya sebagai
pelengkap saja. Ketergantungan yang besar kepada
sang Khalifah dalam batas tertentu
menghasilkan kinerja kekhilafahan yang sesukanya yang kemudian mengarah
kepada dekadensi moral. Runtuhnya
kekhalifahan Abbasiyyah
sebagai akibat serangan tentara
Monghol secara mendadak karena terjadinya pengkhianatan Wazir
terhadap kekhalifahan, di mana Khalifah sendiri
tidak menyadarinya.
Dari pijakan ini
Taimiyyah melakukan reformasi terhadap gejala
pengagungan Khalifah pada
mazhab Sunni maupun Imam Ma'shum
pada mazhab Syi'ah sekaligus melakukan kriitikan kepada
mazhab Khawarij. Pandangan ini sebagai upaya untuk
mengkatrol peran ummah sebagai bagian
yang spesfik dari negara
untuk turut menentukan kehidupan bernegara.
Dalam batasan tertentu posisi kepala negara
akan banyak ditentukan oleh Ummah yang terwakili dalam lembaga
legistatif. Posisi Ummah ini sebagai
sarana transformasi yang memiliki
kedudukan suci sebagaimana kedudukan Nabi. Pemimpin yang sudah terpilih oleh lembaga tersebut harus
dibai'ah (disumpah dan dipersaksikan). Dalam proses bai'ah ini, rakyat atau anggota masyarakat diperkenankan tidak membai'ah dan
tidak akan dikenakan penjara dan
ancaman subversif.
Pandangan Ibnu Taimiyah ini sebagai reaksi
dari masa dis-integrasi
kekhilafahan Abbasiyah dan keimamahan
Syiah. Ibnu Taimiyah yang besar dengan mazhab Hambali yang kritis terhadap
pemerintahan tidak banyak melakukan pembelaan akan
pemerintahaan yang ada
akan tetapi melakukan
pembenahan-pembenahan kenegaraan menurut pedoman Qur'an dan Sunnah sekaligus dengan menggunakan kekuatan akal.
Dasar-dasar
peletakan pemikiran Ibnu
Taimiyyah mengilhami penggalian-penggalian asas politik Islam secara
lebih cermat. Seperti masalah keadilan, Ibnu
Taimiyyah memberikan
peryataan yang cukup
kontroversi dengan ungkapan "Lebih baik dipimpin oleh orang kafir
yang adil daripada dipimpin
orang Islam yang
zhalim". Pernyataan
seperti ini jelas
tidak bisa diterima
bagi kalangan sentralisme khalifah
dan institusionalis yang mengedepan-kan
syarat keislaman daripada
keadilan. Pandangan
kontroversi ini setidaknya
sebagai akumulasi masalah Taimiyyah yang menghadapi penguasa
Islam yang zalim. Ibnu Taimiyyah yang bermazhab Hambali sangat sering bersitegang dengan
penguasa yang kemudian menghantarkannnya ke penjara. Bahkan Taimiiyah maupun Imam Hambali meninggal di
penjara.
Konsep syura pada
akhirnya menjadi embrio
yang dikupas oleh Taimiyyah.
Dengan konsep Syura, maka ummat
akan ditempatkan sebagai
peran yang sentral
dalam kedudukan
pemerintahan dan negara. Syura diambil dari kata
al-istikharaaj yang maksudnya
mengambil madu sedikit demi sedikit,
jika hendak mengeluarkannya dari sarangnya dan memeriknya,
memilih sesuatu untuk diketahui
keadaannya. Atau Imam al-Qurtubi berkata
bahwa kata istisyarah diambil dari perkataan Arab: Syarratid Dabbatu Wasyaurabika idza'alimat
khabaraha bijarinau ghairahu ( menguji
hewan untuk mengetahui
sejauh mana larinya atau lainnya.
Syura kemudian
mendapat peran yang legal untuk melakukan prinsip politik Islam berupa bai'ah. Bai'ah adalah berasal dari kata bay'a yang
artinya menjual. Dalam praktek historis, bay'ah sudah dilaksanakan oleh
Nabi selama 2 kali Bay'ah Aqobah I dan II) ketika di Makkah dan kemudian dikembangkan dalam
parktek berikutnya.
Dari ketiga perspektif pemikiran tersebut tampaknya mempunyai elan vital di jamannya. Pemikiran
sentralisme khalifah dan institusionalisme melihat bahwa hanya elemen pemimpin negaralah
yang mampu mempertahankan negara ancaman kehancuran
dari luar. Artinya
pemikiran ini sebenarnya
tidak menafikan akan arti
kelembagaan yang
lain. Sedangkan
pemikiran organis muncul sebagai bentuk terapi
untuk membangun kembali
sistem kenegaraan Islam yang
sudah tercabik-cabik, dengan
menempatkan kekuatan organis
sebagai penyangganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...