Oleh: Misno
Umat Islam di Indonesia kembali dikagetkan dengan rilis dari Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) baru-baru ini, yaitu mengenai ciri dari
Penceramah Radikal. Langkah ini dilakukan setelah Presiden Joko Widodo
(Jokowi) menyindir keberadaan pendakwah radikal pada Rapat Pimpinan TNI-Polri Direktur Pencegahan BNPT Ahmad Nurwakhid menyebutkan
“Salah satu ciri penceramah radikal adalah antipemerintah. Mereka selalu
menyebarkan kebencian terhadap pemerintahan yang sah, melalui propaganda
fitnah, adu domba, hate speech, dan sebaran hoaks.
Selain itu para pendakwah radikal juga disebut selalu menyebarkan
paham khilafah dan anti Pancasila, mengajarkan faham takfiri atau mengafirkan
pihak yang berbeda paham ataupun agama serta merke amemiliki sikap sangat eksklusif
terhadap lingkungannya. Penceramah radikal, ucap Nurwakhid, intoleran terhadap
perbedaan. Bahkan, mereka anti terhadap budaya dan kearifan lokal keagamaan dan
berusaha menghancurkannya bahkan hingga mengadu domba anak bangsa dengan
pandangan intoleransi dan isu SARA.
Tentu saja rilis ini mendapatkan respon yang sangat luar biasa dari
umat Islam khususnya di Indonesia, ada yang pro ada pula yang kontra. Bagaimana
sebenarnya kita sebagai seorang muslim menyikapi hal ini? Apa standar penceramah
radikal dalam syariah Islam? Silahkan baca tulisan ini dengan hati dan iman
teguh kepada Ilahi.
Secara detail ciri dari Penceramah Radikal yang keluarkan oleh BNPT
adalah sebagai berikut; Pertama, mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila
dan pro-ideologi khilafah internasional. Kedua, mengajarkan paham
takfiri yang mengkafirkan pihak lain berbeda paham. Ketiga, menanamkan
sikap antipemerintahan yang sah. Keempat, memiliki sikap ekslusif
terhadap lingkungan dan Kelima, memiliki pandangan antibudaya ataupun
antikearifan lokal.
Berdasarkan ciri-ciri ini maka sangat jelas bagaimana para
penceramah radikal memiliki keyakinan dan keagamaan yang tidak kaafah sehingga
kemudian menabrakan antara agama dan negara khususnya Indonesia. Mereka juga
mengingkari adanya keberagaman yang teah
menjadi sunatullah (takdir Allah Ta’ala), khususnya dalam konteks Indonesia
adalah kearifan lokal atau local wisdom. Benarkah demikian? Lagi-lagi
sebuah pertanyaan harus dijawab dengan ungkapan yang jelas berdasarkan
nilai-nilai Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Pembahasan kita awali dengan makna dari “penceramah” dan “radikal”,
Kamus Besar Bahasa Indonesia mencatat bahwa kata ceramah bermakna “pidato oleh
seseorang di hadapan banyak pendengar, mengenai suatu hal, pengetahuan, dan
sebagainya”. Misalnya sebuah kalimat “Kami baru saja mendengarkan -ceramah-
mengenai lingkungan hidup. Ceramah juga bermakna “suka bercakap-cakap (tidak
pendiam)”, ramah: hari ini bapak -ceramah- sekali kepadaku dan bermakna “cerewet;
banyak cakap”, misalnya ucapan “nyinyir: nenek itu memang -ceramah-
sekali. Makna ceramah dalam tulisan ini adalah yang pertama yaitu “Pidato seseorang
di hadapan orang banyak tentang ilmu pengetahuan, agama dan yang lainnya”.
Sedangkan kata berceramah dalam KBBI adalah “Memberikan uraian
tentang suatu hal (pengetahuan dan sebagainya)”, menyampaikan ceramah: misalnya
ucapan “Dia diminta -berceramah- tentang keluarga berencana dalam
pertemuan itu. Penceramah berarti “orang yang memberikan ceramah” atau “orang yang
melakukan pidato di depan orang banyak tentang ilmu pengetahuan, agama dan yang
lainnya. Makna “penceramah” saat ini menjadi para da’i, mubaligh, ustadz,
khatib dan ahli agama lainnya yang menyampaikan ilmu agama kepada masyarakat.
Selanjutnya makna radikal, apabila kita buka Kamus Besar Bahasa
Indonesia maka kita menemukan makna “radikal” adalah; pertama, secara mendasar
(sampai kepada hal yang prinsip). Kedua, perubahan yang -radikal-
(mendasar). Ketiga “amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan)”
dalam bidang politik. Keempat, “maju dalam berpikir atau bertindak”. Kita akan
kesulitan mencari makna radikal dalam KBBI, makna yang paling dekat adalah “amat
keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan)”, walaupun syarat dengan
nuansa politik. Makna radikal akan lebih jelas apabila ditambah dengan istilah “isme”
yaitu Radikalisme yang dipahami sebagai “Paham atau aliran yang menginginkan
perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan, serta mengacu
pada sikap ekstrem dalam aliran politik. Secara lebih popular bahwa makna
radikal adalah “Sikap ektrim (missal; dalam beragama atau politik) yang
bertentangan dengan falsafah hidup bangsa dan kebudayaannya”.
Apabila dua kata ini digabungkan bermakna “Orang yang berceramah
(Penceramah) dengan mengajarkan sikap “ektrim” dalam beragama dan membenturkan
dengan keberadaan negara serta berbagai kebudayaannya”. Tentu saja istilah ini
sangat mudah untuk dikritik, karena standar radikal yang disebutkan BNPT sejatinya
dapat juga disandingkan dengan falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Sebagai
falsafah bangsa Pancasila tentu menjadi kesepakatan puncak seluruh warga negara
Indonesia, termasuk umat Islam di dalamnya. Sila Pertama Pancasila sangat jelas
menyatakan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, ini dipahami bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) adalah negara yang berasaskan ketuhanan dalam makna
yang luas. Misalnya umat Islam memiliki Tuhan yaitu Allah Ta’ala, maka Dia
adalah asas pertama dari Pancasila.
Selain itu, UUD 1945 Pasal 28E ayat (1) menegaskan bahwa “Setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Secara
lebih tegas lagi disebutkan dalam Pasal 29 Ayat (2), yakni “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama”. Maka jelas sekali
bahwa seluruh warga negara Indonesia diberikan kebebasan untuk memeluk agama
yang diyakini dan beribadah sesuai dengan keyakinannya tersebut.
Analisis Pertama, Penceramah
Radikal mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan pro-ideologi khilafah
internasional. Sejatinya sudah final bagi umat Islam di Indonesia bahwa kita
sebagai muslim tidak anti Pancasila, bahkan Sila Pertama secara jelas
menunjukan Ketuhanan sebagai dasar bagi bangsa ini. Sehingga kalau ada yang
anti Pancasila berarti dia tidak paham dengan Islam, atau sebaliknya tidak
paham dengan Pancasila yang sangat berketuhanan yang dalam konteks Islam tentu
saja bersifat Ilahiyah. Terkait dengan ideologi khilafah, ini memang sarat
nuansa politik, saya sendiri jelas tidak setuju ketika ada orang atau
sekelompok orang dalam wilayah NKRI ingin mendirikan khilafah. Namun sekali
lagi bahwa isu syariah seringkali muncul dari pihak-pihak yang tidak suka
dengan Islam. Bahkan ekonomi dan bisnis syariah-pun dicurigai sebagai usaha
untuk mendirikan khilafah. Sehingga kalau ada yang anti dengan Pancasila dan
pro khilafah internasional maka jelas itu adalah radikalisme, namun sekali lagi
harus dipastikan kebenarannya.
Kedua, mengajarkan paham takfiri
yang mengkafirkan pihak lain berbeda paham. Isu takfiri sejatinya sudah
lama dalam sejarah Islam, pemberontak khawarij menjadi golongan pertama
yang dengan mudah mengkafirkan orang lain di luar kelompoknya. Saat ini,
mungkin khawarij sudah tidak ada namun pemikiran yang dengan mudah
mengkafirkan orang lain apalagi yang masih muslim adalah sebuah kesalahan
besar. Faktanya bahwa kafir-mengkafirkan orang lain adalah kajian fiqh yang
kemudian didengung-dengungkan oleh pihak lain yang merasa jamaahnya mulai
berkurang atau eksistensinya terancam. Sehingga lanjutan dari takfiri adalah
tabdi; (mudah membid’ahkan) dan menganggap sesat orang lain atau suatu
amalan. Maka dalam hal ini kita harus kembali untuk mengkaji Islam yang hanif
ini, Islam yang memang berdiri di atas manhaj yang lurus yang berani
mengatakan bahwa hitam itu hitam dan putih itu putih. Mengkafirkan umat Islam
lainnya adalah dosa besar dalam Islam, namun lebih berdosa lagi ketika kita
menuduh orang lain sebagai takfiri (orang yang mudah mengkafirkan orang
lain).
Ketiga, menanamkan sikap antipemerintahan
yang sah. Islam sudah sangat jelas mengatur tentag kewajiban untuk taat kepada ulil
amri, tentu saja ketaatan dalam hal yang ma’ruf. Statement ini bisa
dijelaskan dengan pemahaman Islam, bahwa memberontak kepada pemerintah yang sah
adalah dosa besar, apalagi sampai mengorbankan rakyat untuk smeua kudeta
berdarah yang memakan banka korban jiwa. Padahal haram hukumnya meneteskan darah
umat Islam apalagi sampai mengorbankannya untuk sebuah perjuangan yang tanpa
perhitungan. Intinya anti pemerintah dalam Islam jelas diharamkan, namun bukan
berarti meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar. Apalagi dalam konteks negara
demokrasi yang memberikan kebebasan warganya untuk berpendapat dan menyampaikan
kritik atau saranan. Maka, sikap anti pemerintah yang dimaksud dalam hal ini
haruslah diperjelas dengan membedakannya dengan kritik dan kebebasan
berpendapat.
Keempat, memiliki sikap ekslusif terhadap
lingkungan. Makna ekslusif yang dimaksud adalah mereka sangat tertutup dengan
kelompok lain baik dari sisi pemikiran, lingkungan ataupun pergaulan. Dalam konteks
muslim di Indonesia adalah mereka yang tidak mau menerima ide dan pendapat dari
orang lain bahkan menyalahkannya. Namun lagi-lagi hal ini juga harus dijelaskan
lebih detail, jika sikap ekslusif terkait dengan ide dan gagasan yang tidak
mengganggu pihak lain tentu tidak masalah, karena ini merupakan keyakinanya. Demikian
pula ketika ia melihat bahwa lingkungannya (menurutnya) sangat tidak Islami
sehingga mereka membatasi diri dalam berbagai kegiatan yang menurutnya adalah
sebuah kesalahan. Tentu saja dalam konteks ini kita kembalikan kepada makna
demokrasi yang memberikan kebebasan untuk memiliki keyakinan, bersikap bahkan
beribadat sesuai dengan ideologinya. Selama ia tidak mengganggu orang lain maka
silahkan saja, karena hal itu juga dilindungi oleh peraturan yang ada.
Kelima, memiliki pandangan antibudaya
ataupun antikearifan lokal. Statement ini adalah lanjutan dari sebelumnya, di
mana ciri Penceramah Radikal adalah mereka yang anti dengan budaya dan kearifan
lokal. Bagaimana sebenarnya sikap kita sebagai seorang muslim dengan berbagai kebudayaan
yang ada di Indonesia dan dunia? Sejatinya Islam telah memberikan jalan yang
sangat terang dalam menyikapi budaya manusia, bahkan dalam kaidah fiqh
dijelaskan “al’aadah muhakkamah” bahwa adat kebiasaan atau tradisi bisa
menjadi pertimbangan atau dasar hukum. Sehingga Islam sangat ramah dengan
budaya lokal, bukti nyatanya adalah bagaimana budaya bangsa tetap ada hingga
saat ini kita berada. Tentu saja budaya lokal yang diterima oleh Islam adalah
yang tidak bertentangan dengan syariah Islam, dan kita tahu bahwa syariat Islam
itu akan selalu sesuai dengan fitrah manusia. Sehingga jika ada suatu budaya
yang tidak diperkenankan dalam Islam sejatinya budaya tersebut memang tidak sesuai
dengan fitrah manusia. Misalnya budaya seks bebas jelas bertentangan dengan
Islam dan juga fitrah manusia, demikian juga perjudian dan segala bentuk budaya
yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Intinya adalah bahwa Islam
ramah budaya lokal selama tidak bertentangan dengan syariah Islam dan fitrah
insan.
Merujuk pada pembahasan ini maka standar penceramah radikal
selayaknya untuk diperiksa ulang, jangan sampai memunculkan persepsi yang tidak
tepat di tengah masyarakat. Umat Islam di Indonesia sejak dahulu sudah bersama,
bertetangga dan merajuk harmoni dengan berbagai suku bangsa dan agama di dunia.
Tidak ada pertentangan antara Islam dengan falsafah bangsa dan budaya lokal,
sehingga jika ada isu yang mencoba mengadu domba antara Islam dengan negara dan
budaya maka periksalah dari mana asalnya? Karena bisa jadi itu berasal dari
pihak-pihak yang suka dengan Islam, tidak suka dengan Indonesia dan tidak
menginginkan Islam di Indonesia Berjaya. Akhirnya bahwa Islam sebagai agama
yang sempurna dan menjadi rahmat bagi seluruh alam tidak pernah mengajarkan
segala bentuk kekerasan dan radikalisme. Islam di Indonesia menjadi contoh bagi
umat Islam dari berbagai negara dalam merajut harmoni dengan berbagai keyakinan
dan agama. Biarkan Islam Berjaya dalam bingkai NKRI tercinta… Bogor, 07032022.