A. Pendahuluan
Buku yang akan
dikaji ini adalah hasil adaptasi dari disertasi Achmad Gunaryo pada program
Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang. Buku ini memaparkan
proses proses politik penguatan yang dilalui oleh Peradilan Agama di Indonesia
sehingga bisa menjadi peradilan yang independen seperti sekarang.
Buku ini layak
menjadi pegangan bagi para peminat bidang politik hukum, khusunya hukum Islam.
Karena pembahasannya cukup representatif menggambarkan sisi-sisi politis
penggembosan dan penguatan eksistensi dan posisi peradilan Agama di Indonesia
dari berbagai kalangan, mulai dari zaman penjajahan samapi era reformasi
sekarang ini.
Perkembanga
Peradilan Agama di masyarakat hingga menjadi lembaga Peradilan yang diakui oleh
negara tidak luput dari nuansa politik yang berkembang pada setiap masa. Hal
ini senada dengan pendapat Mahfud MD yang mengatakan bahwa produk hukum akan
sangat diwarnai atau ditentukan oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik
yang melahirkannya. Asumsi ini dipilah berdasarkan kenyataan bahwa setiap
produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat
sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi di
kalangan para politisi.
Jauh sebebelum
Indonesia merdeka, Peradilan Agama telah banyak berperan dalam penyelesaian
sengketa pada masyarakat muslim. Namun hingga tahun 1989, keberadaan Peradilan
Agama ini hanya sebagai pelengkap saja. Pada waktu itu Peradilan Agama tidak
diberi wewenang untuk menjalankan keputusan yang dibuatnya sendiri. Pengadilan
Agama dapat mengimplementasikan keputusannya apabila sudah mendapat restu atau
izin dari Pengadilan negeri dalam bentuk executoir verklaring . Fenomena ini
amat unik sekaligus diskriminatif, sebab suatu lembaga peradilan tidak dapat
menjalankan keputusannya sebelum diizinkan oleh lembaga peradilan lain yang
levelnya setingkat. Dikatakan diskriminatif karena lembaga peradilan lainnya
yang diakui oleh UU No. 14 tahun 1970 diberi wewenang untuk menjalankan
keputusannya sendiri.
Karena
kekecewaannya terhadap politik sistem hukum nasional yang diskriminatif
tersebut, Munawir Sadzali pernah mengatakan bahwa Peradilan Agama sebagai
Peradilan Pupuk Bawang. Kenyataan itu diperkuat lagi dengan penampilan fisik
gedung Peradilan Agama yang tidak menampakkan layaknya gedung Peradilan. Belum
lagi hingga tahun 1990-an masih banyak hakim hakimnya yang hanya berstatus
sebagai pegawai honorer, tidak seperti hakim hakim di lingkungan peradilan lain
yang merupakan pegawai Negara.
Barulah kemudian
pada tahun 1989 melalui UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
disahkan pada tanggal 27 Desember, Peradialn Agama tidak lagi menjadi Peradilan
Pupuk Bawang melainkan ia sudah dapat berperan sebagaimana lembaga peradilan
yang sesungguhnya (Court of Law). Hal ini merupakan kulminasi perjuangan
politik Islam dalam bidang peradilan dan hukum. Dengan lahirnya undang undang
tersebut maka kemudian lahir peraturan-peraturan lainnya seperti Instruksi
Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU No. 7 tahun
1992 jo UU No. 10 tahun, 1998 dan UU No. 23 tahun 1999 tentang Perbankan
Syari’ah, UU No. 35 tahun 1999 tentang “penyatuan” semua lingkungan peradilan
menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung, UU No. 17 tahun 1999 tentang Haji;
UU No. 38/2001 tentang Zakat dan UU No. 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus di
Nangroe Aceh Darussalam; UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat yang menyetarakan
Sarjana Syari’ah dengan Sarjana Hukum dan memberi peluang untuk menjadiadvokat;
dan UU No. 3 tahun 2006 tentang penambahan kompetensi Peradilan Agama,
membuktikan eksistensi dan posisi Peradilan Agama telah diakui sepenuhnya oleh
negara dam masyarakat.
Lahirnya
berbagai perundang-undangan dan peraturan di atas merupakan bentuk pengakuan
yang nyata terhadap hukum Islam dan sekaligus Peradilan Agama sebagai
pelaksanya. Dengan adanya pengakuan secara dejure dan facto baik dari
masyarakat maupun oleh negara, maka Peradilan Agama dapat melaksanakan tugas
dan fungsinya secara mantap tanpa ada pengaruh dan keterikatan denganlembaga
lain, sehingga menjadi sebuah lembaga yang dapat menciptakan keadilan di
tengah-tengah masyarakat.
B. Peradilan
Agama di Indonesia dalam Lintas Sejarah
1.
Prakemerdekaan
Peradilan Agama
di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang. Jauh sebelum kemerdekaan,
sistem peradilan agama sudah lahir. Oleh karena itu untuk sebelum membahas
tentang Peradilan agama prakemerdekaan selayaknya menarik sejarah ini jaug ke
belakang sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, tepatnya pada
masa kerajaan.
Sebelum Islam
datang ke Indonesia telah ada dua macam peradilan, yaitu Peradilan Pradata dan
Perdilan Padu. Materi hukum Peradilan Pradata bersumber dari ajaran Hindu dan
ditulis dalam Papakem. Sedangkan Peradilan Padu menggunakan hukum materiil
tidak tertulis yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Dalam
prakteknya, Peradilan Pradata menangani persoalan-persoalan yang berhubungan
dengan wewenang raja, sedangkan Peradilan Padu menangani persoalan-persoalan
yang tidak berhubungan dengan wewenang raja. Keberadaan dua sistem peradilan
ini berakhir setelah raja Mataram menggantinya dengan sistem Peradilan Surambi
yang berasaskan Islam. Penggantian ini bertujuan untuk menjaga integrasi
wilayah kerajaan Mataram.
Peradilan agama
sebagai bagian dari mekanisme penyelenggaraab kenegaraan pernah mengalami
pasang surut ketika Sultan Agung meninggal dan digantikan oleh Amangkurat I.
Amangkurat I pernah menutup Peradilan Agama dan menghidupkan kembali Peradilan
Pradata. Setelah masa ini Peradilan Agama eksis kembali. Hal ini dibuktikan
dengan diterbitkannya sebuah kitab hukum Islam “Shirath al-Mustaqim” yang
ditulis Nurudin Ar-Raniri. Kitab ini menjadi rujukan para hakim di Indonesia.
Pada tahun 1642, terbit Statuta Batavia yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku
adalah hukum Islam.
Pada tahun 1882
pemerintah kolonial mengeluarkan Staatsblad No. 152 yang merupakan pengakuan
resmi terhadap eksistensi Peradilan Agama dan hukum Islam di Indonesia samapai
sekarang. Staatsblad ini dapat dilihat sebagai titik awal dimulainya interaksi
dua sistem peradilan, Islam dan Barat. Selanjutnya pada tahun 1931 membentuk
sebuah komisi yang bertugas membicarakan masa depan Pengadilan Agama. Hasil
dari komisi ini berupa dikeluarkannya Staatsblad No. 53 yang terdiri dari tiga bagian;
bagian I tentang perubahan nama Pengadilan dari Priesterrad menjadi
Penghoeloegerecht dan mencabut wewenang dalam masalah waris, sehingga hanya
menangani masalah perkawinan. Bagian II memuat aturan tentang campur tangan
lanndrrad dalam soal peradilan harta bagi orang-orang Indonesia asli. Bagian
III memuat pembentukan Balai Harta Peninggalan bagi orang Indonesia asli.
Karena Staatsblad ini tidak berjalan efektif dan karena pengaruh teori resepsi
, pada tahun 1937 keluarlah staatsblad 1937 No. 116. Staatsblad ini mencabut
wewenang yang dipunyai oleh Peradilan Agama dalam persoalan waris dan masalah
masalah lain yang berhubungan dengan harta benda, terutama tanah. Sejak itulah
kompetensi Peradilan Agama hanya pada masalah perkawinan dan perceraian. Sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas, bahwa Peradilan Agama pada masa ini tidak dapat
melaksanakan keputusannya sendiri, melainkan harus dimintakan pengukuhan dari
Peradilan Negeri.
Pengurangan
terhadap kompetensi Peradilan Agama tersebut tentunya sangat mengecewakan
masyarakat muslim Indonesia karena Peradilan Agama pada waktu itu betul-betul
mereka anggap sebagai lembaga peradilan layaknya lembaga peradilan, bukan
sebagai lembaga agama semata. Belum lagi pada masa ini Peradilan Agama hanya
dapat menghidupi dirinya sendiri melalui ongkos perkara yang diterimanya. Ini
dilakukan karena pemerintah kolonial tidak pernah mensubsidi Peradilan Agama
untuk pengelolaan administrasinya, termasuk tidak menggaji hakim dan
pegawainya. Kenyataan bahwa hakim dan pegawai Peradilan Agama menerima uang
dari mereka yang menggunakan jasa peradilan inilah yang belakangan dipakai
sebagai alat oleh Belanda untuk mengatakan bahwa Peradilan Agama adalah sarang
korupsi.
Demikianlah
liku-liku eksistensi Peradilan Agama pada masa penjajahan Belanda. Pada masa
penjajahan Jepang tidakada perubahan signifikan tentang eksistensi Peradilam
Agama sampai memasuki kemerdekaan dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Pasca
Kemerdekaan
Masa Orde Baru
Pada masa
kemerdekaan, usaha untuk mengurangi dan mengeliminir, bahkan menghapuskan baik
wewenang maupun peran Peradilan Agama pernah terjadi ketika RUU Perkawinan
dibuat oleh pemerintah dan diajukan ke DPR pada tahun 1973. rancangan undang
undang tersebut memiliki dua tujuan. Pertama, untuk mengurangi frekuensi
perceraian dan perkawinan di bawah umur. Kedua, untuk menyeragamkan
undang-undang perkawinan di Indonesia sebagai bagian program kesatuan dan
persatuan Indonesia di bawah idiologi negara Pancasila.
Dalam RUU
tersebut, Peradilan Agama hanya disebut dalam rancangan penjelasan pasal 73
ayat (2). Bunyi rancangan penjelasan pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Untuk
memperlancar pelaksanaan undang undang ini, Pemerintah dapat mengatur lebih
kanjut hal hal tertentu yang memerlukan ketentuan pelaksanaan, antara lain yang
bersangkut paut pengikutsertaan Pengadilan Agama dalam tata cara penyelesaian
perselisihan perkawinan dan perceraian oleh Pengadilan Umum, tata cara
berlangsungnya perkawinan sebagai golongan bagi agama Islam adanya sansi, wali
dan sebagainya.
Peletakkan kata
Pengadilan Agama pada penjelasan segera dapat dibaca bahwa Pengadilan Agama
hanyalah pelengkap Pengadilan Umum. Penjelasan bukanlah bagian dari undang
undang dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelenggaraan proses peradilan
(dasar hukum). Karena itu, maka dipahami bahwa RUU tersebut dinilai sebagai
upaya untuk menghapuskan Pengadilan Agama. Posisi pelengkap itu pun, oleh RUU
direkomendasikan pada Peraturan Pemerintah (PP). Secara harfiah dapat
dimengerti status Pengadilan Agama menurut RUU tersebut akan berada di bawah
wewenang Pengadilan Umum.
Pasal 3 ayat 2
RUU berbunyi:
Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, selanjutnya dalam undang-undang ini disebut
Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak pihak yang bersangkutan.
Dari bunyi pasal
3 ayat 2 dan penjelasan pasal 73 ayat 2 di atas terlihat bahwa akan terjadi
pengalihan wewenang masalah perkawinan dari Pengadilan Agama kepada Pengadilan
Negeri. Pengadilan Agama akan diikutsertakan dalam persoalan ini sepanjang
menyangkut tata cara berlangsungnya perkawinan. Jika ini terjadi, maka habislah
sedah wewenang Peradilan Agama karena masalah kewarisan dan harta benda sudah
dicabut terlebih dahulu oleh staatsblad 1937 No. 116.
Tetapi akhirnya
masyarakat muslim bisa bernafas lega, sebab biarpun melalui perjuangan yang
amat berat, yaitu dengan persetujuan dan kompromi umat Islam, akhirnya RUU
Perkawinan di atas diamandemen dan pada bulan Januari 1974 disahkan menjadi UU
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan itu, maka keberadaan Peradilan
Agama menjadi terselamatkan, namun perannya tetap dibatasi. Pembatasan yang
diamaksud terletak pada ketentuan pasal 63 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 tentang
Peradilan Agama yang mengatakan bahwa “setiap keputusan Pengadilan Agama
dikukuhkan oleh Pengadilan umum.” Dengan ketentuan ini, maka Peradilan Agama
masih tetap diposisikan sebagai Peradilan “Pupuk Bawang”.
Terlepas dari
itu semua, harus diakui bahwa UU No. 1 tahun 1974 ini sangat berarti dalam
perkembangan Peradilan Agama di Indonesia, karena selain menyelamatkan
keberadaan Peradilan Agama sendiri, sejak disahkan UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan jo. PP No. 9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksananya, maka terbit
pulalah ketentuan Hukum Acara di Pengadilan Agama, biarpun baru sebagian kecil
saja. Ketentuan Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama baru
disebutkan secara tegas sejak diterbitkan UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Hukum Acara yang dimaksud diletakkan pada ketentuan Bab IV yang terdiri
dari 37 pasal. Memang tidak semua ketentuan tentang Hukum Acara Peradilan Agama
dimuat dalam undang-undang ini. Hal itu dapat dilihat dalam pasal 54, dimana
dikemukakan bahwa Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang
undang ini.
Lahirnya
Undang-Undang No. 7 tahun 1989 ini bisa dikatakan sebagai “hadiah” bagi
kalangan Islam yang telah merubah sikap politiknya menjadi substantif
integratif. Perjuangan mereka lebih mengarah pada sikap-sikap inklusif yang
menghindarkan diri dari pemisahan-pemisahan ketegoris yang kaku. Namun
demikian, dalam Perjalanannya, penolakan penolakan terhadap legalisasi
Peradilan Agama pada masa ini masih gencar. Hal ini nampak pada pembahasan RUU
No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama oleh DPR. Sebagian masyarakat,
kebanyakan dari unsur agama katolik menuduh bahwa penegakkan RUU tersebut
berarti penegakkan kembali Piagam Jakarta (Magnis Suseno, S. Wijoyo, dan P.J.
Suwarno). S. Wijoyo misalnya secara terang terangan mengatakan bahwa RUU
tersebut menentang kesaktian Pancasila. Sedangkan R. Suprapto menyatakan bahwa
keberadaan Peradilan Agama tidak dapat diterima. Penerimaan Peradilan Agama
dalam pandangannya sama dengan menerima sumber di luar UUD 1945 dan Pancasila.
Selain itu dia juga mengusulkan agar UU No. 14 tahun 1970 ditinjau kembali.
Terlepas dari
gencarnya pro dan kontra perihal pengesahan UU No. 7 tahun 1989 di atas, bahkan
tak kurang dari empat ratus artikel tentang tanggapan pro dan kontra tersebut
dimuat di media masa, namun akhirnya pada tanggal 27 Desember 1989 UU No. 7
tahun 1989 tentang Peadilan Agama disahkan oleh DPR yang kemudian diikuti
dengan dikeluarkannya Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Dengan disahkan UU tersebut bukan saja menyejajarkan kedudukan Peradilan Agama
dengan lembaga peradilan peradilan lain, melainkan juga mengembalikan
kompetensi Peradilan Agama yang dulu pernah dimilikinya pada zaman kolonial.
Pasal 49 UU itu menyatakan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang:
a. Perkawinan
b. Kewarisan,
wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
c. Wakaf dan
shodaqoh
Dalam pasal 49
ayat 3 dinyatakan bahwa:
Bidang kewarisan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b ialah penentuan siapa siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian
bagian ahli waris, dan melaksanakan pembagian pada harta peninggalan tersebut.
Dalam ayat 3 di
atas terlihat bawa Pengadilan Agama memiliki kekuatan hukum untuk melaksanakan
keputusannya sendiri, tidak perlu meminta executoir verklaring lagi dari
Pengadilan Umum.
Pada dasarnya
tujuan jangka panjang dari inpres No. 1 tahun 1991 tentang KHI dan Surat
Keputusan Menteri Agama No. 154 tahun 1991 adalah menjadikan hukum Islam
semakin mengakar di masyarakat. Dan sekaligus dapat menekan beban politik DPR
karena KHI telah menjadi hukum materiil Peradilan Agama. Tas dasar ini Gunaryo
(hal. 246) berpendapat bahwa keluarnya inpres dan SK menteri Agama tersebut
berfungsi utama sebaga akselerator penghidupan hukum islam yang bersifat
polirtis ketimbang legitimator.
Masa Reformasi
Perkembangan
selanjutnya adalah disahkannya Undang-undang No. 35 tahun 1999 yang
menyejajarkan lembaga Peradilan Agama dengan lembaga-lembaga peradilan lainnya.
Undang-undang ini menjadikan Peradilan Agama menjadi satu atap di bawah
Mahkamah Agung sebagaimana Peradilan Umum, peradilan Militer danPeradilan tata
Usaha Negara.
Lahirnya
undang-undang di ats secara otomatis semakin memperkuat eksistensi dan posisi
Perdailan Agama dalam kancah peradilan di Indonesia. Berdasarkan undang-undang
ini maka masalah organisasi, administrasi dan finansial pengadilan Agama tidak
lagi ditangani oleh Departemen Agama, akan tetapi menajdi tanggung jawab
Mahkamah Agung. Dan mulai tanggal 1 Juli 2004 Peradilan Agama dan Mahkamah
Syar’iyyah resmi berpindah dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung.
Pengakuan
terhadap Peradilan Agama dan perangkat-perangkatnya oleh masyarakat dan
pemerintah nampaknya semakin mantap. Hal ini dibuktikan dengan disahkannya
Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang advokat pada tanggal 5 April 2003.
Dalam Undang-undang ini disebutkan bahwa Sarjana Syariah mempunyai kesempatan
yang sama dan sejajar dengan Sarjana Hukum untuk menjadi advokat. Hal ini
teidak terlepas dari perjuangan para anggota parelemn, terutama dari Fraksi
Kebangkitan Bangsa, Fraksi Persatuan Pembangunan dan fraksi reformasi yang
menuntut kesejajaran Sarjana Syariah dengan Sarjana Hukum. Dan selanjutnya
dukungan datang dari faraksi Gilkar dan Fraksi Bulan Bintang.
C. Mahkamah
Syari’ah di Aceh sebagai lembaga peradilan baru
Pasca runtuhnya
rezim orde baru, di Aceh terjadi konflik besar antara kelompok penuntut
disintegrasi, atau yang kemudian dikenal dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
dengan pemerintah. Konflik yang berlangsung bertahun tahun itu banyak
menimbulkan korban, baik dari pemerintah, GAM maupun penduduk sipil. Tuntutan
pemisahan diri dari NKRI yang sulit sekali untuk dibungkam berakhir pada
pemberian otonomi khusus dari pemerintah Indonesia kepada Aceh dengan UU No. 18
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
UU No. 18 Tahun
2001 tersebut membawa perkembangan baru di Aceh dalam sistem peradilan. Pasal
25 – Pasal 26 UU PNAD mengatur mengenai Mahkamah Syari’ah NAD yang merupakan
peradilan syari’at Islam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional.
Mahkamah Syari’ah adalah lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh pihak
manapun dalam wilayah PNAD (Provinsi Nangroe Aceh Darussalam) yang berlaku
untuk pemeluk agama Islam. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah selanjutnya diatur
lebih lanjut dengan Qanun PNAD. Mahkamah Syari’ah sebagai Peradilan di Aceh
diberikan wewenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara perkara
Jinayat. Wewnag itu sebagaimana yang diamanatkan oleh Qanun No. 10 tahun 2002
Pasal 49.
Mahkamah
Syari’ah sendiri terdiri dari:
1. Makamah
Syari’ah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda sebagai pengadilan tingkat pertama;
2. Mahkamah
Syari’ah Provinsi sebagai pengadilan tingkat banding yang berada di ibukota
Provinsi, yaitu di Banda Aceh.
Sementara untuk
tingkat kasasi tetap dilakukan di Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara
Tertinggi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24A UUD NRI 1945, yaitu
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh undang-undang.
UU Nomor 18
Tahun 2001 di atas telah memperkuat UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan
Aceh. UU tersebut juga memberi jaminan hukum tentang pelaksanaan Syariat Islam
sebagai hukum materiil yang digunakan di Aceh, mengembangkan dan mengatur
pendidikan sesuai dengan ajaran Islam, mengembangkan dan menyelenggarakan
kehidupan adat dan peran serta kedudukan Ulama dalam penerapan kebijakan
daerah.
UU No 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh memberikan keleluasaan kepada Aceh untuk membuat
qanun yang mengatur pelaksanaan syariat Islam. UU tersebut menagatakan bahwa
bidang ahwal al-syakhsiyah, mu’amalah, dan jinayah (masalah kejahatan) yang
didasarkan atas syariat Islam dapat diatur dengan qonun (peraturan daerah),
biarpun hingga sekarang qonun yang sudah disahkan di Aceh baru berupa 1). Qonun
nomor 11 tentang aturan Syariat Islam, 2). Qonun 12 soal judi atau maisir, 3)
Qonun 13 tentang khamar atau minuman keras, 4) serta Qonun 14 tentang khalwat
atau menyepi degan lawan jenis.
D. Penambahan
Kompetensi Peradilan Agama
Pembagian ke
empat lingkungan badan peradilan tetap dipertahankan sejak dari berlakunya UU
no. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman hingga kini, padahal
UU tentang Pokok-pokok Kehakiman sudah mengalami perubahan selama dua kali
sejak berlakunya UU no. 14 tahun 1970. Perubahan pertama yaitu dengan
dikeluarkannya UU no. 35 tahun 1999 tentang perubahan terhadap UU no. 14 tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yng kemudian dirubah
lagi dengan UU no. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berlaku hingga
saat ini.
Sedangkan
terhadap Peradilan Agama pascareformasi baru menunjukkan perkembangan pada masa
pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono. Peradilan Agama sebagaimana yang terdapat
dalam UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang dulu hanya berwenang
memeriksa dan memutus perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, dan Hibah yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta Wakaf dan Shodaqoh, tetapi sekarang
wewenangnya diperluas lagi setelah diundangkannya UU no. 3 tahun 2006 tentang
Perubahan Atas undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sehingga
wewenangnya meliputi: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shadaqah; dan ekonomi syari'ah. Undang undang No. 3 tahun 2006 itu muncul dalam
rangka penegakkan dari undang undang No. 7 tahun 1992 jo. Undang undang No. 10
tahun 1998 dan undang undang No. 23 tahun 1999 tentang Sistem Perbankan
Nasional yang mengizinkan beroperasinya Sistem Perbankan Syari’ah.
Inilah sekilas
gambaran tentang liku-liku Peradilan Agama dalam mencari “jati diri”. Banyak
sekali kepentingan politik yang berada di belakangnya. Sehingga sangat wajar
Peradilan Agama baru mendapat eksistensi dan posisi yang proporsional setelah
perjuangan selama lebih dari setengah abad. Namun perjuangan para praktisi dan
pemikir muslim yang concern dalam bidang hukum Islam tidaklah sia-sia, karena
Peradilan Agama kini menjadi diakui secara dejure dan facto baik dari masyarakat
maupun oleh negara, maka Peradilan Agama dapat melaksanakan tugas dan fungsinya
secara mantap tanpa ada pengaruh dan keterikatan denganlembaga lain, sehingga
menjadi sebuah lembaga yang dapat menciptakan keadilan di tengah-tengah
masyarakat. Secara politis, pengakuan Peradilan Agama oleh negara juga
merupakan lompatan sratus tahun sejak pertama kali peradilan ini diakui oleh
pemerintah Belanda pada tahun 1882. Peradilan Agama adalah simbol kekuasaan dan
politik Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal
Moh Mahfud MD.,
“Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia” (Yogyakarta: Gama Media. 1999).
Rachmadi
Utsman,”Perkembangan Hukum Perdata dalam Dimensi Sejarah dan Politik Hukum di
Indonesia” (Jakarta: PT Sinar Multi Press. 2003).
Tresna,
“Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad” (Jakarta: Pradnya paramita. 1977).
Abdul Halim,
“Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia: Dari Otoriter Konservatif
Menuju Konfigurasi Demokrasi-Responsif” (Jakarta: Rajawali Press. 2000).
Jurnal Al
Mawarid. Edisi VI Desember 1997.
Abdul Manan,
“Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama” (Jakarta: Prenada
Media. 2005.
Daniel S. Lev,
“Islamic Court in Indonesia” (Berkeley: University of Cslifornia Press, 1972).
Peraturan
Perundang undangan
Indonesia.
Undang undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Indonesia,
Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Indonesia,
Undang undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia.
Undang undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Indonesia.
Undang undang no. 4 tahun 2004 tentang kekusaan kehakiman
Indonesia,
Undang undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Indonesia,
Undang undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas undang-undang No. 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama.
Sumber lain
BAPPEDA D.I.
ACEH. 2006. Pemerintahan. Aceh: BABBEDA