Pendahuluan.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
pada pasal 2 menyatakan : “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini”.
Anak kalimat ”perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini” dapat ditemukan petunjuknya dalam
pasal 49 yang menyatakan : Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang :
perkawinan ;
waris ;
wasiat ;
hibah ;
wakaf ;
zakat ;
infaq ;
shadaqah ; dan
ekonomi syari’ah.
Bidang-bidang tersebut adalah
perkara perdata. Maka hukum acara yang dimaksud dengan judul di atas adalah
Hukum Acara Perdata Peradilan Agama.
Pengertian Hukum Acara Peradilan
Agama.
Menurut Prof. Dr. Wiryono
Prodjodikoro, SH., hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan
yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara
bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan
berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
R. Suparmono SH. memberikan
definisi hukum acara perdata adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur
tentang cara-cara bagaimana mempertahankan, melaksanakan dan menegakkan hukum
perdata materiil melalui proses peradilan (peradilan negara).
Prof. Dr. Soedikno Mertokusumo,
SH. menyatakan, hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya
mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari
putusannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa Hukum Acara Peradilan Agama adalah rangkaian peraturan-peraturan yang
memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan yang terdiri
dari cara mengajukan tuntutan dan mempertahankan hak, cara bagaimana pengadilan
harus bertindak untuk memeriksa serta memutus perkara dan cara bagaimana
melaksanakan putusan tersebut di lingkungan Peradilan Agama.
Sumber Hukum Acara Peradilan
Agama.
Pasal 54 Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama menyatakan, Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang
ini. Oleh karena itu dapat tegaskan bahwa sumber hukum acara Peradilan Agama
antara lain :
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947
tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf.
Het Herziene Indonesisch
Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura.
Rechtsreglement Buitengewesten
(RBg.) untuk luar Jawa dan Madura.
Reglement op de Burgerlijke
Rechtsvordering (Rv).
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor
1 Tahun 1991 tentang penggunaan Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman dalam
penyelesaian masalah-masalah di bidang Perkawinan, Perwakafan dan Kewarisan.
Yurisprudensi, yaitu kumpulan
yang sistematis dari Putusan Mahkamah Agung yang diikuti oleh Hakim lain dalam
putusan yang sama.
Surat Edaran Mahkamah Agung
sepanjang menyangkut Hukum Acara Perdata.
Asas-asas Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama
Sebagai landasan Hukum Acara
Peradilan Agama, perlu dipedomani Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama sebagai
berikut :
Peradilan Agama adalah Peradilan
Negara (pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004, pasal 2 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-undang Nomor 3 tahun 2006.
Peradilan Agama adalah peradilan
bagi orang-orang yang beragama Islam (pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989).
Peradilan Agama menetapkan dan
menmegakkan hukum berdasarkan keadilan berdasarkan Pancasila (pasal 3 ayat (2)
Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
Peradilan Agama memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara berdasarkan hukum Islam (pasal 2, 49 dan
Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 3 tahun 2006).
Peradilan dilakukan demi keadilan
berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa (pasal 4 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004,
pasal 57 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 tahun 2006).
Peradilan dilakukan dengan
sederhana, cepat dan biaya ringan (pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun
2004, pasal 57 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
Peradilan dilakukan menurut hukum
dan tidak membeda-bedakan orang (pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun
2004, pasal 58 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
Peradilan dilakukan bebas dari
pengaruh dan campur tangan dari luar (pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 4
tahun 2004).
Peradilan dilakukan dalam
persidangan Majelis dengan sekurang-kurangnya tiga orang Hakim dan salah
satunya sebagai Ketua, sedang yang lain sebagai anggota, dibantu oleh Panitera
Sidang (pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
Pihak yang diadili mempunyai hak
ingkar terhadap Hakim yang mengadili (pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 4
tahun 2004).
Beracara dikenakan biaya (pasal
121 ayat (1) HIR, pasal 145 ayat (4) RBg.).
Hakim bersifat menunggu (pasal 49
Undang-undang Nomor 3 tahun 2006).
Hakim pasif (pasal 118 ayat (1)
HIR, pasal 142 ayat (1) RBg.)
Persidangan bersifat terbuka
untuk umum (pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
Hakim mendengar kedua belah pihak
(pasal 121 HIR,pasal 145 RBg., pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun
2004, pasal 58 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
Tidak harus diwakilkan (pasal 123
HIR, pasal 147 RBg.).
Hakim wajib mendamaikan para
pihak (pasal 130 HIR, 154 RBg, pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974).
Hakim membantu para pihak (pasal
5 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 58 ayat (2) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989).
Hakim wajib menghadili setiap
perkara yang diajukan kepadanya (pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun
2004).
Putusan harus disertai alasan
(pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 62 ayat (1)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, pasal 184 ayat (1)dan pasal 195 RBg.).
Tiap putusan dimulai dengan
kalimat “Bismillahir rahmaanir rahiim” diikuti dengan “Demi Keadilan Berdasarkan
Ke Tuhanan Yang Maha Esa” (pasal 57 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
Semua putusan Pengadilan hanya
sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum (pasal 20 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
Tiap-tiap pemeriksaan dan
perbuatan hakim dalam penyelesaian perkara harus dibuat berita acara (pasal 186
HIR, pasa 96 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
Terhadap setiap putusan diberikan
jalan upaya hukum berupa banding, kasasi dan peninjauan kembali (pasal 21, 22
dan 23 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
Pelaksanaan putusan Pengadilan
wajib menjaga terpeliharanya peri kemanusiaan dan peri keadilan (pasal 36 ayat
(4) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
Pengajuan Tuntutan Hak.
Seseorang yang merasa haknya
dilanggar oleh orang lain dan ia tidak dapat menyelesaikan sendiri masalahnya
itu, dapat mengajukan tuntutan hak kepada Pengadilan untuk menyelesaikannya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tuntutan itu harus mengandung
kepentingan hukum, point d’interet, poit d’action, geen belang geen actie
(tidak ada ada kepentingan, tidak dapat digugat di muka pengadilan). Putusan
MARI No. 294 K/Sip/1971 tanggal 7 Juli 1971 menyebutkan, gugatan harus diajukan
oleh orang yang mempunyai hubungan hukum.
1. Surat gugatan.
Gugatan diajukan secara tertulis
kepada Ketua Pengadilan di tempat tinggal Tergugat (pasal 118 HIR, 142 RBg),
atau jika Penggugat buta huruf, ia dapat mengajukan secara lisan kepada Ketua
Pengadilan yang akan mencatat atau menyuruh mencatat Hakim yang ditunjuk,
gugatan tersebut dalam Catatan Surat Gugatan. Catatan Surat Gugatan tersebut
ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk itu.
Surat gugatan itu menurut
ketentuan pasal 8 Nomor 3 Rv, pada pokoknya harus memuat :
1. Identitas para pihak. Terdiri dari nama, umur,
pekerjaan dan tempat tinggal serta kedudukan para pihak dalam perkara yang
diajukan.
2. Fundamentum petendi atau dasar tuntutan
yang terdiri dari :
1. Uraian tentang kejadian atau peristiwa
yang menjadi dasar pengajuan gugatan. Atau menjelaskan tentang duduk perkaranya
sehingga Penggugat merasa hak dilanggar/dirugikan dan menuntut haknya ke
Pengadilan.
2. Uraian tentang adanya hak atau hubungan
hukum yang menjadi dasar yuridis pengajuan gugatan yang harus dibuktikan di
Pengadilan.
3. Petitum, yaitu apa yang diminta/dituntut
agar diputus oleh Hakim dalam persidangan. Terdiri dari :
1. Tuntutan pokok atau primer.
2. Tuntutan tambahan, antara lain :
i. Tuntutan provisionil,
ii. Tuntutan pembayaran
bunga moratoir,
iii. Tuntutan agar Tergugat dihukum
membayar uang paksa (dwangsom),
iv. Tuntutan
uitvoerbaar bij voorraad,
v. Pembebanan biaya perkara.
3. Tuntutan subsider atau pengganti. Yaitu
permohonan, apabila Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.
2. Penggabungan/kumulasi gugatan.
Penggabungan/kumulasi gugatan
dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu :
1. Penggabungan subyektif. Yaitu
penggabungan para pihak berperkara yang terdiri lebih dari seorang. Misalnya
beberapa orang Penggugat melawan seorang Tergugat, atau sebaliknya seorang
Penggugat melawan beberapa orang Tergugat.
2. Penggabungan obyektif, yaitu penggabungan
lebih dari satu tuntutan dalam satu perkara. Misalnya gugatan cerai diajukan
bersama dengan gugatan penguasaan anak, nafkah isteri, harta bersama.
3. Intervensi, yaitu ikut sertanya pihak ke
tiga kedalam proses perkara, terdiri dari :
1. Voeging, yaitu masuknya pihak ke tiga
atas kehendak sendiri dengan bergabung pada salah satu pihak Penggugat atau
Tergugat.
2. Vrijwaring, yaitu pihak ke tiga ditarik
oleh Tergugat dengan maksud agar ia menjadi penanggung bagi Tergugat.
3. Tussenkomst, ialah pihak ketiga masuk
dalam satu proses perkara yang sedang berjalan untuk membela kepentingannya
sendiri.
3. Gugatan secara cuma-cuma (prodeo).
Pada dasarnya beracara di
Pengadilan dalam gugatan perdata, dikenakan biaya perkara (pasal 121 ayat (4)
dan pasal 182 HIR, pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004). Namun
dalam hal Penggugat dan Tergugat tidak mampu, ia dapat mohon kepada Ketua Pengadilan
untuk berperkara secara cuma-cuma, sebelum perkara pokok diperiksa oleh
Pengadilan (pasal 237 HIR, pasal 273 RBg). Permohonan diajukan dengan
melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu yang dibuat oleh Kepala Desa dan
diketahui Camat.
4. Upaya menjamin hak.
Untuk kepentingan Penggugat agar
terjamin haknya sekiranya gugatannya dikabulkan, undang-undang menyediakan
sarana untuk menjamin hak tersebut dengan penyitaan (arrest, beslag). Sita
adalah suatu tindakan hukum oleh Hakim yang bersifat eksepsional, atas
permohonan salah satu pihak yang bersengketa, untuk mengamankan barang-barang
sengketa atau yang menjadi jaminan dari kemungkinan dipindah tangankan,
dibebani suatu jaminan, dirusak atau dimusnahkan oleh pihak yang menguasai
barang-barang tersebut, untuk menjamin agar putusan Hakim nantinya dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Hukum Acara Peradilan Agama
mengenal beberapa macam sita yaitu :
Sita conservatoir.
Sita revindicatoir.
Sita marital.
Sita persamaan .
Sita eksekusi.
Uraian tentang cata cara sita
yang meliputi permohonan, pemeriksaan, pelaksanaan dan hal-hal lain yang
berkenaan dengan penyitaan dilakukan dalam pembahasan tersendiri.
5. Perubahan gugatan.
Perubahan gugatan tidak diatur
dalam HIR dan RBg. Ketentuannya terdapat dalam Rv pasal 127. Perubahan gugatan
diperbolehkan, selama tidak merugikan kepentingan kedua belah pihak, yaitu
sepanjang tetap berdasarkan pada hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan
semula, dan tidak merubah kejadian materiil yang menjadi dasar gugatannya.
6. Pencabutan gugatan.
Pencabutan gugatan tidak diatur
dalam HIR dan RBg. Ketentuannya terdapat dalam Rv pasal 271, yang menyatakan
bahwa pencabutan gugatan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Sebelum gugatan diperiksa dalam persidangan,
tidak perlu persetujuan dari pihak Tergugat, karena Tergugat secara langsung
belum mengetahui tentang adanya gugatan/belum tersentuh kepentingannya.
2. Sebelum Tergugat memberi jawaban, juga
tidak perlu mendapat persetujuan Tergugat.
3. Sesudah Tergugat memberi jawaban, pencabutan
harus terlebih dulu mendapat persetujuan Tergugat, karena sudah tersentuh
kepentingannya.
Pemeriksaan Perkara.
Pemeriksaan perkara, didahului
dengan persiapan persidangan yang meliputi Penetapan Majelis Hakim, Penunjukan
Panitera Sidang, Penetapan Hari Sidang (uraiannya dilakukan dalam pembahasan
tersendiri).
Sejalan dengan asas Hukum Acara
Peradilan Agama bahwa Hakim harus mendengar keterangan kedua belah pihak
sebagaimana diuraikan di atas, maka Hakim dengan perantaraan Juru Sita/Juru
Sita Pengganti memanggil kedua belah pihak dengan secara resmi dan patut, untuk
menghadap ke persidangan (uraian lebih lanjut dalam pembahasan tersendiri).
Setelah para pihak menghadap ke
persidangan, pemeriksaan perkara dilakukan dalam sebuah persidangan yang
dinyatakan terbuka untuk umum (pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun
2004). Selanjutnya proses pemeriksaan perkara dilangsungkan melalui beberapa
tahapan yang pada garis besarnya sebagai berikut :
1. Upaya perdamaian (pasal 130 HIR, pasal
154 RBg). Pada permulaan persidangan, sebelum pemeriksaan perkara Hakim wajib
mendamaikan antara para pihak berperkara. Jika perdamaian berhasil, oleh Hakim
dibuat Akta Perdamaian yang mempunyai kekuatan sebagai putusan. Jika tidak
berhasil dilanjutkan pada tahap berikutnya yaitu :
2. Pembacaan surat gugatan. (pasal 131 HIR,
pasal 155 RBg). Sebelum pembacaan gugatan ada beberapa kemungkinan yang
dilakukan Penggugat yaitu:
1. Mencabut gugatan.
2. Merubah gugatan
3. Mempertahankan gugatan.
Jika gugatan dipertahankan, maka
gugatan tersebut dibacakan dan diteruskan pada tahap berikutnya yaitu :
1. Penyampaian jawaban oleh Tergugat, ada
yang berupa :
1. Exeptief verweer (bantahan yang tidak
langsung mengenai pokok perkara) terdiri dari :
1. Eksepsi formil atau Prosesual eksepsi,
diajukan agar supaya pokok perkaranya ditolak pemeriksaannya oleh Majelis
Hakim, meliputi :
- Eksepsi absolut, berkenaan dengan
perkara yang bersangkutan bukan kewenangan lingkungan Peradilan Agama melainkan
kewenangan lingkungan peradilan lain.
- Eksepsi relatif berkenaan dengan
perkara yang bersangkutan adalah kewenangan Pengadilan laian dalam satu
lingkungan Peradilan yang sama.
- Eksepsi van gewijsde zaak, berkenaan
gugatan yang bersangkutan pernah diputus oleh Hakim Pengadilan yang terdahulu
dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap.
- Eksepsi disqualificatoir, yaitu bahwa
Penggugat tidak mempunyai hak untuk mengajukan gugatan, Penggugat salah
menentukan pihak Tergugat.
2. Eksepsi materiil atau material eksepsi,
diajukan agar Hakim yang memeriksa perkara tidak melanjutkan pemeriksaan karena
dalil gugatannya bertentangan dengan hukum perdata materiil, meliputi:
- Eksepsi dilatoir, karena gugatan
belum tiba saatnya diajukan oleh Penggugat. Atau gugatan belum memenuhi syarat
hukum.
- Eksepsi aan hanging geding, yaitu
perkara yang sama masih bergantung dalam proses pengadilan lain dan belum ada
putusan yang berkekuatan hukum tetap.
- Eksepsi peremptoir, menyangkut pokok
gugatan, seperti gugatan telah lampau waktunya, atau karena Tergugat telah
dibebaskan dari kewajiban membayar.
- Eksepsi plurium litis consortium,
yaitu bahwa yang digugat seharusnya termasuk Tergugat lain, tidak hanya
Tergugat sendiri.
- Eksepsi obscuur libel, yaitu bahwa
gugatan kabur tidak jelas permasalahannya dan tidak beralasan.
- Eksepsi karena petitum yang diajukan
tidak didukung oleh positanya.
2. Verweer ten principale (bantahan yang
langsung berhubungan dengan pokok perkara), adalah bantahan langsung yang
bertujuan melumpuhkan dalil gugatan berupa fakta kejadian/peristiwa hukum yang
berkenaan dengan posita, menyingkirkan kekuatan pembuktian dalil gugatan dengan
alat bukti lain yang sah sesuai dengan batas minimum pembuktian dan sebagainya.
3. Pengakuan, jawaban yang membenarkan
seluruh atau sebagian dalil gugatan. Apabila Tergugat dalam jawabannya mengakui
dalil gugatan, maka dalil gugatan dianggap terbukti dan gugatan dapat
dikabulkan.
4. Referte, jawaban dengan tidak membantah
atau membenarkan gugatan, tetapi menyerahkan kepada kebijaksanaan hakim.
Tergugat hanya menunggu putusan Hakim.
5. Rekonpensi atau gugatan balik yang
diajukan oleh Tergugat terhadap Penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan
(pasal 132 a dan pasal 132 b HIR, pasal 157 dan pasal 158 RBg).
Tujuannya :
Menggabungkan dua tuntutan yang
saling berhubungan.
Mempermudah prosedur.
Menghindarkan putusan-putusan
yang saling bertentangan.
Mempersingkat dan menyederhanakan
pembuktian.
Menghemat biaya.
Syarat-syarat gugatan rekonpensi
:
Diajukan bersama-sama dengan
jawaban. Menurut pendapat lain sampai dengan sebelum pembuktian. Rekonpensi
tidak dapat diajukan dalam tingkat banding atau kasasi.
Diajukan terhadap Penggugat dalam
kwalitas yang sama.
Diajukan masih dalam lingkup
kewenangan Pengadilan yang bersangkutan.
Hanya mengenai perkara yang
bersifat sengketa kebendaan.
Bukan mengenai pelaksanaan
putusan
Penyampaian Replik dari
Penggugat.
Yaitu tanggapan terhadap jawaban
Tergugat, dengan tetap mempertahankan gugatannya, atau Penggugat merubah sikap
dengan membenarkan jawaban/ bantahan Tergugat.
Penyampaian duplik dari Tergugat.
Yaitu tanggapan terhadap replik
Tergugat, dengan tetap mempertahankan jawabannya, atau bersikap seperti
Penggugat dalam repliknya.
Apabila jawab menjawab dianggap
cukup, dan terdapat hal-hal yang tidak disepakati, sehingga perlu dibuktikan
kebenarannya, maka acara dilanjutkan ke tahap pembuktian.
Pembuktian.
Pembuktian adalah suatu upaya
para pihak untuk meyakinkan hakim tentang dalil-dalil yang dikemukakan dalam
suatu perkara yang dipersengketakan di hadapan sidang Pengadilan.
Yang harus dibuktikan adalah
peristiwa atau kejadian yang dikemukakan oleh para pihak dalam hal yang belum
jelas atau yang menjadi sengketa.
Yang dibebani wajib pembuktian
adalah seseorang yang mengaku mempunyai hak dan seseorang yang membantah hak
orang lain, dengan membuktikan adanya hak atau peristiwa yang didalilkan (pasal
163 HIR, pasal 283 RBg, pasal 1865 KUH Perdata).
Tujuannya untuk memperoleh
kepastian bahwa suatu peristiwa/kejadian yang diajukan itu merupakan fakta yang
benar terjadi, atau dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya hubungan
hukum antara para pihak.
Dalam acara perdata yang dicari
adalah kebenaran formil, sehingga tidak secara tegasmensyaratkan adanya
keyakinan hakim. Hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh
pihak yang berperkara.
Alat-alat bukti.
Alat-alat bukti dalam perkara
perdata di Peradilan Agama, sesuai dengan pasal 164 HIR, pasal 284 RBg dan
pasal 1866 KUH Perdata berupa :
Alat bukti surat/tulisan.
http://dc177.4shared.com/doc/NJLykB0N/preview_html_425486e4.gifhttp://dc177.4shared.com/doc/NJLykB0N/preview_html_m219c005b.gifDibuat
oleh Pejabat
http://dc177.4shared.com/doc/NJLykB0N/preview_html_425486e4.gifhttp://dc177.4shared.com/doc/NJLykB0N/preview_html_739ecf35.gifhttp://dc177.4shared.com/doc/NJLykB0N/preview_html_m219c005b.gifOtentik
http://dc177.4shared.com/doc/NJLykB0N/preview_html_425486e4.gifhttp://dc177.4shared.com/doc/NJLykB0N/preview_html_59ab4c28.gifhttp://dc177.4shared.com/doc/NJLykB0N/preview_html_425486e4.gifhttp://dc177.4shared.com/doc/NJLykB0N/preview_html_m159b4ae7.gifAkta
Dibuat di hadapan Pejabat
http://dc177.4shared.com/doc/NJLykB0N/preview_html_425486e4.gifhttp://dc177.4shared.com/doc/NJLykB0N/preview_html_m159b4ae7.gifSurat
Di bawah tangan
http://dc177.4shared.com/doc/NJLykB0N/preview_html_425486e4.gifBukan
Akta
http://dc177.4shared.com/doc/NJLykB0N/preview_html_499b7fcf.gif
Surat yaitu segala sesuatu yang
memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau
menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
Akta ialah surat yang diberi
tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau
perikatan, yang dibuat sejak semula dengan semula untuk pembuktian.
Akta otentik, akta yang dibuat
oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang membuatnya, menurut ketentuan-ketentuan
yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan yang berkepentingan,
yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat didalamnya oleh yang
berkepentingan.
Kekuatan pembuktian akta otentik
ada 3 macam :
Kekuatan pembuktian lahir,
didasarkan atas keadaan yang tampak lahirnya. Surat yang tampak lahirnya
seperti akta dan memenuhi syarat yang ditentukan, dianggap mempunyai kekuatan
seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.
Kekuatan pembuktian formil,
membuktikan kebenaran dari pada apa yang dilihat, didengar dan dilakukan
pejabat pembuat akta terutama tanggal dan tempat akta dibuat, serta kebenaran
tanda tangan di bawah akta tersebut.
Kekuatan pembuktian materiil,
membuktikan kepastian tentang materi suatu akta, bahwa pejabat atau para pihak
yang membuat akta menyatakan dan melakukan seperti apa yang dimuat dalam akta.
Akta di bawah tangan, suatu akta
yang ditandatangani dan dibuat dengan maksud dijadikan alat bukti suatu
perbuatan hukum tanpa bantuan seorang pejabat.
Kekuatan pembuktian akta dibawah
tangan :
Apabila suatu akta dibawah
tangan, isi dan tanda tngan akta diakui oeh yang mebuatnya, maka akta tersebut
mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta otentik.
Apabila tanda tangan dalam akta
disangkal oleh pihak yang menanda tangani, maka pihak yang mengajukan akta
harus berusaha membuktikan kebenaran tanda tangan itu.
Surat bukan akta, surat yang
dibuat tidak dengan tujuan sebagai alat bukti dan belum tentu ditandatangani.
Kekuatan pembuktyiannya diserahkan pada pertimbangan hakim. Misalnya buku
register, surat-surat rumah tangga, letter C tanah dsb.
Alat bukti saksi.
Kesaksian adalah kepastian yang
diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan
dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah
satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.
Syarat-syarat saksi :
Syarat formil saksi :
Memberikan keterangan di depan
Pengadilan
Bukan orang yang dilarang untuk
didengar sebagai saksi (pasal 145 HIR, pasal 172 RBg).
Bagi kelompok yang berhak
mengundurkan diri (pasal 146 a ayat (4) HIR, pasal 174 RBg), menyatakan
kesediaan menjadi saksi.
Mengangkat sumpah menurut agama
yang dianutnya.
Syarat materiil saksi :
Keterangan yang diberikan harus
mengenai peristiwa yang dialami, didengar dan dilihat sendiri oleh saksi.
Keterangan saksi yang berdasarkan pendengaran orang lain (testimonium de
auditu) tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
Keterangan yang diberikan saksi
harus menyebutkan sebab-sebab ia mengetahui (pasal 171 ayat (1) HIR, pasal 308
ayat (1) Rbg), jadi tidak cukup hanya keterangan bahwa ia telah tahu. Pendapat
atau persangkaan saksi berdasarkan akal pikiran tidak bernilai sebagai alat
bukti (pasal 171 ayat (2) HIR, pasal 308 ayat (2) Rbg).
Keterangan yang diberikan oleh
saksi harus saling bersesuaian satu dengan yang lain dan alat bukti yang sah
(pasal 172 HIR, pasal 309 Rbg).
Keterangan seorang saksi tanpa
dikuatkan alat bukti lain bukan bukan kesaksian (unus testis nullus testis)
(pasal 169 HIR, pasal 306 Rbg).
Yang tidak boleh menjadi saksi
(pasal 145 HIR,pasal 172 RBg) :
Tidak mampu absolut :
Keluarga sedarah dan semenda
dalam keturunan lurus salah satu pihak.
Suami isteri salah satu pihak
meskipuin telah bercerai.
Tidak mampu relatif :
Anak belum berumur 15 tahun.
Orang gila meskipun kadang-kadang
ingatannya terang.
Yang boleh mengundurkan sebagai
saksi (pasal 146 HIR, pasal 174 RBg) :
Saudara laki-laki dan perempuan,
ipar laki-laki dan perempuan dari saalah satu pihak.
Keluarga sedarah menurut
keturunan lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari suami/isteri salah
satu pihak.
Semua orang yang karena martabat,
jabatan/hubungan kerja syang sah diwajibkan menyimpan rahasia.
Bukti persangkaan.
Diatur pada pasal 173 HIR, pasal
310 RBg.
Persangkaan adalah kesimpulan
yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dikenal atau dianggap terbukti ke
arah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti.
Persangkaan sebagai alat bukti
bersifat sementara, tak bisa berdiri sendiri, tetapi diambil dari alat bukti
lain.
Persangkaan ada 2 macam :
Persangkaan berdasarkan
undang-undang.
Contoh : Perkawinan yang tidak
memenuhi syarat, dianggap tidak sah menurut undang-undang (pasal 2 ayat (1)
Undang-undang No 1 tahun 1974).
Persangkaan yang berupa
kesimpulan yang ditarik oleh Hakim dari keadaan yang timbul di persidangan.
Contoh : Adanya 3 (tiga) surat
tanda pembayaran (kuitansi) tiga bulan terakhir berturut-turut, timbul
persangkaan angsuran bulan-bulan sebelumnya telah dibayar lunas.
Bukti pengakuan.
Diatur pasal 174, 175 dan 176
HIR, pasal 311, 312 dan 313 RBg.
Pengakuan ialah pernyataan
seseorang tentang dirinya sendiri, bersifat sepihak dan tidak memerlukan
persetujuan pihak lain.
Pengakuan dapat diberikan di muka
Hakim di persidangan atau diluar persidangan, dapat pula diberikan secara
Ada tiga macam pengakuan :
Pengakuan murni yaitu pengakuan
yang bersifat sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan.
Pengakuan dengan kualifikasi,
pengakuan disertai penyangkalan sebagian .
Contoh : Penggugat menyatakan telah
menerima uang sebesar Rp. 5.000.000,- dari Tergugat, dan Tergugat mengaku telah
menerima uang dari Penggugat tetapi hanya Rp. 3.000.000,-.
Pengakuan dengan kalusula, yaitu
pengakuan disertai keterangan tambahan yang bersifat membebaskan.
Contoh : Isteri menyatakan suami
tidak memberi nafkah selama 3 tahun, suami mengakui benar tidak memberi nafkah
karena isteri nusyuz.
Bukti sumpah.
Diatur pasal 155 – 158 dan 177
HIR, pasal 182- 185 dan 314 RBg.
Sumpah ialah pernyataan yang
khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu berjanji atau keterangan
dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa jika janji atau
keterangan itu tidak benar, yang memberikan keterangan akan dihukum oleh-Nya.
Ada dua macam sumpah :
Sumpah promissoir, yaitu sumpah
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dilakukan sebelum memberikan
kesaksian. Misalnya sumpah saksi atau saksi ahli.
Sumpah assertoir atau
confirmatoir, yaitu sumpah untuk meneguhkan bahwa sesuatu hal/peristiwa itu
benar demikian atau tidak. Dilakukan sesudah memberikan kesaksian.
Sumpah sebagai alat bukti ( pasal
155 HIR, pasal 182 RBg) ada 3 macam :
Sumpah suppletoir
(tambahan/pelengkap), yaitu sumpah yang atas perintah Hakim setelah ada bukti
permulaan. Misalnya hanya ada satu saksi (bukti permulaan) karena belum
mencukupi, ditambah dengan sumpah tersebut.
Sumpah aestimatoir (penaksiran)
yaitu sumpah atas perintah Hakim hanya kepada Penggugat saja, untuk menentukan
jumlah uang ganti rugi atau sejumlah uang tertentu dengan rincian yang
dituntutnya.
Sumpah decissoir (pemutus), yaitu
sumpah yang dilakukan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya, jika
tidak ada pembuktian apapun dan dapat dilakukan setiap saat selama proses
pemeriksaan di persidangan.
Dengan sumpah ini kebenaran
peristiwa yang dimintakan sumpah menjadi pasti. Oleh karena itu sumpah
decissoir harus berkenaan dengan hal yang pokok dan bersifat tuntas atau
menentukan serta menyelesaikan sengketa. Menolak untuk mengucapkan sumpah akan
berakibat dikalahkan.
Saksi ahli.
Keterangan saksi ahli (expertise)
diatur pada pasal 154 HIR, pasal 181 RBg, pasal 215 Rv.
Keterangan saksi ahli yaitu
keterangan pihak ke tiga yang obyektif bertujuan untuk membantu Hakim dalam
pemeriksaan guna menambah pengetahuan Hakim sendiri.
Tujuannya agar Hakim memperoleh
kebenaran dan keadilan pada masalah yang bersangkutan.
Syarat-syarat saksi ahli :
Orang yang tidak boleh didengan
sebagai saksi juga tidak boleh didengar sebagai saksi ahli.
Saksi ahli harus memberikan
keterangan secara jujur dan obyektif serta tidak memihak.
Sebelum memberikan keterangan
harus bersumpah bahwa ia akan memberikan pendapat tentang soal-soal yang
diperiksa menurut pengetahuan/keahliannya dengan sebaik-baiknya.
Pemeriksaan Setempat.
Diatur pada pasal 153 HIR, pasal
180 RBg dan 211 Rv.
Yaitu pemeriksaan mengenai
perkara oleh Hakim karena jabatannya, yang dilakukan di luar gedung atau tempat
kedudukan Pengadilan, agar Hakim dengan melihat sendiri, memperoleh gambaran
atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa.
Putusan.
Setelah tahapan pembuktian dalam
pemeriksaan perkara dilalui, para pihak diberikan kesempatan untuk mengajukan
kesimpulan jika ada. Majelis Hakim kemudian bermusyawarah untuk merumuskan
keputusan.
Dari hasil pemeriksaan perkara di
persidangan ada dua macam produk keputusan Hakim/Pengadilan :
Putusan.
Penetapan
Putusan Hakim adalah suatu
pernyataan yang oleh Hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk
itu, diucapkan di persidangan terbuka untuk umum, bertujuan untuk mengakhiri
atau menyelesaikan sengketa antar para pihak, sebagi hasil dari pemeriksaan
perkara gugatan (contentious).
Penetapan Hakim adalah suatu
pernyataan yang oleh Hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk
itu, diucapkan di persidangan terbuka untuk umum, sebagi hasil dari pemeriksaan
perkara permohonan (voluntair).
Nilai suatu putusan Hakim
terletak pada pertimbangan hukumnya, apakah pertimbangan itu baik atau tidak,
dikaitkan dengan ketepatan analisis kasus perkaranya dan kejadian atau peristiwanya
berdasarkan fakta hukum.
Macam-macam Putusan Hakim :
Dari segi fungsinya dalam
mengakhiri perkara, ada dua macam yaitu :
Putusan Akhir.
Putusan Akhir, yaitu putusan yang
mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik yang telah melalui semua tahap
pemeriksaan maupun yang belum/tidak menempuh semua tahap pemeriksaan.
Putusan Akhir yang dijatuhkan
sebelum sampai tahap akhir pemeriksaan adalah :
Putusan gugur.
Putusan Verstek yang tidak
diajukan verzet.
Putusan tidak menerima.
Putusan yang menyatakan Pengadilan
tidak berwenang memeriksa.
Putusan Sela.
Putusan Sela ialah putusan yang
dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk
memperlancar jalannya pemeriksaan.
Putusan sela dilakukan dalam hal
:
Pemeriksaan berperkara cuma-cuma
Pemeriksaan eksepsi tisak
berwenang.
Sumpah supletoir.
Sumpah decissoir.
Sumpah penaksir.
Pemeriksaan gugatan provisionil.
Pemeriksaan gugatan insidentil
(intervensi).
Beberapa jenis Putusan Sela :
Putusan Praeparatoir, putusan
sela sebagai persiapan putusan akhir, tidak berpengaruh terhadap pokok perkara
dan putusan akhir. Menurut HIR/RBg cukup dicatat dalam Berita Acara
Persidangan.
Putusan Interlocutoir, yaitu
putusan yang berisi memerintahkan pembuktian seperti pemeriksaan saksi,
pemeriksaan setempat.
Putusan Insidentil, sehubungan
dengan adanya peristiwa misalnya permohonan prodeo, eksepsi kewenangan,
intervensi.
Dari segi hadir tidaknya para
pihak, ada tiga macam yaitu :
Putusan gugur.
Yaitu putusan yang menyatakan
gugatan gugur karena penggugat tidak hadir setelah dipanggil dengan resmi dan
patut. Dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum pembacaan
gugatan.
Putusan verstek.
Yaitu putusan yang dijatuhkan
karena tergugat tidak hadir dan tidak mewakilkan kepada orang lain, setelah
dipanggil dengan resmi dan patut. Dapat dijatuhkan pada sidang pertama atau
sesudahnya setelah pembacaan gugatan sebelum tahap jawaban tergugat.
Putusan contradictoir.
Yaitu yang pada saat
dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu pihak atau para
pihak. Dalam putusan contradictoir, disyaratkan baik penggugat maupun tergugat
pernah hadir dalam sidang.
Dari segi isinya terhadap gugatan
ada empat macam :
Tidak menerima gugatan.
Yaitu putusan yang menyatakan
Hakim tidak menerima gugatan penggugat atau gugatan penggugat tidak diterima,
karena gugatannya tidak memenuhi syarat hukum formil maupun materiil. Terhadap
putusan ini penggugat tidak dapat mengajukan banding, tetapi dapat mengajukan
perkara baru.
Menolak gugatan Penggugat seluruhnya.
Yaitu putusan yang dijatuhkan
setelah ditempuh semua tahap pemeriksaan tetapi dalil-dalil gugatan tidak
terbukti.
Mengabulkan gugatan Penggugat
untuk sebagian dan menolak/tidak menerima selebihnya.
Yaitu putusan di mana dalil
gugatan ada yang terbukti dan ada yang tidak terbukti, atau tidak memenuhi
syarat syarat hukum formil maupun materiil.
Dalil gugatan yang terbukti
tuntutannya dikabulkan.
Dalil gugatan yang tidak terbukti
tuntutannya ditolak.
Dalil yang tidak memenuhi syarat
diputus dengan tidak diterima.
Mengabukan gugatan Penggugat
seluruhnya.
Yaitu putusan yang dijatuhkan di
mana syarat-syarat gugatan dipenuhi, dan seluruh dalil gugatan yang mendukung
petitum telah terbukti.
Dari segi sifatnya terhadap hukum
yang ditimbulkan, ada tiga macam, yaitu :
Declaratoir.
Yaitu putusan yang hanya
menyatakan suatu keadaan tertentu yang resmi menurut hukum. Misalnya putusan
yang menyatakan sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum atau status hukum,
menyatakan boleh tidaknya suatu perbuatan hukum dsb.
Constitutif.
Yaitu suatu putusan yang
menciptakan atau menimbulkan keadaan hukum baru, berbeda dengan keadaan hukum
sebelumnya. Misalnya putusan perceraian, pembatalan perkawinan.
Condemnatoir.
Yaitu putusan yang bersifat
menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu,
atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan untuk memenuhi prestasi.
Apabila putusan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, pihak terhukum tidak mau melaksanakan isi putusan, maka
atas permohonan penggugat, putusan dapat dilaksanakan dengan paksa oleh
Pengadilan yang memutusnya, kecuali dalam putusan serta merta (uitvoerbaar
bijvoorraad).
Putusan condemnatoir dapat berupa
penghukuman untuk :
Menyerahkan suatu barang.
Membayar sejumlah uang.
Melakukan suatu perbuatan tertentu.
Menghentikan suatu
perbuatan/keadaan.
Mengosongkan tanah/rumah.
Kekuatan putusan Hakim :
Putusan Hakim mempunyai tiga
macam kekuatan yaitu :
Kekuatan mengikat.
Putusan Hakim itu mengikat para
pihak yang berperkara, para pihak harus tunduk dan menghormati putusan itu
Kekuatan pembuktian.
Dengan putusan Hakim itu telah
diperoleh kepastian tentang sesuatu yang terkandung dalam putusan, dan menjadi
bukti bagi kebenaran sesuatu yang termuat di dalamnya.
Putusan Hakim harus dianggap dan
tidak boleh diajukan lagi perkara baru mengenai hal yang sama antara
pihak-pihak yang sama.
Kekuatan eksekutorial.
Yaitu kekuatan untuk
dilaksanakannya apa yang telah ditetapkan dalam itu secara paksa oleh alat-alat
negara. Oleh karena itu setiap putusan Hakim harus memuat titel eksekutorial
yaitu kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kekuatan hukum tetap.
Suatu putusan mempunyai kekuatan
hukum tetap apabila terhadap putusan tersebut, sampai dengan habisnya masa
upaya hukum yang ditetapkan menurut undang-undang, tidak dimintakan upaya
hukum.
Upaya Hukum.
Setiap putusan hakim, tidak dapat
luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan kadang-kadang bersifat memihak,
oleh karena itu putusan hakim dimungkinkan untuk diperiksa ulang melalui upaya
hukum.
Upaya hukum adalah suatu upaya
untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan, karena salah
satu pihak atau para pihak merasa dirugikan kepentingannya dalam memperoleh
keadilan dan perlindungan/kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditentukan
undang-undang.
Ada dua macam upaya hukum :
Upaya hukum biasa terdiri dari :
Verzet.
Verzet atau perlawanan merupakan
upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya Tergugat
(verstek).
Banding.
Yaitu permohonan supaya perkara
yang telah diputus oleh Pengadilan Tingkat Pertama diperiksa ulang oleh
Pengadilan Tinggi (tingkat banding) karena merasa tidak puas atas putusan
Pengadilan Tingkat Pertama, menurut cara-cara yang ditentukan undang-undang.
Kasasi.
Yaitu upaya hukum yang merupakan wewenang
Mahkamah Agung untuk memeriksa kembali putusan dari Pengadilan-pengadilan
terdahulu, menurut cara-cara yang ditentukan undang-undang.
Upaya hukum luar biasa yaitu :
Peninjauan kembali.
Yaitu peninjauan kembali putusan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena ditemukannya hal-hal baru
(novum) yang dahulu tidak diketahui oleh Hakim, sehingga apabila hal itu
diketahui maka putusan hakim akan menjadi lain.
Perlawanan Pihak Ke Tiga
(derdenverzet).
Pada asasnya putusan Hakim hanya
mengikat para pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak ke tiga. Tetapi
ada pihak ke tiga yang merasa hak-haknya dirugikan oleh suatu putusan, ia dapat
mengajukan perlawanan terhadap putusan itu (pasal 378 Rv).
Pelaksanaan Putusan.
Pelaksanaan putusan atau eksekusi
adalah realisasi dari kewajiban para pihak untuk memenuhi prestasi yang telah
ditetapkan dalam putusan tersebut.
Pelaksanaan putusan hakim dapat
dilakukan :
Secara suka rela oleh para pihak
yang bersengketa.
Secara paksa dengan menggunakan
alat negara, apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan secara sukarela.
Putusan yang dapat dimohonkan
eksekusi/pelaksanaannya hanyalah putusan yang bersifat condemnatoir.
Ada beberapa jenis pelaksanaan
putusan :
Putusan yang menghukum salah satu
pihak untuk menyerahkan suatu barang.
Putusan yang menghukum salah satu
pihak untuk membayar sejumlah uang.
Putusan yang menghukum salah satu
pihak untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.
Putusan yang menghukum salah satu
pihak untuk menghentikan suatu perbuatan/keadaan.
Putusan yang menghukum salah satu
pihak untuk mengosongkan tanah/rumah.
Eksekusi riil dalam bentuk
penjualan lelang.
Daftar pustaka.
Abdul Manan, Dr. H.SH., SIP.,
MHum., Penerapan Hukum Acara Perdata si Lingkungan Peradilan Agama, yayasan Al
Hikmah, Cetakan Pertama Jakarta, 2000.
Mukti Arto, Drs, HA.,SH., Praktek
Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Cetakan Pertama,
Yogyakarta, 1996.
Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Agama, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006, Mahkamah
Agung RI., Jakarta, 2006.
Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan
Peradilan Agama, Departemen Agama, Jakarta, 2003.
Eman Suparman, Dr.,SH.,MH., Kitab
Undang-undang Peradilan Umum, Fokusmedia, Cetakan Pertama, Bandung, 2004.
Simorangkir, JCT., SH., Kamus
Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1987.
Soebekti, Prof., R., SH., Hukum
Acara Perdata, BPHN, Bina Cipta, Bandung, 1977.
Soeparmono, R.,SH., Hukum Acara
Perdata dan Yurisprudensi, Mandar Maju, Bandung, 2000.
Sudikno Mertokusumo, Prof.,
Dr.,SH., Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, edisi ke tiga, Cetakan
Pertama, 1988.
Supomo, Prof., Dr., R, Hukum
Acara Perdata Pengadilan Negeri, fasco, Jakarta, 1958.
Tresna, Mr.,R., Komentar HIR,
Pradnya Paramita, Cetakan ke sembilan belas, Jakarta, 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...