MUI
adalah lembaga yang mewadahi ulama dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk
membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. MUI
berdiri pada tanggal 7 Rajab 1395 H bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di
Jakarta sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama dan cendikiawan
yang datang dari berbagai penjuru tanah air antara lain meliputi 26 orang ulama
yang mewakili 26 propinsi di Indonesia pada masa itu 10 orang ulama yang
merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat yaitu NU, Muhammadiyah,
Syarikat Islam, Perti Al-Wasliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al-Ittihadiyah.
4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AL, AU, POLRI serta 13 orang tokoh /cendikiawan
yang merupakan tokoh perorang.
Ketetapan
keharaman bunga telah dinyatakan oleh keputusan tiga forum ulama Internasional
yaitu : Majmaul al-fihq al Islamiyyah di Mesir pada Mei 1965, Majma’ al figh al
Islami di Jeddah, Arab Saudi pada Desember 1985, Majma’ figh Rabithah al a’lam
al Islami di Mekkah, Arab Saudi pada bulan Rajab 1406 H ( Tempointeraktif, 28
Agustus 2006 ).
Majelis
Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa suku bunga haram hukumnya. Meski sifat
fatwanya tidak mengikat artinya sikap ketaatannya terserah kepada masyarakat.
Prinsip umum hukum Islam, yang mendasarkan pada sejumlah surah dalam Al-qur’an,
menyatakan bahwa perbuatan memperkaya diri dengan cara yang tidak benar atau
menerima keuntungan tanpa memberikan nilai imbalan secara etika di larang.
Secara
bahasa, riba bermakna ziyadah ( tambahan ). Dalam pengertian lain, riba juga
berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil ( Antonio,1999 ).
Meskipun
demikian tidak semua peningkatan atau penambahan itu dilarang dalam Islam,
pengharaman terhadap hal-hal tersebut hanya disebabkan karena mengacu pada
premi-premi yang wajib dibayar oleh si peminjam.
Menurut
MUI riba adalah tambahan yang dikenakan untuk transaksi pinjaman uang yang
diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan atau
hasil pokok berdasarkan tempo waktu dan perhitungan secara pasti di muka
berdasarkan persentase.
Ibnu
Hajar Al-Asqalani mengatakan bahwa inti dari riba adalah kelebihan baik itu kelebihan
dalam bentuk barang atau uang. Shah Waliullah mengatakan bahwa unsur riba juga
terdapat dalam hutang yang diberikan dengan persyaratan bahwa peminjam akan
membayar lebih dari pada apa yang ia terima dari pemberi pinjaman. (Rahman,
1996).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...