Sebagai landasan
Hukum Acara Peradilan Agama, perlu dipedomani Asas-asas Hukum Acara Peradilan
Agama sebagai berikut :
1.
Peradilan Agama adalah
Peradilan Negara (pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004, pasal 2
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-undang Nomor 3 tahun 2006.
2.
Peradilan Agama adalah
peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam (pasal 1 angka 1 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989).
3.
Peradilan Agama menetapkan
dan menegakkan hukum berdasarkan keadilan berdasarkan Pancasila (pasal 3 ayat
(2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
4.
Peradilan Agama memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara berdasarkan hukum Islam (pasal 2, 49 dan
Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 3 tahun 2006).
5.
Peradilan dilakukan demi
keadilan berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa (pasal 4 Undang-undang Nomor 4
tahun 2004, pasal 57 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 tahun 2006).
6.
Peradilan dilakukan dengan
sederhana, cepat dan biaya ringan (pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun
2004, pasal 57 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
7.
Peradilan dilakukan menurut
hukum dan tidak membeda-bedakan orang (pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 4
tahun 2004, pasal 58 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
8.
Peradilan dilakukan bebas
dari pengaruh dan campur tangan dari luar (pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor
4 tahun 2004).
9.
Peradilan dilakukan dalam
persidangan Majelis dengan sekurang-kurangnya tiga orang Hakim dan salah
satunya sebagai Ketua, sedang yang lain sebagai anggota, dibantu oleh Panitera
Sidang (pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
10. Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap Hakim yang
mengadili (pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
11. Beracara dikenakan biaya (pasal 121 ayat (1) HIR, pasal 145 ayat
(4) RBg.).
12. Hakim bersifat menunggu (pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun
2006).
13. Hakim pasif (pasal 118 ayat (1) HIR, pasal 142 ayat (1) RBg.)
14. Persidangan bersifat terbuka untuk umum (pasal 19 ayat (1)
Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
15. Hakim mendengar kedua belah pihak (pasal 121 HIR,pasal 145 RBg.,
pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 58 ayat (3)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
16. Tidak harus diwakilkan (pasal 123 HIR, pasal 147 RBg.).
17. Hakim wajib mendamaikan para pihak (pasal 130 HIR, 154 RBg,
pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).
18. Hakim membantu para pihak (pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor
4 tahun 2004, pasal 58 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
19. Hakim wajib menghadili setiap perkara yang diajukan kepadanya
(pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
20. Putusan harus disertai alasan (pasal 25 ayat (1) Undang-undang
Nomor 4 tahun 2004, pasal 62 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, pasal
184 ayat (1)dan pasal 195 RBg.).
21. Tiap putusan dimulai dengan kalimat “Bismillahir rahmaanir
rahiim” diikuti dengan “Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa”
(pasal 57 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
22. Semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 20 Undang-undang Nomor
4 tahun 2004).
23. Tiap-tiap pemeriksaan dan perbuatan hakim dalam penyelesaian
perkara harus dibuat berita acara (pasal 186 HIR, pasa 96 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989).
24. Terhadap setiap putusan diberikan jalan upaya hukum berupa
banding, kasasi dan peninjauan kembali (pasal 21, 22 dan 23 Undang-undang Nomor
4 tahun 2004).
25. Pelaksanaan putusan Pengadilan wajib menjaga terpeliharanya peri
kemanusiaan dan peri keadilan (pasal 36 ayat (4) Undang-undang Nomor 4 tahun
2004).
Asas-Asas Hukum Acara Perdata
1.
Hakim bersifat menunggu
Dalam perkara
perdata, inisiatif untuk mengajukan perkara kepengadilan sepenuhnya terletak
pada pihak yang berkepentingan.
2.
Hakim dilarang menolak
perkara
Bila suatu perkara
sudah masuk ke pengadilan hakim tidak boleh menolak untuk memeriksan dan
mengadili perkara tersebut, dengan alasan hukumnya tidak atau kurang jelas.
Bila hakim
tidak dapat menemukan hukum tertulis maka ia wajib menggali hukum yang hidup
dalam masyarakat atau mencari dalam Yurisprudensi (Ps 14 ayat 1 UU No. 14/
1970)
3.
Hakim bersifat aktif
Hakim membantu
para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya untuk mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan
biaya ringan.
4.
Persidangan yang terbuka
Asas ini
dimaksudkan agar ada kontrol sosial dari masyarakat atas jalannya sidang
peradilan sehingga diperoleh keputusan hakim yang obyektif, tidak berat sebelah
dan tidak memihak (Ps 17 dan 18 UU no 14/1970)
5.
Kedua belah pihak harus
didengar
Dalam perkara
perdata, para pihak harus diperlakukan sama dan didengar bersama-sama serta
tidak memihak. Pengadilan mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang, hal ini
berarti bahwa didalam Hukum Acara Perdata hakim tidak boleh menerima keterangan
dari salah satu pihak saja, pihak lawannya harus diberi kesempatan untuk
memberikan keterangan dan pemeriksaan bukti harus dilakukan dimuka sidang yang
dihadiri oleh keduabelah pihak.
6.
Putusan harus disertai
alasan
Bila proses pemeriksaan
perkara telah selesai, maka hakim memutuskan perkara tersebut. Keputusan hakim
harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk mengadilinya. Alasan-alasan
yang dicantumkan tersebut merupakan pertanggungjawaban hakim atas keputusannya
kepada pihak-pihak yang berperkara dan kepada masyarakat sehingga mempunyai
nilai obyektif dan mempunyai wibawa
7.
Sederhana, cepat dan biaya
ringan
Sederhana
yaitu acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.
Cepat menunjuk
pada jalannya peradilan banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya
peradilan (mis. Perkara tertunda bertahun-tahun karena saksi tidak datang atau
para pihak bergantian tidak datang bahkan perkara dilanjutkan oleh ahli waris)
Biaya ringan
maksudnya agar tidak memakan biaya yang benyak.
8.
Obyektivitas
Hakim tidak
boleh bersikap berat sebelah dan memihak. Para pihak dapat mengajukan
keberatan, bila ternyata sikap hakim tidak obyektif.
9.
Hak menguji tidak dikenal
Hakim
Indonesia tidak mempunyai hak menguji undang-undang. Hak ini tidak dikenal oleh
UUD. Dalam pasal 26 ayat 1 UU tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (UU
No. 14/1970) dinyatakan bahwa Hak menguji diberikan kepada mahkamah agung
terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah dari UU
dan dapat menyatakan peraturan perundang-undangan tersebut tidak sah.
ASAS – ASAS
HUKUM ACARA PERDATA
Asas-Asas
Hukum Acara perdata Asas Hukum adalah dasar-dasar filosofis yang menjadi dasar
norma hukum yang mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis yang menjadi
jembatan antara peraturan-peraturan hukum dan cita-cita sosial serta pandangan
etis masyarakat
Hakim Bersifat
Menunggu : maksudnya ialah hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak di
ajukan kepadanya, kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan maka tidak ada
hakim. Jadi apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau
tuntutan hak itu akan di ajukan atau tidak, sepenuhnya di serahkan kepada pihak
yang berkepentingan.(pasal 118 HIR, 142 Rbg.)
Hakim Pasif
(Lijdelijkeheid Van De Rehter): hakim di dalam memeriksa perkara perdata
bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa
yang di ajukan kepada hakim untuk di periksa pada asasnya di tentukan oleh para
pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim.
Sifat Terbukanya
Persidangan(openbaar) : sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah
terbuka untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang di bolehkan hadir dan
mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuannya ialah untuk memberi
perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih
menjamin objektifitas peradilan dengan mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang
fair (pasal 19 ayat 1 dan 20 UU no.4 tahun 2004). Apabila tidak di buka untuk
umum maka putusan tidak sah dan batal demi hukum.
Mendengar
Kedua Belah Pihak (Audio Et Alterampartem) : dalam pasal 5 ayat 1 UU no.4 tahun
2004 mengandung arti bahwa di dalam hokum acara perdata yang berperkara harus
sama-sama di perhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta
masing-masing harus di beri kesempatan untuk memberikan pendapatnya.
Putusan Harus
Di Sertai Alasan-alasan : semua putusan pengadilan harus memuat alas an-alasan
putusan yang di jadikan dasar untuk mengadili ( pasal 25 UU no 4 tahun 2004,)
184 ayat 1, 319 HIR, 195, 618 Rbg). Alasan-alasan atau argumentasi itu
dimaksudkan sebagai pertanggungan jawab hakim dari pada putusanya terhadap
masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hokum, sehingga
oleh karenanya mempunyai nilai objektif.
Beracara di
Kenakan biaya : untuk beracara pada asasnya di kenakan biaya (pasal 3 ayat 2 UU
no 4 tahun 2004, 121 ayat 4, 182,183 HIR, 145 ayat 4, 192-194 Rbg). Biaya
perkara ini meliputi biaya kepaniteraan, dan biaya untuk pengadilan,
pemberitahuan para pihak serta biaya materai.
Tidak ada
keharusan mewakilkan : pasal 123 HIR, 147 Rbg tidak mewajibkan para pihak untuk
mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi
secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan.
Obyektivitas
Hakim tidak boleh
bersikap berat sebelah dan memihak. Para pihak dapat mengajukan keberatan, bila
ternyata sikap hakim tidak obyektif.
9.
.Hak menguji tidak dikenal
Hakim
Indonesia tidak mempunyai hak menguji undang-undang. Hak ini tidak dikenal oleh
UUD. Dalam pasal 26 ayat 1 UU tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (UU
No. 14/1970) dinyatakan bahwa Hak menguji diberikan kepada mahkamah agung
terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah dari UU
dan dapat menyatakan peraturan perundang-undangan tersebut tidak sah.
10
.Ius Curia Novit Pengadilan atau hakim tidak boleh menolak untuk
menerima,memeriksa ,mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan,sekalipun
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya ( Pasal 10 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 )----- Hakim
dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit).
11. Putusan hakim Harus Disertai Alasan-alasan “
Segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan
tersebut,memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili ( Pasal 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 ).
Perkara Prodeo Bagi pihak-pihak yang tidak
mampu dapat mengajukan permohonan agar perkaranya diperiksa secara Cuma-Cuma
(prodeo ) dengan disertai surat keterangan tidak mampu dari pemerintah
setempat, biaya perkara ditanggung oleh negara ( Pasal 56 ayat (2) UU No. 48
Tahun 2009 )
Bantuan Hukum
Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum ( Pasal 56
ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009
Wakil /Kuasa berdasarkan undang-undang
(wettelijke vertegenwoodig atau legal mandatory ) undang-undanglah yang telah
menetapkan seseorang atau badan untuk dengan sendirinya menurut hukum bertindak
sebagai wakil dari orang atau badan tanpa memerlukan surat kuasa. Contoh : Wali
terhadap anak di bawah perwaliannya Orang tua terhadap anak-anaknya yang belum
dewasa kurator terhadap orang-orang yang ada di bawah kuratelenya BHP, Orang
atau Badan yang ditunjuk sebagi curator dalam kepailitan.
Wakil atau
kuasa berdasarkan perjanjian Wakil atau kuasa berdasarkan adanya perjanjian
pemberian kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu ,misalnya kuasa
khusus untuk mengajukan gugatan ke pengadilan negeri antara seorang penggugat
dengan pengacaranya
Acara Kepailitan Dalam acara khusus permohonan
pernyataan pailit ,ketentuan asas tidak ada keharusan untuk mewakilkan menjadi
tidak berlaku dengan adanya ketentuan bahwa setiap permohonan yang berkaitan
dengan kepailitan harus diajukan oleh seorang kuasa(Advokat) sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 UU No37 Tahun 2004 tentang kepailitan.
Jaminan
penerapan asas obyektifitas Sebagai jaminan penerapan asas obyektifitas ada
beberapa asas yang terkait dan saling mendukung,misalnya adanya asas sidang
terbuka untuk umum,asas mendengar kedua belah pihak,asas putusan disertai
alasan-alasan,asas hakim majelis dan lain sebaginya,di samping itu untuk lebih
menjamin asas obyektifitas pada para pihak diberikan adanya “hak ingkar
(recusatie atau hak wraking)” “ Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar
terhadap hakim yang akan mengadili perkaranya ( Pasal 17 ayat (1) UU No. 48
Tahun 2009
Hak Ingkar A dalah hak seorang yang diadili
untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim
yang mengadili perkaranya (Pasal 17 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009)
Dasar alasan
pengajuan hak ingkar ( Pasal 17 ayat (3,4,5) UU No.48 Tahun 2009, Pasal 374
ayat (1) HIR) : Apabila seorang hakim terikat hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai derajat ketiga,atau hubungan suami atau istri meskipun telah
bercerai,dengan ketua,salah seorang hakim anggota,jaksa,advokat,atau panitera;
A pabila ketua majelis,hakim anggota,jaksa,atau panitera terikat hubungan
keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau
istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat; A pabila
hakim atau panitera mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan
perkara yang sedang diperiksa Hak Ingkar Berdasarkan alasan yang sama seorang
hakim atau panitera wajib untuk mengundurkan diri baik atas keinginan sendiri
maupun atas permintaan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam hal terjadi
pelanggaran terhadap alasan pada ayat (5) maka putusan hakim menjadi tidak sah
dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi
administrative atau pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku ( Pasal 17 ayat (6) UU No.48 Tahun 2009 ).
Asas sistem majelis “ Semua pengadilan
memeriksa,mengadili dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim
kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 11 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009)
Asas Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa ( Pasal 2 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009) Setiap putusan pengadilan
dalam kepala putusannya harus mencantumkan klausula Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa,klausula ini merupakan klausula eksekutorial. Tidak
dipenuhinya asas ini dalam putusan,berakibat putusan tidak dapat dilaksanakan
dan putusan menjadi batal demi hukum
Asas peradilan
yang sederhana,cepat dan biaya ringan( Pasal 2 ayat (4) UU No.48 Tahun 2009 )
Sederhana dalam pengertian bahwa peradilan dilaksanakan dengan cara-cara yang
tidak formalistis,tidak memerlukan birokrasi yang sulit serta acaranya mudah
difahami oleh masyarakat; Cepat,dalam pengertian bahwa proses peradilan
dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu yang penyelesaiannya dapat diukur
secara pasti dan jelas dalam waktu berapa lama suatu perkara dapat diselesaikan
oleh hakim pada semua tingkat; Biaya ringan,proses peradilan tentu memerlukan
biaya,hanya saja tentunya biaya yang dibebankan selaras dan sebanding dengan
perkara yang diajukan dan dapat ditanggung oleh masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...