B. SDM Syariah
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mencatat bahwa Sumber Daya adalah faktor produksi yang terdiri atas tanah, tenaga kerja dan modal yang dipakai dalam kegiatan ekonomi untuk menghasilkan barang dan jasa, serta mendistribusikannya (KBBI, 1990: 867). Berdasarkan pengertian ini maka Sumber Daya Manusia (SDM) adalah potensi manusia yang dapat dikembangkan untuk proses produksi. Berdasarkan cakupannya SDM terbagi menjadi dua yaitu pengertian mikro dan makro. Secara mikro SDM adalah individu yang bekerja dan menjadi anggota suatu perusahaan atau institusi dan biasa disebut sebagai pegawai, buruh, karyawan, pekerja, tenaga kerja dan lain sebagainya. Sedangkan secara makro adalah penduduk suatu negara yang sudah memasuki usia angkatan kerja, baik yang belum bekerja maupun yang sudah bekerja.
Beberapa ahli memberikan definisi mengenai SDM, diantaranya adalah; Sonny Sumarsono (2003: 4), berpendapat bahwa Sumber Daya Manusia atau human recources mengandung dua pengertian. Pertama, adalah usaha kerja atau jasa yang dapat diberikan dalam proses produksi. Dalam hal lain SDM mencerminkan kualitas usaha yang diberikan oleh seseorang dalam waktu tertentu untuk menghasilkan barang dan jasa. Pengertian kedua, SDM menyangkut manusia yang mampu bekerja untuk memberikan jasa atau usaha kerja tersebut. Mampu bekerja berarti mampu melakukan kegiatan yang mempunyai kegiatan ekonomis, yaitu bahwa kegiatan tersebut menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan atau masyarakat.
M.T.E. Hariandja (2002: 2) berpendapat bahwa Sumber Daya Manusia merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam suatu perusahaan di samping faktor yang lain seperti modal. Oleh karena itu SDM harus dikelola dengan baik untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi. Mathis dan Jackson (2006: 3) SDM adalah rancangan sistem-sistem formal dalam sebuah organisasi untuk memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan organisasi. Demikian pula menurut The Chartered Institute of Personnel and Development (CIPD) dalam Mullins (2005). Sumber daya manusia dinyatakan sebagai strategi perancangan, pelaksanaan dan pemeliharaan untuk mengelola manusia untuk kinerja usaha yang optimal termasuk kebijakan pengembangan dan proses untuk mendukung strategi. Hasibuan (2003: 244) berpendapat bahwa Sumber Daya Manusia adalah kemampuan terpadu dari daya pikir dan daya fisik yang dimiliki individu. Pelaku dan sifatnya dilakukan oleh keturunan dan lingkungannya, sedangkan prestasi kerjanya dimotivasi oleh keinginan untuk memenuhi kepuasannya.
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) adalah individu yang bekerja sebagai penggerak suatu organisasi, baik institusi maupun perusahaan dan berfungsi sebagai aset yang harus dilatih dan dikembangkan kemampuannya. Apabila SDM disatukan dengan istilah Syariah maka bermaka sumber daya manusia berbasis Syariah.
Syariah secara bahasa adalah الوارد (al-waarid) yang berarti jalan, dikatakan pula نحو الماء yaitu tempat keluarnya (mata) air. Ia juga bermakna jalan yang dilewati untuk menuju sumber air tersebut.[1] Apabila dikatakan “syara’a fiil maa’i” artinya datang ke sumber air mengalir atau datang pada syari’ah. Al-Raghib al-Ashfahani menyatakan bahwa syariah adalah metode atau jalan yang jelas dan terang. Apabila dikatakan : شرعت له طريقا (aku mensyariatkan padanya sebuah jalan).[2] Kata الشريعة al-syari'ah bisa pula bermakna sebuah tempat di tepi pantai. Manna' Khalil al-Qathan mencatat bahwa “syariat” menurut bahasa bermakna sumber air yang digunakan untuk minum, kemudian digunakan oleh orang-orang Arab dengan arti jalan yang lurus (al-syirath al-mustaqim) yang demikian itu karena tempat keluarnya air adalah sumber kehidupan dan keselamatan/kesehatan badan. Ia juga bermakna arah dari jalan yang lurus yang mengarahkankan manusia kepada kebaikan, padanya ada kehidupan jiwa dan pengoptimalan akal mereka.[3]
Kata "syariah" dan derivasinya terdapat di dalam beberapa ayat al-Qur’an, misalnya firman Allah ta’ala:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَآءَ الَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS. al-Jatsiyah [45]: 18).
Imam al-Thabari menafsirkan ayat ini bahwasanya Allah ta’ala berfirman kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, “Sesunggunya Dia telah menjadikanmu (Muhammad) setelah para nabi dari Bani Israil sebagaimana yang telah diberitakan Allah kepadamu sifat-sifat mereka”, Allah berfirman عَلَى شَرِيعَةٍ yakni berada di atas jalan, sunnah dan manhaj yang sesuai dengan kehendak Kami yang telah disampaikan pula sebelummu dari para rasul.[4]
Imam al-Qurthubi menyatakan bahwa terdapat dua permasalahan dalam ayat ini, pertama bahwa Allah ta’ala telah memberikan syariat kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam sebagaimana nabi-nabi sebelumnya. Kesamaan syariatNya adalah pada masalah tauhid atau aqidah sedangkan dalam masalah aqidah terdapat kekhasan tersendiri. Kedua, ayat ini sebagai dalil bahwa syar’u man qablana (syariat sebelum kita) bukanlah sebuah syariat untuk kita karena Allah ta’ala telah mengistimewakan umat Islam dengan syariatNya sendiri.[5]
Kesimpulannya adalah bahwa makna syariah pada ayat ini adalah peraturan atau cara beragama yang datang dari Allah ta’ala kepada manusia. Sedangkan dalam ayat yang lainnya bermakna tata cara beragama :
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَاوَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَتَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَاتَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (QS. al-Syura [42]: 13).
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah ta’ala telah mensyariatkan kepada umat Islam agamaNya sebagaimana disyariatkan kepada Nabi Nuh, Ibrahim, Musa dan ‘Isa yaitu agar menegakan tauhidullah.[6] Ayat ini juga menunjukan bahwasanya syariah Allah ta’ala mencakup seluruh bagian dari agama baik dalam masalah aqidah maupun ibadah. Ia diturunkan bagi kebaikan umat manusia sejak zaman Nabi Nuh hingga Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam dengan esensi yang sama yaitu perintah untuk menyembahNya dan tidak mempersekutukannya dengan yang lain. Makna syariah yang serupa disebutkan pula dalam firmanNya :
أَمْ لَهُمْ شُرَكَآؤُاْ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَالَمْ يَأْذَن بِهِ اللهُ وَلَوْلاَ كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِىَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمُُ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang dzalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih,. (QS. al-Syura [47]: 21).
Secara terminology syariat adalah “Seperangkat norma yang mengatur masalah-masalah bagaimana tata cara beribadah kepada Allah ta'ala, serta bermuamalah dengan sesama manusia”. Al-Fairuz Abady menyebutkan bahwa “syariat” adalah apa-apa yang disyariatkan Allah kepada para hambaNya.[7] Pada definisi ini terkandung makna bahwa syariat adalah hukum Allah ta’ala yang diperuntukan bagi umat manusia yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Senada dengan definisi sebelumnya, Ibnu Mandzur menyatakan bahwa syariah adalah:
ما سنَّ الله من الدِّين وأَمَر به كالصوم والصلاة والحج والزكاة وسائر أَعمال البرِّ
Segala sesuatu yang ditetapkan Allah dari dien (agama) dan diperintahkanNya seperti puasa, shalat, haji, zakat dan amal kebaikan lainnya.[8]
Definisi ini seperti yang disebutkan oleh Manna' Al-Qathan yang menyebutkan bahwa syariat secara istilah adalah “Setiap sesuatu yang datang dari Allah ta'ala yang disampaikan oleh utusan/RasulNya kepada para hambaNya, dan Dia adalah pembuat syariat yang awal, hukumNya dinamakan syar'an.[9] Mahmud Syaltut memberikan definisi secara lebih detail, dengan menyatakan syariat adalah:
النّظم الّتى شرعها الله أصولها ليأخذ الإنسان بها نفسه بعلاقاته بربّه وعلاقاته بأخيه المسلم وعلاقاته بأخيه الإنسان وعلاقاته بالكون وعلاقاته بالحياة
Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah atau hasil penalaran atas dasar ketentuan tersebut, untuk dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan umat manusia, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan umat manusia; sesama muslim atau non muslim, maupun dengan alam sekitarnya.[10]
Berdasarkan pengertian ini tampak bahwa Syaltut membagi Islam ke dalam beberapa bagian, yaitu masalah hubungan manusia dengan Tuhan (Aqidah), masalah manusia dengan manusia lainnya dan dengan alam sekitarnya yang disebut dengan syariah. Maka aqidah adalah pondasi bagi tegaknya bangunan syariah yang dibangun melalui ketetapan dari Allah ta’ala dan juga nalar manusia yang disebut dengan fiqh. Syariah pada beberapa literature juga sinonim dengan istilah syara’, millah dan diin.
Para ahli hukum Islam di Indonesia memberikan definisi dari syariah Islam dengan beberapa pengertian. Hasbi Ash-Shidieqy yang mendefinisikannya dengan “Segala yang disyariatkan Allah untuk kaum muslimin, baik ditetapkan oleh al-Qur’an ataupun sunnah Rasul yang berupa sabda, perbuatan, ataupun taqrirNya”.[11] Pengertian ini memandang bahwa syariah adalah agama Islam secara keseluruhan, baik bidang aqidah ataupun muamalah.
Sedangkan M. Ali Hasan menyatakan bahwa syari'ah adalah “Hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah bagi hamba-hambaNya (manusia) yang dibawa oleh para nabi, baik menyangkut cara mengerjakannya yang disebut far'iyah amaliyah (cabang-cabang amaliyah) dan untuk itulah fiqh dibuat, atau yang menyangkut petunjuk beri'tiqad yang disebut ashliyah i'tiqadiyah (pokok keyakinan), dan untuk itu para ulama menciptakan ilmu kalam (ilmu tauhid). Dalam bagian lain ia juga menyebutkan bahwa syariah adalah “Semua yang disyariatkan Allah untuk kaum muslimin baik melalui Al-Qur’an maupun melalui sunnah rasul.[12]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...