Dr. Abdurrahman Misno Bambang Prawiro, MEI
Syariah secara bahasa adalah
الوارد
(al-waarid) yang berarti jalan, dikatakan pula نحو
الماء yaitu tempat keluarnya (mata) air. Ia juga
bermakna jalan yang dilewati untuk menuju sumber air tersebut.[1]
Apabila dikatakan “syara’a fiil maa’i” artinya datang ke sumber air
mengalir atau datang pada syari’ah. Al-Raghib al-Ashfahani menyatakan bahwa
syariah adalah metode atau jalan yang jelas dan terang. Apabila dikatakan : شرعت له طريقا
(aku mensyariatkan padanya sebuah jalan).[2] Kata
الشريعة al-syari'ah bisa pula bermakna sebuah tempat di
tepi pantai. Manna' Khalil al-Qathan mencatat bahwa “syariat” menurut bahasa
bermakna sumber air yang digunakan untuk minum, kemudian digunakan oleh
orang-orang Arab dengan arti jalan yang lurus (al-syirath al-mustaqim)
yang demikian itu karena tempat keluarnya air adalah sumber kehidupan dan
keselamatan/kesehatan badan. Ia juga bermakna arah dari jalan yang lurus yang
mengarahkankan manusia kepada kebaikan, padanya ada kehidupan jiwa dan
pengoptimalan akal mereka.[3]
Kata "syariah" dan derivasinya terdapat di
dalam beberapa ayat al-Qur’an, misalnya firman Allah ta’ala:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى
شَرِيعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَآءَ الَّذِينَ
لاَيَعْلَمُونَ
Kemudian Kami jadikan kamu
berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah
syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui. (QS. al-Jatsiyah [45]: 18).
Imam al-Thabari menafsirkan ayat ini bahwasanya
Allah ta’ala berfirman kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, “Sesunggunya
Dia telah menjadikanmu (Muhammad) setelah para nabi dari Bani Israil
sebagaimana yang telah diberitakan Allah kepadamu sifat-sifat mereka”, Allah
berfirman عَلَى شَرِيعَةٍ yakni berada di atas jalan, sunnah dan manhaj yang sesuai
dengan kehendak Kami yang telah disampaikan pula sebelummu dari para rasul.[4]
Imam al-Qurthubi menyatakan bahwa terdapat dua
permasalahan dalam ayat ini, pertama bahwa Allah ta’ala telah memberikan
syariat kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam sebagaimana
nabi-nabi sebelumnya. Kesamaan syariatNya adalah pada masalah tauhid atau
aqidah sedangkan dalam masalah aqidah terdapat kekhasan tersendiri. Kedua, ayat
ini sebagai dalil bahwa syar’u man qablana (syariat sebelum kita)
bukanlah sebuah syariat untuk kita karena Allah ta’ala telah mengistimewakan
umat Islam dengan syariatNya sendiri.[5]
Kesimpulannya adalah bahwa makna syariah pada ayat
ini adalah peraturan atau cara beragama yang datang dari Allah ta’ala kepada
manusia. Sedangkan dalam ayat yang lainnya bermakna tata cara beragama :
شَرَعَ لَكُم مِّنَ
الدِّينِ مَاوَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَا
بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَتَتَفَرَّقُوا
فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَاتَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللهُ يَجْتَبِي
إِلَيْهِ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ
Dia telah mensyari'atkan bagi
kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah
Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa
dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.
Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.
Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk
kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (QS. al-Syura [42]: 13).
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah ta’ala telah
mensyariatkan kepada umat Islam agamaNya sebagaimana disyariatkan kepada Nabi
Nuh, Ibrahim, Musa dan ‘Isa yaitu agar menegakan tauhidullah.[6]
Ayat ini juga menunjukan bahwasanya syariah Allah ta’ala mencakup seluruh
bagian dari agama baik dalam masalah aqidah maupun ibadah. Ia diturunkan bagi
kebaikan umat manusia sejak zaman Nabi Nuh hingga Nabi Muhammad Shalallahu
Alaihi Wassalam dengan esensi yang sama yaitu perintah untuk menyembahNya
dan tidak mempersekutukannya dengan yang lain. Makna syariah yang serupa
disebutkan pula dalam firmanNya :
أَمْ لَهُمْ شُرَكَآؤُاْ
شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَالَمْ يَأْذَن بِهِ اللهُ وَلَوْلاَ كَلِمَةُ
الْفَصْلِ لَقُضِىَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمُُ
Apakah mereka mempunyai
sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak
diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah)
tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang dzalim itu
akan memperoleh azab yang amat pedih,. (QS. al-Syura [47]: 21).
Secara terminology syariat adalah “Seperangkat norma
yang mengatur masalah-masalah bagaimana tata cara beribadah kepada Allah
ta'ala, serta bermuamalah dengan sesama manusia”. Al-Fairuz Abady menyebutkan
bahwa “syariat” adalah apa-apa yang disyariatkan Allah kepada para hambaNya.[7]
Pada definisi ini terkandung makna bahwa syariat adalah hukum Allah ta’ala yang
diperuntukan bagi umat manusia yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah.
Senada dengan definisi sebelumnya, Ibnu Mandzur menyatakan bahwa syariah
adalah:
ما سنَّ الله من الدِّين
وأَمَر به كالصوم والصلاة والحج والزكاة وسائر أَعمال البرِّ
Segala
sesuatu yang ditetapkan Allah dari dien
(agama) dan diperintahkanNya seperti puasa, shalat, haji, zakat dan amal
kebaikan lainnya.[8]
Definisi ini seperti yang disebutkan oleh Manna'
Al-Qathan yang menyebutkan bahwa syariat secara istilah adalah “Setiap sesuatu
yang datang dari Allah ta'ala yang disampaikan oleh utusan/RasulNya kepada para
hambaNya, dan Dia adalah pembuat syariat yang awal, hukumNya dinamakan syar'an.[9] Mahmud Syaltut memberikan definisi secara
lebih detail, dengan menyatakan syariat adalah:
النّظم الّتى شرعها الله
أصولها ليأخذ الإنسان بها نفسه بعلاقاته بربّه وعلاقاته بأخيه المسلم وعلاقاته
بأخيه الإنسان وعلاقاته بالكون وعلاقاته بالحياة
Ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan Allah atau hasil penalaran atas dasar ketentuan tersebut, untuk
dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan umat manusia, baik dalam hubungannya
dengan Tuhan, dengan umat manusia; sesama muslim atau non muslim, maupun dengan
alam sekitarnya.[10]
Berdasarkan pengertian ini tampak bahwa Syaltut
membagi Islam ke dalam beberapa bagian, yaitu masalah hubungan manusia dengan
Tuhan (Aqidah), masalah manusia dengan manusia lainnya dan dengan alam
sekitarnya yang disebut dengan syariah. Maka aqidah adalah pondasi bagi
tegaknya bangunan syariah yang dibangun melalui ketetapan dari Allah ta’ala dan
juga nalar manusia yang disebut dengan fiqh. Syariah pada beberapa
literature juga sinonim dengan istilah syara’, millah dan diin.
Para ahli hukum Islam di Indonesia memberikan
definisi dari syariah Islam dengan beberapa pengertian. Hasbi Ash-Shidieqy yang
mendefinisikannya dengan “Segala yang disyariatkan Allah untuk kaum muslimin,
baik ditetapkan oleh al-Qur’an ataupun sunnah Rasul yang berupa sabda,
perbuatan, ataupun taqrirNya”.[11]
Pengertian ini memandang bahwa syariah adalah agama Islam secara keseluruhan,
baik bidang aqidah ataupun muamalah.
Sedangkan M. Ali Hasan menyatakan bahwa syari'ah
adalah “Hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah bagi hamba-hambaNya (manusia)
yang dibawa oleh para nabi, baik menyangkut cara mengerjakannya yang disebut far'iyah
amaliyah (cabang-cabang amaliyah) dan untuk itulah fiqh dibuat, atau yang
menyangkut petunjuk beri'tiqad yang disebut ashliyah i'tiqadiyah (pokok
keyakinan), dan untuk itu para ulama menciptakan ilmu kalam (ilmu tauhid).
Dalam bagian lain ia juga menyebutkan bahwa syariah adalah “Semua yang disyariatkan
Allah untuk kaum muslimin baik melalui Al-Qur’an maupun melalui sunnah rasul.[12]
[1] Ibnu Mandzur, Lisaan
al-Arab, hlm. 2238
[2] Abu al-Qasim
al-Husain bin Muhammad al-Raghib al-Ashfahani, al-Mufradat fi Gharib
al-Qur’an, (Beirut: Daar al-Ma’rifah, tt.), hlm. 258.
[3] Manna' Khalil al-Qathan, At-Tasyri' Wa
Al-Fiqhi fi Al-Islam Tarikhan wa Manhajan, Mesir : Maktabah Wahbah, 2001,
hlm. 13.
[4] Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Qurthubi Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil
ayi al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, tt), hlm. 85.
[5] Abu Adbillah
Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr al-Qurthubi, al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an Juz
19, (Beirut: Muasasah al-Risalah, 2006), hlm. 154-155.
[6] Abu Adbillah
Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr al-Qurthubi, al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an Juz
18, hlm. 451.
[7] Muhammad bin
Ya’qub Al-Fairuz Abady, Al-Qamus al-Muhith, hlm. 732.
[8] Ibnu Mandzur, Lisaan
al-Arab, hlm. 2238
[9] Manna' Khalil
al-Qaththan, al-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam, hlm. 13
[10] Mahmud
Syalthut, Al-Islam Aqidah wa al-Syari'ah, hlm. 7.
[11] Hasbi Ash-Shidieqy, Pengantar hukum Islam,
Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra , 2001. hlm. 18.
[12] M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab,
Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 1995, hlm. 5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...