Oleh: Misno bin Mohamad Djahri
Shalat Jum’at 29 Juli 2022
bertepatan dengan 29 Dzulhijjah 1443 H seperti biasa saya melaksanakan shalat
jumat di masjid dengan madzhab Syafi’i. Sebagai sebuah kewajiban sebagaimana
termaktub dalam firman Allah Ta’ala:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟
إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌۭ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ
تَعْلَمُونَ
Wahai
orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari
Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. QS. Al-Jumu’ah:
9.
Maka, sudah hampir 5 tahun ini saya
selalu shalat di masjid tersebut, kecuali ada jadwal khutbah di luar atau ada
kegiatan lain di luar rumah. Ada perasaan nyaman dan ketenangan Ketika shalat
di masjid tersebut; suasana masjid kampung, anak-anak di shaf belakang, kolam
kecil untuk mencuci kaki tepat di depan pintu masuk hingga suara bedug yang
seolah-olah masuk ke dalam relung dada yang paling dalam.
Masjid itu berlokasi di tepi persawahan,
dengan pemandangan di bagian timur perbukitan dan di bagian selatan menjulang
tinggi Gunung Salak. Pada bagian depan masjid ada kolam kecil yang menampung
air yang diperuntukan bagi jamaah yang akan masuk masjid tersebut untuk mencuci
kaki agar lebih bersih dan terhindar dari segala bentuk najis. Sebuah kearifan lokal
yang mulai pudar di masjid-masjid di perkotaan. Air yang berasal dari mata air
di guunung Salak terasa sejuk Ketika digunakan untuk berwudhu, kamar kecil dan
tempat wudhu yang masih alami dengan sedikit lumut di sana-sini sangat khas
masjid dan mushala di pedesaan.
Sebuah Menara sederhana menjulang
dengan kubah warna perak di bagian atasnya, tanpa ada speaker. Kebetulan masjid
ini dikelola oleh orang-orang yang memang tidak menggunakan speaker alias aspek
(anti speaker). Sebagai penggantinya sebuah bedug dan kentongan berada di
bagian bawah menara yang selalu dipukul sejak dua jam sebelum waktu Jum’at
masuk.
Tidak banyak yang bisa diceritakan
di dalam masjid, sebuah mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari campuran batu,
pasir dan semen berwarna putih tepat di samping sajadah imam yang terlihat
lusuh. Sebuah tongkat besi bersandar di bagian kanan yang selalu digenggam oleh
khatib yang berkhutbah pada hari jum’at. Lantai masjid yang terbuat dari keramik
ditutupi dengan karpet masjid warna hijau tua dengan bagian yang sudah mulai
pudar di sana-sini. Sebuah kaligrafi tergantung di bagian kanan dan kiri tempat
imam dengan bagian tengah jam dinding dengan desain klasik tahun 1980-an yang
sudah tidak berputar lagi jarum jam-nya karena termakan waktu. Sebuah poster
waktu shalat dan daftar bacaan-bacaan shalat menempel di dinding bagian kiri
imam dengan menggunakan Bahasa Arab Melayu yang menunjukan perintah mempermudah
bacaan shalat serta table bacaan shalat di setiap waktu dan rakaatnya.
Suasana seperti ini yang membuat
saya betah dan nyaman shalat di masjid ini, mungkin lebih mengingatkan kepada
masa kecil atau suka dengan suasana yang lebih asri dan alami. Berbeda dengan
masjid di perkotaan yang terkesan modern tapi kurang Bersatu dengan alam,
hingga sirkulasi udara tidak baik serta ornament yang terlalu “rame”.
Sebagaimana masjid dengan madzhab
Syafi’i, maka shalat jum’at diawali dengan adzan satu kali kemudian dilanjutkan
dengan “shalat sunnah” sebelum jumat. Sebelumnya dzikir shalawat diucapkan
secara bersama-sama dan disusul dengan pemukulan bedug berkali-kali serta
diselingi dengan kentongan. Suara bedug yang begitu keras seolah-olah masuk ke
dalam relung qolbu paling dalam, mungkin mirip dengan dentuman musik dengan
beat tinggi bagi para penggemarnya.
Selanjutnya khatib naik mimbar
dengan terlebih dahulu seorang Bilal akan memberikan nasehat kepada jamaah
untuk tidak berbicara dan bermain-main agar tidak hilang pahala Jumat. Selanjutnya
petugas menyerahkan tongkat ke khatib yang kemudian mengucapkan salam. Lalu Bilal
mengumandankan adzan kedua dan dilanjutkan dengan khatib yang berkhutbah dalam bahasa
Arab. Tidak sampai 3 menit khatib menyelesaikan khutbah pertama, kemudian duduk
sebentar dan dilanjutkan khutbah kedua. Setelah berdoa dan diaminkan oleh para
jamaah dan disambut riuh-rendah oleh anak-anak di shaff belakang. Selanjutnya shalat
Jumat dilaksanakan dengan dengan suasana yang terkadang mengganggu kekhusyuan
karena beberapa anak bercanda di beberapa bagian shaff belakang.
Hal menarik yang ada di masjid ini
adalah bahwa muadzin yang mengumandangkan adzan pertama selalu berada di shaff
kedua atau ketiga dari belakang dengan pakaian muslim dan tidak lupa sorban
yang ada di pundak bagian kanan. Suara adzan yang khas dan seolah-olah tidak
berubah dari tahun ke tahun menjadi kekhasan tersendiri, sementara adzan kedua
dikumandangkan di shaff pertama di bagian kanan imam menghadap ke kiblat. Busana
keduanya sama yaitu baju koko (muslim) dengan sorban di letakan di bagian pundak
kanan. Kedua adzan itu mengandalkan kekuatan ucapan karena masjid ini tidak
menggunakan speaker dalam adzannya.
Suasana seperti ini yang membuat
saya merasa nyaman ketika berada di rumah untuk shalat jumat, walaupun ada
beberapa hal yang memang perlu diperbaiki. Misalnya dari segi shalat sunnah sebelum
jumat yang secara syar’i memang tidak ada dalilnya, yang ada adalah shalat
sunnah tahiyatul masjid yang sangat dianjurkan dalam Islam. Bahkan Nabi Shalallahu
Alaihi Wassalam menegur orang yang baru sampai ke masjid kemudian langsung
duduk. Beliau bersabda:
عَنْ أبي
قَتَا دَةَ بْنِ رِبْعِيًّ اْلأنصا ريَّ رضي اللّهُ عَنْهُ قَالَ النَّبيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَمَ إذَا دَخَلَ أَحَدُ كُمُ الْمَسجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حتَّى
يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ
“Dari Abu Qatadah Al-Harits bin
Rab’y Al-Anshary Radhiyallahu anhu, dia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda: ‘Jika salah seorang di antara kalian masuk
masjid, maka janganlah duduk sebelum shalat dua raka’at“. HR. Bukhari dan
Muslim.
Tidak adanya shalat qabliyah
Jumat masjid karena memang adzan pada masa Nabi dilaksanakn hanya satu kali,
yaitu setelah khatib mengucapkan salam dan sebelum khutbah Jumat. Sehingga setelah
adzan selesai maka khatib langsung berkhutbah sehingga tidak ada waktu untuk
shalat lagi, karena mendengarkan khatib berkhutbah adalah bagian dari shalat
Jumat. Apabila seseorang ingin melaksanakan shalat sambal menunggu khatib maka
diperbolehkan untuk shalat sunnah Mutlaq dengan dua rakaat salam hingga khatib
datang.
Selanjutnya ada waktu-waktu penting
yang harus dimanfaatkan untuk berdo’a yaitu antara dua khutbah, mengenai hal ini
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:
فِيهِ سَاعَةٌ
لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى
شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَأَشَارَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا
Pada hari (Jum’at) itu ada satu
waktu, jika ada seorang hamba Muslim yang berdiri melakukan shalat dan berdoa
(memohon) sesuatu kepada Allâh Azza wa Jalla bertepatan dengan waktu itu, maka
pasti Allâh Azza wa Jalla mengabulkan doanya. HR. Bukhari.
Tambahan Riwayat yang lebih
spesifik adalah sabda beliau:
هِيَ مَا
بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلاَةُ
Waktu itu adalah waktu yang
terbentang antara waktu duduknya imam sampai pelaksanaan shalat Jum’at
Maka hendaknya imam memperpanjang
sedikit Ketika duduk di antara dua khutbah untuk memberikan kesempatan kepada jamaah
untuk dapat berdoa. Karena merujuk pada Riwayat tersebut bahwa doa di antara
dua khutbah sangat dianjurkan dan akan dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Sayangnya hal
ini kurang diperhatikan khatib di masjid tersebut, sehingga jeda di antara dua
khutbah tidak lebih satu menit saja bahkan kurang.
Selanjutnya adalah keharusan untuk
mendengarkan khutbah, maka hal ini masih banyak disepelakan oleh jama’ah. Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:
إِذَا قُلْتَ
لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ أَنْصِتْ، وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
Apabila engkau mengatakan kepada
saudaramu pada hari jum’at “Diamlah,” padahal khatib sedang berkhutbah, berarti
engkau telah melakukan perbuatan sia-sia.
Dan berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Darda, beliau Radhiyallahu anhu berkata:
جَلَسَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا عَلَى الْمِنْبَرِ فَخَطَبَ
النَّاسَ وَتَلَا آيَةً وَإِلَى جَنْبِي أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ فَقُلْتُ لَهُ يَا أُبَيُّ
مَتَى أُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ قَالَ فَأَبَى أَنْ يُكَلِّمَنِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ
فَأَبَى أَنْ يُكَلِّمَنِي حَتَّى نَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ لِي أُبَيٌّ مَا لَكَ مِنْ جُمُعَتِكَ إِلَّا مَا لَغَيْتَ
فَلَمَّا انْصَرَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِئْتُهُ
فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ صَدَقَ أُبَيٌّ فَإِذَا سَمِعْتَ إِمَامَكَ يَتَكَلَّمُ فَأَنْصِتْ
حَتَّى يَفْرُغَ
Pada susatu hari, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di atas mimbar lalu berkhutbah dan membaca
sebuah ayat. Kemudian Ubaiy duduk di sampingku. Aku bertanya kepada Ubai:
“Wahai Ubaiy, kapankah ayat ini diturunkan?” Abu Darda` berkata: “Dia enggan
berbicara denganku (tidak menjawab), kemudian aku bertanya lagi, namun dia
masih enggan berbicara denganku, sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam turun”. Kemudian Ubaiy berkata kepadaku: “Kamu tidak mendapatkan apa-apa
dari Jum’atmu kecuali kesia-siaan”. Ketika Rasulullah selesai (shalat), aku
mendatangi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku beritakan
kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Ubaiy benar. Jika engkau sudah mendengar imam
(khatib) sedang berkhutbah, maka diamlah sampai dia selesai”.
Apabila kita saksikan di beberapa
masjid di perkotaan bahkan ada beberapa jamaah yang sibuk dengan gadget-nya. Maka
hendaknya setiap jamaah jumat mendengarkan khutbah dengan serius dan tidak
melakukan perbuatan yang akan mengurangi pahala jumat.
Selanjutnya pada saat pelaksanaan
shalat juga hendaknya dilaksanakan salah satu sunnah Nabi Shalallahu Alaihi
Wassalam yaitu:
إِنَّ طُوْلَ
صَلاَةِ الرَّجُلِِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ، فَأَطِيْلُوا الصَّلاَةَ
وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ، وَإِنَّ مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا.
“Sesungguhnya panjang shalat dan
singkatnya khutbah seseorang menunjukkan kefaqihannya (kefahamannya). Maka
panjangkan shalat dan persingkatlah khutbah. Sesungguhnya kata-kata yang indah
ibarat sihir.” HR. Bukhari.
Selain itu Riwayat dari Jabir bin
Samurah, dia berkata, “Aku pernah shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam selama beberapa kali. Shalat dan khutbah beliau seimbang.”.
Salah satu dari kenyamanan shalat
di sini adalah waktu khutbah dan shalat-nya cepat, sehingga menjadikan jama’ah
juga merasa senang dengan hal ini. Mungkin kenyamanan karena ada unsur hawa
nafsu ya, karena di masjid di bagian lainnya sangat lama sehingga seringkali di
masjid ini sudah selesai di masjid lainnya baru mulai shalat jum’at.
Tentu saja jalan terbaik adalah
pertengahan yaitu shalat sesuai dengan sunnah Nabi Shalallahu alaihi
wassalam di mana sunnah-nya adalah khutbah lebih singkat dari shalat jum’at
yang dilaksanakan. Namun apabila ada beberapa hal misalnya karena jamaahnya kebanyakan
sudah tua, atau karena adanya pandemic covid-19 maka bisa lebih dipercepat.
Lepas dari semua itu bahwa shalat
jumat yang dilaksanakan sebagai kewajiban bagi seluruh umat Islam maka haruslah
dilaksanakan sesuai dengan sunnah Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam dengan
memperhatikan berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat. Sehingga tujuan
utama dari ibadah ini dapat tercapai dengan baik dan umat Islam juga merasa
nyaman dalam melaksanakannya.
Kembali terhadap kenyamanan dalam
ibadah jumat, maka memang sebaiknya bukan hanya kenyamanan subyektif yang
menjadi pertimbangan, namun juga yang dekat dengan sunnah Nabi Shalallahu
Alaihi Wassalam. Namun pada hal-hal tertentu maka boleh saja dilaksanakan
misalnya karena niat dakwah agar orang-orang juga melihat dan bisa mempelajari
bahwa shalat sunnah qabliyah jumat tidak ada. Karena melihat ada orang
yang tidak melaksanakan shalat Jum’at, demikian pula dari sisi mendengarkan
khutbah harus dengan khusyu’, jangan melakukan hal-hal yang mengurangi pahala
jumat.
Adapun berkaitan dengan perbedaan
pendapat dalam masalah fiqh, maka kita harus saling menghormati sehingga umat
juga tidak terpecah belah dan tidak bingung dengan perbedaan yang terjadi,
apalagi jika perbedaan tersebut hanya terkait dengan masalah yang sifatnya
khilafiah. Wallahu a’lam. 29072022.