Oleh: Misno Mohamad Djahri
Isu mengenai pelecehan seksual oleh anak kyai di Jombang menjadi
viral di berbagai media. Upaya yang dilakukan oleh apparat penegak hukum
dihalang-halangi oleh warga yang tidak terima dengan isu tersebut, sementara
pihak-pihak yang mengaku sebagai korban terus mendakwa dan menuntut isu ini
segera diusut. Bagaimana mungkin isu pelecehan seksual terjadi di pesantren
sebagai institusi pendidikan Islam. Apakah ini oknum? Atau ada upaya untuk
menghancurkan institusi mulia ini?
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memiliki kekhasan,
terlihat dari para murid (santri) nya yang belajar selama 24 jam di dalamnya. Model
pendidikan pesantren meniscayakan adanya interaksi seluruh penghuninya secara
terus-menerus, dari bangun tidur hingga tidur lagi bahkan juga waktu-aktu untuk
tidur. Interaksi yang intens ini memunculkan berbagai efek, baik positif
ataupun negatif. Efek positif dari model pendidikan ini adalah santri akan
terpantau selama 24 jam dalam bimbingan seorang kyai atau ustadz-ustadz yang
ada di dalamnya. Sementara efek negatifnya yang relative kecil terkadang muncul
salah paham atau interaksi yang lebih erat antar sesame mereka.
Berbagai peraturan dibuat untuk mengatur model Pendidikan pesantren,
dari mulai kewajiban disiplin dalam setiap waktu, belajar, melaksanakan
kewajiban dan sunnah agama hingga aturan interaksi antar sesama mereka, baik antar
sesama jenis ataupun lain jenis. Sama sama dipahami bahwa interaksi antara
laki-laii dan perempuan di dunia pesantren sangat ketat, tidak boleh berduaan di
tempat yang sepi, apalagi sampai berjalan berdua atau sampai masuk di ruangan sama.
Ini adalah pelanggaran besar dalam dunia pesantren. Hal ini biasanya
diantisipasi dengan pemisahan secara keta tantara pesantren putra dan putri. Pada
beberapa pesantren mereka tidak bisa berkomunikasi ssama sekali, kecuali tanpa
diketahui oleh pimpinan atau pengurusnya.
Pembatsan interaksi berbeda jenis kelamin juga berlaku untuk semua
pengurus, ustadz, ustadzah dan semua yang terlibat di pesantren tersebut. Sehingga
seornag ustadz ketika mengajar santri putri harus menjaga jarak, bahkan di
beberapa pesantren menggunakan hijab pembatas agar santriwati tidak perlu
melihat ustadz yang mengajar, atau sebaliknya ustadz tidak perlu melihat
santriwati. Apabila diperlukan interaksi yang agak dekat, biasanya santriwati
akan memakai cadar untuk menutupi wajahnya. Pada beberapa pesantren yang lebih
longgar tetap bisa berinteraksi dengan batasan yang sudah sangat jelas yaitu
tidak boleh memandang terlalu lama atau dilarang juga bersentuhan. Ini sudah
menjadi aturan di berbagai pesantren, bahwa antara laki-laki dan perempuan yang
bukan mahram tidak boleh khalwat (berduaan tanpa ada mahram di tempat
sepi), tidak boleh saling memandang lebih dari satu detik, dan yang pasti tidak
boleh bersentuhan santar mereka. Sekali lagi aturan ini berlaku untuk semua
warga pesantren, dri mulai kyai, keluarga besar kyai, ustadz dan ustadzah,
santri serta mereka yang terlibat dalam pengelolaan pesantren.
Saat ini aturan terkait dengan menjaga jarak juga berlaku antara
laki-laki dengan laki-laki lainnya atau perempuan dengan perempuan lainnya. Mereka
tidak boleh mandi bersama, saling melihat aurat atau melakukan aktifitas yang
mengarah kepada memperlihatkan aurat, termasuk tidak boleh tidur dalam satu tempat
tidur apalagi satu selimut. Beberapa pesantren mengatur agar ketika tidur baik
santri ataupun santriwati tetap memakai pakaian yang lengkap dan tidak boleh
tidur tanpa pakaian atau hanya dengan selimut saja. Hal ini untuk
mengantisipasi jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti
pelecehan seksual sesama jenis.
Merujuk pada berbagai aturan yang ada mengenai interaksi antara sesama
jenis ataupun lain jenis menunjukan bahwa pesantren menjadi tempat yang sangat
aman bagi pendidikan anak-anak yang sesuai dengan aturan (syariah) Islam. Namun,
bagaimana jika ternyata saat ini muncul isu mengenai pelecehan seksual yang
dilakukan oleh seorang anak kyai di Jombang? Apakah hal itu benar-benar
terjadi, atau ada upaya menghancurkan institusi pendidikan Islam yang mulia
ini?
Sejatinya isu mengenai berbagai bentuk pelecehan seksual telah
beberapa kali kita dengar, berita yang paling memprihatinkan adalah kisah
predtir seksual di Bandung yang memerkosa para santri-nya hingga berjumlah
puluhan orang. Demikian pula beberapa kasu lainnya, termasuk yang terbaru adalah
isu seorang anak kyai yang melakukan pelecehan seksual kepada santri-santrinya.
Apabila kita telisik, sejatinya pelecehan seksual tidak hanya terjadi di pesantren,
lembaga pendidikan lainnya lebih banyak kasusnya. Namun karena pesantren menjadi
lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan agama, maka inilah yang menjadi
sorotan utama.
Interaksi yang terjadi antar warga pesantren yang intens, khususnya
interaksi antara laki-laki dan perempuan terkadang membawa pada rasa
ketertarikan secara seksual. Apalagi jika interaksi ini intens, misalnya ustadz
yang mengajar santriwati-nya atau pihak-pihak lainnya, mereka dapat saling
melihat, berkomunikasi lebih dekat dan akhirnya tumbuh rasa suka pada diri
mereka. Ada yang karena saling suka kemudian akhirnya dinikahan, namun tidak
jarang yang bertepuk sebelah tangan sehingga muncullah apa yang disebut dengan
pelecehan seksual. Walaupun aturn sudah dibuat, namun terkadang ustadz atau
santri juga manusia akhirnya mereka terpeleset kepada perbuatan yang bertentangan
dengan syariat.
Pelecehan seksual sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
bermakna kasus yang terkait dengan perlakuan seseorang terhadap orang lain,
terutama lawan jenis, dengan kekerasan seks, seperti perkosaan dan tindakan
pelampiasan nafsu berahi. Komnas Perempuan menyebutkan, pelecehan seksual
adalah tindakan yang bernuansa seksual, baik yang disampaikan melalui kontak
fisik maupun kontak non-fisik. Di mana tindakan tersebut dapat membuat
seseorang merasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya,
sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan fisik maupun mental. Beberapa bentuk
jenis pelecehan seksual adalah: Pelecehan jenis kelamin, Perilaku cabul atau
menggoda, Pemaksaan seksual, Menjanjikan imbalan dan Sentuhan fisik yang
disengaja. Orang yang disebut dengan pelaku pelecehan seksual adalah orang yang
suka merendahkan atau meremehkan orang lain, berkenaan dengan seks (jenis
kelamin) atau berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan
perempuan.
Kembali ke isu pelecehan seksual di pesantren, harus dipahami bahwa
Islam sudah memberikan aturan yang tegas mengenai larangan untuk melakukan
pelecehan seksual yang merupakan Langkah menuju perzinahan, Allah Ta’ala
berfirman “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” QS. Al-Isra: 32. Merujuk
pada ayat ini maka jelas sekali bahwa perbuatan melakukan pelecehan seksual
adalah satu tahapan menuju perzinahan yang diharamkan dalam Islam. Hukuman bagi
pelaku zina sendiri sudah sangat jelas yaitu firmanNya “Perempuan yang berzina
dan laki-laki yang berzina, maka deralah (cambuklah) tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera (cambuk), QS. An-Nûr:2. Al-Wazîr rahimahullah
menyatakan : “Para ulama sepakat bahwa pasangan yang belum al-muhshân dan
merdeka (bukan budak-red), apabila mereka berzina maka keduanya dicambuk
(dera), masing-masing seratus kali. Adapun orang yang berzina sudah pernah
menikah (al-Muhshân) dihukum rajam (dilempar dengan batu) sampai mati.
Hukuman ini berdasarkan al-Qur`an, hadits mutawatir dan ijma’ kaum muslimin.
Ayat yang menjelaskan tentang hukuman rajam dalam al-Qur`an meski telah dihapus
lafadznya namun hukumnya masih tetap diberlakukan. Umar bin Khatthab
Radhiyallahu anhu menjelaskan dalam khuthbahnya Radhiyallahu anhu:
إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ عَلَى نَبِيِّهِ
الْقُرْآنَ وَكَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ فَقَرَأْنَاهَا
وَوَعَيْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا وَرَجَمَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ وَ أَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُوْلُوْا
: لاَ نَجِدُ الرَّجْمَ فِيْ كِتَابِ الله فَيَضِلُّوْا بِتَرْكِ فَرِيْضَةٍ
أَنْزَلَهَا اللهُ وَ ِإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ ثَابِتٌ فِيْ كِتَابِ اللهِ عَلَى
مَنْ زَنَا إِذَا أَحْصَنَ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَل أَوْ
الإِعْتِرَاف.
Sesungguhnya Allah telah menurunkan al-Qur`an kepada NabiNya dan
diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat Rajam. Kami telah membaca,
memahami dan mengetahui ayat itu. Nabi n telah melaksanakan hukuman rajam dan
kamipun telah melaksanakannya setelah beliau. Aku khawatir apabila zaman telah
berlalu lama, akan ada orang-orang yang mengatakan: “Kami tidak
mendapatkan hukuman rajam dalam kitab Allah!” sehingga mereka sesat lantaran
meninggalkan kewajiban yang Allah Azza wa Jalla telah turunkan. Sungguh
(hukuman) rajam adalah benar dan ada dalam kitab Allah untuk orang yang berzina
apabila telah pernah menikah (al-Muhshân), bila telah terbukti dengan pesaksian
atau kehamilan atau pengakuan sendiri. HR. Bukahri dan Muslim.
Merujuk kepada dalil-dalil tersebut maka sudah selayaknya seorang
muslim untuk menjauhi segala bentuk zina serta segala yang mengarah ke sana,
termasuk perbuatan pelecehan seksual kepada orang lain.
Permasalahannya adalah bahwa para pengelola pesantren juga adalah
manusia, terkadang mereka lalai dan terpeleset kepada kesalahan. Termasuk pelecehan
seksual yang dilakukan oleh oknum tertentu yang karena khilap terpeleset ke
dalam perbuatan pelecehan seksual, baik yang disengaja atau hanya bercanda. Jika
perbuatan tersebut dilakukan secara sengaja tentu harus dikembalikan kepada
hukum syariah bahwa ia layak untuk mendapatkan hukumannya sesuai dengan
perbuatan yang dilakukan. Hal ini tentu saja tidak terkait langsung dengan
pesantren di mana dia berada, itu adalah murni perbuatan yang dilakukan oleh
oknum yang harus dihukum. Kalaupun tidak sengaja dilakukan namun pihak yang
merasa dilecehkan melaporkan ke pihak yang berwenang maka hal ini harus
diperiksa dan diberikan peringatan dan hukuman yang sesuai dengan kesalahannya.
Maka menyikapi isu pelecehan seksual yang terjadi di pesantren dan
di berbgai lembaga pendidikan Islam lainnya, kita harus lebih bijak. Setiap yang
terbukti bersalah harus dihukum sesuai aturan syariah atau hukum yang berlaku
di suatu negara, kita tidak boleh membelanya jika memang terbukti bersalah. Kesalahan
oknum tersebut juga tidak terkait dengan institusi pesantren sebagai lembaga pendidikan
Islam yang mengajarkan ilmu-ilmu agama. Namun jika isu itu tidak benar dan
hanya ingin mencoreng nama baik pesantren, kita juga harus berhati-hati adanya.
Karena begitu banyak berita yang beredar kemudian ditambah-tambahi dengan isu
lainnya sehingga memunculkan stigma bahwa pesantren adalah sarang pelecehan
seksual. Tentu hal ini sangat tidak benar, karena pelecehan seksual oleh oknum
tidak hanya terjadi di pesantren, bahkan banyak sekali fakta yang membuktikan
kasus pelecehan seksual lebih banyak di lembaga Pendidikan umum, asrama, bahkan
hingga ke lembaga keagamaan di luar Islam. Wallahu’alam, 09072022.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...