Oleh:
Buya Hamka
Ketika
penulis datang ke Tanjung Pura dan Pangkalan Berandan dalam tahun 1926 penulis
masih mendapati kaum perempuan di sana memakai jilbab. Yaitu kain sarung
ditutupkan ke seluruh badan hanya separuh muka saja yang kelihatan. Asal saja
mereka keluar dari rumah hendak menemui keluarga di rumah lain, mereka tetap
menutup seluruh badan dengan memasukkan badan itu ke dalam kain sarung dan
salah satu dari kedua belah tangannya memegang kain itu di muka, sehingga hanya
separuh yang terbuka, bahkan hanya mata saja.
Ketika
penulis datang ke Makassar pada tahun 1931 sampai meninggalkannya pada tahun
1934, perempuan-perempuan yang berasal dari Salayer berbondong-bondong pergi ke
tempat mereka jadi buruh harian memilih kopi di gudang-gudang pelabuhan
Makassar, semuanya memakai jilbab, persis seperti di Langkat itu pula.
Seketika
penulis pergi ke Bhima pada tahun 1956 penulis masih mendapati perempuan di
Bhima jika keluar dari rumah berselimutkan kain sarung sebagai di Langkat 1927
dan di Makassar 1931 itu pula.
Seketika
penulis pergi ke Gorontalo pada tahun 1967 (40 tahun sesudah ke Langkat)
penulis dapati perempuan-perempuan Gorontalo memakai jilbab di luar bajunya,
meskipun pakaian yang di dalam memakai rok moden.
Pergerakan
perempuan Islam di bawah pimpinan ulama-ulama pun membuat pakaian perempuan
yang memegang kesopanan Islam yang tidak memperagakan badan. Gerakan Aisyiyah
di Tanah Jawa atas anjuran Kiyai H.A. Dahlan selain memakai khimaar (selendang)
yang dililitkan ke dada agar dada jangan kelihatan, dibawa pula untuk menutup
kepala. Ketika saya mulai datang ke Yogyakarta pada tahun 1924 (tiga tahun
sebelum ke Tanjung Pura Langkat) kelihatan di samping khimaar penutup kepala
dan dada itu, Aisyiyah pun memakai jilbab di luarnya. Pakaian secara begini
menjalar ke seluruh tanahair dalam
pergerakan Islam. Almarhum Rangkayo Rahmah El-Yunusiyah mempertahankan khimaar
dengan dililitkan pada muka dan kepala dengan kemas sekali; muka tidak ditutup.
Seorang perempuan pergerakan yang sama pengguruannya dengan Rangkayo Rahmah El-Yunusiyah,
yaitu Rangkayo Hajah Rasuna Said tidak pernah lepas khimaar (selendang) itu
dari kepala beliau.
Menjadi
adat-istiadat perempuan Indonesia jika telah kembali dari Haji, lalu memakai
khimaar (selendang) yang dililitkan di kepala dengan di bawahnya dipasak dengan
sanggul bergulung, sehingga rambut kemas tidak kelihatan. Tetapi di zaman
akhir-akhir ini perempuan-perempuan moden yang mulai tertarik kembali kepada
agama, lalu pergi naik haji, di Jakarta (1974) pernah mengadakan suatu mode
show (peragaan pakaian) di Bali Room Hotel Indonesia memperagakan pakaian moden
yang sesuai dengan ajaran Islam dan tidak menghilangkan rasa keindahan
(estetika). Beberapa tahun yang lalu tukang-tukang mode di Eropa membuat kaum
perempuan setengah gila dengan keluarnya mode rok mini, yaitu rok yang sangat
pendek sehingga sebahagian besar paha jadi terbuka. Tetapi kemudian mereka
bosan juga sehingga timbul rok maxi, yaitu rok panjang atau longdress yaitu
pakaian panjang sampai ke kaki. Perempuan-perempuan moden yang telah haji lalu
memakai longdress atau rok panjang itu jadi stelan pakaian orang haji.
Dalam
ayat yang kita tafsirkan ini jelaslah bahwa bentuk pakaian atau modelnya
tidaklah ditentukan oleh al-Quran. Yang jadi pokok yang dikehendaki al-Qur’an
ialah pakaian yang menunjukkan Iman kepada Tuhan, pakaian yang menunjukkan
kesopanan, bukan yang memperagakan badan untuk jadi tontonan laki-laki.
Alangkah
baiknya kalau yang jadi ahli mode itu orang yang beriman kepada Tuhan, bukan
yang beriman kepada uang dan kepada syahwat nafsu (sex appleal).
(Disalin
dari: Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al Azhar Juz 22, Penerbit Pustaka Panjimas,
Jakarta, Cetakan Nopember 2006, hal. 97-98)
Sumber: http://bundakhaira.wordpress.com/2012/10/04/beginilah-jilbab-di-indonesia-hampir-seabad-yang-lalu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...