Oleh: Hamka
Sebelum membahas
mengenai hukum menikah dengan ahli kitab menurut Hamka, maka terlebih
dahulu dikemukakan mengenai pengertian ahli kitab yang dipahami olehnya.
Hamka berpendapat bahwa ahli kitab adalah orang-orang Yahudi dan
Nasrani. Ia tidak memberikan perincian lebih lanjut mengenai mereka, sehingga
secara umum seluruh penganut agama Yahudi dan Nasrani adalah ahli kitab,
baik yang hidup pada zaman Nabi atau pada saat sekarang ini. Sebagaimana
diketahui bahwa orang-orang Nasrani saat ini telah menjadikan Al-Masih sebagai
Putra Tuhan, namun terlihat dalam kasus ini Hamka tetap menganggap mereka
sebagai ahli kitab bukan sebagai orang-orang musyrik. Hal ini bisa
dipahami karena penyebutan secara global definisi dari ahli kitab tersebut.
Hamka mencatat dalam
tafsir Al-Azhar “Ada yang berkata bahwa Ahlul Kitab sama juga dengan
musyrik, sebab mereka memperserikatkan Allah dengan Isa Al-Masih. Padahal soal
ini telah diperbincangkan sebelum ini dalam surah al-Nisa dan akan dibicarakan
lagi beberapa ayat sesudah ini di dalam surat ini sendiri. Soal orang Nasrani
mempersekutukan Al-Masih dengan Tuhan Allah adalah masalah yang berdiri
sendiri. Sekarang datang ayat ini menjelaskan soal makanan. Teranglah bahwa
ayat ini menegaskan, meskipun mereka Nasrani atau Yahudi mempunyai kepercayaan
lain terhadap Isa Almasih, namun makanan mereka halal kamu makan”.[1]
Tafsir ini menunjukan bahwa Hamka konsisten dengan pendiriannya bahwa ahli
kitab adalah mereka yang telah menerima kitab samawi dan
mengamalkannya hingga hari ini. Walaupun pada beberapa bagian tafsir lainnya ia
menyatakan bahwa kitab-kitab yang mereka pedomani saat ini telah dirubah.
Demikian pula status mereka adalah kafir karena tidak mengikuti agama Islam
ini.
Selanjutnya tentang
hukum pernikahan beda agama, Hamka berpendapat bahwa hukum menikah antara
seorang muslim dengan non-muslim diperbolehkan apabila seorang muslim tersebut
adalah laki-laki dan istrinya ahli kitab. Namun Hamka memberikan suatu syarat
yaitu laki-laki tersebut haruslah seorang yang memiliki ilmu dan keimanan yang
kokoh dalam Islam.[2]
Hal ini agar laki-laki tersebut bisa membimbing istrinya dan keluarganya ke
jalan yang benar yaitu masuk Islam. Secara lengkap Hamka menyatakan “Kalau
ada ‘pertemuan nasib’, mendapat jodoh perempuan Yahudi atau Nasrani dengan
laki-laki Islam yang kuat keislamannya, tidaklah dilarang”. Bagi laki-laki
muslim yang kuat agamanya, sehingga dia dapat membimbing isterinya dan keluarga
isterinya tersebut ke jalan yang benar atau masuk Islam, maka perkawinan
seperti itu tidak saja boleh tetapi bahkan merupakan “perkawinan yang terpuji
dalam Islam”.[3]
Kebolehan pernikahan
seorang laki-laki yang muslim dikuatkan dengan pendapat para ahli fiqh mengenai
kebolehan seorang suami yang muslim untuk mengantarkan istrinya yang meminta
untuk mengantarkannya ke gereja. Demikian juga ketika sang istri di rumah ingin
beribadah sesuai dengan agamanya maka sang suami tidak diperkenankan untuk
melarangnya.[4]
Pendapat Hamka mengenai
pernikahan seorang wanita muslimah dengan laki-laki muslim adalah diharamkan
dengan mutlak. Ia berargumentasi dengan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW dan atsar
para shahabat, diantaranya adalah:
إِنَّ
اللَّهَ حَرَّمَ الْمُشْرِكَاتِ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَلَا أَعْلَمُ مِنْ
الْإِشْرَاكِ شَيْئًا أَكْبَرَ مِنْ أَنْ تَقُولَ الْمَرْأَةُ رَبُّهَا عِيسَى
وَهُوَ عَبْدٌ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ
Sesungguhnya
Allah telah mengharamkan wanita-wanita
musyrik bagi orang-orang yang beriman
dan aku tidak pernah mengetahui sesuatu yang lebih besar (dosanya) pada
kemusyrikan melebihi seorang wanita yang mengucapkan bahwa Rabb-nya adalah Isa,
padahal dia adalah seorang hamba dari hamba-hamba Allah. HR. Al-Bukhary.
Hamka menjadikan
argumentasi beberapa ahli fiqh untuk menguatkan pendapatnya tersebut seperti
ucapan dari Jabir bin Abdillah ketika ditanya tentang (hukum) pernikahan antara
seorang Muslim dengan Yahudi dan Nasrani, maka ia berkata, “Kami mengawini
mereka ketika kami mengadakan peperangan di Kuffah bersama Sa’ad bin Abi
Waqqash, dan (ketika itu) kami hampir tidak mendapatkan wanita-wanita muslimah.
Ketika kami akan mengadakan perjalanan (pulang) dari Irak, kami menceraikan
mereka. Dihalalkan wanita-wanita mereka bagi kita, akan tetapi tidak dihalalkan
wanita-wanita kita (muslimah) bagi (laki-laki) mereka.[5]
Berdasarkan argumentasi
tersebut dan pertimbangan lainnya maka Hamka berpendapat bahwa pernikahan
antara seorang muslim dengan non muslim pada dasarnya tidak diperbolehkan,
kecuali jika laki-lakinya adalah seorang muslim dan perempuannya non muslim.
Hal ini juga dipersyaratkan laki-laki tersebut haruslah seorang yang memiliki
keilmuawan dan keimanan yang kuat dalam Islam sehingga istri dan keluarganya
bisa diajak masuk ke dalam Islam. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka
ia berpendapat tidak boleh dilaksanakan pernikahan tersebut.
Pendapat Hamka tersebut menunjukan bagaimana
pola penafsirannya masih terikat dengan pendapat-pendapat cendekiawan
sebelumnya. Pola pendidikan yang didapatkan dari Mesir dan pergaulannya dengan
tokoh-tokoh masyumi waktu itu mengkristalkan pendapatnya tersebut. Selain itu
setting sosial pada waktu itu yang mengharuskan pendapat ini adalah banyaknya
gerakan kristenisasi di beberapa wilayah
di Indonesia.
[1] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura:
Pustaka Nasional Pte Ltd, 2003), Cet. V,
Juz VI, hal. 139.
[2] Ibid, Juz II, hal. 257.
[3] Ibid, Juz II, hal. 260.
[4] Ibid, Juz II, hal. 257.
[5] Muhyidin an-Nawawi, al-Majmuu’
Syarhu al-Muhadzdzab, (Beirut: Daar al-Fikr, 1425 H/2005 M), juz XVII, hal.
399.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...