"SUNDA-MELAYU-CINA"
Prof. Undang A Darsa
Nama sunda pertama kali
ditemukan tercatat hingga kini terdapat pada prasasti masa pemerintahan
Suryawarman (535-561 M) raja Tarumanagara ke-7 yang ditemukan dari tepi sawah
di kampung Pasirmuara (Cibungbulang) desa Kebonkopi distrik Leuwiliang Bogor.
Lokasi itu sekitar satu kilometer dari tempat prasasti Ciaruteun peninggalan
Purnawarman (395-434 M) raja Tarumanagara ke-3 (band. Danasasmita, 1984: 24).
Para arkeolog dan filolog umumnya sepakat bahwa batu bertulis itu berbahasa
Melayu Kuno dan disebut sebagai prasasti Juru Pangambat atau Kebonkopi II,
namun sayangnya prasasti tersebut kini telah hilang?! F.D.K. Bosch (1941:
49-53) mempelajarinya melalui lembar foto yang dimuat dalam laporan
kepurbakalaan (0.V. 1923, halaman 18 nomor 6888). Prasasti itu dipahatkan pada
sebongkah batu yang bentuknya tidak beraturan, terdiri atas 4 baris tulisan
yang transliterasinya (band. Atja, 1986; AyatrohaƩdi, 1988; Hasan Djafar, 1991)
sebagai berikut.
// ini sabdakalanda
rakryan juru panga-
mbat i kawihaji panca
pasagi marsa-
n desa barpulihkan haji
su-
nda //
Sebelum memberi
terjemahan, Bosch terlebih dulu mengemukakan catatan, antara lain sebagai
berikut.
1) sabdakalnda adalah
kata majemuk-tatpurusa: sabda ‘bunyi, kata, perintah’; kala dalam cakakala atau
sakakala ‘waktu, saat yang pantas untuk diperingati, sesuatu untuk
diperingati’; akhiran -nda menunjukkan prefiks honorifik orang ketiga. Akhiran
orang ketiga yang demikian ditemukan pula pada prasasti, antara lain, Talang
tuwo: pranidhananda; dan pada prasasti Gandasuli: namanda dan ayanda;
2) pangambat dengan
didahului gelar ‘rakryan juru’ menunjukkan bahwa ia seorang pembesar istana.
Candrasangkala kawihaji
sepadan dengan kata bujangga yang bernilai angka = 8; panca bernilai angka = 5;
dan pasagi ‘bujur sangkar’ bernilai angka = 4. Namun, berlainan dengan kaidah
candrasangkala yang selazimnya, Bosch ternyata menetapkan untuk tidak membaca
urutannya dari kanan ke kiri [(yang semestinya tersusun urutan angka 458 Saka,
yang bila dokonversi pada kalender Gregorian mesti ditambah angka 78 menjadi
tahun 536 Masehi)]. Menurut anggapannya, bentuk aksara di situ “terlalu muda”
sehingga Bosch menetapkan dengan tanpa ragu-ragu bacaan susunan angkanya adalah
854 Saka (=932 M). Akan tetapi biarpun demikian, ia masih membuat kekeliruan
pula dalam pengkonversiannya ke dalam siklus Masehi menjadi angka tahun 942 M,
padahal bila ditambah angka 78 seharusnya menjadi 932 M, sebagaima yang juga
pernah dikritisi oleh Setyawati Suleiman (1985). Setelah menyimak terjemahan
yang dikerjakan oleh Bosch maka terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah
demikian:
‘Ini tanda peringatan
dari Rakryan Juru Panga-
mbat pada tahun 854
Saka (932 Masehi) menetap-
kan bahwa, Raja Sunda
dikembalikan kepada
kedudukannya yang
dahulu’.
Bunyi redaksi prasasti
itu dianggap oleh Bosch berisi surat perintah dalam bahasa Melayu Kuno sehingga
ia mengajukan dugaan bahwa, Sunda pada awal abad ke-10 Masehi secara kultural
dan juga rupa-rupanya dari segi politik sudah berada dalam pengaruh kerajaan di
Sumatera, Sriwijaya. Berkenaan dengan masalah ini telah terlebih dahulu
diperbincangkan oleh N.J. Krom (1931: 211) dan kemudian dibicarakan pula oleh
Moens (1937: 362). Dalam keterangan tersebut, Moens mengajukan dugaan dengan
merujuk kepada tarikh Wangsa Leang dan Dinasti T’ang yang telah mencatat
mengenai kedatangan duta-duta To-lo-mo yang berkunjung ke Cina pada tahun 528
Masehi dan 533 Masehi, juga antara tahun 666 Masehi dan 669 Masehi. Moens
menduga To-lo-mo adalah transkripsi bunyi dari tulisan Cina untuk kata
‘Taruma’. Pendapat Moens itu ditentang oleh L.C. Damais (1957: 611), akan
tetapi Wolters (1974: 205) tetap menyetujuinya.
Jadi dalam kaitan itu,
duta-duta To-lo-mo ‘Taruma’ yang terdapat pada berita Cina tersebut berasal
dari kerajaan yang sama, yaitu Kerajaan Tarumanagara dari keturunan raja
Purnawarman. Dengan demikian, duta-duta yang tercatat pernah hadir di
Kekaisaran Negeri Cina dari To-lo-mo itu terjadi pada masa pemerintahan: (1)
Candrawarman (515-535 M) raja Taruma ke-6; (2) Suryawarman (535-561 M) raja Taruma
ke-7; dan (3) Linggawarman (666-669 M) raja Taruma ke-12 atau raja Taruma yang
terakhir.
Setahun setelah yang
disebutkan paling akhir, perutusan itu tidak pernah datang lagi di Istana
Kekaisaran Cina. Hal ini disebabkan Sriwijaya yang berdasarkan kesaksian dari
prasasti Kedukan Bukit (683 M), telah merebut Palembang-Melayu. Pada waktu
tidak terlalu lama kemudian di samping Palembang, Sriwijaya telah melebarkan
pengaruhnya pula di wilayah Sunda (Jawa Kulon). Bosch berkesimpulan bahwa,
prasasti yang ditemukan di Kebonkopi itu merupakan bukti yang kuat untuk
mendukung pendiriannya itu, sekalipun ia tetap bertahan pada angka tahun 932
M...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...