Oleh: Abdurrahman
Matahari
belum lagi muncul dari peraduannya ketika suara HP saya berdering, suara
seorang perempuan terdengar mengucapkan salam “Assalamualaikum, afwan ustadz
saya mau mengabarkan bahwa Ustadz Saepudin Mamad meninggal dunia”. Suara itu
tampak berat, mungkin menahan kesedihan yang sangat. “Ya, Inna Lillahi Wa Inna
Ilaihi Raji’un” jawab saya turut terbawa nuansa kesedihan wanita itu. Setelah beberapa
saat berbincang kemudian wanita itu menutup telfon-nya. Saya berjanji tadi akan
memberitahu teman-teman yang lain tentang berita duka ini.
Tanpa
membuang waktu lagi saya segera mengirim beberapa SMS ke teman-teman yang saya pikir
kenal dan dekat dengan beliau, staff Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hidayah dan
Staff Pesantren Yatim Ibnu Taimiyah. Beberapa teman memberikan respon yang
kurang lebih sama, sebagian menanyakan dulu mengenai sumber berita ini. Kebetulan
saya menggunakan nomor HP Simpati jadi beberapa teman tidak tahu kalau saya
yang mengirimkan berita tersebut. ada dua orang yang merespon dengan cepat
yaitu Bapak Ust. M. Hidayat Ginanjar sebagai Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam
Al-Hidayah dan Ust. Kusmana Abu Fauzan.
Pak
Ginanajar langsung menelepon saya dan menanyakan kebenaran berita tersebut, “ya
Ust. Saya tadi ditelfon oleh seorang wanita, mungkin istrinya” begitu jawab
saya ringkas. Sementara Ust. Kusmana sempat membalas SMS saya dan bertanya
tentang siapa pengirim SMS tersebut, setelah saya balas bahwa saya yang
mengirimkan SMS, akhirnya beliau datang ke rumah. Setelah berbincang sejenak
dengan beliau akhirnya kami sepakat untuk menghadiri pemakaman Ust. Saepuddin
Mamad.
Sebelum
berangkat mengajar ke MTs Ibnu Taimiyah, saya masih sempat mengirim SMS ke
beberapa teman lagi untuk menyebarkan berita duka tersebut. lebih dari 50 orang
saya kirim, sebagian mereka merespon dengan baik walaupun lagi-lagi ada yang
bertanya tentang identitas pengirimnya. Setelah mengajar tiga jam pelajaran
akhirnya saya memutuskan untuk memberikan tugas untuk siswa saya. Saya berangkat
bersama Ust. Kusama ke rumah duka dengan membawa motor Revo milik Ust.
Kusamana.
Sedikit
terburu-buru karena menurut kabar jenazah sudah dibawa ke masjid Ar-Rayyan
Taman Cimanggu Bogor untuk dishalatkan. “Yang penting kita sudah berusaha untuk
datang, nanti sudah selesai atau belum kalau sudah sampai sana itu tidak
masalah” begitu pikir kami berdua. Tujuan utama kami adalah ke Masjid
Ar-Rayyan, dan itu memang arah yang saya ketahui. Setelah melewati Kota Bogor
dan memasuki wilayah Taman Cimanggu Bogor kami menyusuri Jalan Johar. Saya sempat
ingat bahwa masjid Ar-Rayyan itu berada di belokan ke kanan di Jalam Johar yang
banyak pohon di pinggirnya. Sempat kelewat beberapa meter akhirnya saya yakin
bahwa di perempatan itu seharusnya kami belok ke kanan. Kami mundur dan
membelokan motor ke arah kanan. Saya ingat dulu sekitar tahun 1998-an saya ke
Masjid Ar-Rayyan di dekat jalan yang menurun. Lagi-lagi saya kelewatan jalan
dan bertanya ke seorang penjual di jalan. “Oh ya meninggal, dari sini bapak
balik lagi, kalau ke masid Ar-Rayyan belok kanan kalau ke rumahnya belok kiri”
begitu kata seorang penjual yang kami Tanya. Akhirnya kami memutuskan untuk
kembali sesuai petunjuk pedagang tersebut.
Sempat
ragu apakah mau ke masjid atau ke rumah, akhirnya kami memutuskan belok kiri
dan menuju rumah duka. Baru beberapa meter rupanya jalan tersebut buntu dan
hanya tersisa jalan setapak dengan pavling blok. Syukurlah ada seorang ibu dari
dalam rumah yang keluar dan memberitahu bahwa jenazah sudah dishalatkan dan
sudah dibawa ke rumah. Tanpa membuang waktu kami segera menyusuri jalan kecil
itu dan menuju ke rumah duka.
Tampak
di depan rumah duka, beberapa motor diparkir, setelah tanya kepada seorang ibu
yang ada akhirnya kami memutuskan untuk langsung ke kuburan. Ditemani dua orang
anak kecil kami diantar menuju pemakaman. Alhamdulillah, acara pemakaman belum
selesai, beberapa laki-laki baru saja mengubur liang lahad, sementara beberapa
perempuan berdiri menghadap ke kuburan. Beberapa dari mereka memakai kerudung
berwarna gelap, sementara beberapa laki-laki berjenggot dan tidak isbal juga
berada di sekitar pemakaman.
Saya
sempat berbincang dengan seorang tua yang duduk di sudut makam, “Pak Saepuddin
itu keponakan saya, jadi saya ya mamangnya” begitu kata laki-laki tersebut
membuka pembiacaraan. Tidak menyia-nyiakan kesempatan saya segera bertanya
mengenai penyebab kematian Ust. Saepuddin. “Awalnya dia sedang naik motor,
terus melihat seorang anak yang menyeberang, karena khawatir menabrak anak
tersebut akhirnya dia membanting setang motornya ke arah kanan dan ternyata
terjatuh dan kepalanya terbentur benda keras. Walapun terjatuh tapi kemudian
dia melanjutkan perjalana ke toko” begitu ceritanya. “Istrinya sempat nanya
apakah luka-luka atau merasa sakit, dia menjawab “nggak apa-apa” akhirnya
dibiarkan” lanjut lelaki itu serius. “Namun tidak begitu lama dia muntah darah….,
hingga akhirnya pagi-pagi sekali sekitar pukul 04.00 dibawa ke rumah sakit,
namun beberapa rumah sakit seperti PMI menolaknya sehingga terpaksa dibawa ke
Rumah Sakit Daerah Cibinong, namun ternyata setelah sampai di sana nyawanya
tidak tertolong” lelaki itu mengakhiri ceritanya.
Kami
sempat ngobrol beberapa hal lainnya hingga acara pemakaman selesai, terdengar
seorang Ust. Mengucapkan salam dan memberikan nasehat-nasehat tentang kematian.
Suara ust. Itu khas suara orang timur (mungkin Makasar, Sulawesi atau Lombok)
terdengar menarik dan ingin mengambil hikmah dari tausiahnya, saya melangkah
mendekati makam dan mendengarkan dengan khusyu’. Sebuah nasehat yang luar biasa
tentang kematian bahwa ternyata kata “Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi raji’un”
memiliki makna yang berkesinambungan. Seseorang tidak akan meyakini “Inna
Ilaihi raji’un” tanpa terlebih dulu meyakini “Inna lillahi” artinya bahwa
seseorang yang yakin bahwa ia akan kembali kepada Allah ta’ala harus yakin
bahwa ia adalah milik Allah ta’ala. Untaian nasehat dari ust. Tersebut betul-betul
menyentuh jiwa saya, slama ini saya terlalu mengikuti hawa nafsu saya dan
cenderung memuaskan setiap keinginan yang ada. Padahal belum tentu hal tersebut
bermanfaat bagi akhirat, karena semua kita akan kembali kepadaNya. Sehingga setiap
aktifitas kita yang tidak bermanfaat bagi akhirat sudah selayaknya untuk
ditinggalkan atau minimal dikurangi. Saya juga sadar bahwa selama ini mungiin
saya lalai dari kematian sehingga seolah-olah kematian itu jauh, padahal ia
dekat bahkan terlalu dekat dengan diri kita.
Nasehat
ustadz tersebut yang mengena kepada saya juga bahwa ternyata musibah itu harus
dihadapi dengan iman, bukan dengan perasaan atau akal pikiran. Jika kita
menghadapi segala sesuatu dengan iman niscaya semuanya akan terasa mudah dan
indah. Saya jadi teringat dengan diri saya sendiri yang selama ini selalu
mengedepankan perasaan dan hawa nafsu. Saya terlalu perasa dan selalu mengikuti
perasaan itu, padahal belum tentu perasaan itu baik dan membawa kebaikan. Perasaan
yang hanya ingin bertemu dengan seseorang padahal belum tentu hal tersebut
membawa kebaikan adalah satu hal yang selama ini mengganggu perasaan saya,
padahal jika hal tersebut disikapi dengan iman niscaya rasa itu tidak akan
datang.
Kematian
Ustadz Saepuddin Mamad memberikan begitu banyak pelajaran buat saya bahwa
ternyata hidup itu memamg harus dihadapi dengan iman, bukan dengan perasaan
atau akal pikiran, jika iman dikedepankan niscaya semua kejadian yang kita
alami akan terasa mudah, indah dan penuh berkah. Mari kita mengambi hikmah dari
setiap kejadian yang ada di sekitar kita….
turut berduka ...
BalasHapus