Hukum Islam (Al-Qur’an) diturunkan
dari Allah SWT yang dalam proses emanasinya (ketersiarannya) dilakukan oleh
seorang agen sakral, yaitu Muhammad, Rasulullah SAW. Nabi Muhamad memainkan
peran yang amat penting dalam tradisi hukum Islam, bukan saja utusan Allah
tetapi menjadi model percontohan bagi seluruh umat manusia (rahmatan lil
‘alamain) dalam menjalankan hukum Allah demi keselamatan di dunia dan di
akhirat kelak. Segala sabda dan perilaku Nabi dicatat oleh para sahabatnya,
yang kemudian disebut sebagi hadits yang merupakan sumber hukum kedua setelah
al-Qur’an.
Kedua sumber di atas merupakan sistem hukum yang disebut
syari’ah. Kata syari’ah diambil dari istilah Arab yang berarti “jalan”; yaitu
jalan hidup yang telah didesain oleh Allah dan Rasul-Nya untuk kehidupan semua
orang Islam di dunia ini sebagai persiapan untuk kehidupan di akhirat nanti.
Di kalangan umat Islam masih terdapat kerancuan dalam
memahami Syari’ah, Fiqh, dan Hukum Islam. Kekacauan ini menyebabkan munculnya
berbagai masalah dalam penerapan hukum di masyarakat dan timbul
ketidakseragaman mengenai hukum Islam dan syari’at Islam.
Pengertian
Syari’ah, fiqh dan hukum Islam
Secara lughawi (etimologi), syari’ah berarti “jalan ke
tempat pengairan atau tempat aliran air di sungai”. Kata syari’ah muncul dalam
beberapa ayat dalam al-Qur’an, seperti al-Maidah ayat 48, as-Syura ayat 13 dan
al-Jatsiyah ayat 18 yang semuanya mengandung arti “jalan yang jelas yang
membawa pada kemenangan”.
Menurut istilah, syari’at adalah khitab Allah yang
berhubungan dengan tindak tanduk manusia di luar yang mengenai akhlak yang
diatur tersendiri. Hasbi ash-Shiddieqy mengartikan syari’at dengan “hukum-hukum
dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah untuk hamba-Nya agar diikuti dalam
hubungannya dengan Allah dan hubungan sesama manusia. (Hasbi ash-Siddieqy,
Filsafat Hukum Islam, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001, hal. 29).
Syari’ah sebagai kumpulan norma-norma yang merupakan
hasil dari proses tasyri’. Syari’ah merupakan kata aturan yang ditetapkan yang
menyangkut tingkah laku manusia. Sedang tasyri’ adalah pengetahuan tentang
cara, proses, dasar dan tujuan Allah menetapkan hukum bagi tingkah laku manusia
dalam kehidupan keagamaan dan keduniaan.
Syari’ah dalam konotasi hukum Islam terbagi menjadi dua
macam, yaitu syari’ah Ilahi (tasyri’ samawi), yaitu ketentuan-ketentuan hukum
yang langsung dinyatakan secara eksplisit dalam al-Qur’an dan Sunnah, dan
syari’ah wadh’i (tasyri’ wadh’i) yaitu ketentuan hukum yang dilakukan oleh para
mujtahid. Produk pemikiran yang dilakukan para ulama’ mujtahid dalam syari’ah
wadh’i diakui sebagai syari’ah jika hal-hal yang dikaji itu merujuk kepada
al-Qur’an dan Sunnah, seperti qiyas atau maslahah.
Secara sistematis kata fiqh bermakna “mengetahui sesuatu
dan memahaminya secara baik dan mendalam (Abu al-Hasan Ahmad Faris, Mu’jam
Maqayis al-Lughah, III, al-Babi al-Halabi, Cairo Mesir, 1970, hal. 442).
Muhammad Abu Zahrah mengartikan fiqh dengan “mengetahui hukum-hukum syara’ yang
bersifat amaliah yang dikaji dari dalil-dalil yang terinci (Abu Zahrah, Ushul
Fiqh, Dar-al-Fikr al-Arabi, Cairo, 1958, hal. 6).
Dua objek kajian fiqh, yaitu hukum-hukum syara’ yang
bersifat amaliah dan dalil-dalil terperinci dari al-Qur’an dan Sunnah yang
menunjuk suatu kejadian tertentu atau menjadi rujukan bagi kejadian-kejadian
tertentu. Seperti riba haram hukumnya karena telah ditetapkan dalam surat
al-Baqarah ayat 279. Pengetahuan itu didasarkan pada dalil tafsili. Dan fiqh
digali dan ditemukan melalui penalaran para mujtahid. Hasil pemahaman dan
penalaran mujtahid terhadap hukum syara’ dituangkan dalam bentuk ketentuan
terperinci tentang tingkah laku para mukallaf yang disebut fiqh. Pemahaman
terhadap hukum syara’ senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan perubahan
situasi dan kondisi yang menjalaninya. Karena fiqh adalah refleksi dari
perkembangan kehidupan masyarakat sesuai kondisi zaman, perubahan waktu dan
situasi setiap masyarakat.
Pada hakekatnya
fiqh adalah :
1. Ilmu yang menerangkan hukum syara’ dari setiap
aktifitas mukallaf, baik yang wajib, haram, makruh, mandub dan mubah.
2. Objek kajian fiqh adalah hal-hal yang bersifat amaliah.
3. Pengetahuan hukum syari’ah didasarkan pada dalil tafsili.
4. Fiqh digali dan ditemukan melalui penalaran (nazhar) dan ta’amul yang diistinbatkan dari ijtihad.
5. Fiqh sebagai ilmu merupakan seperangkat cara kerja, cara berpikir, terutama cara berpikir taksonomi dan cara berpikir logis untuk memahami kandungan ayat dan hadits hukum.
6. Fiqh adalah seperangkat norma yang mengatur hubungan antar manusia dalam hidup bermasyarakat
2. Objek kajian fiqh adalah hal-hal yang bersifat amaliah.
3. Pengetahuan hukum syari’ah didasarkan pada dalil tafsili.
4. Fiqh digali dan ditemukan melalui penalaran (nazhar) dan ta’amul yang diistinbatkan dari ijtihad.
5. Fiqh sebagai ilmu merupakan seperangkat cara kerja, cara berpikir, terutama cara berpikir taksonomi dan cara berpikir logis untuk memahami kandungan ayat dan hadits hukum.
6. Fiqh adalah seperangkat norma yang mengatur hubungan antar manusia dalam hidup bermasyarakat
(Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, Rajawali Grasindo,
Jakarta, 2007, hal. 45).
Qanun (hukum) adalah produk manusia melalui campur tangan
kekuasaan negara dalam menyelesaikan perkara tertentu. Qanun wadh’iyah
(undang-undang) adalah peraturan yang dibuat oleh pihak penguasa yang
diperuntukan untuk masyarakat atau untuk menata dengan baik segala sesuatu
dalam kehidupan masyarakat. (Oxford Advanced Learner’s Dictionary Current
English, Oxford, The University Press, 1964, hal. 476).
Qanun adalah undang-undang yang berisi hukum Islam dengan
tetap mempergunakan prosedur / metodologi hukum Islam dalam menemukan hukum,
seperti istihsan, urf, maslahah dan siyasah syar’iyah. A.A. Fyzee, (Outlines of
Muhammadan law,1955) mengartikan “Canon Law of Islam” adalah hukum Islam, yakni
keseluruhan perintah Tuhan yang meliputi seluruh tingkah laku manusia.
Karakter Hukum
Islam
Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW hanya
berisi sedikit ayat yang mengandung doktrin hukum, sekitar 80 dari 500
ayat-ayat hukum yang dapat dikatergorikan sebagai kode hukum.( Tahir Mahmood,
Law in the al-Qur’an: A. Draft Code, 1987). Oleh karena itu diperlukan sunnah
untuk dapat memahami pesan-pesan al-Qur’an yang berhubungan erat dengan problem
hukum keseharian.
Sunnah merupakan informasi yang kaya mengenai sabda dan
perilaku Nabi yang mencakup pula perintah, larangan, dan persetujuan Nabi
mengenai kasus-kasus tertentu yang muncul di kalangan sahabat pada saat itu.
Sunnah adalah refleksi pemahaman Rasul mengenai dialektika (seni berpikir
secara teratur logis dan teliti yang diawali dengan tesis, antitesis, dan
sintesis) teks suci al-Qur’an dan konteks sejarah pada masa hidupnya Nabi
Muhammad SAW.
Semua permasalahan hukum yang muncul pada saat itu di
bawa kepada Nabi untuk mendapatkan pemecahan. Nabi dalam menyelesaikan masalah
yang diadukan umat Islam senantiasa berpegang pada teks suci al-Qur’an untuk
menjawabnya. Jika dalam al-Qur’an tidak ditemukan solusi pemecahan dalam
kasus-kasus tertentu, maka Nabi berperan menjadi pemecah masalah hukum. Oleh
karena itu dalam hukum Islam dikenal Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum
dan Nabi dipahami sebagai legislator (al-Syari’) setelah Allah.
Nabi dipercayai memiliki sifat sakral yang berfungsi
sebagai garansi terhadap keputusan-keputusan hukum yang dikeluarkannya. Tanpa
karakter sakral ini, maka doktrin yang mewajibkan umat Islam untuk mengikuti
keputusan-keputusan Nabi dalam menafsirkan al-Qur’an tidak akan mungkin
terformulasikan/terumuskan dalam bentuk yang tepat.(Daniel Brown, Retheinking
Tradition in Modern Islamic Thought, Cambridge Univ.Press,1996).
Karakteristik hukum Islam adalah sempurna (ta’amul),
harmonis (wasathiyah), dan dinamis (harakah). Muhammad Ali al-Sayis mengatakan
bahwa karakteristik hukum Islam yang paling menonjol ada tiga hal, yaitu 1.
Tidak menyusahkan dan selalu menghindari kesusahan dalam pelaksanaannya, 2.
Menjaga kemaslahatan manusia dan, 3. Selalu melaksanakan keadilan dalam
penerapannya (Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islam, Qoriah, Mesir,
tt, hal.25). Karakter-karakter di atas sesuai dengan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam surat al-‘Araf ayat 157, yaitu tidak susah, sedikit beban,
berangsur-angsur, ada kelonggaran dan sesuai dengan kemaslahatn umum.
Perkembangan
sumber hukum Islam
Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber
utama hukum Islam, dan itu tetap bertahan dalam waktu lama. Akan tetapi karena
permasalahan hukum semakin kompleks di wialayah Islam, maka umat Islam
memerlukan metodologi yang mapan untuk memecahkan permaslahan-permasalahan
hukum yang muncul berdasarkan sumber-sumber utama hukum Islam.
Para yuris Islam merespon kebutuhan ini dengan
mengembangkan prosedur ijma’ dan qiyas yang menekankan pentingnya akal dalam
pengambilan keputusan hukum. Qiyas terdiri dari dua macam, yaitu qiyas ‘illah
(causative inference) dan qiyas dalalah (indicative inference). Dengan ijma’
pemikiran para ahli hukum dapat diaplikasikan dalam proses penetapan hukum
suatu kasus, dan melalui qiyas kasus-kasus yang timbul dapat dipecahkan melalui
deduksi analogi.
Beberapa sumber hukum lain muncul seagai metodologi baru
untuk merespon masalah-masalah hukum baru yang tidak mampu dipecahkan melalui
sumber-sumber hukum yang ada (al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas), yaitu
Istishab, Istislah atau maslahah al-mursalah atau istihsan, ‘amal ahl
al-Madinah, shar’ man qablana dan ‘urf yang dapat dipergunakan untuk memecahkan
problem hukum yang muncul belakangan.
Istishab adalah presumsi hukum (legal presumption) yang
mencakup semua presumsi yang diterima hukum, seperti presumsi tidak bersalah
dan presumsi semua benda adalah halal kecuali jika secara eksplisit dilarang
(Abdur Rahman I Doi, Shariah: The Islamic Law, 1990).
Istislah, maslahah musrasalah dan istihsan adalah sumber
hukum yang menekankan pentingnya merujuk kepada kepentingan umum (interes
publik) sebagai alat penguji terhadap keabsahan suatu solusi hukum. Dengan
istislah berarti preferen juristik (juristic preference) yang didasarkan pada
apa yang dipandang sebagai yang terbaik bagi kepentingan publik.
Sedang maslahah mursalah juristic preferencenya dilandasi
oleh kepentingan kemakmuran publik, dan istihsan berarti preferen juristik yang
melibatkan pertimbangan pemilihan satu aturan hukum ketimang aturan yang lain,
karena faktor lingkungan, sebagai bagian interes publiknya.
Amal ahl al-Madinah merupakan terma yang menunjuk kepada
perilaku masyarakat Madinah yang hidup dalam waktu yang lama bersama Nabi.
Shar’u man qablana esensinya adalah hukum yang dibuat oleh masarakat sebelum
Nabi Muhammad SAW, seperti ajaran hukum Nabi Musa dalam kitan Taurat dan Isa
dalam Injil. ‘Urf adalah sumber hukum yang mendasarkan diri pada adat kebiasaan
masyarakat setempat (Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh,1956).
Dari ‘Urf ini para yuris Islam membuat kaidah hukum
(formulasi maksim) al-‘adah muhakkamah (adat menjadi dasar penetapan hukum).
Agar adat yang dijadikan dasar penetapan hukum itu tidak melanggar ajaran dasar
al-Qur’an dan Sunnah, maka ditentukan syarat-syarat validitas sebagai berikut:
1. Adat itu harus secara umum dipraktikkan oleh
masyarakat atau sebagian tertentu dari masyarakat;
2. Adat harus betul-betul menjadi kebiasaan pada waktu akan ditetapkan sebagai rukujukan hukum;
3. Adat harus dipandang batal ab initio jika ternyata bertentangan dengan sumber utama hukum Islam;
4. Dalam kasus perselisihan, adat akan diterima sebagai sumber hukum hanya jika tidak ada pihak bersangkutan yang menolak adat tersebut. (Tahir Mahmood, Custom as a Source of Law in Islam, 1965).
2. Adat harus betul-betul menjadi kebiasaan pada waktu akan ditetapkan sebagai rukujukan hukum;
3. Adat harus dipandang batal ab initio jika ternyata bertentangan dengan sumber utama hukum Islam;
4. Dalam kasus perselisihan, adat akan diterima sebagai sumber hukum hanya jika tidak ada pihak bersangkutan yang menolak adat tersebut. (Tahir Mahmood, Custom as a Source of Law in Islam, 1965).
Tujuan Hukum
Hukum Islam mempunyai tujuan untuk kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan umat manusia di dunia dan akhirat. Hukum Islam bersendi dan berasaskan hikmah dan kemaslahatan dalam hidup. Syari’at Islam adalah keadilan, rahmat (kasih sayang), kemaslahatan dan kebijaksnaan. Hukum Islam itu adil dan menempatkan keadilan Allah di tengah-tengah hambanya, kasih sayang Allah diantara makhluk-makhluknya (Ibnu Qayyim, I’lmu al-Muwaqqi’in, Makatabah Tijariyah al-Qahirah, Mesir, 1955, hal. 14-15).
Hukum Islam mempunyai tujuan untuk kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan umat manusia di dunia dan akhirat. Hukum Islam bersendi dan berasaskan hikmah dan kemaslahatan dalam hidup. Syari’at Islam adalah keadilan, rahmat (kasih sayang), kemaslahatan dan kebijaksnaan. Hukum Islam itu adil dan menempatkan keadilan Allah di tengah-tengah hambanya, kasih sayang Allah diantara makhluk-makhluknya (Ibnu Qayyim, I’lmu al-Muwaqqi’in, Makatabah Tijariyah al-Qahirah, Mesir, 1955, hal. 14-15).
Hukum sebagai alat rekayasa sosial yang dapat
mempengaruhi moral masyarakat harus memberi manfaat bagi masyarakat. Tujuan
syari’at atau penetapan hukum menurut para ahli fiqh (Yuris Islam) adalah:
1. Mendidik individu agar menjadi sumber kebajikan bagi
masyarakat;
2. Menetapkan keadilan, dan
3. Menciptakan kemaslahatan yang dikaitkan dengan lima pokok kunci pemeliharaan dalam syari’at Islam, yaitu, agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta milik.
2. Menetapkan keadilan, dan
3. Menciptakan kemaslahatan yang dikaitkan dengan lima pokok kunci pemeliharaan dalam syari’at Islam, yaitu, agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta milik.
Kemaslahatan itu bertingkat-tingkat cara pemenuhannya,
yaitu:
1. Kemaslahatan yang bersifat primer (dlorury) yang
diharuskan adanya lima pokok di atas;
2. Kemaslahatan yang bersifat penting/sekunder (Hajji) yang adanya merupakan keringanan/dispensai (rukhsakh);
3. Kemaslahatan yang bersifat asoseris (tahsini), yaitu suatu kebutuhan yang sifatnya hanya sebagai pelengkap,yang bisa diabaikan jika menyangkut hal-hal pokok.
2. Kemaslahatan yang bersifat penting/sekunder (Hajji) yang adanya merupakan keringanan/dispensai (rukhsakh);
3. Kemaslahatan yang bersifat asoseris (tahsini), yaitu suatu kebutuhan yang sifatnya hanya sebagai pelengkap,yang bisa diabaikan jika menyangkut hal-hal pokok.
Mohammad Salam Madkur menjelaskan bahwa untuk menjaga
kelima kebutuhan pokok di atas, Islam telah mengadopsi dua strategi, yaitu: (1)
penanaman kesadaran agama dan jiwa manusia dan pengembangan keasadaran
kemanusiaan melalui pendidikan moral, dan (2) penggunaaan prinsip hukuman
pencegahan (deterrent punishment) sebagai asas hukum pidana Islam (M. Salam
Madkur, Human Rights from an Islamic Worldview: An Outline of Hudud, Ta’zir
& Qisas).
Sedang menurut teori ilmu hukum modern tujuan hukum dapat
dikaji dalam tiga sudut pandang, yaitu:
1. Pandangan falsafah hukum (teori etis) yang menitikberatkan
tujuan hukum untuk merealisir atau mewujudkan keadilan baik yang bersifat
distributif atau keadilan proporsional maupun keadilan kumulatif yang
memastikan setiap orang memperoleh hak yang sama;
2. Pandangan sosiologi hukum (teori Utilitis) yang menakankan bahwa tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi warga masyarakat; dan
3. Pandangan ilmu hukum normatif (aliran yuridis dogmatik) yang menekankan tujuan hukum dengan terwujudnya kepastian hukum.
2. Pandangan sosiologi hukum (teori Utilitis) yang menakankan bahwa tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi warga masyarakat; dan
3. Pandangan ilmu hukum normatif (aliran yuridis dogmatik) yang menekankan tujuan hukum dengan terwujudnya kepastian hukum.
Menurut Sudikno Mertokusumo (1999:145) dalam upaya
menegakkan hukum, maka ketiga unsur tujuan hukum di atas harus diperhatikan.
Kepastian hukum merupakan perlindungan yustiabel terhadap tindakan
sewenang-wenang. Masyarakat menghendaki adanya suatu kepastian hukum agar
masyarakat lebih tertib. Masyarakat juga mengharapkan kemanfaatan dari
penegakan hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...