Penyebarannya
dimulai dari wilayah pesisir pantai (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku dan Nusa Tenggara) kemudian memasuki wilayah pedalaman Nusantara.
Badri Yatim mencatat bahwa perkembangan Islam di Indonesia terbagi
menjadi tiga fase yaitu: Fase pertama,
singgahnya pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara, sumbernya adalah berita luar
negeri terutama Cina. Fase kedua, adanya komunitas-komunitas Islam di beberapa
daerah kepulauan Indonesia sumbernya di samping berita-berita asing, juga makam-makam Islam dan Fase ketiga,
berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.[1]
Pola-pola
penyebaran Islam dan intensitas interaksi mereka dengan Islam mempengaruhi
corak keberagamaan masyarakat pada masing-masing wilayah. Komunitas yang lebih
dulu menerima Islam akan memiliki corak keislaman yang dinamis dan mudah pula dipengaruhi
oleh dinamika keislaman secara global. Sementara wilayah yang lebih lambat
menerima Islam akan cenderung stagnan dan sulit menerima perubahan.
Fakta
bahwa corak Islam di Nusantara menunjukan watak sinkretik tidak selalu
dipandang negatif, hal tersebut justru menunjukan sifat dari kearifan lokal
yang terbuka dengan budaya lainnya selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai
sebelumnya. Islam sendiri memiliki sifat adoptif terhadap system budaya lainnya
selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasarnya.
Sehingga dalam realitasnya tidak semua muslim Nusantara menyerap
seluruh aspek hukum Islam secara kaafah. Hal ini tampak dari perbedaan
kompetensi priestraad di Jawa dan luar Jawa pada masa-masa Kolonial
hingga awal kemerdekaan.[2]
Staatssblad Tahun 1882 No. 152 dan 153 yang mengatur tentang peradilan
agama (priesterraad) masih mempunyai wewenang yang luas di pulau Jawa
dan Madura, yaitu selain mengenai nikah, talak, rujuk, nafkah, dan yang
berkaitan dengan perkawinan di antara orang Islam, juga mengenai penyelesaian
warisan dan wakaf. Kemudian pada tahun 1937 dengan Staatssblad 1937 No.
116 dan 110, wewenang mengenai warisan dan wakaf dimasukkan ke dalam kekuasaan
landraad.
Peradilan agama yang berada di luar Jawa dan Madura belum diatur
dengan ordonansi, kecuali di sebagian Kalimantan Selatan dan Timur dimana
berlaku peradilan kadi, diatur dengan Staatssblad 1937 No. 638
yaitu kerapatan Qadi. Setelah Indonesia merdeka, dengan peraturan pemerintah
No. 45 tahun 1957 diluar Jawa dan Madura dan sebagian Kalimantan di atas
berlaku peradilan agama yang disebut dengan Mahkamah Syariah.[3]
Pergumulan antara hukum Islam dan adat lokal di Indonesia telah
menarik perhatian dari peneliti Belanda untuk melakukan kajian tentang hal ini,
hingga memunculkan Teori Receptio In Complexu yaitu bahwa hukum yang
berlaku bagi orang Islam di Indonesia adalah hukum Islam.[4]
Beberapa suku yang mendiami wilayah pulau
Jawa bagian barat adalah suku Betawi, Sunda dan Banten. Ketiga suku ini
sebenarnya memiliki nenek moyang yang sama yaitu suku Sunda. Namun karena
perkembangan zaman akhirnya mereka menjadi suku tersendiri yang independen
dengan adat dan budaya yang khas. Lebih lanjut ketiga suku tersebut
terbagi-bagi menjadi beberapa komunitas yang mendiami wilayahnya masing-masing.
Apabila
dilakukan pemetaan terhadap pola-pola masyarakat dalam menyerap hukum Islam
maka didapati ada dua tipe masyarakat yaitu tipe pesisir di mana mereka lebih
banyak menyerap hukum Islam sehingga hukum adat mereka sudah hampir tidak
dikenal karena sudah menyatu dan digantikan oleh hukum Islam. Kedua, tipe
pedalaman di mana mereka menyerap hukum Islam hanya pada beberapa bagian yang
selaras dengan adat-istiadat mereka, sehingga hukum Islam hanya mewarnai adat
mereka.
Tehnik
pemetaan (mapping) adalah tehnik PRA untuk menggambarkan keadaan wilayah
desa dan lingkungannya. Tehnik penelusuran wilayah (transek) adalah tehnik PRA
untuk menggali informasi tentang kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan
lingkungan, melalui pengamatan langsung ke lapangan dengan cara berjalan
menelusuri wilayah desa dan mengikuti lintasan tertentu yang disiapkan. Tehnik
alur sejarah berupa kegiatan untuk mengungkap kembali sejarah masyarakat Baduy
dengan cara memaparkan kejadian-kejadian penting yang terjadi di masa lampau. Tehnik
wawancara semi terstruktur merupakan tehnik penggalian informasi berupa tanya
jawab yang sistematis tentang pokok-pokok tertentu, bersifat semi terbuka
tetapi pembicaraannya dibatasi oleh topik yang telah ditentukan. Data dan
informasi tentang kondisi wilayah Baduy, sosial ekonomi, dan budaya masyarakat
serta dinamika perubahannya termasuk pergeseran-pergeseran aturan adat dalam
mengelola hutan dan lingkungannya, dianalisis melalui pendekatan kuantitatif
dan kualitatif
Sampai
sekarang terlihat pola kehidupan yang sangat berbeda dengan masyarakat luar
pada umumnya. Masyarakat Baduy mulai melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk
menjalani dan mempertahankan hidupnya. Ketentuan adat (pikukuh karuhun)
yang semula berlaku untuk semua masyarakat Baduy mulai mengalami pergeseran,
dengan munculnya komunitas Baduy Dalam dan Baduy Luar. Perubahan status
masyarakat telah terjadi, awalnya semua masyarakat Baduy harus ikut mentaati pikukuh
karuhun, sekarang ini Baduy Luar tugasnya ikut menjaga dan membantu
bertahannya pikukuh karuhun orang Baduy Dalam. Ketentuan-ketentuan
mutlak yang harus dilakukan oleh seluruh masyarakat Baduy adalah tata cara
perladangan dan olah hasilnya, perlakukan terhadap lingkungan hutannya, dan
pelaksanaan rukun-rukun sunda wiwitan. Untuk masyarakat Baduy Luar ada
kelonggaran aturan adat, terutama yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan
hidup
Agar kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan rasa aman, dan
dicintai dapat ditingkatkan, diperlukan
upaya dari Pemda untuk lebih memberikan pengakuan atas eksistensi KAT Baduy.
Agen pembaharu supaya ditingkatkan kompetensinya agar mampu berinteraksi sosial
lebih berkualitas dengan masyarakat Baduy Luar. Diperlukan pengembangan
strategi agar perubahan terencana dapat dilakukan untuk lebih memenuhi
kebutuhan keluarga komunitas adat Baduy Luar, yaitu dengan membentuk forum
kelompok diskusi yang didukung oleh lembaga adat dan pemerintah daerah, dan
dukungan agen pembaharu pada usaha dan pola produksi, dan membangkitkan motif
atau dorongan untuk berubah.
Studi
ini akan mengkaji mengenai unsur-unsur hukum Islam yang diserap oleh komunitas
di Kampung Marunda Pulo, Kampung Naga dan Baduy. Selain itu akan dikaji pula
mengenai proses penyerapan hukum Islam dan faktor-faktor yang mempengaruhi
penerimaan hukum Islam tersebut.
Oleh karena itu,
teori ini tidak mengaitkannya dengan tradisi dan budaya yang ada di masyarakat
sehingga diperlukan teori lainnya untuk menjelaskan deskripsi dari penelitian
ini.
Alur kerangka berfikir tersebut diharapkan bisa mengeksplorasi
permasalahan penelitian dalam disertasi ini. Sehingga ia bisa dijadikan acuan
dalam langakah-langkah penelitian tentang penyerapan hukum Islam di tiga lokasi
penelitian.
Intensitas
interaksi komunitas Kampung Marunda Pulo, Kampung Naga dan Baduy dengan hukum
Islam sangat mempengaruhi penyerapan mereka terhadap hukum Islam.
Berdasarkan
pengertian ini maka metode penelitian adalah kunci keberhasilan bagi sebuah
penelitian. Sehingga ketepatan dalam memilih dan menggunakannya akan menentukan
keberhasilan penelitian tersebut. Penggunaan metode penelitian adalah sebagai
acuan bagi peneliti agar tujuan dari penelitian tersebut dapat tercapai dan
bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
Langkah-langkah
tersebut dilakukan agar tujuan dari penelitian ini dapat tercapai sehingga
dapat memberikan kontribusi positif bagi ilmu pengetahuan.
Melalui serangkaian
aktivitas tersebut, data dalam penelitian yang telah dikumpulkan disederhanakan
agar bisa dipahami, dianalisis dan diambil kesimpulannya. Tujuan dari analisis
data adalah untuk menemukan kesimpulan dari sebuah permasalahan yang menjadi
obyek penelitian. Proses pemilihannya harus tepat dan sesuai dengan prosedur
yang telah ditentukan sehingga hasil dari analisis ini akan bisa
dipertanggungjawabkan secara akademik.
Sejumlah
langkah analisis selama pengumpulan data menurut Miles dan Huberman adalah : Pertama,
meringkaskan data kontak langsung dengan orang, kejadian dan situasi di lokasi
penelitian. Pada langkah pertama ini termasuk pula memilih dan meringkas
dokumen yang relevan. Kedua, pengkodean. Pengkodean hendaknya
memperhatikan setidak-tidaknya empat hal :
a. Digunakan simbol atau ringkasan.
b. Kode dibangun dalam suatu struktur tertentu.
c. Kode dibangun dengan tingkat rinci tertentu
d.
Keseluruhannya dibangun dalam suatu sistem yang integratif.
Ketiga, dalam analisis selama
pengumpulan data adalah pembuatan catatan obyektif. Peneliti perlu mencatat
sekaligus mengklasifikasikan dan mengedit jawaban atau situasi sebagaimana
adanya, faktual atau obyektif-deskriptif. Keempat, membuat catatan
reflektif. Menuliskan apa yang terangan dan terfikir oleh peneliti dalam
sangkut paut dengan catatan obyektif tersebut di atas. Harus dipisahkan antara
catatan obyektif dan catatan reflektif. Kelima, membuat catatan
marginal. Miles dan Huberman memisahkan komentar peneliti mengenai subtansi dan
metodologinya. Komentar subtansial merupakan catatan marginal. Keenam,
penyimpanan data. Untuk menyimpan data setidak-tidaknya ada tiga hal yang perlu
diperhatikan :
a.
Pemberian label
b.
Mempunyai format yang uniform dan normalisasi tertentu
c.
Menggunakan angka indeks dengan sistem terorganisasi baik.
Ketujuh, analisis data selama pengumpulan data merupakan pembuatan memo.
Memo yang dimaksud Miles dan Huberman adalah teoritisasi ide atau
konseptualisasi ide, dimulai dengan pengembangan pendapat atau porposisi. Kedelapan,
analisis antarlokasi. Ada kemungkinan bahwa studi dilakukan pada lebih dari
satu lokasi atau dilakukan oleh lebih satu staf peneliti. Pertemuan antar
peneliti untuk menuliskan kembali catatan deskriptif, catatan reflektif, catatn
marginal dan memo masing-masing lokasi atau masing-masing peneliti menjadi yang
konform satu dengan lainnya, perlu dilakukan. Kesembilan, pembuatan
ringkasan sementara antar lokasi. Isinya lebih bersifat matriks tentang ada
tidaknya data yang dicari pada setiap lokasi.
Mencermati penjelasan ini maka seorang peneliti dituntut memiliki
kemampuan berfikir sensitif dengan kecerdasan, keluasan serta kedalaman wawasan
yang tertinggi. Berdasarkan kemampuan tersebut peneliti dapat melakukan
aktivitas reduksi data secara mandiri untuk mendapatkan data yang mampu
menjawab pertanyaan penelitian. Bagi peneliti pemula, proses reduksi data dapat
dilakukan dengan mendiskusikan pada teman atau orang lain yang dipandang ahli.
Melalui diskusi tersebut diharapkan wawasan peneliti akan berkembang, data
hasil reduksi lebih bermakna dalam menjawab pertanyaan penelitian.
. Prosesnya dapat
dilakukan dengan cara menampilkan data, membuat hubungan antar fenomena untuk
memaknai apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang perlu ditindaklanjuti untuk
mencapi tujuan penelitian. Penyajian data yang baik merupakan satu langkah
penting menuju tercapainya analisis kualitatif yang valid dan handal.
Miles and
Hubermen menyatakan bahwa hal yang paling sering digunakan untuk menyajikan
data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.
Miles dan Huberman membantu para peneliti kualitatif dengan model-model
penyajian data yang analog dengan model-model penyajian data kuantitatif
statis, dengan menggunakan tabel, grafiks, amatriks dan semacamyan; bukan diisi
dengan angka-angka melainkan dengan kata atau phase verbal.
Miles dan
Huberman menyajikan model-model penyajian data untuk data analisis kualitatif.
Tujuannya untuk mendorong tumbuhnya kreativitas membuat modelnya sendiri, bukan
hanya sekedar konsumen model Miles dan Huberman. Miles dan Huberman menyajikan
9 model dengan 12 contoh penyajian data kualitatif bentuk matriks, gambar atau
grafik analog dengan model yang biasanya digunakan dalam metodologi penelitian
kuantitatif statistik.
Model 1
adalah model untuk mendeskripsikan model penelitian. Dapat berupa sosiogram,
organigram atau menyajikan peta geografis. Model 2 adalah model yang dipakai untuk memantau
komponen atau dimensi penelitian, yaitu dengan checklist matrik. Karena matriks
itu tabel dua dimensi, maka pada barisnya dapat disajikan komponen atau
dimensinya, pada kolom disajikan kurun waktunya. Isi checklist hanyalah
tanda-tanda singkat. Model 3 adalah model untuk mendeskripsikan perkembangan
antar waktu. Isinya bukan sekedar tanda cek, melainkan ada diskripsi verbal
dengan satu kata atau phase. Model 4 adalah matriks tata peran, yang
mendeskripsikan pendapat, sikap, kemampuan atau lainnya dari berbagai
pemeranan. Model 5 adalah matriks konsep
terklaster. Digunakan untuk meringkas berbagai hasil penelitian dari berbagai
ahli yang pokok perhatiannya berbeda. Model 6 adalah matriks tentang efek atau
pengaruh. Model ini hanya mengubah fungsi-fungsi kolom-kolomnya, diganti untuk
mendeskripsikan perubahan sebelum dan sesudah mendapat penyuluhan, sebelum dan
sesudah deregulasi dan yang semacamnya. Model 7 adalah matriks dinamika lokasi.
Melalui model ini diungkap dinamika lokasi untuk berubah. Model ini berguna
bagi peneliti yang memang hendak melihat dinamika sosial suatu lokasi, tetapi memang
tidak banyak peneliti yang mengungkap hal tersebut cukup sulit. Model 8 adalah
menyusun daftar kejadian. Daftar kejadian dapat disusun kronologis atau
diklasterkan. Model 9 adalah jaringan klausal dari sejumlah kejadian yang
ditelitinya. Dari deskripsi atau sajian yang diringkaskan dalam berbagai model
tersebut dapat diharapkan agar mempermudah kita untuk merumuskan prediksi kita.
Selanjutnya disarankan dalam
melakukan display data, selain dengan teks yang naratif juga dapat berupa :
bagan, hubungan antar kategori, diagram alur (flow chart), pictogram,
dan sejenisnya. Kesimpulan yang dikemukakan ini masih bersifat sementara dan
akan berubah bila ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung tahap pengumpulan
data berikutnya
Seperti
yang dijelaskan di atas bahwa kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat
sementara dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti buat yang mendukung tahap
pengumpulan data berikutnya. Proses untuk mendapatkan bukti-bukti inilah yang
disebut sebagai verifikasi data. Apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap
awal didukung oleh bukti-bukti yang kuat dalam arti konsisten dengan kondisi
yang ditemukan saat peneliti kembali ke lapangan maka kesimpulan yang diperoleh
merupakan kesimpulan yang kredibel.
Langkah
verifikasi yang dilakukan peneliti sebaiknya masih tetap terbuka untuk menerima
masukan data, walaupun data tersebut adalah data yang tergolong tidak bermakna.
Namun demikian peneliti pada tahap ini sebaiknya telah memutuskan anara data
yang mempunyai makna dengan data yang tidak diperlukan atau tidak bermakna.
Data yang dapat diproses dalam analisis lebih lanjut seperti absah, berbobot,
dan kuat sedang data lain yang tidak menunjang, lemah, dan menyimpang jauh dari
kebiasaan harus dipisahkan.
Penarikan kesimpulan
penelitian kualitatif diharapkan merupakan temuan baru yang belum pernah ada.
Temuan tersebut dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang
sebelumnya remang-remang atau gelap menjadi jelas setelah diteliti. Temuan
tersebut berupa hubungan kausal atau interaktif, bisa juga berupa hipotesis
atau teori
Pengumpulan
data dilakukan dengan observasi, wawancara dan penelusuran dokumen. Reduksi
data dilakukan secara terus-menerus sejak awal penelitian, proses ini berupa
pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi
data kasar terutama yang muncul dari hasil wawancara di lapangan. Dalam proses
pengumpulan data reduksi data juga berupa membuat ringkasan, mengkode,
menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, menulis memo dan sebagainya.
Dalam proses ini peneliti memilih data-data yang relevan dan membuang data yang
tidak relevan, pada data yang relevan dilakukan penajaman, penggolongan,
pengarahan, membuang data yang tidak perlu dan mengorganisasikan data sehingga
kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
Tahap
penyajian data, pada tahap ini dilakukan penyederhanaan data, penyeleksian dan
konfigurasi data kemudian memadukannya sehingga data mudah dipahami dan dapat
diambil kesimpulan. Tahap akhir dari analisis data adalah penarikan kesimpulan,
tahap ini sebenarnya sudah dimulai sejak awal penelitian berupa kesimpulan
sementara (hipotesa) yang belum jelas, seiring berjalannya penelitian maka
penarikan kesimpulan semakin terfokus dengan data-data lapangan yang diperoleh
hingga akhir penelitian.[5]
Proses
penyerapan terjadi karena interaksi antara masyarakat adat dengan masyarakat
muslim di wilayah tersebut. Selain itu unsur kekuasaan yang menguasai wilayah
mereka menjadi faktor yang “memaksa” mereka untuk menyesuaikan diri dengan
tradisi di luar budayanya.
Maka jika adat
tersebut didasarkan kepada keyakinan-keyakinan yang bertentangan dengan
nilai-nilai dasar Islam, maka tidak boleh untuk dilaksanakan. Sedangkan jika
hanya berkaitan dengan masalah-masalah sosial dan kehidupan bersama maka
diperbolehkan untuk dilaksanakan.
Berdasarkan
data yang telah ditemukan maka penyerapan hukum Islam oleh komunitas Baduy,
Kampung Naga dan Marunda Pulo dapat digambarkan dalam diagram berikut:
Komunitas Kampung Marunda Pulo menyerap banyak
unsur-unsur hukum Islam sehingga adat-istiadat mereka sudah hampir hilang.
Sementara Adat Kampung Naga dan adat Baduy dipersepsikan memiliki hubungan yang
erat, hal ini terlihat dari struktur hukum dan substansi hukum pada keduanya.
Sementara Hukum Islam sebagai basis penelitian diserap oleh kedua komunitas ini
dengan penyeleksian yang disesuaikan dengan adat mereka. Pada komunitas Kampung
Naga penyerapan hukum Islam lebih besar terutama dengan masuknya seluruh
masyarakatnya ke dalam Islam. Sementara komunitas Baduy belum menerima Islam,
namun unsur-unsur hukum Islam juga diserap oleh adat mereka.
Sementara
adat dalam pandangan hukum Islam adalah segala sesuatu yang dilakukan secara
terus-menerus oleh suatu komunitas atau masyarakat dan diterima oleh akal
sehat. Maka, adat yang dilaksanakan oleh ketiga komunitas adat tersebut bisa
disebut sebagai adat yang dipahami oleh hukum Islam. Adat yang terkait erat
dengan masalah hukum Islam adalah yang dipraktikkan oleh mereka secara berbeda
pada masing-masing komunitas. Penelitian yang penulis lakukan menemukan
beberapa adat yang menjadi ciri khas bagi masing-masing komunitas.
Komunitas
adat di Marunda Pulo memiliki beberapa adat yang mereka warisi dari nenek
moyang mereka. Seiring perkembangan zaman unsur-unsur Islam masuk ke dalam adat
mereka, sehingga saat ini adat mereka sangat kental dengan sentuhan Islam. Adat
yang berkaitan dengan daur hidup komunitas Marunda terdiri dari selamatan ibu
hamil pada usia kehamilan tujuh bulan, selamatan ini dilakukan dengan pembacaan
surat Yusuf dan Maryam. Setelah kelahiran dilakukan pula syukuran atas
kelahiran bayi, beberapa keluarga yang memiliki harta melakukan aqiqah pada
hari ke-7 setelah kelahiran. Pada usia anak 5-10 tahun dilakukan khitanan dan
terkadang disatukan dengan adat khataman al-Qur’an. Proses pernikahan
dilakukan dengan cara-cara Islam yang ditambahi dengan beberapa adat lokal
seperti iring-iringan dengan menabuh ketimpring dan peragaan silat
Betawi. Adat daur hidup diakhiri dengan proses tahlilan sebagai doa bagi
orang yang sudah meninggal dunia pada hari pertama, ke-7, ke-14, ke-21, ke-40
dan 100 hari setelah kematian. Beberapa perayaan yang bersifat kolektif adalah
pembacaan surat Yasin setiap malam jum’at, malam nishfu sya’ban, Maulud Nabi, tawasulan
pada malam idhul fitri, ziarah kubur pada awal ramadhan dan saat hari raya,
makan-makan setelah shalat Idhul Adha dan pada hari-hari besar Islam
lainnya.
Komunitas
adat di Kampung Naga memiliki adat yang bersumber dari leluhur yang diwarisi
dari pendiri kampung mereka. Sebagai komunitas adat, Kampung Naga memiliki
berbagai adat yang dilaksanakan baik secara individu maupun kolektif. Beberapa
adat telah dipengaruhi oleh Islam, sehingga muncul akulturasi antara Islam dan
adat lokal. Ritual daur hidup diawali dengan selamatan ibu hamil, kelahiran,
khitan, pernikahan dan selamatan kematian. Adat ini sama dengan yang dilakukan
oleh komunitas Marunda Pulo.
Adat
yang dilakukan secara kolektif oleh komunitas Kampung Naga adalah ngaruwat
lembur yang dilaksanakan pada awal tahun menurut kalender mereka. Ia berupa
pemotongan ayam dan kambing sebagai bentuk ucapan syukur dan permohonan doa
kepada Allah ta’ala agar memberikan kebaikan bagi seluruh penduduk kampung pada
tahun yang akan datang. Pada ritual ini dilakukan penggantian tangtang angin
yang berfungsi sebagai penolak bala yang akan diletakan di depan pintu
rumah seluruh warga Kampung Naga. Adat ini diakhir pada malam hari dengan makan
bersama daging kambing yang telah disemeblih secara bersama-sama di masjid
kampung. Pembacaan doa dengan kepulan asap dari pembakaran kemenyan mewarnai
ritual ini.
Adat
terbesar di Kampung Naga adalah hajat sasih yang dilaksanakan dua bulan
sekali yang disesuaikan dengan hari-hari besar Islam. Adat ini berupa ziarah ke
makam leluhur di bagian barat desa yang berada di leuweng karamat (hutan
keramat). Tidak semua orang bisa mengikuti ritual ini, ada beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi semisal sudah dewasa, memakai pakaian khusus berupa jubah
berwarna putih dan iket kepala, tidak memakai alas kaki dan pakaian dalam serta
tidak boleh bercakap-cakap dalam pelaksanaannya. Pada bulan Maulud ritual ini
ditambah dengan penggantian kandang jaga yaitu pagar yang mengelilingi
makam, bumi ageung dan padepokan. Ritual ini diakhiri dengan ngariung
makan bersama dengan hidangan berupa tumpeng yang dibawa oleh seluruh warga
Kampung Naga.
Pada
perayaan hajat sasih juga dilaksanakan pemberian pahajat kepada
kepala desa dan Amil sebagai bentuk ketaatan kepada pemerintah. Pahajat adalah
hantaran berupa hasil kebun seperti pisang, padi, ubi, ayam hidup dan yang
lainnya. Ia diberikan pada beberapa kali hajat sasih dari Lebe dan
Punduh Kampung Naga. Punduh akan memberikan pahajat-nya kepada kepala
desa (kuwu) sedangkan Lebe akan memberikannya kepada amil desa
Neglasari.
Pada
bulan Maulud dilaksanakan tiga ritual adat, yaitu mapag sasih, muludan
dan mileuleuyenkeun sasih. Adat ini berupa pembacaan pantun maulud yang
diringi dengan menabuh terebang (rebana) yang disebut dengan terebang
gembrung. Pada zaman dahulu adat ini dilakukan hingga pagi hari, namun saat
ini hanya hingga pukul 23.00 hingga 00.30 tengah malam. Pada adat ini dibuat
masakan gembrung yaitu sejenis sayur lodeh dengan ikan goreng sebagai
penawar kantuk. Pada perayaan maulud dilakukan pula pembersihan parabot
yang berupa senjata-senjata peninggalan zaman dahulu seperti golok, keris,
kujang, pedang dan yang lainnya.
Adat
berikutnya yang ada di Kampung Naga adalah yang berkaitan dengan pertanian.
Adat ini didasarkan pada keyakinan bahwa padi adalah penjelmaan dari Dewi Sri
atau Nyi Pohaci yang harus dihormati. Sehingga sejak awal pemilihan benih,
penanaman, penyiangan, pemupukan, panen hingga penyimpanan di gowah harus
dilakukan dengan cara-cara khusus yang telah mereka warisi dari nenek moyang.
Bentuk-bentuk khusus tersebut adalah pembakaran kemenyan, penyediaan sesajen
pada saat menanam dan memanen serta sesajen yang diletakan di tempat penyimpanan
padi dan beras. Selain itu dilakukan pula adat ngarasulkeun dan nganyaran
ketika pertama padi dipanen.
Adat
ziarah kubur ke makam umum dilakukan secara bersama-sama pada bulan Muharam
sebagai awal tahun. Pelaksanaannya dipimpin oleh Kuncen yang membacakan doa-doa
dan tidak pula dilakukan pembakaran kemenyan. Berbeda dengan ziarah kubur pada
saat hajat sasih yang hanya diikuti oleh laki-laki. Maka, ziarah kubur
ke makam umum dilakukan oleh seluruh warga Kampung Naga baik laki-laki ataupun
perempuan. Adat ini diakhiri dengan makan bersama seluruh warga Kampung Naga.
Adat
yang berkaitan dengan lingkungan adalah bentuk-bentuk pamali (larangan)
yang hingga saat ini masih dilaksanakan oleh mereka. Larangan yang ada adalah
tidak boleh mengambil pohon, menebang dan masuk ke hutan larangan serta hutan
keramat, tidak boleh mendekati air terjun yang ada di sebelah barat kampung,
larangan membangun rumah dengan semen dan atap selain injuk, larangan membangun
rumah di atas air, larangan memasuki dan memotret dari dekat Bumi Ageung
dan Katarajuan, dan yang lainnya.
Adat
yang bersifat pribadi dalam arti etika yang tidak boleh dilakukan oleh
seseorang diantaranya adalah tidak boleh duduk berselonjor ke arah barat.
Mengucapkan kata “Singaparna” dan “Garing”, menuliskan kalimat “Kampung Naga”
dalam berbagai media, menggunakan listrik untuk penerangan, menggunakan gas
elpiji untuk memasak dan larangan adat lainnya. Penggunaan media komunikasi
seperti HP diperbolehkan karena adanya kebutuhan, demikian pula radio, tape recorder
dan TV sebagai media informasi.
Pada
bidang akhlak dan etika umum, terdapat beberapa larangan yang bersumber dari
adat dan sentuhan hukum Islam, yaitu larangan untuk membunuh, berjudi,
mabuk-mabukan dan berzina. Poligami juga menjadi cadu (larangan) yang
tidak tertulis namun dilaksanakan dengan ketat, hingga saat ini tidak ada satu
orangpun yang melakukannya. Padahal berdasarkan survey penduduk yang penulis
lakukan, jumlah janda di Kampung Naga cukup banyak dengan kondisi ekonomi yang
memprihatinkan.
Berdasarkan
adat yang dilaksanakan di Kampung Naga, Nampak bahwa terjadi akulturasi antara
adat lokal dan hukum Islam. Adat ini didasarkan kepada keyakinan lokal di masa
lalu dan tambahan nilai-nilai Islam. Memperhatikan masalah ini maka Islam
memandang bahwa adat-adat tersebut berkedudukan sebagai adat yang ada dalam
hukum Islam. Namun ia harus diperinci sehingga bisa diambil kesimpulan status
hukumnya. Sebagaimana syarat sebuah adat bisa diterima dan boleh dilaksanakan
adalah yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam, tidak
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, tidak mengandung mudharat,
bisa diterima oleh akal sehat, serta memiliki mashlahat bagi manusia.
Adat
di Kampung Naga apabila ditimbang dari hukum Islam terbagi menjadi dua, yaitu
adat yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Adat yang diperbolehkan
adalah yang tidak didasari oleh keyakinan yang bertentangan dengan nilai-nilai
Islam seperti keyakinan kepada dewa-dewa atau adanya kekuatan kepada selain
Allah ta’ala. Membuat sajian untuk selain Allah ta’ala dan sebagai bentuk
ketaatan kepada selainNya. Adapun yang diperbolehkan adalah yang tidak
mengandung hal-hal tersebut dan tidak ada larangan khusus tentangnya.
Komunitas
Baduy adalah satu komunitas yang memiliki banyak adat yang mereka warisi dari karuhun
(nenek moyang) mereka. Sebagian besar adat tersebut didasarkan kepada
keyakinan adanya Nu Ngersakeun sebagai Sang Pencipta yang mereka sebut
juga Adam Tunggal. Adat yang mereka lakukan didasarkan kepada pengabdian kepada
Adam Tunggal serta Dewi Sri atau Nyi Pohaci. Selain itu ada beberapa adat yang
didasarkan kepada nilai kebersamaan yang tidak terkait dengan dengan keyakinan
tertentu.
Ngukus adalah membuat kukus (asap)
yaitu dengan membakar kemenyan sebagai pembuka hubungan dengan dunia ghaib.
Asap wangi yang membumbung ke udara (langit) memberi suasana khas yang
diharapkan mencapai dunia atas dan menarik penghuninya, layaknya alunan untaian
kidung “bul kukus ngukup ka manggung” (mengepullah asap memenuhi dunia
atas). Ngawalu adalah adat yang dilakukan setelah padi dari ladang
“kembali” ke lumbung (leuit) setelah sekian lama mengembara di “weweg
sampeg mandala pageuh” yaitu rumah suaminya (tanah ladang). Adat Kawalu
berlangsung tiga kali setahun meliputi Kawalu Tembey (awal) diadakan
setiap tanggal 17 Kasa (bulan ke sepuluh menurut sistem pertanggalan Kanekes), Kawalu
Tengah setiap tanggal 18 Karo (bulan ke-11 dalam sistem pertanggalan
Kanekes), dan Kawalu tutug (akhir) dilaksanakan setiap tanggal 17 Katiga
(bulan ke-12 sistem pertanggalan Kanekes). Adat Muja yaitu memuja di
Sasaka Pusaka Buana atau Sasaka Pada Ageung oleh Puun Cikeusik, di
Sasaka Parahiyang atau Sasaka Domas oleh Puun Cibeo. Ia berlangsung satu
hari penuh pagi sampai sore setiap tanggal 7 bulan Kalima menurut penanggalan
Baduy, sedangkan Muja di Pada Ageung berlangsung setiap tanggal 16, 17 dan 18
bulan Kalima. Sebelum berangkat ke tempat Muja, Puun Cikeusik dan Baris
Kolot yang “terpercaya” membersihkan badan memakai kain bersih putih. Masuk ke
tempat Muja dalam kondisi berpuasa, menjaga tetap tanah tetap bersih, pantang
bercakap-cakap. Akhir proses Muja, sebelum turun mengambil tanah putih
dan rumput komala untuk “pemberian berkah” di Tangtu Cikeusik.
Ngalaksa adalah ritual yang dilakukan dalam
beberapa tahap, dimulai dengan membuat laksa yang dilaksanakan pada akhir bulan
Katiga yakni bulan terakhir kalender Kanekes dan berlangsung selama 7 hari.
Diawali di Kapuunan kemudian berantai ke seluruh kampung Panamping.
Laksa dibuat khusus dari huma serang yang terletak di kapuunan dan dari huma
tuladan di Panamping. Karena itu Ngalaksa bersifat sakral sebab yang
menjadi bahan utama (tepung beras) diambil dari tujuh rumpun padi ditanam di
pupuhunan huma serang (kawasan Tangtu) dan huma tuladan (kawasan Panamping).
Ngalaksa merupakan pamungkas dari keseluruhan upacara muja karena itu
yang ditugasi membuat laksa pun dari awal hingga selesai dalam keadaan
berpuasa.
Seba adalah adat Baduy berupa pemberian hasil perkebunan kepada
kepala daerah di Kabupaten Lebak dan Gubernur Banten. Kegiatan ini dilaksanakan
pada bulan-bulan setelah pelaksanaan panen di huma. Ia adalah bentuk ketaatan
komunitas Baduy kepada pemerintah sekaligus membuktikan eksistensi mereka.
Selain adat-adat yang besar tersebut, masih banyak lagi adat yang dilaksanakan
oleh komunitas Baduy yang sebagian besarnya didasarkan kepada keyakinan akan
adanya kekuasaan Adam Tunggal, Nyi Pohaci, Wangatua dan kekuatan ghaib
lainnya. Beberapa adat didasarkan pada kesepakatan bersama tentang suatu permasalahan
yang tidak berkaitan dengan keyakinan-keyakinan tersebut. Seperti adat hidup
bergotong-royong dalam membangun rumah, menggarap huma serang, pelaksanaan
perkawinan, pemberian “upeti” dalam adat Seba dan yang lainnya.
Hukum Islam adalah sistem hukum
universal, ia bisa diterima oleh setiap masyarakat kapan saja dan di mana saja.
Karena bersifat universal, ia memiliki daya fleksibilitas dalam menghadapi
berbagai perubahan yang terjadi di luar sistem hukumnya. Lebih dari itu, ia
juga memiliki daya adoptif yang tinggi bagi hukum yang berada di luar
dirinya.
Karakteristik dari hukum Islam adalah
bahwa dalam hukum-hukum ibadah termuat pula di dalamnya dimensi hukum muamalah,
sebaliknya dalam bidang hukum muamalah terkandung pula dimensi hukum ibadah. Sehingga
keduanya saling terkait dan tidak bisa dipisah-pisahkan.
Apabila dikorelasikan dengan system berfikir, maka
asas adalah landasan berfikir yang sangat mendasar. Ia meliputi:
1) Dasar,
alasan, dan fundamen. Asas dalam pengertian ini dapat dilihat misalnya dalam
urutan yang disesuaikan pada kata-kata: …”Batu ini baik benar untuk pondasi
rumah”
2) Kebenaran
yang menjadi tumpuan berfikir atau pendapat. Makna ini terdapat dalam ungkapan
“Pernyataan itu bertentangan dengan asas-asas hukum pidana”
3) Cita-cita
yang menjadi dasar organisasi atau negara. Hal ini jelas dalam kalimat “Dasar
Negara Republik Indonesia adalah Pancasila”
Hukum Islam tidak
membedakan dengan tajam antara hukum perdata dengan publik, seperti halnya dalam hukum Barat. Hal ini disebabkan
karena menurut hukum Islam, pada hukum perdata ada segi-segi publik dan pada
hukum publik ada segi-segi perdatanya. Dalam hukum Islam yang disebutkan hanya
bagian-bagiannya saja.
Hal-hal yang sudah dikemukakan, jelas
bahwa hukum Islam itu luas, bahkan luasnya hukum Islam tersebut masih dapat
dikembangkan lagi sesuai dengan aspek-aspek yang berkembang dalam masyarakat
yang belum dirumuskan oleh para fuqaha’ (para yuris Islam) di masa lampau,
seperti hukum bedah mayat, hukum bayi tabung, keluarga berencana, bunga bank,
euthanasia, dan lain sebagainya serta berbagai aspek kehidupan lainnya yang
dapat dikatagorikan sebagai hukum Islam apabila sudah dirumuskan oleh para ahli
hukum Islam melalui sumber hukum Islam yang ketiga, yakni al-ra’yu
dengan menggunakan ijtihad
Analisis data yang dilakukan untuk memperoleh bentuk-bentuk penyerapan
hukum Islam pada komunitas
adat dilakukan dengan
metode analisis data model tiga jalur milik Malinowski. Metode ini disebut dengan fungsional approach
to acculturation. Pendekatan ini merupakan suatu kerangka yang terdiri dari
tiga kolom, pertama; menjelaskan tentang keterangan mengenai kebutuhanan,
maksud, kebijaksanaan, dan cara-cara yang dilakukan oleh agen atau ulama Islam
untuk memasukkan pengaruh kebudayaan asing ke dalam suatu kebudayaan lokal.
Kedua, menjelaskan tentang jalannya proses akulturasi dalam suatu kebudayaan
lokal. Ketiga, menjelaskan tentang reaksi masyarakat terhadap pengaruh
kebudayaan Islam yang keluar dalam bentuk usaha atau gerakan untuk menghindari
pengaruh tadi, atau sebaliknya untuk menerima dan menyesuaikan unsur-unsur
kebudayaan asing dengan unsur-unsur kebudayaan mereka sendiri.[6]
Jika komunitas Marunda Pulo
melaksanakan hampir seluruh ajaran Islam, maka komunitas Kampung Naga
melaksanakan hukum Islam yang disandingkan dengan adat kebiasaan mereka. Komunitas
Baduy hingga saat ini belum menerima Islam, mereka tetap melaksanakan adatnya.
Namun pada beberapa bagian terdapat hukum Islam yang mereka serap
Tiap peradaban betapapun primitifnya
mempunyai kumpulan pengetahuan yang bersumber dari logika berfikir atas
fenomena alam yang mereka alami. Logika sebagai alat untuk memperoleh ilmu
pengetahuan dengan cara mencerna setiap kejadian yang terjadi di sekitarnya
merupakan modal bagi setiap komunitas untuk tetap eksis menjaga kehidupannya
dan menurunkan nilai-nilai yang dianutnya kepada generasi sesudahnya.
Pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap apa yang diketahui tentang suatu
objek tertentu, termasuk didalamnya ilmu yang merupakan pengetahuan yang telah
tersistematis dan teruji kebenarannya. Maka, ilmu pengetahuan merupakan bagian
dari kebudayaan manusia yang meliputi pengetahuannya tentang dirinya sendiri,
alam semesta, sesuatu yang memiliki kekuatan tertinggi dan berbagai pengetahuan
lainnya.
[1] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 193.
[2] Daniel S Lev, Peradilan
Agama Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Intermasa, 1986), cet. Kedua, hlm.
29.
[3] Lihat Cik
Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2003) cet. Keempat, hlm. 220.
[4] Sajuti Thalib,
Receptio a Contrario. (Jakarta : Bina Aksara. 1985), hlm. 4.
[5] Imam Suprayogo
dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama. (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2001), hlm. 196
[6]
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II , (Jakarta: UI Press)
hlm. 95-96.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...