Hukum Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia agar
selamat di dunia dan di akhirat. Hukum Islam mengontrol, mengatur dan
meregulasi (pengaturan) semua perilaku privat maupun publik seseorang.
Tingkah
laku manusia diatur dan dibagi dalam dua klasifikai besar yang terpisah tapi
saling mempengaruhi. Pertama adalah hubungan Allah dengan manusia yang diatur
melaluihukum kewajiban ibadah. Ibadah merupakan refleksi atas ketundukan
manusia kepada Allah, seperti. Kedua adalah hubungan antara sesama manusia,
yaitu aturan hukum yang mengatur segala aktivitas dalam kehidupan manusia
sehari-hari.
Hukum
Islam memberi aturan yang spesifik tentang shalat, puasa, zakat, dan haji serta
bantuan-bantuan sosial seperti infak dan shadaqah, tetapi juga berisi aturan
tentang barbagai hal seperti makanan halal, diet, perkawinan, hubungan seksual,
pemeliharaan anak dan masalah-masalah domestik lainnya. Hukum Islam juga
mengatur tatanan tentang bagaimana sesorang harus harus bertingkah laku dalam
kehidupan bermasyarakat dan berinteraksi dengan kelompok lain, aturan tentang
transaksi bisnis, penyelesaian konflik bahkan aturan perang (Sohail H.Hashmi,
Saving and Taking Life in War Three Modern Muslim Views 89, 1999).
Perkembangan
substantif hukum Islam senantiasa menyambut positif nilai-nilai dari luar yang
dipandang masih masuk dalam batas ajaran Islam. Aspek-aspek substantif hukum
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sudah mengalamai percampuran antara ide
hukum yang suci (sakral) dengan tradisi setempat, yaitu hukum adat masyarakat
Arab.
Dalam
hukum keluarga misalnya, Islam tetap mempertahankan perkawinan sebagai lembaga
sakral. Perkawinan dalam Islam bertujuan untuk menjaga kemurnian dan kebersihan
hubungan genealogis ras manusia. Nabi telah melakukan penghapusan beberapa
praktik adat Arab yang bertentangan dengan hukum Islam, seperti poliandri,
hubungan seksual di luar nikah, adopsi, perceraian berulang-ulang, dan lain
sebagainya. Nabi juga terus melakukan modifikasi dalam masalah poligami dan
mahar.
Perkawinan
dalam Islam mengandung tiga unsur penting; legal, sosial, dan agama. Secara
legal, perkawinan merupakan sebuah kontrak, ia dilakukan atas persetujuan kedua
belah pihak dan tanpa persetujuan untuk memutus hubungan tersebut. Secara
sosial, perkawinan telah memberi penghormatan kepada wanita karena ia
memperoleh status lebih tinggi dibanding sebelum nikah terlebih pada masyarakat
Arab pada masa pra-Islam yang dipandang sebagai makhluk tanpa hak. Secara
agama, perkawinan harus dilakukan menurut tata cara yang dibenarkan oleh agama,
seperti telah memenuhi syarat rukunnya, wali, saksi, ijab, qabul, dan mahar.
Hukum perkawinan Islam telah memadukan antar aspek ibadah dan aspek muamalah.
Perkawinan
Islam masih mempertahankan praktik poligami yang secara umum ditemukan dalam
masyarakat Arab, kemudian oleh Islam dibatasi hanya empat isteri dengan syarat
suami dapat membuktikan kemampuannya berlaku adil terhadap isteri-isterinya.
Mahar dalam adat Arab merupakan pembayaran yang diberikan kepada ayah si
pengantin perempuan atau keluarganya, maka Nabi memperbaiki masalah mahar ini
dengan cara mahar tersebut adalah hadiah perkawinan yang diberikan oleh si
suami kepada isterinya untuk dimiliki sebagai hak milik pribadi si isteri
tersebut.
Hukum
waris dalam Islam menganut prinsip-prinsip: (1) suami dan isteri saling
mewarisi; (2) keturunan dari jalur laki-laki/ayah dan saudara sama-sama dapat
mewarisi; (3) orang tua dan kakek-nenek dapat mewarisi meskipun ada keturunan
laki-laki; (4) seorang perempuan mendapat bagian setengah dibanding seorang
laki-laki.
Hukum
waris Islam dapat dikategorikan sebagai sistem warisan nir wasiat (intestate
disposition) dalam arti harta warisan tidak dapat dibagikan sesuai dengan
kemauan pewarisnya, melankan si pewaris harus tunduk mengikuti aturan-aturan
Allah dalam al-Qur’an. Dalam hukum waris tradisi Arab, si pewaris bebas
memberikan dan menentukan kepada siapa dan berapa banyak harta yang akan diwariskan
(testamentary disposition).
Hukum pidana Islam membedakan tiga
kategori kriminal.
Kategori pertama terdiri dari beberapa tindak
kriminal yang disebut hudud yang hukumannya telah ditentukan dalam al-Qur’an
dan Sunnah. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah murtad, pencurian, hubungan
seksual di luar nikah, menuduh orang bebuat zina. Kelompok
Kategori
kedua adalah qisas, yaitu kejahatan yang hukumannya lebih didasarkan balas
dendam. Perbuatan kriminal yang masuk dalam kategori ini adalah semua jenis
tindakan kriminal yang bertentangan dengan prinsip kehidupan manusia, seperti
pembunuhan, penyerangan, dan semua kejahatan yang mengaharuskan hukuman
retalisasi atau retribusi oleh si pelaku kepada korban atau keluarganya. Bentuk
hukumannya bisa berupa pembayaran diyat. Qisas pada dasarnya memberikan hak
penentuan hukuman kepada keluarga korban, apakah mereka menginginkan agar si
pelaku dihukum seberat-beratnya atau memberikan ampunan sepenuhnya kepada
pelaku kajehatan.
Kategori
ketiga adalah ta’zir, yaitu semua jenis tindakan kriminal yang secar umum
dipandang ofensif atau merusak sistem masyarakat (kriminal ringan/ minor
felonies), sehingga bentuk humannya pun tidak ditentukan secara pasti. Hakim
diberi hak untuk menentukan jenis hukuman sesuai dengan besar kecilnya
kejahatan yang dilakukan, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Dengan ta’zir
ini hukuman tidak semata-mata dibatasi pada asumsi pencegahan (deterrence) atau
balasan (retribution) sebagaimana diatur dalam hadd dan qisas, tetapi mengikuti
perkembangan pemikiran filsafat hukum modern.
Bisnis
adalah salah satu alat yang diperlukan untuk melangsungkan kehidupan manusia di
dunia ini, yang merupakan persiapan untuk kehidupan di akhiratn nanti. Prinsip
utama bisnis Islam adalah melarang semua bentuk manipulasi pasar, eksploitasi
dan penipuan. Islam juga mencegah terjadinya berbagai bentuk transaksi yang
mengandung unsur ketidakpastian (gharar) karena dapat menimbulkan penipuan dan
perselisihan. Islam melarang praktik riba (bunga) sebagai respon atas praktik
ketidakadilan sosial ekonomi yang tertjadi pada masa pra-Islam.
Prinsip
keuangan Islam harus memenuhi empat kriteria, yaitu: (1) pelarangan praktik
riba, (2) bagi hasil dan kerugian, (3) pelarangan tindakan spekulasi, dan (4)
kesakralan kontrak perjanjian (Zamir Iqbal, Islamic Banking Gains Momentum,
Expands Market and Competes with Conventional Banking in Arab States, 1998).
Hukum Islam di Indonesia
Islam
datang ke Indonesia jauh sebelum pengaruh Barat datang, ada yang mengatakan
abad ke-11 ada pula yang berpendapat abad ke-13. Tetapi masyarakat nusantara
pada saat itu telah memiliki warisan dari agama Budha dan Hindu yang sangat
kuat. Dengan demikian Islam datang ke Indonesia dengan kondisi masyarakat yang
sangat beragam (plural) dalam hal tradisi dan nilai-nilai keagamaan.
Karena
masyarakat Indonesia yang sangat beragam, maka pendekatan sufisme menjadi
pilihan yang tepat bagi para pendakwah Islam di masa-masa awal melalui para
wali. Para walisongo lah yang menjadi pelaku utama gerakan dakwah dan
memperoleh banyak pengikut. Dalam berdakwah para wali itu tidak menolak
nilai-nilai agama yang sudah dianut oleh masyarakat pada waktu itu, bahkan
sering menyatukan praktik keagamaan masyarakat pribumi dengan ajaran Islam
(lihat: Idrus H.A., Kitab Asrar Walisongo, CV.Bahagia, Pekalongan, 1999).
Dalam
proses Islamisasi pada saat itu Ppara wali menerapkan konsep mewarnai, bukan
menentang masyarakat dalam berdakwah. Pola seperti itu mendapat respon positif
dari masyarakat. Dengan memanfaatkan Sinkretisme (penyesuaian/keseimbangan)
antara dua aliran, Islam dan budaya lokal, maka terciptalah berbagai elemen
dari bebagai tradisi menjadi sebuah bentuk baru. (Lihat Clifford Geertz, The
Religion of Java, New Haven: Yale University Press, 1968).
Masyarakat
pribumi mengenal agama Islam di awal sejarah melalui tradisi heterodoksi
(menyimpang dari kepercayaan resmi). Islam disebarkan secara damai ke berbagai
daerah dan kepulauan yang praktik agama Budha/Hindu dan tradisi animisme maupun
dinamisme masih menjadi kepercayaan yang dominan. Kemampuan para wali dalam
mengadopsi dan menyesuaikan dengan adat dan praktik lokal yang bukan Islam,
serta praktik ibadah dan cara pandang mereka sangat cocok dengan gerakan massa
rakyat.
Sufi
telah menjadi bagian integral (tak terpisahkan) dari praktik keagamaan
masyarakat serta spiritualitas Islam. Berkat perjuangan merekalah gerakan
penyebaran Islam di Nusantara memperoleh hasil yang sangat mengagumkan bagi
perkembangan karakter Islam di Indonesia.
Hukum
Islam Indonesia terbentuk dari hasil usaha untuk memasukkan ajaran hukum Islam
ke dalam situasi yang berbeda dari situasi dan kondisi tempat asal hukum Islam
lahir. Umat Islam Indoensia berusaha melakukan domestikasi (penjinakan) tradisi
hukum yang berasal dari ajaran Islam dan mempraktikannya dengan cara
mengintergasikan hukum itu dalam korpus (lingkungan kumpulan) hukum Indonesia
yang lebih luas (Kelompok realis-kontekstual).
Di
lain pihak muncul kelompok konservatif-literal yang mengritik praktik keagamaan
yang selama ini berlangsung. Kelompok konservatif-literal ini cenderung melihat
hukum Islam sebagai hukum ideal yang tidak boleh diubah, meskipun telah terjadi
perubahan masa dan keadaan. Menurut mereka kinerja hukum suci harus baku dan
abadi, dan orang wajib menerima kebakuan hukum tersebut.
Untuk
mencapai terwujudnya hukum Islam versi Indonesia perlu dilakukan dengan memfokuskan
usaha untuk mereformulasikan teori hukum Islam (ushul al-fiqh) sesuai dengan
kebutuhan hukum masyarakat Indonesia melalui penalaran hukum secara mandiri
(ijtihad) dengan berbagai metodologi dan pendekatan baru yang bisa berfungsi
sesuai dengan pemahaman hukum masyarakat Indonesia (Lihat Ahmad Hasan,
Al-Boerhan, Persis, Bandung, 1928).
Substansif
hukum Islam Indonesia cenderung mengakomodasi aturan-aturan non-Islam yang
masuk ke dalam sistem hukum agama melalui rekayasa hukum. Hukum perkawinan
misalnya, semua agama yang ada di Nusantara selalu melibatkan pemimpin/tokoh
komunitas (ulama, tetua adat, sesepuh) dalam upacara pernikahan. Pernikahan
bukan lagi menjadi sebuah kontrak individu antara suami dan isteri tetapi lebih
banyak melibatkan pihak-pihak yang terkait yang sifatnya komunal. Di era
modern, inisiasi maupun pemutusan hubungan pernikahan adalah objek regulasi
kantor pemerintah (KUA-Catatn Sipil) dan Pengadilan (Agama-Negeri).
Dalam
hukum perceraian, konsep Islam tentang ta’liq talaq diubah. Institusi ini
awalnya bernama djanji dalem (janji mulia) yang dikenal dalam kebudayaan Jawa
abad ke-17 ketika Raja Mataram membuat ketentuan diputus bila kedapatan
melakukan tindakan yang selah terhadap isteri (Jan Prins, Adat Law and Muslim
Religious Law in Modern Indonesia, 1951). Tujuan utama institusi ini adalah
fokus untuk menjaga hak-hak tradisional isteri dalam pernikahan, sehingg setiap
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh suami otomatis akan memutus hubungan
pernikahan.
Dua
pendekatan
Dalam
budaya hukum di Indonesia terdapat tiga tradisi normatif hukum; yaitu hukum
adat pribumi, hukum Islam dan hukum sipil Belanda. Hukum adat adalah tradisi
hukum yang iikuti oleh masyarakat pribumi, ia terbentuk berdasarkan nilai-nilai
normatif yang mengakar sejak lama dan dianggap memenuhi rasa keadilan dan
harmoni masyarakat itu. Hukum adat terbentuk berdasarkan sikap hidup masyarakat
komunal dan hukumnya pun bersifat komunal.
Hukum Islam dan hukum sipil Belanda merupakan
dua tradisi hukum yang diimpor dari luar yang masuk Nusantara melalui
penyebaran Islam dan kolonialisasi Belanda, namun hukum adat dan hukum Islam
kadang begitu menyatu dalam satu wilayah hukum, sebagian wilayah hukum adat
dianggap sebagai wilayah hukum Islam (Franz dan Keebet von Badan-Beckmann, Adat
and Islam und Staat- Rechtspluralismus in Indonesia, 2005).Proses asimilasi dan
akulturasi (percampuran) budaya dalam waktu lama dan terus menerus antara
masyarakat pribumi dengan norma dan nilai-nilai asing menyebabkan terjadinya
pluralisme hukum di Indonesia.
Hukum Islam yang berlaku di Indonesia dapat
dibagi menjadi dua bagian ; pertama, hukum Islam berlaku secara yuridis formal,
yakni sebagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia
lainnya dan berada dalam masyarakat (mu’amalah) dan sebagian telah menjadi
hukum positif berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kedua, hukum Islam
berlaku secara normatif, yaitu hukum Islam yang mempunyai sanksi atau padanan
hukum masyarakat muslim mengenai normatif hukum Islam dan bersifat normatif
seperti pelaksanaan ibadah shalat, puasa, zakat, dan haji yang termasuk dalam
kategori ibadah murni (ibadah mahdah).
Kedua hukum di atas (yuridis formal dan
normatif) telah menjadi hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat
Indonesia. Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam di Indonesia telah
mengalir dan berurat-akar di masyarakat. Hal ini menandakan bahwa hukum Islam
memang fleksibel dan elastis dapat menyesuaikan dengan budaya dan lingkungan
setempat.
Fonemena hukum Islam sebagai hukum yang hidup
di masyarakat telah melahirkan satu teori credo atau syahadah di kalangan
pemerhati hukum Islam seperti H.A.R. Gibb yang mengatakan bahwa orang yang
telah menerima Islam sebagai agamanya berarti ia telah menerima otoritas hukum
Islam atas dirinya.
Prof. Rifyal Ka’bah menengarai terdapat
perbedaan dari segi pendekatan tentang penegakan syari’at Islam di Indonesia.
Ada yang cenderung menggunakan pendekatan struktural dan ada pula yang
cenderung menggunakan pendekatan kultural.
Pendekatan struktural menginginkan penegakkan
syari’at tersutruktur dalam sistem hukum Nasioanl dengan hukum subtansial da
hukum acara yang jelas dan penegakan yang jelas melalui lembaga penegakkan
hukum. Bila penegakan syari’at tidak terstruktur, dikhawatirkan tidak efektif
dalam mewujudkan tujuan syari’at, yaitu menjega kepentingan umum dengan
sebaik-baiknya.
Kecenderungan ini mendapat dukungan dalam
bidang politik melalui sejarah Piagam Jakarta, Departemen Agama, MPR, DPR,
pendirian Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah, pendirian bank-bank syari’ah,
Badan Arbitrasi Syari’ah, Dewan Syari’ah Nasional, dan lain-lain.
Undang-undang yang bernafaskan hukum Islam
semakin banyak dilahirkan oleh parlemen. Seperti Undang-undang No. 38 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Haji, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU
Nomor 7 Tahun 1989, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah,
Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Sementara pendekatan kultural menginginkan
penegakan syari’at tumbuh dari pembiasaan masyarakat melalui usaha persuasif
seperti, pendidikan, percontohan yang baik, dan lain-lain sesuai dengan penegertian
agama (ad-din).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...