1.
Pengertian Istishna’
Berasal
dari kata ﺻﻧﻊ (shana’a) yang artinya membuat kemudian ditambah
huruf alif, sin dan ta’ menjadi ﺍ ﺴﺗﺻﻧﻊ (istashna’a) yang
berarti meminta dibuatkan sesuatu.
Istishna’
atau pemesanan secara bahasa artinya: meminta di buatkan. Menurut terminologi
ilmu fiqih artinya: perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam
kepemilikan penjual dengan syarat di buatkan oleh penjual, atau meminta di
buatkan secara khusus sementara bahan bakunya dari pihak penjual.[1]
Contohnya
seseorang pergi ke salah satu tukang, misalnya tukang ledeng, tukang besi atau tukang jahit. Lalu
mengatakan; “Tolong buatkan untuk saya barang anu sejumlah sekian.” Syarat
sahnya perjanjian pemesananan ini adalah bahwa bahan baku harus berasal dari si
tukang. Kalau berasal dari pihak pemesan atau pihak lain, tidak disebut
pemesanan, tetapi menyewa tukang.
Transaksi
Bai’ al-istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat
barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli.
Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli
barang menurut spesifikasi yang telah di sepakati dan menjualnya kepada pembeli
akhir. Kedua belah pihak bersepakat atsa harga serta sistem pembayaran di
lakukan di muka, melalui cicilan atau di tangguhkan sampai suatu waktu pada
masa yang akan datang.
Menurut Ulama fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus
dari bai’ as-salam. Biasanya jenis ini di pergunakan di bidang manufaktur
dan konstruksi. Dengan demikian ketentuan bai’ al-istishna, mengikuti ketentuan
dan aturan bai’ as-salam.[2]
2. Dasar
Hukum Istishna’
Dasar
Hukum transaksibai’ as-salam terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
a.
Al-Qur’an
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ
بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang tidak di tentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”(al-Baqarah:282)[3]
Dalam
kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut tentang
transaksi bai’ as-salam. Hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau, “saya
bersaksi bahwa salaf (salam) yang di jamin untuk jangka waktu tertentu telah di
halalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan di izinkan-Nya.” Ia lalu membaca ayat
tersebut diatas.
b.
Al-hadits
ﻣﻥ ﺍﺳﻟﻑ ﻓﻲ ﺷﻲ ﻓﻓﻲ ﻛﯿﻝ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ ﻭ ﻭ ﺯ ﻦ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ ﺍ ﻟﻰ ﺍ ﺟﻞ
ﻣﻌﻟﻭ ﻡ
“Barangsiapa
yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas
dan timbangan yang jelas pula untuk jangka waktu yang di ketahui”
Dari
Suhaib r.a bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Tiga hal
yang di dalamnya terdapat keberkahan : jual beli secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan
untuk di jual.”(HR Ibnu Majah)[4]
Mengingat
Bai’ Al-Istishna merupakan lanjutan dari Bai’ as-salam maka secara umum dasar
hukum yang berlaku pada Bai’ as-salam juga berlaku pada Bai’
al-Istishna’.Sungguhpun demikian para ulama membahas lebih lanjut “keabsahan”
Bai’ al-Istishna’ dengan penjelasan berikut.
Menurut
Mazhab Hanafi, bai’ al-istishna’termasuk akad yang di larang karena
bertentangan dengan semangat bai’secara qiyas. Mereka mendasarkan kepada
argumentasi bahwa pokok kontrak penjual harus ada dan dimiliki oleh penjual,
Sedangkan dalam Istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak di miliki
penjual. Meskipun demikian, Mazhab Hanafi Menyetujui kontrak Istishna’ atas
dasar Istihsan karena alasan-alasan berikut ini.
1.
Masyarakat telah mempraktekkan bai’ al-Istishna’ secara luas dan terus menerus
tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan bai’ al-istishna
sebagai kasus ijma’ atau konsensus umum.
2. Di
dalam Syariah di mungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan
ijma’ ulama,
3.
keberadaan bai’ al-istishna’ di dasarkan atas kebutuhan masyarakat. Banyak
orang seringkali memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar sehingga mereka
cenderung untuk melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang untuk
mereka.
4. Bai’
al-istishna’ sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak
bertentangan dengan nash atau aturan syariah.
Sebagian
Fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna’ adalah sah atas dasar
qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual
akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga
terjadinya kemungkinan perselisihan atas jenis dan kualitas suatu barang dapat
di minimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan
material pembuatan barang tersebut.[5]
3. Rukun
dan Syarat Istishna
Pelaksanaan
bai’ al-istishna’ harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini.
1.
muslam atau pembeli
2.
muslam ilaih atau penjual
3.
modal atau uang
4.
muslam fiihi
5.
sighat atau ucapan
4. Syarat
Bai’ al-istishna’
Di
samping segenap rukun harus terpenuhi, bai’ al-istishna’ juga mengharuskan
tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Di bawah ini akan di
uraikan di antara dua rukun terpenting, yaitu modal dan barang.
a. Modal
Transaksi Bai al-istishna’
1.
Modal Harus di ketahui.
2.
Penerimaan pembayaran salam.
b.
Al-muslam fiihi (Barang)
1.
Harus spesifik dan dapat di akui sebagai utang
2.
Harus bisa di identifikasi secara jelas
3.
Penyerahan barang di lakukan di kemudian hari
4.
Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus
di tunda pada suatu waktu kemudian, tetapi mazhab syafi’i membolehkan
penyerahan segera.
5.
Boleh menentukan tanggal waktu di masa yang akan
datang untuk penyrahan barang.
6.
Tempat penyerahan.
7.
Penggantian muslam fiihi dengan barang lain.
6.
Istishna’ Pararel
Dalam
sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat
menggunakan subkontrakator untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan
demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi
kewajibannya kepada kontrak pertama. Kontrak baru ini di kenal sebagai
istishna’ pararel. Istishna’ pararel dapat di lakukan dengan syarat:(a) akad
kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama antara bank dan
pembeli akhir dan (b) akad kedua di lakukan setelah akad pertama sah.[6]
Ada
beberapa konsekuensi saat bank Islam menggunakan kontrak pararel. Diantaranya
sebagai berikut.
1.
Bank Islam sebagai pembuat kontrak pertama tetap
merupakan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksaaan
kewajibannya. Istishna’ pararel atau subkontrak untuk sementara harus di anggap
tidak ada. Dengan demikian sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap
bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian atau pelanggaran kontrak
yang berasal dari kontrak pararel.
2.
Penerima subkontrak pembuatan pada istishna’ pararel
bertanggung jawab terhadap Bank Islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai
hubungan hukum secara langsung dengan nasabah pada kontrak pertama akad. Bai’
al-istishna’ kedua merupakan kontrak pararel, tetapi bukan merupakan bagian
atau syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian kedua kontraktersebut tidak
memunyai kaitan hukum samasekali.
3.
Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat
atau mengadakan barang, bertanggungjawab kepada nasabah atas pelaksanaan
subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya. Kewjiban inilah yang
membenarkankeabsahan istishna’ pararel, juga menjadi dasar bahwa bank boleh
memungut keuntungan kalau ada.[7]
7.
Perbedaan antara Salam dan Istishna’
Menurut
jumhur fuqaha, jual beli istisna’ itu sama dengan salam, yakni jual beli
sesuatu yang belum ada pada saat akad berlangsung (bay’ al-ma’dum). Menurut
fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan penting antara salam dengan istisna’, yaitu
:
1.
Cara pembayaran dalam salam harus di lakukan pada saat
akad berlangsung, sedangkan dalam istisna’ dapat di lakukan pada saat akad
berlangsung, bisa di angsur atau bisa di kemudian hari.
2.
salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak
semula, sedangkan istisna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga
tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak bertanggungjawab.
Tim
Pengembangan Perbankan Syariah Insitut Bankir Indonesia mendefinisikan istisna’
sebagai akad antara pemesan dengan pembuat barang untuk suatu pekerjaan
tertentu dalam tanggungan atau jual beli suatu barang yang baru akan di buat oleh
pembuat barang. Dalam istisna’, bahan baku dan pekerjaan penggarapannya menjadi
kewajiban pembuat barang. Jika bahan baku di sediakan oleh pemesan, maka akad
tersebut berubah menjadi ijarah.[8]
8.
Aplikasi Istishna’ di Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
Untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia selalu berinteraksi dengan sesamanya untuk
mengadakan berbagai transaksi ekonomi, salah satunya adalah jual beli yang
melibatkan dua pelaku, yaitu penjual dan pembeli. Biasanya penjual adalah
produsen , sedangkan pembeli adalah konsumen konsumen. Pada kenyataannya,
konsumen kadang memerlukan barang yang belum di hasilkan sehingga konsumen
melakukan transaksi jual beli dengan produsen dengan cara pesanan. Di dalam
perbankan syariah, jual beli Istishna’ lazim di tetapkan pada bidang konstruksi
dan manufaktur.
Contoh
Kasus
CV.
Berkah selalu yang bergerak dalam bidang pembuatan dan penjualan Buku islam
memperoleh order untuk buku islam meproduksi kepada anak sekolah SMU senilai
RP. 60.000.000,-.dan mengajukan permodalan kepada Bank Syariah Plaju. Harga
satu buku yang di ajukan adalah Rp.85.000,- dan pembayarannya di angsur selama
tiga bulan. Harga per buku di pasaran sekitar rp. 90.000,-. Dalam hal ini Bank
Syariah Plaju tidak tahu berapa biaya pokok produksi. CV.Berkah selalu hanya
memberikan keuntungan Rp. 5.000,- persatuan atau keuntungan keseluruhan adalah
RP. 3.529.412,-yang diperoleh dari hitungan Rp. 60.000.000/Rp. 85.000xRp. 5.000
= rp. 3.529.412.
Bank
Syariah Plaju dapat menawar harga yang diajukan oleh CV. Berkah selalu dengan
harga yang lebuh murah, sehingga dapat di jual kepada masyarakat dengan harga
yang lebih murah pula. Katakanlah misalnya Bank Syariah Plaju menawar harga Rp.
86.000,-per pasang, sehingga masih untung Rp. 4.000,- persatuan dengan
keuntungan keseluruhan adalah:
Rp.
60.000.000/Rp. 86.000xRp. 4.000 = Rp. 2.790.697
DAFTAR PUSTAKA
Kasmir.
2002. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: Rajawali Pers.
Sutedi,
Adrian. 2009. Perbankan Syariah, Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. Bogor:
Ghalia Indonesia.
Syafi’i Antonio,
Muhammad. 2001. Bank Syariah, Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani
Marven.C.R
Kelas M
[2] Ulama fuqaha
[3] Qs.Al-Baqarah
[4] HR Ibnu Majah
[5] Kumpulan Madzab islam
[6] Buku-Buku jual beli islam
[7] Wikipedia
[8] Buku fiqih muamalah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...