Oleh: Abd Misno
Islam sangat
memperhatikan permasalahan tenaga kerja serta kontrak kerja yang mereka
sepakati, termasuk di dalamnya hak dan kewajiban yang timbul dan kontrak kerja
tersebut. Allah Ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَوْفُوا۟
بِٱلْعُقُودِ
Wahai
orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. QS. Al-Maidah [5]: 1.
Kontrak
kerja dalam Islam adalah akad antara dua pihak atau lebih yang berisi
kesepakatan untuk melakukan kerja dengan upah yang telah disepakati. Pihak
pekerja akan melaksanakan pekerjaan yang telah ditetapkan, sementara pihak
pemilik modal akan memberikan imbalan sesuai dengan kesepakatan. Akad yang
biasa digunakan dalam kontrak ini adalah akad ijarah (jual besi jasa
atau sewa-menyewa). (Suparnyo dan Abdurrahman, 2018).
1.
Pengertian
Ijarah
Ijarah
secara bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu al-ajru yang bermakna al-iwadh
(ganti). Kata ijarah juga bermakna upah, sewa, jasa atau imbalan. Secara
istilah ijarah adalah “Suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan
jalan penggantian”. Manfaat kadangkala berupa manfaat barang, misalnya manfaat
rumah yang ditempati, manfaat mobil untuk dinaiki juga manfaat dari tenaga dan
keahlian seseorang. Merujuk pada pengertian ini maka ijarah adalah pemilikan
jasa dari seorang aajir atau mu’ajjir (orang yang dikontrak
tenaganya) oleh musta’jir (orang yang mengontrak tenaga). Sesuatu yang
diakadkan untuk diambil manfaatnya disebut ma’jur (sewaan). Sedangkan
jasa yang diberikan sebagai imbalan manfaat disebut ajran atau Ujrah (upah).
(Anto, 2003).
Beberapa
ulama mendefinisikan akad ini dengan perspektif masing-masing: Pertama, Ulama
Mahzab Hanafi mendefinisikan: Transaksi terhadap suatu manfaat dengan suatu
imbalan. Kedua, Ulama Mahzab Syafi‟i mendefinisikan: Transaksi terhadap manfaat
yang dituju, tertentu bersifat bisa dimanfaatkan, dengan suatu imbalan
tertentu. Ketiga, Ulama Malikiyah dan Hanbaliyah mendefinisikan “Pemilikan
manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan”.
Berdasarkan
beberapa definisi tersebut, maka akad al-ijarah adalah akad jual beli
jasa antara satu pihak dengan pihak lainnya yang memunculkan hak dan kewajiban
bagi masing-masing pihak. Hak pekerja adalah mendapatkan upah (ujrah)
dari pekerjaannya, sementara kewajibannya adalah bekerja sesuai dengan
kesepakatan. Kewajiban pemberi kerja adalah memberikan upah kepada pekerja
sedangkan haknya adalah memperoleh jasa kerja dari pekerja tersebut (Huda, 2009).
2.
Dasar Hukum
Ijarah
Dasar
hukum yang menjadi landasan disyariatkannya ijarah adalah firman Allah Ta’ala:
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ
قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا
بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍۢ دَرَجَٰتٍۢ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًۭا
سُخْرِيًّۭا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌۭ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
Apakah
mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian
mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat
mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan. QS. Az-Zukhruf: 32.
Selain
itu juga firman Allah Ta’ala:
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ
…kemudian
jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka
upahnya; QS. Ath-Thalaq: 6.
Selanjutnya
adalah hadits dari Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, beliau
bersabda:
أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ
يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikanlah
pekerja upahnya sebelum keringatnya kering”. HR. Ibnu Majah.
Riwayat
ini secara jelas memberikan pemahaman kepada kita mengenai akad ijarah yang
merupakan akad jual beli manfaat, khususnya dalam bekerja di mana setiap
pemberi kerja harus segera memberikan upah (ujrah) kepada pekerja sesuai
dengan kesepakatan bersama.
Adapun ijma’
(kesepakatan) para ulama adalah sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq yang
berpendapat “Ijarah disyari’atkan telah menjadi kesepakatan umat dan tak
seseorang pun ulama yang membantah kesepakatan itu”. Ijma’ ini
membolehkan akad ijarah atau kontrak kerja, seperti pendapat mahzab Hanafi dan
Maliki yang berpendapat bahwa boleh melakukan kontrak kerja dengan syarat orang
yang melakukannya sudah baligh dan adanya kerelaan untuk melakukan akad ijarah.
Hal ini disepakati pula oleh mahzab Syafi‟i dan Hambali serta yang lainnya.
3.
Rukun dan
Syarat Ijarah
Akad
Ijarah dianggap sah ketika terpenuh rukun dan syaratnya, rukun Ijarah adalah
sebagai berikut: Pertama, Orang yang
berakad. Kedua, Sewa/ imbalan. Ketiga, Manfaat dan Kempat, Sighat (ijab
dan kabul). Sedangkan menurut madhzab Hanafi bahwa rukun dari ijarah hanya satu
yaitu sighat atau ijab Kabul, sedangkan selainnya adalah syarat saja.
Adapun
syarat ijarah adalah: Pertama, Syarat bagi kedua orang yang berakad,
adalah telah baligh dan berakal (Mahzab Syafi‟i dan Hanbali). Kedua, Pihak-pihak
yang melakukan akad menyatakan, kerelaannya untuk melakukan akad ijarah itu
(QS. An Nisaa: 29). Ketiga, Manfaat yang menjadi obyek ijarah harus diketahui
secara jelas, sehingga tidak terjadi perselisihan dibelakang hari. Keempat, Obyek
ijarah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak ada
cacatnya. Kelima, Obyek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara.
Apabila
rukun dan syarat dari ijarah sudah terpenuhi maka akad tersebut sah, namun bila
tidak terpenuhi maka menjadi batal akad dan tidak berlaku lagi akad tersebut (Suparnyo
dan Abdurrahman, 2018).
4.
Akhir akad
Ijarah
Akad
ijarah berakhir apabila: pertama, Obyek hilang atau musnah. Kedua, Habis
tenggang waktu yang disepakati. Ketiga, salah seorang meninggal dunia, karena
manfaat tidak dapat diwariskan (Hanafi). Jumhur berpendapat akad tidak berakhir
(batal) karena manfaat dapat diwariskan. Keempat, Ada uzur seperti rumah disita
(Hanafi). Sementara jumhur berpendapat uzur yang membatalkan ijarah itu apabila
obyeknya mengandung cacat atau manfaatnya hilang. Akad ijarah yang telah
disyariatkan oleh Islam memiliki hikmah diantaranya adalah karena manusia
menghajatkannya. Mereka membutuhkan rumah untuk tempat tinggal, membutuhkan
binatang untuk kendaraan, membutuhkan peralatan untuk digunakan dalam kebutuhan
hidup mereka membutuhkan tanah untuk bercocok tanam.