Oleh: Wahyudin Dharmalaksana
Prolog: Misteri Kartosoewirjo
Kartosewirjo
dinyatakan bersalah, dan divonis mati oleh pengadilan Mahkamah Militer. Tim Oditur
menawarkan keinginan kepada terpidana sebelum pelaksanaan eksekusi mati. Kartosoewirjo
menjawab “saya ingin melihat Sang Pencipta, untuk melihat hasil kerja”.[1]
Setidaknya ada tiga
kejahatan politik yang disangkakan pemerintah kepada Kartosoewirjo. Pertama,
memimpin dan mengatur penyerangan dengan maksud hendak merobohkan pemerintahan
yang sah. Kedua, memimpin dan mengatur pemberontakan melawan kekuasaan
yang telah berdiri dengan sah. Ketiga, memerintahkan melakukan makar
pembunuhan terhadap presiden secara berturut-turut. Dalam proses pengadilan
itu, Kartosoewirjo membantah tuduhan kedua dan ketiga. Ia mengatakan bahwa
tuduhan upaya membunuh Presiden Soekarno hanyalah isapan jempol belaka. Sebuah
rekayasa yang disusun untuk menjatuhkan hukuman padanya. Namun, upaya pembelaan
Kartosoewirjo kandas.[2]
Mohamad Iskandar
menulis, Kartosoewirjo mengajukan grasi kepada Presiden Soekarno. Namun
permohonan itu ditolak oleh presiden, sehingga putusan itu pun ditetapkan untuk
dilaksanakan.[3]
Sarjono putra kandung Kartosoewirjo membantah dan menyatakan bahwa bapak tidak
pernah mengajukan grasi. Soekarno mengungkapkan, menandatangani hukuman mati,
misalnya, bukanlah satu pekerjaan yang memberi kesenangan kepadaku. Sungguhpun
demikian, seorang pemimpin harus bertindak tanpa memikirkan betapapun pahit
kenyataan yang dihadapi.[4]
Soekarno, dalam
wawancara dengan Cindy Adams, menyebutkan, di tahun 1918 ia (Kartosoewirjo)
adalah seorang kawanku yang baik. Kami bekerja bahu-membahu bersama Pak Cokro (HOS.
Tjokroaminoto) demi kejayaan tanah air. Di tahun 20-an di Bandung kami tinggal
bersama, makan bersama dan mimpi bersama-sama. Tetapi ketika aku bergerak
dengan landasan kebangsaan, dia berjuang semata-mata dengan asas Islam.[5]
Kartosoewirjo
memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) yang kemudian dikenal
dengan al-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam (DI) pada 7 Agustus 1949.
Sebelumnya, Qanun Asasi juga berhasil dibuat dan diresmikan pada 27 Agustus
1948.[6]
Sesaat setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada 19 Desember 1948,
Kartosoewirjo langsung mengumumkan “Jihad fi Sabilillah” terhadap Belanda
dengan segala kekuatan pasukan Tentara Islam Indonesia (TII). Peristiwa proklamasi
NII kemudian diterjemahkan sebagai sebuah bentuk gerakan pemberontakan
pemisahan diri dari RI. Pemerintah, dalam hal ini TNI, memandang bahwa berbagai
pemberontakan DI/TII, yang dimotori Kartosoewirjo selaku imam, sesuatu yang
telah melenceng dari kerangka pergerakan nasional.
Beberapa kajian
akademik tentang gerakan DI/TII dan NII bermunculan. Jakcson, 1990, berpendapat
dalam proses rekrutmen kekuatannya, DI/NII bertumpu atau memanfaatkan pada
struktur patrimonial atau tepatnya bapakisme yang hidup di kalangan masyarakat
Indonesia, khususnya Jawa Barat. Van Dijk, 1983, melihat perubahan struktur
yang terjadi pasca proklamasi kemerdekaan yang mendorong munculnya DI/TII.
Dengel, 1995, berpendapat bahwa penyebab terjadinya pemberontakan DI/NII sangat
kompleks, tidak dapat dijelaskan dengan satu faktor saja. Selebihnya,
Kartosoewirjo dan DI/TII-nya masih merupakan subjek yang misterius.
Sosok Sang Imam: Pendidikan dan Keislaman
Nama lengkapnya
adalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Lahir pada selasa kliwon 7 Februari
1905 di sebuah kota perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, Cepu. Sebuah
kota kecil yang terletak antara Blora dan Bojonegoro.[7]
Ayahnya bernama Kartosoewirjo, bekerja sebagai mantri pada kantor yang bertugas
melakukan koordinasi penjualan candu.[8]
Karena posisi penting ayahnya ini, Kartosoewirjo termasuk salah satu anak
negeri yang berkesempatan mengenyam pendidikan modern kolonial Belanda.
Usia 6 tahun Kartosoewirjo
masuk Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK), sekolah bumiputera kelas dua
di Pamotan, Rembang, Jawa Tengah. Usia 10 tahun ia melanjutkan Hollandsch
Inlandsch School (HIS), sekolah bumiputera bahasa Belanda di Rembang. Tahun
1919, saat orang tuanya pindah ke Bojonegoro, dia masuk ke Europeeche Lagere
School (ELS), sekolah dasar Eropa. Kemudian di usia 18 tahun ia menjadi
mahasiswa Nenderlandsch Indische Artsen School (NIAS) atau sekolah dokter
Hindia Belanda di Surabaya tahun 1923.
Pada masa-masa
kuliah Kartosoewirjo banyak terlibat dalam aktivitas organisasi dan pergerakan
nasional. Tahun 1923 bergabung dengan Jong Java dan tahun 1925 aktif di Jong
Islamaiten Bond. Memang menjelang tahun 1910 suasana pergerakan diramaikan oleh
munculnya organisasi-organisasi baru dipelopori kalangan terpelajar.
Kartosoewirjo dikeluarkan dari sekolah NIAS tahun 1927 karena dianggap terlibat
gerakan politik termasuk memiliki buku-buku sosialisme dan komunisme yang
didapat dari pamannya Mas Marco Kartodikromo.[9]
Kemudian ia tinggal di rumah Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, yang ketika
itu menjadi presiden Persatuan Serikat Islam Hindia Timur (kemudian menjadi
Partai Serikat Islam Indonesia, PSII). Sebuah partai politik yang pada tahun 1923
mendengungkan “Politik Hijrah”, yakni sikap politik non-kompromi dengan
Belanda.[10]
Karena bakat dan ambisinya, Kartosoewirjo diangkat menjadi sekretaris pribadi
HOS. Tjokroaminoto pada tahun 1927 hingga tahun 1929. HOS. Tjokroaminoto adalah
guru politik dan mentor Islamisme Kartosoewirjo.
Tugas sebagai
sekretaris pribadi HOS. Tjokroaminoto berakhir tahun 1929 karena sakit dan
pindah ke tempat mertuanya di Malangbong, Garut Jawa Barat. Istri Kartosoewirjo
adalah Dewi Siti Kalsum (Ibu Wiwiek) anak tokoh PSII Malangbong, Ardiwisastra.
Mereka dikaruniai 12 anak.
Kartosoewirjo belajar
agama secara intensif pada Notodihardjo selama ia tinggal di Bojonegoro.
Notodihardjo merupakan tokoh Islam modern yang dekat dengan pemikiran
Muhammadiyah. Tak aneh bila pemikiran modern banyak mewarnai pemikiran
Kartosoewirjo. Ia juga belajar Islam dari buku-buku asing, dan disebutkan
beberapa sumber bahwa ia juga mendalami Al-Qur’an dan Hadits dari kitab
berbahasa Belanda. Kartosoewirjo juga aktif belajar pada banyak ulama dari Jawa
Barat, seperti Yunis Anis (Bandung), Joesoef Taudjiri (Tasikmalaya), dan
Mustafa Kamil (Tasikmalaya). Namun, ia tak pernah belajar Islam ke luar negeri
bahkan tak sempat naik haji.[11]
Pengetahuan
keislaman Kartosoewirjo lebih banyak diperoleh secara otodidak dan melalui
pergaulannya dengan kaum pergerakan Islam, khususnya HOS. Tjokroaminoto dengan
SI-nya. Selama aktivitas dalam organisasi inilah ia berkenalan dengan antara
lain Joesoef Taudjiri yang sering disebut-sebut sebagai ulama yang berpengaruh
pada sikap religius Kartosoewirjo. Bahkan, ada pula yang menyebutkan bahwa
kiyai itulah sebenarnya yang harus bertanggung jawab atas kegemaran
Kartosoewirjo pada mistik, yang tercermin antara lain dari dua pusakanya yang
selalu dibawa-bawanya, yaitu keris Ki Dongkol dan Pedang Ki Rompang. Pendapat ini
mungkin saja benar, namun mungkin saja tidak tepat jika dikaitkan pada
data-data faktual yang mulai terungkap yang menunjukan sepak terjang kiyai itu
sama sekali tidak menunjukan sebagai sufi, melainkan sebagai Islam reformis,
yang disebut oleh Gobee (Adviseur voor Inlandse Zaken) sebagai “kiyai
nasionalis”.[12]
Sejumlah fakta
menunjukan bahwa untuk mempengaruhi agar masyarakat Jawa Barat mengikuti
tindakannya, Kartosoewirjo tidak semata-mata memanfaatkan budaya Islam semata,
melainkan juga budaya lainnya yang hidup di masyarakat, termasuk budaya
sinkretisme.[13]
Kendati Kartosoewirjo dikenal sebagai pemimpin Islam, namun sesungguhnya ia
tidak terlalu Islami. Ia berasal dari keluarga priyai feodal yang cenderung
abangan.[14]
[1] Demikian
ungkap Sarjono, putra bungsu Kartosoewirjo, dalam acara Diskusi dan Bedah Buku
“Hari Terakhir Kartosoewirjo: 81 Foto Eksekusi Imam DI/TII” di Gedung Indonesia
Menggugat, Bandung 11 Nopember 2012.
[2] Kartosoewirjo didakwa melanggar pasal-pasal berlapis yaitu pasal 107
ayat 2, 108 ayat 2 dan junto pasal 55 KUHP, junto pasal 2 PENPRES No. 5 tahun
1959 yang dimuat dalam Lembaran Negara No. 80 tahun 1959. Fadli Zon, Hari
Terakhir Kartosoewirjo: 81 Foto Eksekusi Imam DI/TII, Cet. II (Jakarta:
Fadli Zon Library, 2012), h. 13.
[3] Mohammad
Iskandar, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Penghujung Perjalanan,
pengantar dalam Fadli Zon, h. 24.
[4] Cindy
Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, edisi revisi (Jakarta:
Media Presindo, 2012), h. 328.
[6] SESDAM
VI/SLW, Siliwangi dari Masa ke Masa (Bandung: Fakta Mahyuma, 1968), h.
508.
[7] Pinardi, Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo (Jakarta: PT Badan Penerbit Aryaguna, 1964), h. 20.
Cornelis van Dijk, Darul Islam (Jakarta: Grafitipers, 1983), h. 11. Ia
memiliki kakak laki-laki yang aktif memimpin Serikat Buruh Kereta Api tahun
20-an, dan seorang kakak perempuan di Surakarta yang pada tahun 50-an hidup
dengan keguyuban.
[8] Kartosoewirjo bukanlah orang yang fanatik
atau anti-Islam, melainkan warga biasa saja, yang menyerahkan kehidupan
anak-anaknya pada perkembangan zaman yang ada. Profesi sebagai pedagang candu
diangkat menjadi pegawai oleh pemerintah kolonial Belanda di bidang distribusi
perdagangan candu yang dikontrol oleh pemerintah. Fadli Zon, Op. Cit., h.
14.
[9] Ibid.,
h. 9.
[10] Tjokroaminoto
merupakan kiblat kelompok pergerakan nasional. Sikap dan pemikirannya mampu
membangkitkan semangat rakyat Indonesia untuk bangkit dan bergerak. Julukan
“Raja Jawa Tak Bermahkota” pun dilekatkan Belanda atas dirinya. Sebagai
komitmen untuk mempertahankan politik hijrah, tahun 1927 HOS. Tjokroaminoto
mengeluarkan Muhammadiyah dari PSII yang kurang setuju terhadap sikap politik
hijrah.
[11] Fadli Zon, Op.
Cit., h. 10.
[12] Mohammad
Iskandar, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Penghujung Perjalanan,
pengantar dalam Fadli Zon, Op. Cit., h. 16.
[14] TEMPO edisi
16-22 Agustus 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...