Desa Kanekes adalah
salah satu desa di Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Propinsi Banten, seluas
5.101,85 hektar, sebagian besar tanahnya merupakan dataran tinggi yang
bergunung dengan lembah-lembah yang merupakan daerah aliran sungai dan
hulu-hulu sungai yang mengalir ke sebelah utara. Bagian tengah dan selatan desa
merupakan hutan lindung atau Orang Baduy sering menyebutnya hutan tutupan.
Pada tahun 1888 Orang
Baduy berjumlah 291 orang yang tinggal di 10 kampung, sedangkan tahun 1899 meningkat
menjadi 1.407 orang yang tinggal di 26 kampung (Jacobs, Meijer, 1891;
Pennings,1902), tahun 1908 berjumlah 1.547 orang (Tricht, 1929), kemudian tahun
1966 meningkat lagi menjadi 3.935 orang. Tahun 1971 berjumlah 4.078 orang,
tahun 1983 penduduk Desa Kanekes menjadi 4.574 orang, tahun 1995berjumlah 5.672
orang dan tahun 1999 berjumlah 7.041 orang.
Hal itu berarti, telah
terjadi peningkatan penduduk hampir 20 kali lipat. Keadaan ini menuntut
penyediaan lahan untuk permukiman semakin bertambah, dari pelbagai catatan
dapat diketahui pertambahan kampung, yaitu tahun 1891, masih terdiri atas 9
kampung (3 tangtu, 1 panamping, 5 dangka), 38 tahun kemudian, tepatnya tahun
1929, berjumlah menjadi 17 kampung (3:7:7), tahun 1952 bertambah menjadi 31
kampung (3:21:7), pada tahun 1975 menjadi 36 kampung (3:30:3), tahun 1986
terjadi penambahan menjadi 43 kampung (3:37:3), tahun 1996 menjadi 53 kampung
(3:47:3), dan tahun 2000 tercatat menjadi 56 kampung (3:50:3).
Pertambahan jumlah
kampung di Desa kanekes itu menunjukkan lahan garapan mereka semakin didesak
oleh keperluan lahan untuk penyediaan permukiman. Padahal dalam strategi mereka
untuk mengatasi keadaan serupa itu dikenal suatu cara penyediaan lahan
permukiman (kampung) yang boleh berada di luar wilayah Desa Kanekes, sehingga
lahan garapan berhuma mereka tidak berkurang. Strategi penyediaan permukiman
seperti itu, dikenal dalam tatanan kehidupan mereka sebagai kampung dangka yang
menurut catatan justru jumlah dangka pada masa kini semakin berkurang. Hal itu,
akibat pada masa-masa terakhir ini dangka ditarik kembali ke wilayah Desa
Kanekes atas suatu soal yang dihadapi mereka dengan penduduk sekitarnya.
Akibat yang paling
parah bagi Desa Kanekes, penduduk dan lahan untuk permukiman menjadi semakin
bertambah. Tentunya, keadaan itu pun mengakibatkan dalam sistem perladangan
mereka yang dikenal sebagai slash and burn lajunya semakin dipercepat yang
menimbulkan tingkat kesuburan tanah semakin berkurang dari tahun ke tahun.
Sebutan dan asal Orang
Baduy, Orang Baduy hanya mengenal bahasa lisan. Oleh karena itu, asal-usul
mereka dicatat dalam ingatan dari generasi ke generasi dalam cerita tentang
karuhun mereka. Bagi Orang Baduy, yang melihat tentang catatan waktu ialah
segala peristiwa dalam kehidupan masyarakatnya, proses waktu merupakan
perjalanan riwayat dunia yang setara dengan keadaan alam semesta. Demikian juga
halnya mengenai asal dan sebutan Orang Baduy sebaiknya dilihat dari segi apakah
anggapan mereka tentang dirinya sendiri, yaitu berbagai kaitan karuhun dengan
alam semesta menurut perputaran waktu dan masa yang menempatkan mereka pada
posisinya tertentu seperti digariskan pada awal eksistensinya.
Sebutan terhadap orang Baduy dapat dibagi pada dua jenis, yaitu sebutan yang diberikan oleh orang luar masyarakatnya dan mereka menyebut dirinya sendiri. Sebutan mana yang lebih dikenal akan tergantung pula pada kekerapan istilah itu menurut kebiasaan dan keinginan para pemakai istilah. Dalam menelaah penggunaan sebutan untuk orang Baduy, adalah menarik ditinjau bagaimana sebutan itu digunakan dalam jangka waktu yang panjang selama beberapa ratus tahun. Dengan demikian, nama Baduy kini seperti telah digunakan sebagai sebutan untuk kelompok masyarakat yang tinggal di Desa Kanekes, tampaknya bermula setelah agama Islam masuk ke wilayah Banten utara pada Abad ke-16.
Sebutan terhadap orang Baduy dapat dibagi pada dua jenis, yaitu sebutan yang diberikan oleh orang luar masyarakatnya dan mereka menyebut dirinya sendiri. Sebutan mana yang lebih dikenal akan tergantung pula pada kekerapan istilah itu menurut kebiasaan dan keinginan para pemakai istilah. Dalam menelaah penggunaan sebutan untuk orang Baduy, adalah menarik ditinjau bagaimana sebutan itu digunakan dalam jangka waktu yang panjang selama beberapa ratus tahun. Dengan demikian, nama Baduy kini seperti telah digunakan sebagai sebutan untuk kelompok masyarakat yang tinggal di Desa Kanekes, tampaknya bermula setelah agama Islam masuk ke wilayah Banten utara pada Abad ke-16.
Kegalauan sebutan
terhadap penduduk Kanekes baik oleh warga masyarakat bukan Baduy maupun
penulis-penulis asing pada permulaan Abad ke-18 dan Abad ke-19 memperlihatkan
perkiraan yang mempertimbangkan semua aspek dan mencoba mencari jawabannya,
termasuk aspek linguistik (misalnya, Jacobs dan Meijer, 1891; Pennings, 1902).
Pembakuan sebutan Badawi, Badoeien, Badoei dan Bedoeis oleh orang-orang Belanda
seringkali ditunjang pula oleh laporan-laporan resmi para pejabat pemerintahan
kolonial. Karena itu, ada pula kemungkinan bahwa kata Badoeis, Bedoeis
dikaitkan dengan kata badwi kelompok masyarakat Arab yang hidup secara nomaden
di gurun pasir. Selain kata itu kadangkala dikaitkan dengan kata Buddha, buda
yang berarti tidak beragama Islam.
Pleyte (1909),
memberikan alasan tentang sebutan Baduy itu dikaitkan dengan unsur kebudayaan
mereka sendiri. Ia mengemukakan bahwa kata Baduy tidak ada konotasi sebagai
kata hinaan dan juga tidak ada kaitannya dengan kata Badwi, tetapi semata-mata
nama Baduy yang berasal dari kata Cibaduy, nama sungai di sebelah utara Desa
Kanekes. Itu artinya, untuk menyebut diri sendiri memang merupakan salah satu
kebiasaan masyarakat Sunda menyebut nama kampung atau tempat bermukim, tempat
dilahirkan atau tempat yang dapat memberikan arti penting dalam kehidupannya.
Sehubungan dengan itu, tidaklah mengherankan apabila sebutan urang Kanekes
dipakai pula oleh mereka, sebagai sebutan yang menekankan hakekat dan nilai
budayanya.
Selain, sebutan untuk
orang Baduy yang merupakan masalah oleh semua penulis, masalah asal juga
menjadi bahan kajian yang tidak hentinya-hentinya (Jacobs dan Meijer, 1891; van
Trich, 1929; Geisi, 1952). Bahkan penulis-penulis setelah kemerdekaan Indonesia
seringkali mengaitkan asal-usul mereka dengan keruntuhan kerajaan Sunda-Hindu
terakhir di Jawa Barat, yaitu kerajaan Pajajaran pada Abad ke-15 (misalnya,
Djunaedi dkk., 1985; dan Danasasmita, 1986).
Orang Baduy menurut
pandangan yang dikemukakan penulis itu, adalah keturunan dari pelarian keraton
Pajajaran yang melarikan diri ke sebelah selatan Banten dan terdesak oleh
serangan Sultan Hasanuddin yang menyebarkan agama Islam di kawasan itu. Dari
penulis asing tampaknya ada kecenderungan persamaan pandangan dalam hal asal
orang Baduy, mereka beranggapan bahwa asal orang Baduy bukan dari Banten utara
ataupun pelarian dari kerajaan Pajajaran tetapi mereka adalah orang-orang
setempat yang sudah berada di sana sejak lama sebelum pengaruh Islam tiba dan
mengubah kepercayaan setempat.
Sumber:
https://sites.google.com/site/nimusinstitut/masyarakat-adat-baduy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...