Oleh: Abu Fikri
Diakui atau
tidak saat ini terjadi krisis moral yang nyata dan mengkhawatirkan dalam
masyarakat dan melibatkan harta milik kita yang paling berharga, yaitu
anak-anak. Krisis itu antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, bahkan
seks bebas, maraknya angka kekerasan antar anak-anak dan juga remaja, kejahatan
terhadap teman, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi,
perkosaan, perampasan dan pengrusakan milik orang lain sudah menjadi masalah
sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Perilaku remaja
kita juga diwarnai dengan gemar menyontek, kebiasaan bullying di sekolah
dan tawuran antar pelajar makin merebak. Begitu pula perilaku orang dewasa,
setali tiga uang, senang dengan konflik dan kekerasan, tindakan main hakim
sendiri, perselingkuhan, bahkan perilaku korupsi di kalangan pejabat semakin
merajalela.
Krisis tersebut
tidak dapat dianggap sebagai suatu persoalan sederhana karena tindakan ini
telah menjurus kepada tindakan kriminal dan makin menjauhkan kehidupan
masyarakat yang beradab, berkarakter, dan berkhlak mulia. Menurut tinjauan ESQ, terdapat tujuh krisis moral yang
melanda di tengah-tengah masyarakat, antara lain; krisis kejujuran, krisis
tanggungjawab, tidak visioner, krisis disiplin, krisis kebersamaan dan krisis
keadilan, serta dekadensi moral. Kondisi krisis dan dekadensi moral ini
menandakan bahwa seluruh pengetahuan agama dan moral yang didapatkan di bangku
sekolah, seakan tidak berdampak terhadap perubahan perilaku. Bahkan yang
terlihat begitu banyaknya manusia Indonesia yang tidak konsisten, yang
dibicarakan berbeda dengan tindakannya.
Zubaedi mengatakan, praktik pendidikan yang semestinya memperkuat aspek
karakter atau nilai-nilai kebaikan, sejauh ini hanya mampu menghasilkan
berbagai sikap dan perilaku manusia yang nyata-nyata malah bertolak belakang
dengan apa yang diajarkan. Pendidikan seharusnya memberikan kontribusi besar
terhadap situasi ini. Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, bisa jadi
salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan
pada pengembangan intelektual atau kognitif semata, sedangkan aspek soft
skils atau non akademik sebagai unsur utama pendidikan karakter belum
diperhatikan secara oPerguruan Tinggiimal bahkan cenderung diabaikan. [1]
Kita maklumi,
bahwa persoalan karakter atau akhlak di kalangan pelajar (usia anak dan remaja)
memang tidak sepenuhnya terabaikan oleh lembaga pendidikan. Akan tetapi, dengan
fakta-fakta seputar kemorosotan karakter pada sekitar kita menunjukkan bahwa
ada kegagalan pada institusi pendidikan dalam menumbuhkan manusia Indonesia
yang berkarakter atau berakhlak mulia. Hal ini karena apa yang diajarkan di
sekolah tentang pengetahuan agama dan pendidikan akhlak belum berhasil
membentuk manusia yang berkarakter.
Selain itu,
dalam masa-masa yang penuh persoalan seperti sekarang ini, orang tua perlu
berusaha keras dalam mendidik dan membentuk karakter ataupun akhlak
anak-anaknya agar mereka bisa berfikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan
norma-norma/aturan hidup agama maupun aturan darigama. Maka pembentukan
karakter perlu dimulai dengan penanaman pengetahuan dan kesadaran kepada anak
akan bagaimana bertindak sesuai nilai-nilai Islam sebagai sumber utama
pendidikan karakter.
Berbicara
tentang karakter, maka ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu definisinya,
agar difahami tentang pentingnya pembentukan karakter pada anak. Karakter berasal dari bahasa latin “charassein”,
“kharax”, dalam bahasa inggris “character”, Yunani “charactere
dari kata “charassein” yang artinya mengukir, membuat tajam,
atau membuat dalam”, dan dalam bahasa Indonesia”Karakter”. Menurut Abdul Majid, karakter adalah sifat,
watak, tabiat, budi pekerti atau akhlak yang dimiliki oleh seseorang yang
merupakan ciri khas yang dapat membedakan perilaku, tindakan dan perbuatan
antara yang satu dengan yang lain.[2]
Sedangkan, Djaali mendefinisikan karakter sebagai kecenderungan tingkah laku
yang konsisten secara lahiriah dan bathiniah. Karakter adalah hasil kegiatan
yang sangat mendalam dan kekal yang nantinya akan membawa ke arah pertumbuhan
sosial.[3]
Imam al-Ghazali
berpendapat bahwa karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia
dalam bersikap atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga
ketika muncul tanpa perlu dipikirkan atau direncanakan sebelumnya.[4] Kata akhlak berasal dari kata khalaqa, bahasa
arab—jamak dari bentuk mufrodnya “khuluqun” yang berarti perangai,
tabiat dan adat istiadat. Dari sudut pandang kebahasaan, definisi akhlak dalam
pengertian sehari-hari disamakan dengan “budi pekerti”, kesusilaan, sopan
santun, tata karma (versi bahasa Indonesia) sedang dalam bahasa inggrisnya
disamakan dengan istilah moral atau ethic.[5]
Dalam pandangan Islam, akhlak adalah sifat yang berada dalam jiwa yang
mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan secara tidak sadar dan tanpa
melalui pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu. Menurut Anis Matta, akhlak
adalah nilai yang telah menjadi sikap mental yang mengakar pada jiwa, lalu
tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang bersifat tetap, natural dan
refleks.[6]
Dari beberapa
pendapat di atas, dapat difahami bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan
moral, berkonotasi positif, bukan netral. Jadi orang yang berkarakter adalah
orang yang mempunyai kualitas moral positif atau akhlak yang baik. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang mendasar antara akhlak
dan karakter/budi pekerti. Keduanya bisa dikatakan sama, kendati pun tidak
dimungkiri ada sebagian pemikir yang tidak sependapat dengan mempersamakan
kedua istilah tersebut. Pemaparan pandangan tokoh-tokoh itu menunjukkan bahwa
pendidikan memiliki tujuan pokok yang disepakati di setiap zaman, pada setiap
kawasan dan dalam semua pikiran, dengan bahasa sederhana. Tujuan yang
disepakati itu adalah merubah manusia menjadi baik, matang dalam pengetahuan,
sikap dan keterampilan (cognitive, affectif, spiritual and psikomotoric).
Begitu pun
tujuan pendidikan melalui pembentukan karakter pada anak perlu diarahkan kepada
pematangan kejiwaan yang bertitik akhir pada oPerguruan Tinggiimalisasi
perkembangan atau pertumbuhan, melalui proses demi proses sesuai perkembangan
dan pertumbuhannya.
Imam al-Ghazali
mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling utama ialah beribadah dan taqarrub
kepada Alloh dan kesempurnaan insani yang tujuannya adalah kebahagiaan
dunia—akhirat.[7]
Sedangkan al-Abrasyi merumuskan tujuan pendidikan Islam adalah mencapai akhlak
yang sempurna dengan menanamkan keutamaan (fadhilah), membiasakan mereka
dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan suatu kehidupan yang suci,
seluruhnya ikhlas dan jujur.[8]
Begitu juga pendapat E.Mulyasa, tujuan pendidikan karakter adalah untuk
meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada pembentukan
karakter dan akhlak mulia secara utuh, terpadu dan seimbang.[9]
Dengan
demikian, pendidikan dan pembentukan karakter, anak diharapkan meyakini Islam sebagai
pedoman hidup, melaksanakan nilai-nilai kebaikan, menjauhi hal-hal yang
dilarang agama, mampu hidup secara mandiri, meningkatkan dan menggunakan
pengetahuannya serta dapat menginternalisasikan nilai-nilai karakter/akhlak
mulia dalam perilaku sehari-hari.
[1] Zubaedi, Desain Pendidikan
Karakter, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 2-3
[2] Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan
Karakter Persfektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2011), hlm.11
[3] Prof. Dr. Djaali, Psikologi
Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm.48-49
[4] Al-Ghazali, Mengobati Penyakit
Hati Membentuk Akhlak Mulia, (Bandung: Kharisma,1994), hlm.31
[5] Zahruddin AR dan Hasanuddin
Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Rajawali, 2004), hlm.1-2
[6] M. Anis Matta, Membentuk
Karakter Cara Islam, (Jakarta : ‘Itishom, 2006), hlm.14
[7] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2004), hlm.71-72
[8] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar
Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm.1
[9] E. Mulyasa, Manajemen
Pendidikan Karakter, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm.9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...