Oleh : Abdurrahman
Misno Bambang Prawiro
A.
Pendahuluan
Pendidikan
adalah hak setiap warga Negara Indonesia, sehingga pemerintah wajib menyediakan
kesempatan seluas-luasnya kepada rakyatnya agar dapat memperoleh pendidikan
yang berkualitas. Pembukaan UUD 1945 alinea 4 menyatakan bahwa Negara bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa[1].
Selanjutnya dalam pasal 31 ayat 1 UUD 1945 disebutkan bahwa untuk mewujudkan
tujuan tersebut, maka setiap warga Negara memiliki hak untuk mendapatkan
pengajaran. Secara operasional, bentuk dukungan pendidikan termaktub dalam UU
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional pasal 5 yang menyatakan
bahwa setiap warga Negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu[2].
Hak atas pendidikan ini berarti untuk semua warga negara baik yang kaya ataupun
yang miskin, yang normal ataupun yang memiliki kebutuhan khusus.
Anak yatim
adalah satu di antara anak-anak yang memerlukan pendidikan dengan kurikulum
kebutuhan khusus (special need), hal ini karena anak yatim sejak awal
ayahnya meninggal dunia telah kehilangan sosok/figure pengayom baginya.
Sehingga kebanyakan dari anak yatim memiliki karakter dan pembawaan yang
berbeda dengan anak-anak normal pada umumnya. Dari sini model pendidikan yang
diterapkan bagi mereka seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan khusus mereka
tersebut[3].
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Joice dan Weil (1972) bahwa penerapan
strategi pembelajaran harus sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan harus
mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Semakin kecil upaya yang dilakukan guru
akan semakin besar aktivitas belajar peserta didik.
2. Semakin sedikit waktu yang diperlukan
guru mengaktifkan peserta didik akan semakin banyak waktu untuk belajar peserta
didik
3. Sesuai dengan cara belajar peserta didik
4. Dapat dilaksanakan dengan baik oleh
guru.
Keberhasilan
suatu proses belajar sangat ditentukan
oleh kondisi berbagai komponen seperti tujuan, bahan, peralatan serta suasana
tempat pengajar dan peserta didik bertemu dan berinteraksi dalam proses
belajar. Semua Itu disusun dalam satu lingkup kurikulum yang diberlakukan di
lingkungan pendidikan. Jika komponen berada dalam kondisi prima, maka proses
belajar akan berlangsung baik dan efektif. Secara lebih spesifik suatu program
pembelajaran dikatakan sangat efektif apabila 80% peserta didik mencapai 80%
tujuan pembelajaran, serta semakin sedikit tingkat kesalahan untuk kerja yang dilakukannya[4].
Efektifitas
suatu proses pembelajaran secara umum ditentukan oleh kurikulum dan system
pendidikan yang diterapkan pada lingkungan
pendidikan tersebut, berkaitan dengan pendidikan yang diterapkan
terhadap anak yatim maka diperlukan adanya kurikulum khusus yang dapat menjawab
dan mengakomodir kebutuhan seorang anak yatim, baik secara fisik maupun secara
spiritual. Bila kita melihat model pendidikan yang dilakukan beberapa lembaga
pengasuhan anak yatim semisal pesantren yatim atau panti asuhan maka kita
melihat model pendidikan yang diterapkan tidak jauh berbeda dengan yang
diterapkan pada anak-anak normal. Padahal anak yatim secara kejiwaan mereka
memiliki kepribadian yang tidak sempurna dikarenakan figur ayah telah hilang
dalam kehidupannya. Mereka cenderung mudah marah, bersikap masa bodoh, kurang
respect, merasa bebas dan terkadang kurang ada rasa hormat pada orang di
sekitarnya[5].
Singkatnya
dibutuhkan adanya model pendidikan berkarakter Islami yang
mengarahkan anak yatim pada kesiapan mental dan spiritual untuk menjadi seorang
manusia yang matang baik secara fisik maupun secara mental. Dengan model ini
diharapkan anak yatim akan dapat melewati masa anak-anak mereka secara normal
untuk menyiapkan diri menuju kedewasaan. Dan makalah ini akan mengkaji lebih
jauh mengenai model pendidikan ini. Dengan mengambil studi kasus di Pesantren Yatim Ibnu Taimiyah
diharapkan dapat dirumuskan bagaimana sebenarnya kurikulum dan model pendidikan
yang selaras dengan kebutuhan anak-anak yatim.
B.
Pendidikan Berkarakter
Islami bagi Anak Yatim
Secara bahasa “yatim” berasal
dari bahasa arab, yang merupakan bentuk isim fa’il (subyek). Bentuk kata
kerja lampau (fi’il madly)-nya adalah “yatama”, sedangkan kata
kerja bentuk sekarang/akan datang (mudlori’) “yaitamu”. Adapun
bentuk mashdarnya ”yatmu” yang berarti : sedih, kata yatmu
bermakna pula “sendiri”.[6]
Kata yatim juga bermakna anak binatang semisal sapi yang ditinggal mati
induknya, atau terpisah darinya.
Adapun menurut istilah syara’
yang dimaksud dengan anak yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya
sebelum dia baligh. Dalam Qamus Al-Munjid disebutkan bahwa yatim adalah seorang
bayi atau seorang anak yang ayahnya meninggal ketika dia belum dewasa (baligh).[7]
Semua ahli bahasa telah sepakat bahwa anak yatim adalah setiap anak yang
ditinggal meninggal oleh ayahnya ketika dia belum baligh.
Adapun jika ditinggal oleh ibu
maka tidak disebut sebagai yatim. Batas seorang anak disebut yatim adalah
ketika anak tersebut telah baligh dan dewasa, berdasarkan sebuah hadits yang
menceritakan bahwa Ibnu Abbas r.a. pernah menerima surat dari Najdah bin Amir
yang berisi beberapa pertanyaan, salah satunya tentang batasan seorang disebut
yatim, Ibnu Abbas menjawab:
وكتبت تسألنى عن اليتيم متى ينقطع عنه اسم اليتم ، وإنه لا ينقطع عنه
اسم اليتم حتى يبلغ ويؤنس منه رشد رواه
مسلم
Dan kamu bertanya kepada saya tentang anak yatim,
kapan terputus predikat yatim itu, sesungguhnya predikat itu putus bila ia
sudah baligh dan menjadi dewasa. HR Muslim.
Anak yatim
mendapatkan tempat yang mulia dalam Islam, hal ini tercermin dari perhatian
Islam terhadap mereka. Diantaranya adalah firman Allah ta’ala :
فِي الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ
الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحُُلَّهُمْ خَيْرُُ وَإِن تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ
وَاللهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ وَلَوْ شَآءَ اللهُ لأَعْنَتَكُمْ
إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمُُ
….tentang
dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah:
"Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul
dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang
membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah
menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. QS Al-Baqarah : 220
Imam
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan mengisahkan tentang para shahabat Nabi
yang merasa berat karena harus memisahkan makanan mereka dengan makanan anak
yatim yang menjadi tanggungannya demikian pula masalah minumannya. Maka
turunlah ayat ini yang membolehkan untuk berbuat ma’ruf kepada mereka. Termasuk di dalamnya mendidik
mereka (anak yatim) adalah salah satu dari bentuk ibadah kepadaNya[8].
Ayat ini juga memberikan petunjuk untuk memuliakan anak yatim dan larangan
untuk berbuat aniaya, sewenang-wenang
dan menyusahkan mereka.[9]
Intinya adalah
bahwa dalam Islam anak yatim sangat diperhatikan baik kebutuhan fisiknya maupun
kebutuhan mentalnya. Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi Shalala Alaihi
Wasalam dalam salah satu haditsnya :
عن
أبى أمامة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال من مسح رأس يتيم أو يتيمة لم يمسحه إلا
لله كان له بكل شعرة مرت عليها يده حسنات ومن أحسن إلى يتيمة أو يتيم عنده كنت أنا
وهو فى الجنة كهاتين وقرن بين أصبعيه (رواه أحمد )
Dari Abu Umamah dari Nabi SAW berkata: barangsiapa yang mengusap kepala anak
yatim laki-laki atau perempuan karena Allah, adalah baginya setiap rambut yang
diusap dengan tangannya itu terdapat banyak kebaikan, dan barang siapa
berbuat baik kepada anak yatim perempuan atau laki-laki yang dia asuh, adalah
aku bersama dia di surga seperti ini, beliau menyejajarkan dua jari-nya. HR
Ahmad
Dalam hadits
yang lainnya disebutkan secara tegas bahwa beliau akan bersama orang-orang yang
mengasuk anak yatim :
أنا وكافل اليتيم فى الجنة هكذا وأشار بالسبابة والوسطى وفرج بينهما
شيئا (رواه البخاري ، كتاب الطلاق ، باب اللعان )
Aku dan pengasuh anak yatim berada di surga seperti
ini, Beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah-nya dan beliau
sedikit merenggangkan kedua jarinya. HR Bukhari.
Ketika mendidik
anak yatim adalah sebuah bentuk amal mulia, maka menyia-nyiakan mereka adalah
suatu bentuk dosa. Allah ta’ala berfirman :
كَلاَّ
بَل لاَّتُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya
kamu tidak memuliakan anak yatim. QS Al-Fajr : 17
Di
antara bentuk tidak memuliakan anak yatim adalah menyia-nyiakan mereka sehingga
kehidupan mereka menjadi kekurangan dan diliputi penderitaan. Namun menurut
hemat penulis merupakan bentuk tidak memuliakan anak yatim yaitu memberikan
kepada mereka model pendidikan yang tidak sesuai dengan karakternya tapi metode
pendidikan yang membebani mereka bisa disebut sebagai bentuk tidak memuliakan
anak yatim. Dalam ayat yang lainnya disebutkan :
فَأَمَّا
الْيَتِيمَ فَلاَتَقْهَرْ
Maka terhadap anak yatim janganlah kamu
berlaku sewenang-wenang. QS Adh-Dhuha : 09
Larangan
berlaku sewenang-wenang adalah memakan hartanya dengan jalan haram. Selain itu
berlaku sewenang-wenang dalam ayat ini juga bermakna memberikan beban pendidikan
yang membuat anak yatim tidak nyaman dengannya. Ini adalah bentuk kedzaliman
yang nyata, walaupun niatnya adalah untuk membuat anak yatim pintar, namun
model pendidikan yang diterapkan justru membebani mereka. Maka
telah menjadi kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk memuliakan mereka,
dan di antara bentuk pemuliaan terhadap
mereka adalah memberikan model pendidikan yang selaras dengan kebutuhan dasar
mereka. Bagaimana kebutuhan dasar anak-anak yatim?
Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Imam (2009)[10]
menunjukan bahwa kebutuhan dasar anak yatim meliputi : Kebutuhan akan figur
seorang ayah, Kebutuhan pendidikan kemandirian dan kecakapan hidup dan Model
pembinaan yang mengarahkan anak yatim pada kematangan mental dan spiritual. Maka pendidikan yang memiliki karakter Islami dengan memfokuskan kepada
kebutuhan mereka menjadi sebuah keniscayaan.
Penelitian ini
dilakukan di Pesantren Yatim Ibnu Taimiyah Bogor dengan audience santri-santri
yatim dari jenjang Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan
Madrasah Aliyah (MA). Hal ini menunjukan bahwa anak yatim memiliki kebutuhan
dasar yang berbeda dengan anak pada umumnya, karena penelitian ini dilakukan di
pesantren maka tingkat kemandirian anak yatim cenderung lebih tinggi dari pada
anak yatim yang tidak tinggal di pesantren. Penelitian kedua dilakukan oleh
Abdurrahman (2010) yang melakukan wawancara terhadap beberapa anak yatim di
PYIT, hasil yang ditemukan adalah bahwa anak yatim yang ditinggal oleh ayahnya
pada umur 0-10 tahun cenderung mendambakan sosok ayah yang dapat dijadikan
pengayomnya, sedangkan pada 10-12 tahun cenderung lebih berkurang[11].
Sementara pendidikan anak yatim yang dilakukan oleh masyarakat
secara umum lebih mengarahkan pada pembinaan di luar
sekolah, yaitu dengan cara menitipkan anak-anak yatim kepada orang tua asuhnya.
Walaupun pada beberapa tempat tetap dilaksanakan pembinaan dengan model
boarding, namun lagi-lagi kebutuhan dasar yang menjadi karakteristik anak yatim
kurang terpenuhi. Karena itu sangat diperlukan sebuah model pendidikan, dalam
hal ini kurikulum yang mengarahkan setiap anak yatim untuk dapat memenuhi
kebutuhan dasar mereka yaitu kebutuhan akan sosok pelindung (ayah).
Dari
sini urgensi pendidikan anak yatim berbasis kecakapan hidup sangat diperlukan,
ia menjadi model yang diharapkan memberikan yang terbaik bagi anak-anak yatim.
Inilah salah satu bentuk dari memuliakan mereka sebagaimana yang diperintahkan
Allah ta’ala dalam kalamNya yang mulia.
[1]
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 1. Perubahan keempat, Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia tahun 2009
[2]
UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[3]
Masitoh dkk, Pendekatan Belajar Aktif di taman Kanak-Kanak, Jakarta,
Depdiknas, hal. 157.
[4]
Dewi Suhartini, Disertasi : Pemanfaatan E-Learning dalam Meningkatkan Minat
Siswa pada Pembelajaran Sejarah Terhadap Siswa SMA Negeri di Kota Bogor,
Bandung UPI, hal. 11.
[5]
Hasil angket yang dilakukan di Pesantren Yatim Ibnu Taimiyah tahun 2009 dan
2010. Secara umum anak yatim cenderung bersikap semaunya dan susah untuk
diatur.
[6]
Al-Mu’jam Lisan Al-Arab, Maktabah Syuruq Ad-Dauliyah, Mesir. Cet. IV
tahun 1425 H/2004 M
[7]
Al-Qamus Al-Munjid, Syihabuddin Abu Amr , Darul Fikri : , cet. I. 1423 H / 2003 M.
[8]
Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim, Imam Abu Al-Fida’ bin Katsir, Jumiyyah Ihya
At-Turats : Kuwait.
[9]
Tafsir Fi Dzilal Al-Qur’an , Sayyid Sabiq.
[10]
Imam Wahyudi, Motivasi Anak Yatim masuk ke PYIT , 2009.
[11]
Quesioner dibagikan pada Oktober 2010.
Saya tertarik tulisan bpak..mhn di poskan agar saya dpt menyimak. Mdh2an ilmu bapak bermanfaat. Amin..
BalasHapusAkhy, Dr. Aburrahman MBP, S.H.I, M.E.I; ana ATM tulisan antum, smg bermanfaat dan berkah.
BalasHapus