Oleh: Abdurrahman MBP
Jazirah
Arabia adalah sebuah semenanjung terbesar di dunia.[1] Wilayah
ini disebut jazirah -berarti pulau- karena dikelilingi oleh lautan pada
tiga sisinya, batas di barat daya adalah Laut Merah dan Teluk Aqabah, di bagian
tenggara adalah Laut Arab, dan di timur laut adalah Teluk Oman dan Teluk
Persia. Secara geografis posisi Jazirah Arab berada pada persimpangan
tiga benua, sebelah barat laut merupakan pintu masuk menuju benua Afrika,
sebelah timur laut merupakan kunci untuk masuk ke Benua Eropa, dan sebelah
timur merupakan pintu benua Asia.
Kondisi
internal Jazirah Arabia berupa tanah gersang yang dikelilingi gunung karang dan
gurun pasir di sebagian besar wilayahnya. Kondisi ini menjadikannya benteng
pertahanan yang kokoh, yang tidak memungkinkan bangsa asing untuk menjajah,
mencaplok, atau menguasai wilayahnya. Oleh karena itu, penduduk Jazirah Arab
hidup merdeka dan bebas dari segala urusan semenjak zaman dahulu. Sekalipun
begitu mereka tetap hidup berdampingan dengan dua imperium besar saat itu, yang
serangannya tak mungkin dihalangi andaikata tidak ada benteng pertahanan yang
kokoh tersebut.[2]
Berdasarkan
letak geografisnya Jazirah Arabia terbagi menjadi tiga bagian sebagai berikut :
1.
Arabia
Petrix atau Petraea, yaitu daerah-daerah yang terletak di sebelah Barat Daya Lembah
Syiria. Wilayah Arab Petra berpusat di daratan Sinai dan kerajaan Nabasia,
dengan ibukota Petra.
2.
Arabia
Deserta, yaitu daerah Syiria sendiri. Menurut istilah lain Arab Gurun yang
meliputi gurun pasir Suriah-Mesopotamia (Badiyah).
3.
Arabia
Felix, yaitu negeri Yaman yang terkenal dengan nama “Bumi Hijau” karena
kesuburan tanahnya.
Pembagian
tersebut didasarkan atas pembagian wilayah ke dalam tiga kekuatan politik pada
abad pertama masehi, yaitu kawasan yang bebas, kawasan yang tunduk pada
penguasa Romawi dan kawasan yang berada dalam kendali Persia.[3]
Masyarakat
Arab menurut sejarahnya terbagi menjadi dua kelompok besar: Pertama, Arab
Ba’idah, yaitu masyarakat Arab yang dahulu menghuni beberapa wilayah Arab
yang telah musnah, diantaranya adalah kaum ‘Aad, Tsamud, Thasm, Jadis, Ashab ar-Ra’s
dan penduduk Madyan. Kedua, Arab Baqiyah, yaitu orang Arab yang
hingga saat ini masih ada, mereka adalah Bani Qathan dan Bani Adnan. Bani
Qathan adalah Arab ‘Aribah yang mendiami wilayah selatan. Sedangkan Bani
Adnan, mereka adalah orang-orang Arab Musta’ribah, yakni orang-orang
Arab yang mengambil bahasa Arab sebagai bahasa mereka. Mereka adalah
orang-orang Arab bagian utara, yang tempat tinggalnya di Makkah al-Mukarramah. Merekalah
yang menjadi nenek moyang bagi masyarakat Arab, termasuk suku Quraisy yang
mendiami wilayah Mekkah.
Berdasarkan
karakteristik wilayahnya, penduduk Jazirah Arab terbagi menjadi dua kelompok utama:
1.
Orang-orang
Badui: Pola kehidupan mereka berpindah-pindah (nomaden). mereka enggan
mengikuti pengaruh dan dan cara hidup asing, memilih untuk bertahan di tenda
bulu domba atau bulu onta, aktivitas mereka adalah bertani dan berdagang. Cara
berpakaian orang Badui sangat sederhana yaitu Jubah panjang (tsaub) yang
dilengkapi dengan ikat pinggang dan busana atas (‘aba) yang modelnya
telah terkenal luas.
2.
Masyarakt
perkotaan. Mereka adalah masyarakat yang tinggal di beberapa kota di Jazirah
Arab, misalnya Mekkah, Madinah dan Thaif. Pola kehidupan mereka lebih teratur
dengan pembagian kerja yang jelas.
Secara
umum masyarakat Arab hidup secara komunal dalam suku-suku yang umumnya
terbentuk berdasarkan pertalian darah. Pola hidup komunal menjadikan seseorang
bisa bertahan hidup dengan bantuan dari anggota sukunya. Suku adalah pelindung
bagi eksistensi seseorang, jika seseorang terbunuh oleh suku yang lain maka
suku orang tersebut akan melakukan tindakan menuntut balas. Ini akhirnya
menciptakan lingkaran setan pembunuhan, sehingga berakibat pada terjadinya
konflik dan peperangan antar suku yang tidak pernah berhenti. Berbagai
peperangan ini kemudian membentuk sifat-sifat ksatria berupa harga diri, tolong
menolong, saling melindungi sesame anggota suku.[4]
Pada
dasarnya masyarakat Arab mempunyai system hukum tersendiri, mereka memiliki
berbagai aturan yang menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Aturan-aturan
tersebut meliputi bidang hukum perdata dan hukum pidana. Dalam hukum perdata
misalnya berlaku hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Praktek perkawinan yang
dilakukan masyarakat Arab membolehkan seorang pria menikahi wanita
sebanyak-banyaknya tanpa maskawin dan tanpa batas maksimum. Aturan sumpah di kalangan
mereka sudah dikenal. Mereka telah memiliki aturan talak, dzihar dan nikah
dengan meminang wanita kepada walinya serta pelamar memberikan mas kawinnya,
kemudian wanita itu dibawa suaminya.
Sementara
dalam masalah pembagian harta waris wanita tidak mempunyai hak menerima bagian
warisan harta orang tua atau keluarganya yang meninggal, dalam beberapa kasus
seorang wanita dianggap sebagai harta yang boleh diwariskan. Pembagian waris
ini didasarkan pada kontribusi masing-masing anggota keluarga, seorang anak
laki-laki akan mendapatkan harta warisan karena ia berkontribusi dalam mencari
harta, berperang, dan membela kepentingan suku. Sementara seorang wanita tidak
diberikan harta warisan karena tidak adanya kontirbusi bagi kabilahnya.
Dalam
bidang Pidana masyarakat Arab mengenal istilah qishas dan diyat[5]
yaitu pembalasan bagi seseorang yang membunuh dengan sengaja, “Pembunuhan itu
melenyapkan pembunuhan”, diyat itu dikenakan bagi orang yang berakal ketika
dalam kesalahan.” Namun aturan-aturan tersebut bukanlah undang-undang tertulis
yang dijadikan referensi dalam menyelesaikan perselisihan dan memelihara
hak-hak mereka, tapi hanya ketetapan yang sedikit sekali pemanfaatannya, tidak
cukup dalam merealisasikan aturan dan tidak dapat mencegah si pembuat
kerusakan.
Kondisi
perekonomian masyarakat Arab beragam, dari mulai menjadi petani, penggembala
hingga menjadi pedagang. Perdagangan menjadi urat nadi perekonomian pada
masyarakat Arab yang tinggal di sekitar Mekkah. Bukti yang menunjukkan bahwa
bangsa Arab khususnya suku Quraisy telah lama melakukan perdagangan adalah sebagaimana
digambarkan al-Qur’an:
لإِيلاَفِ قُرَيْشٍ {1} إِيلاَفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَآءِ وَالصَّيْفِ
{2} فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ {3} الَّذِي أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍ وَءَامَنَهُم
مِّنْ خَوْفٍ {4}
Karena kebiasaan
orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan
musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Kakbah). Yang
telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan
mereka dari ketakutan. QS. Al-Quraisy: 1-4.
Ibnu
Abbas dalam kitab tafsirnya menyebutkan bahwa ayat yang berbunyi “(yaitu)
kebiasaan mereka berpergian di musim dingin dan musim panas” adalah orang Quraisy
yang biasa mengadakan perjalanan terutama untuk berdagang ke negeri Syam pada
musim panas dan ke negeri Yaman pada musim dingin. Dalam perjalanan itu mereka mendapat
jaminan keamanan dari penguasa negeri-negeri yang dilaluinya. Ini adalah nikmat
yang besar dari Allah ta’ala kepada mereka. Oleh karena itu sewajarnyalah
mereka menyembah Allah yang telah memberikan nikmat itu kepada mereka.[6]
Pola-pola
perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat Arab khususnya Quraisy sebagai
pedagang melahirkan berbagai bentuk transaksi perdagangan yang dijadikan
pedoman dalam perdagangan mereka, ada akad mudharabah, murabahah, ijarah dan
lain sebagainya. Namun dalam faktanya banyak terjadi penyimpangan dalam
masyarakat Arab waktu itu seperti menyebarnya praktek riba, jual beli yang
mengandung gharar, perjudian yang merajalela dan berbagai penyimpangan
ekonomi yang terjadi di antara mereka.
Walaupun
demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat Arab pada waktu itu telah memiliki
system hukum yang didasarkan kepada adat kebiasaan yang telah disepakati oleh
masing-masing kabilah. System hukum adat ini didasarkan kepada
pendapat-pendapat anggota suku atau marga dalam komunitas tertentu. Pendapat
atau perilaku komunitas tersebut pada akhirnya menjadi sebuah tradisi yang baku
pada setiap suku atau ras yang kemudian diberlakukan kembali kepada anggota
suku tersebut. Hal ini terbukti dengan analisis Asaf A.A. Fyzee yang mencatat
bahwa berbagai pola atau system aturan keluarga seperti perkawinan, ekonomi,
sosial dan yang lainnya digunakan dalam menjalankan system kesukuan tersebut.[7]
Di
tengah kondisi hukum yang demikian Islam hadir membawa satu prinsip hidup yang membawa
kepada kemashlahatn bagi seluruh umat manusia. Tidak hanya dalam masalah aqidah
dan keakhiratan, namun Islam juga datang membawa mashlahat dalam bidang
kehidupan sehari-hari. Kehadiran hukum Islam tidak serta merta menghapuskan
hukum-hukum yang telah ada pada masyarakat Arab. Pola-pola pendekatan dengan
memberikan ruang kepada system hukum yang telah ada menjadikan hukum Islam
mudah diterima oleh masyarakat Arab. Ada dua fase pola infiltrasi hukum Islam
ke dalam masyarakat Arab:
1.
Fase
Mekkah, pada fase ini hukum Islam masih dalam taraf penyesuaian dengan hukum
Arab. Dakwah Islam sendiri masih difokuskan kepada perbaikan nilai-nilai
ketauhidan dan akhlak.
2.
Fase
Madinah, pada fase ini hukum Islam mengalami perkembangan dan penyempurnaan.
Berdasarkan dua fase perkembangan hukum Islam tersebut terdapat
beberapa kaidah yang menjadi kunci sukses masuknya hukum Islam ke dalam
masyarakat Arab. Beberapa kaidah tersebut adalah:
1.
Adam
Al-Kharaj yaitu menghilangkan kesusahan dalam
beribadah, misalnya bolehnya berbuka puasa ketika dalam perjalanan, bertayamum
karena tidak mendapatkan air untuk bersuci, dan kebolehan mengonsumsi sesuatu
yang haram dalam keadaan darurat.
2.
Taqlil
At-Taklif, yaitu menyedikitkan beban. Sifat
dari hukum Islam yaitu memberikan keringanan dan mengurangi beban sedikit
mungkin.
3.
Tadrij
fi Tasyri’ (gradual), yaitu hukum Islam
diturunkan secara bertahap. Sebagai contoh dalam masalah keharaman khamr
(minuman keras) demikian juga mengenai keharaman riba.[8]
Seiring
dengan perkembangan zaman, Islam tersebar ke berbagai penjuru dunia. Hukum
Islam telah sampai ke sebagian besar Asia, Afrika, dan Eropa. Hukum Islam juga
telah sampai ke Persia, India, China dan juga Nusantara. Penyebaran hukum Islam
ke wilayah-wilayah tersebut bukan hanya dalam hal kepercayaan saja, akan tetapi
juga membawa satu system hukum yang tidak bisa dipisahkan dengan nilai-nilai
keimanannya.
Ketika
Islam masuk ke Indonesia yang memiliki banyak suku bangsa yang mendiami pulau-pulau
di seluruh wilayah Indonesia. Selain beraneka ragamnya suku bangsa dan budaya,
kebhinekaan juga terjadi pada sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Setiap
suku bangsa memiliki aturan dan norma-norma yang mereka taati sejak zaman
dahulu kala. Aturan dan norma ini kemudian dikenal dengan istilah adat istiadat
atau dalam pandangan cendekiawan Belanda disebut Hukum Adat (adatrecht).[9]
Kehadiran
hukum Islam di tengah masyarakat Indonesia telah memunculkan interaksi hukum
antara hukum Islam dan hukum adat. Interaksi ini menghasilkan satu pola dalam
bentuk saling mengisi dan mewarnai system hukum di Indonesia. Pada beberapa
wilayah seperti Sumatera Barat dan Aceh, pengaruh hukum Islam sangat kuat
sehingga hukum Islam menggantikan posisi dari hukum adat yang berlaku sebelumnya.
Sementara di wilayah lainnya terjadi akulturasi, dialog dan harmoni antara
hukum Islam dan Hukum Adat. harmoni antara kedua system hukum ini memunculkan Theori
Receptio In Complexu yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia
adalah hukum Islam untuk orang-orang Islam.[10]
Ketika hukum Islam berinteraksi dengan suku Sunda, maka terjadi
pula dialog antara kedunaya. Suku Sunda sebagai salah satu suku besar di
Indonesia juga memiliki system hukum yang berbeda dengan system hukum lainnya.
Mereka memegang teguh pikukuh yang telah diwariskan dari nenek
moyangnya. Adanya aturan-aturan adat yang tidak boleh dilanggar adalah system
hukum yang sangat dipegang teguh oleh masyarakat Sunda.
Maka ketika hukum Islam bertemu dengan hukum Adat Sunda terjadilah
dialog antara keduanya. Dialog ini terjadi didasarkan kepada kedua system hukum
yang masing-masing memiliki kaidah-kaidah yang terbuka dengan unsur hukum
lainnya. Hukum Adat Sunda sebagaimana hukum adat lainnya memiliki sifat terbuka
dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan di sekitarnya. Keterbukaannya
dapat dilihat dari masuknya pengaruh hukum Islam dalam hukum waris adat yang
disebut bagian “sepikul segendong”, bagian warisan bagi ahli waris pria
dan wanita sebanyak 2:1 .
Sifat terbuka dan menerima system hukum lainnya juga terdapat dalam
system hukum Islam, di mana dalam hukum Islam dikenal sebuah kaidah yaitu مُحْكَمَةٌ الْعَادَةُ
artinya “Adat itu bisa menjadi hukum”.[11] Salah satu ahli hukum Islam yaitu Abu Hanifah adalah satu di antara fuqaha yang
menggunakan adat sebagai pertimbangan dalam menetapkan suatu
hukum atau mengeluarkan suatu fatwa. Sementara Imam Syafi’i walaupun tidak secara
terbuka menyebutkan Adat sebagai metode ijtihadnya namun pendapat-pendapatnya
ketika berada di Mesir (Qaul Jadid) menunjukan penggunaan adat
penduduknya sebagai bahan acuan fatwanya.[12]
Realitas yang terjadi di masyarakat khususnya masyarakat Sunda
adalah penerimaan mereka terhadap Islam, sehingga muncul istilah Sunda Islam
dan Islam Sunda. Namun suku Sunda sendiri pada beberapa wilayah
berbeda-beda dalam menerima Islam dan system hukumnya. Corak keagamaan
masyarakat Sunda yang tinggal di pesisir utara dan yang berada di pedalaman
sangat berbeda. Pola keagamaan masyarakat yang berada di Banten dan di Garut
juga berbeda, pola keagamaan di pedalaman cenderung lebih longgar dari pada
masyarakat Sunda yang berada di pesisir pantai utara.
Di
antara komunitas suku Sunda yang mendiami wilayah bagian pedalaman dan bagian
selatan adalah masyarakat Adat Kampung Naga dan Badui Kanekes. Keduanya
merupakan suku Sunda yang memiliki karakter sendiri tersendiri dalam menerima
hukum Islam. Jika masyarakat Kampung Naga telah menerima Islam sebagai
agamanya, maka masyarakat Badui Kanekes sebagian besar belum menerima Islam
sebagai kepercayaannya. Namun keduanya memiliki persamaan yaitu mereka masih
secara ketat menggunakan hukum adat yang telah mereka dapatkan dari nenek
moyangnya. Persamaan lainnya yaitu system hukum adat yang mereka anut secara
langsung ataupun tidak langsung telah terpengaruh oleh hukum Islam. Sehingga memahami
bagaimana pola-pola penyerapan hukum Islam oleh masyarakat adat Kampung Naga
dan badui Kanekes adalah tema yang menarik untuk
dijadikan bahan penelitian dan pembahasan
[1] Philip K. Hitti, History of
the Arabs, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. 2006, cet ke-1 , hal. 16
[2] Shafiyyurahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahiqul
Makhtum, Kuwait: Jam’iyyah Ihya At-Turats Al-Islami, 2001, hal. 16.
[3] Philip K. Hitti, History of
the Arabs, hal. 54
[4]
Haekal, Muhammad Husain, Sejarah
Hidup Muhammad. Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 2007, hal. 15.
[5]
Ali Sodiqin, Anthropologi Al-Qur’an: Model Dialektika Wahyu dan Budaya.
Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2008, hal. 108.
[6] Abdullah bin Abbas, Tanwirul
Miqbas ‘an tafsir Ibnu Abbas. Beirut : Darul Fikr
[7] Asaf A.A. Fyzee, Outlines of
Muhammadan Law, Bombay, India: Oxford University Press. 1948. Hal. 6-10.
[8] Muhammad al-Khudari Beik. Tarikh
at-Tasyri‘ al-Islami. Jakarta: Daarul Kutub Al-Islamiyah, 2007. Hal. 17.
[9] Soerojo Wignyodipoero, Pengantar
dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta : Haji Masagunng, 1990. hal. 19.
[10] Sajuti Thalib, Receptio a
Contrario. Jakarta : Bina Aksara. 1985, hlm. 4.
[11] Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al- Nadzhair, Beirut : Daar Al-Kutub al- Araby.
[12] Jaih Mubarak, Modifikasi
Hukum Islam : Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, Jakarta :
Rajagrafindo Persada, tahun 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...