Disusun oleh: M.H. Ginanjar, M.Pd.I [1]
A. Pendahuluan
Banyak anggapan bahwa kewajiban dan peran ayah hanyalah
bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarga, sedangkan ibu mendidik anak
serta mengurusi pekerjaan rumah tangga, padahal seharusnya orang tua (ayah—ibu)
harus dapat berkerja sama untuk mendidik anak-anaknya, dalam arti tugas
mendidik anak bukan hanya tanggungjawab ibu saja, karena ayah merupakan
pemandu, pendidik, pelindung dan pemimpin atau kepala keluarga. Adapun
kewajiban dan tanggungjawab ibu adalah menjaga, memelihara, dan mengelola
keluarga di rumah suaminya, terlebih lagi mendidik dan merawat anaknya.
Pada generasi sebelumnya, pengasuhan anak cenderung
dilimpahkan pada ibu saja. Namun, saat ini telah terjadi pergeseran konsep,
dari pengasuhan motherhood menjadi parenthood. Konsep parenthood
menitikberatkan pada peran kedua orang tua atau ayah—ibu. Secara psikologis,
anak memerlukan figur ayah dan figur ibu secara komplementatif bagi
pengembangan karakternya. Ayah yang menjalankan peran pengasuhan dan pendidikan secara Perguruan Tinggi ternyata
sangat mempengaruhi perkembangan dan pembentukan karakter anak.
Dalam pandangan Islam, anak merupakan amanah Alloh atas kedua orang tua. Untuk itu, orang tua
berkewajiban menjaga dan mendidik anaknya supaya selamat dunia dan akhirat.
Bahkan keselamatan kehidupan keluarga juga merupakan tanggung jawab orang tua.
Sebagaimana firman Alloh dalam surat At-Tahrim, ayat : 6:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR ……
“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka.”
Para ulama menafsirkan ayat di atas dengan “Peliharalah diri
kalian, yaitu dengan menjauhi apa yang dilarang oleh Alloh Ali
bin Abi Thalib mengatakan, “ajarkanlah diri dan keluarga
kalian kebaikan.” (HR.Hakim dalam al Mustadrak). Al Muqatil menafsirkan ayat
itu sebagai perintah dari Alloh kepada setiap orang tua untuk mendidik diri dan
keluarganya kepada kebaikan dan dan melarang mereka dari kejahatan. Begitu juga pendapat Imam Ibnu Qayyim , makin menguatkan tentang tanggung
jawab besar ini dengan mengatakan, “Sesungguhnya Alloh akan meminta
pertanggungjawaban para orang tua tentang pendidikan anak-anak mereka—kelak
pada hari kiamat—sebelum Alloh meminta pertanggung jawaban anak terhadap
orang tua mereka. Sebagaimana orang tua mempunyai hak atas anak-anak mereka,
anak juga mempunyai hak atas orang tua mereka. Kemudian beliau (Ibnu Qayyim ) mengatakan, “Barangsiapa yang
meremehkan pendidikan anaknya dengan tidak memberikan kepada mereka pendidikan
yang akan bermanfaat pada hari tuanya, maka ia telah memperlakukan anaknya
dengan perlakuan yang jelek”.
Pendapat-pendapat di atas tentang penafsiran firman Alloh
tersebut, kita bisa menarik benang merahnya, bahwa Islam membebankan tanggung
jawab pendidikan anak kepada kedua orang tua dan semua orang yang akan
menggantikan posisi keduanya agar tidak masuk kedalam siksa api neraka.
Pada prinsipnya, setiap orang tua pasti menginginkan
keberhasilan dalam pendidikan anak-anaknya. Keberhasilan dalam mendidik
tentunya tidak akan dapat terwujud tanpa adanya usaha keras dan peran dari
orang tua itu sendiri. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Rasulullah :
Artinya : “Tiada manusia lahir
(dilahirkan) kecuali dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikan
ia (kafir) yahudi, nasrani atau majus”. (Muttafaqun’Alaih)[2]
Hadits tersebut mengandung pengertian bahwa orang tua
mempunyai peranan yang sangat penting terhadap pembentukan karakter anak serta
memberikan pengaruh yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikannya.
Mengingat begitu urgennya peran orang tua ini, Zakiah Darajat mengatakan,
“pembinaan moral bagi anak-anak terjadi melalui pengalaman dan
kebiasaan-kebiasaan yang ditanamkan sejak kecil oleh orang tua. Mulai dengan
pembiasaan hidup sesuai dengan nilai-nilai moral yang ditirunya dari orang tua
dan mendapat latihan-latihan untuk itu”.[3]
Senada dengan pendapat Darajat, Mustofa al’Adawi mengemukakan, kesalehan jiwa
dan perilaku orang tua memiliki andil besar dalam membentuk kesalehan anak.
Bahkan, akan membawa manfaat bagi anak, baik di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya,
perilaku buruk yang dimiliki orang tua bisa membawa pengaruh tidak baik dalam
pendidikan anak.[4]
Pada dasarnya, setiap manusia mempunyai potensi untuk
menerima kebaikan atau keburukan, termasuk yang terjadi pada anak-anak. Hal ini
dijelaskan Alloh, sebagaimana dalam firman-Nya:
$ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢y ÇÊÉÈ
Dan jiwa
serta penyempurnaannya (ciPerguruan Tinggiaan-Nya). Maka Alloh mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan/potensi) kefasikan dan ketaqwaannya. Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya”.
(QS. Asy-Syams/91:7-10).
Kesucian (fitrah) seorang anak akan dapat dipertahankan,
apabila anak tersebut mendapat bimbingan, arahan dan pengawasan/pemeliharaan
yang benar sesuai ajaran Islam, akan tetapi seorang anak akan ternodai kesucian
fitrah dan tauhidnya, apabila kedua orang tuanya salah dalam mengarahkan dan
membimbing anaknya, bahkan bisa lebih celaka jika pendidikan karakter diabaikan
dengan sengaja. Rasulullah menegaskan bahwa misi utama dalam mendidik manusia
adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character).
Sebagai upaya pembentukan karakter, ajaran Islam harus
dikenalkan dan diajarkan sejak dini kepada anak, karena Islam adalah sumber
nilai yang paling utama, petunjuk dan pedoman hidup yang paling sempurna,
menjelaskan prinsip-prinsip yang benar dan yang salah, halal dan haram, wajib dan
sunnah, makruh, mubah dan sebagainya.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengingatkan kita khususnya
para orang tua akan pentingnya membangun kesadaran untuk menciPerguruan
Tinggiakan keseimbangan peran-peran orang tua dalam pembentukan karakter anak.
Bahkan bukan sebatas pada pembentukan karakter, akan tetapi lebih mendasar lagi
sampai pada penanaman keyakinan atau aqidah yang shahih.
[1] Penulis adalah dosen tetap
Jurusan Tarbiyah STAI Al Hidayah Bogor dan pengasuh rubrik Tarbiyatul Aulad di
Radio Fajri 99,3 FM.
[2] Mukhtarul Hadits, 1979:382.
[3] Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa
Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), hlm.84
[4] Mustofa al’Adawi, Fiqh
Pendidikan Anak, (Jakarta: Qisti Press, 2006), hlm.20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...